Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, dan organ- organ lain kecuali susunan saraf pusat.5,7

4.2. Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat


obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil
Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan
alkohol8. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann,
replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune
response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi
pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan
kematian akson.6

Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27°C –


30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf
kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem
saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas
atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal,
kepala, garis tengah punggung6.

4.3. Epidemiologi
Berdasarkan laporan dari Word Health Organization (2012), prevalensi
penderita dari tahun 2011 dan awal tahun 2012 berjumlah 181.941 (0,34 per
10.000 penduduk), paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara
mencapai 117.147 (0,64 per 10.000 penduduk). Pada tahun 2011, Indonesia
merupakan negara dengan kasus kusta terbanyak ketiga di dunia yaitu 20.032
penderita, setelah India (105.295 penderita) dan Brazil (33.955 penderita).2

22
23

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan


perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun,
jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area
yang endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, dan kemiskinan
(malnutrisi).1,2

4.4. Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:

 TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil


 Ti: tuberkuloid indefinite, bentuk yang labil
 BT: borderline tuberculoid, bentuk yang labil
 BB: mid borderline, bentuk yang labil
 BL: borderline lepromatous, bentuk yang labil
 Li: lepromatosa indefinite, bentuk yang labil
 LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,
yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe
borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.

BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak


lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat
beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL8.

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan


pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB
kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley- Joping6.
24

Kusta tipe neural murni atau disebut juga pure neural leprosy atau primary
neuritic leprosy merupakan infeksi M. Leprae yang menyerang saraf perifer
disertai hilangnya fungsi saraf sensoris pada area distribusi dermatomal saraf
tersebut, dengan atau tanpa keterlibatan fungsi motoris, dan tidak ditemukan
lesi pada kulit6.

Kusta histoid merupakan bentuk kusta lepromatosa dengan karakteristik


klinis, histopatologis, bakterioskopis, dan imunologis yang berbeda. Faktor
yang berpengaruh antara lain: pengobatan ireguler dan inadekuat, resistensi
dapson, relaps setelah release from treatment (RFT), atau adanya organisme
mutan Histoid bacillus serta dapat juga meripakan kasus denovo.

4.5. Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup
beberapa hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari
sampai 40 tahun, rata-rata 3,5 tahun.

Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang


rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan
karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu, kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.6

Kerusakan jaringan tergantung pada sistem simunitas selular, tipe


penyebaran bakeri, adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf.
Afinitas pada sel Schwann, mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai
alpha laminin 2 yang ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di
dalam sel ini menyebabkan respon sistem imunitas selular yang menyebabkan
reaksi inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia,
fibrosis, dan kematian akson.6,7
25

Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
bermultiplikasi dengan bebas dan merusak jaringan. Pada kusta tipe TT terjadi
sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga makrofag mampu
menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag
berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Massa epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
di sekitarnya.6

Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan


pasien mungkin mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar
>50% pasien tertentu. Spektrum granuloma lepra terdiri dari 1) a high-
resistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or absent-resistance
lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4)
borderline lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT).
Berdasarkan dari yang paling tinggi resistensinya hingga ke yang paling
rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL8.

Respon imun terhadap M. Leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi


yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and
reversal reactions), atau reaksi non-nodular terjadi pada tipe borderline ( Li,
BL, BB, BT, B ), inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Gejala
klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Gejala neuritis akut paling penting diperhatikan, karena sangat menentukan
pemberian obat kortikosteroid, sebab tanpa neuritis, pemberian kortikosteroid
fakultatif. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada
sebagian individu dengan LL biasanya timbul setelah pemberian terapi
antilepra. Gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti idiosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis,
orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria. Dapat disertai gejala konstitusi
dari riingan sampai berat bergantung status imunologik6,8.
26

Terdapat juga raksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non-nodular difus, yang disebut fenomena Lucio. Reaksi lucio
merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas.
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda,
berbentuk tidak teratur dan nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian
meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai
purpura, dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang
nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirna terbentuk jaringan parut. 6,8

4.6. Manifestasi Klinis

Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut


WHO, yaitu:5,9

1. Bercak kulit yang mati rasa


Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian
saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu:
 Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
 Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
 Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan
lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh
dari biopsi saraf.

Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda


kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek
kusta, dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai
diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.9
27

Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya


perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf
perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot,
atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. 90%
pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan
dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan
kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah
yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan
lutut. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Disebut juga sebagai the greatest
imitator banyak penyakit kulit lain yang serupa.6
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom, perhatikan ada
tidaknya dehidrasi pada daerah lesi dengan cara menggores lesi dengan tinta
(Tanda Gunawan), dengan menggoresnya dari tengah lesi ke arah kulit
normal, akan terlihat goresan pada kulit normal lebih tebal. Dapat juga
diperhatikan alopesia pada daerah lesi. Gangguan fungsi motoris dapat dinilai
dengan Voluntary Musle Test (VMT).6
Untuk mengetahui gengguan pada saraf perifeer, perhatikan apakah
terdapat pembesaran, konsistensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan / nyeri
tekan. Terdapat beberapa saraf superfisial yang perlu diperiksa, yaitu :
o N. Ulnaris
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.
- Clawing pada kelingking dan jari manis.
- Atrofi hiptenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial.
o N. Medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah.
- Tidak mampu adduksi jari.
28

- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.


- Ibu jari kontraktur.
- Atrofi tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
o . N. Radialis
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
- Tangan gantung (wrist drop).
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
o N. Poplitea Lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
- Kaki gantung (foot drop).
- Kelemahan otot peroneus.
o N. Tibialis posterior
- Aneestesia telapak kaki.
- Claw toes.
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
o N. Fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik : langoftalmus.
- Cabang bukal, mandibulaar, dan servikal : Kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatup bibir.
o N. Trigeminus
- Anestesi kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
29

Tabel 4.1 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)

Tabel 4.2 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta


Pausibasiler (PB)
30

4.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau


usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSEN. Bakteriokopik negatif bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung kuman M. Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit
yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi
di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M.
Leprae6.

M. Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan


bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan fragmented dan
granular kuman mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid
pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).


1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP6+Bila> 1000 BTA rata –
rata dalam 1 LP

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah


tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
31

yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak
basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel
virchow adalah histiosit yang dijadikan M. Leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh


seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick, PCR.

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M. Leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari
(reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita
bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti
mantoux test (PPD) pada tuberkolosis6.

4.8. Diagnosis Banding


Lesi kulit5
1. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor,
pitiriasis alba, morfea dan parut
2. Plak eritema: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus,
granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoidosis, leukemia kutis
dan mikosis fungoides
3. Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, dan penyakit
Raynaud & Buerger

Gangguan saraf: Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf,


dan trauma5

4.9. Penatalaksanaan
A. Nonmedikamentosa
32

1. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan


terapi okupasi.
2. Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan
sosial.
3. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan
stigma dan penggunaan obat.
4. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan
disabilitas.
B. Medikamentosa

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk


menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, mencegah timbulnya kecacatan, untuk mencapai tujuan
tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.

Untuk mencegah resistensi, pengobatan kusta menggunakan multi


drug treatment (MDT). Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk
mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa pengobatan,
dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998,


2012)5,10,13 Pengobatan dengan MDT disesuaikan dengan indikasi
sebagai berikut:
Tabel 4.3 MDT tipe PB

Tabel 4.4 MDT tipe MB


33

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5, ama pengobatan 12 dosis ini
bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis
obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti
minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun5.

Tabel 4.5 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM)

PB dengan lesi 2 – 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa


diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan
RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat10.

C. EDUKASI
1. Saat Mulai MDT
- Kusta, disebabkan oleh kuman kusta dan dapat
disembuhkan dengan MDT, bila diminum teratur tiap
hari sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.
- Penjelasan tentang efek samping obat MDT seperti urin
berwarna merah, bercak kulit gatal, berwarna
kekuningan dan perubahan warna kulit.
- Penjelasan tentang gejala dan tanda reaksi kusta.
34

- Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan


dapat diobati.
- Penyembuhan cacat yang sudah ada sebelumnya,
tergantung pada lamanya cacat diderita.
- Cari dan periksa kontak untuk konfirmasi dan
pengobatan.
- Perawatan diri harus dilakukan tiap hari secara teratur.
2. Saat RFT
- Beri selamat karena telah menyelesaikan pengobatan dan
berarti telah sembuh sehingga tidak memerlukan MDT lagi.
- Bercak kulit yang masih tersisa memerlukan waktu lebih
lama untuk menghilang sebagian menetap selamanya.
- Mati rasa, kelemahan otot karena kerusakan saraf akan
menetap.
- Lapor segera apabila timbul gejala dan tanda reaksi kusta.
- Walaupun sangat jarang terjadi, beri penjelasan tentang
gejala dan tanda relaps.
- Tetap melaksanakan kegiatan rawat-diri seperti biasanya5.
4.10. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam
1. Cenderung ke dubia ad bonam:
- Diagnosis dini
- Tanpa kerusakan saraf pda saat awal diagnosis
- Pengobatan cepat dan tepat dan adekuat
- Melaksanakan kegiatan perawatan diri.
2. Cenderung ke dubia ad malam:
- Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke kutub
lepromatosa dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit
dan berisiko mengalami reaksi tipe-1 yang akan menyebabkan
kerusakan saraf
35

- Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensasi pada anggota


tubuh dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka atau
luka bakar kecil sampai terjadi infeksi. Luka terutama pada telapak
kaki menimbulkan problematik
- Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan
terjadinya cacat, terutama apabila semua alat gerak dan ke dua
mata terkena
- Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan
kerusakan permanen, walaupun telah diobati dengan steroid
- Tidak melakukan perawatan diri5.
36

4.11. Bagan Alur


Gambar 4.1 Alur penatalaksanaan Kusta

Anda mungkin juga menyukai