Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN KESEHATAN KERJA

PENGUKURAN AUDIOMETRI PADA MAHASISWA HIPERKES DAN


KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SEBELAS MARET

Kelompok III
(Kelas B)
1. Fakhrur Rizky (R0016032)
2. Andita Muliawati (R0016006)
3. Febby Dwiani Putri (R0016036)
4. Galuh Larasati (R0016044)
5. Maya Astri Nur Aini (R0016060)
6. Novita Wahyu K (R0016074)
7. Ullyn Helvy Pravika (R0016096)

PROGRAM STUDI D3 HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2018
PENGESAHAN

Laporan Praktikum Manajemen Kesehatan Kerja dengan Judul :


Pengukuran Audiometri pada Mahasiswa Hiperkes dan Keselamatan Kerja
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Kelompok III

telah disahkan pada :

Hari .........................Tanggal .......................................... 2018

Dosen Pengampu, Pembimbing Praktikum

Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes Indah Ratnasari, A.Md


NIP. 195405051985032001 NIP. 19890929 201404 2 001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Tujuan...................................................................................... 1
C. Manfaat .................................................................................... 1
BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................... 3
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 3
B. Perundang-undangan ................................................................ 18
BAB III HASIL ............................................................................................ 19
A. Gambar Alat, Cara Kerja, dan Prosedur Pengukuran ................ 19
B. Hasil Pengukuran dan Perhitungan ........................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 30
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 33
A. Simpulan .................................................................................. 33
B. Saran ........................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 36
LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendengaran normal adalah dimana telinga dapat mendengar dalam
pembicaraan biasa dan tidak mengalami kesulitan ketika mendengar suara
yang pelan. Pada umumnya manusia dapat mendengar suara dengan interval
20-20000 Hz. Audiologi adalah ilmu pendengaran evaluasi pendengaran dan
rehabilitasi maasalah komunikasi yang berhubungan dengan pendengaran.
Audiometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
kepekaan terhadap pendengaran. Manfaat pengukuran ini adalah untuk
mengetahui tingkat kepekaan pendengaran probandus/pekerja sehingga dapat
dijadikan evaluasi untuk perbaikan lingkungan kerja atau pengendalian bagi
probandus/pekerja apabila terjadi gangguan pendengaran. Gangguan ini biasa
disebut dengan tuli. Tuli yaitu dimana seseorang tidak dapat mendengar suara
pada ambang batas pendengaran normal.
Praktikum pengukuran intensitas pendengaran ini dilakukan dengan
menggunakan audiometri yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai petugas
pemeriksa dan probandus untuk mengetahui keadaan kepekaan telinga normal
atau tidak normal.

B. Tujuan
1. Dapat mengetahui cara pengukuran tingkat pendengaran pada mahasiswa
dengan menggunakan alat Audiometer
2. Dapat mengetahui tingkat kepekaan pekerja menggunakan Audiometer.
3. Dapat melakukan perhitungan tingkat kepekaan pada mahasiswa dengan
menggunakan alat audiometer.

C. Manfaat
1. Manfaat untuk Praktikan
a. Memahami cara pengukuran tingkat pendengaran pada mahasiswa
dengan menggunakan alat Audiometer.

1
2

b. Memahami cara perhitungan tingkat kepekaan pada mahasiswa


dengan menggunakan alat Audiometer.
c. Memahami tingkat kepekaan mahasiswa dengan menggunakan alat
Audiometer.
2. Manfaat untuk Program Studi Diploma III Hiperkes & Keselamatan
Kerja
Praktikum ini dapat memberikan informasi pada pengajar/dosen
dan civitas terkait mengenai hasil tes tingkat kepekaan pendengaran pada
mahasiswa program studi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan kerja.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Audiometri
Audiometri adalah pemeriksaan untuk menentukan jenis dan
derajat ketulian (gangguan dengar). Dengan pemeriksaan ini dapat
ditentukan jenis ketulian yaitu tuli konduktif dan tuli saraf
(sensorineural). Audiometer adalah peralatan elektronik untuk menguji
pendengaran. Audiometer diperlukan untuk mengukur ketajaman
pendengaran, yaitu :
a. Digunakan untuk mengukur ambang pendengaran.
b. Mengindikasikan kehilangan pendengaran.
c. Pembacaan dapat dilakukan secara manual atauotomatis.
d. Mencatat kemampuan pendengaran setiap telinga pada deret
frekuensi yang berbeda.
e. Menghasilkan audiogram (grafik ambang pendengaran untuk
masing-masing telinga pada suatu rentang frekuensi).
f. Pengujian perlu dilakukan di dalam ruangan kedap bunyi namun di
ruang yang heningpun hasilnya memuaskan.
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri.
Alat ini menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui
earphone. Pada setiap frekuensi ditentukan intensitas ambang dan
diplotkan pada sebuah grafik sebagai presentasi dari pendengaran
normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan
gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti
mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja
dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran tetapi juga dapat
dipergunakan untuk menentukan lokasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Audiometer adalah sebuah alat

3
4

yang digunakan untuk mengtahui level pendengaran seseorang. Dengan


bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri maka derajat
ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Tes audiometri
diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan pendengaran
atau seseorang yang akan bekerja pada suatu bidang yang memerlukan
ketajaman pendengaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri, ruang kedap
suara, audiologis, dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang
dilakukan adalah :
a. Audiometri nada murni
Suatu sistem uji pendengaran dengan menggunakan alat
listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari
berbagai frekuensi 250 - 500, 1000 - 2000, 4000 - 8000 dan dapat
diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan
disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga
orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk
mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara dan
hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang sehingga akan
didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara. Dengan
membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis dan derajat
kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata
sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-
29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada
murni.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan
kisaran frekwuensi 20 - 20.000 Hz. Frekuensi dari 500 - 2000 Hz
yang paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari.
Menurut ISO derajat ketulian adalah sebagai berikut :
1) Jika peningkatan ambang dengar antara 0 – < 25 dB, masih
normal.
5

2) Jika peningkatan ambang dengar antara 26 – 40 dB, disebut tuli


ringan.
3) Jika peningkatan ambang dengar antara 41 – 60 dB, disebut tuli
sedang. Jika peningkatan ambang dengar antara 61 – 90 dB,
disebut tuli berat.
4) Jika peningkatan ambang dengar antara > 90 dB, disebut tuli
sangat berat.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang
pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur
dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa
pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari
skala desibel, suara dipresentasikan dengan earphone (air kondution)
dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap
maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang
pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
b. Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran yang
menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan
melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mengukur beberapa
aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir
sama dengan audiometri nada murni, hanya disini sebagai alat uji
pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada
penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh
pemeriksa melalui microphone yang dihubungkan dengan
audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke
telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih
dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru
diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita
diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar, dan
apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena
intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk
6

menebaknya. Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang


ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini
dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah
intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya
adalah presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari
audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan
pendengaran yaitu :
1) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah
kata-kata yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan
benar, yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan
dinyatakan dengan satuan desibel (dB).
2) Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan
tiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang
dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan
pengukuran NDT itu adalah persentasi maksimal kata-kata yang
ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suara berapa saja.
Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada
audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja
pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.
Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar
kata-kata yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi
gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.
Kriteria orang tuli :
1) Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20 - 40 dB.
2) Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40 - 60 dB.
3) Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60 - 80 dB.
4) Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas > 80 dB.
Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi,
apabila seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan
dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang
ada diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar.
7

Prinsipnya semua tes pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus


pada ruang kedap suara minimal sunyi. Karena kita memberikan tes
pada frekuensi tertetu dengan intensitas lemah kalau ada gangguan
suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri tutur,
memang kata-kata tertentu dengan vokal dan konsonan tertentu yang
dipaparkan ke penderita. Intensitas pada pemeriksaan audiometri
bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40 dB dan seterusnya,
bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran
baik. Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja perlu pemeriksaan
telinga : apakah congok atau tidak (ada cairan dalam telinga), apakah
ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga,
untuk menentukan penyebab kurang pendengaran.
2. Tujuan dan Manfaat Audiometri
a. Tujuan Audiometri
1) Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga.
2) Untuk kedokteran klinik Kehakiman, tuntutan ganti rugi.
3) Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ketulian pada
anak-anak.
b. Manfaat Audiometri, ada empat tujuan (Davis, 1978) :
1) Mediagnostik penyakit telinga.
2) Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap
percakapan sehari-hari, atau dengan kata lain validitas sosial
pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat
pembantu mendengar atau pendidikan khusus, ganti rugi
(misalnya dalam bidang kedokteran kehakiman dan asuransi).
3) Skrinig anak balita dan SD.
4) Memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising.
3. Istilah dalam Audiometri
a. Nada murni (pure tone), merupakan bunyi yang hanya
mempunyaisatu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per
detik.
8

b. Bising, merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi,


terdiridari spectrum terbatas (Narrow band), spektrum luas (White
noise).
c. Frekuensi, merupakan nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu
benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion).
Dengan satuannya dalam jumlah getaran per detik dinyatakan dalam
Hertz (Hz).
d. Intensitas bunyi: dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB
HL(hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound
pressurelevel). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subjektif, dan
inilah yang biasanya digunakan pada audiometer.
e. Ambang dengar, merupakan bunyi nada murni yang terlemah
padafrekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
seseorang.Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC)
dan menurutkonduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini
dihubung-hubungkandengan garis, baik AC maupun BC, maka akan
didapatkan audiogram.
f. Nilai nol audiometrik (Audiometric Zone), merupakan dalam dB
HLdan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada
suatufekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga rata-
rata dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi
intensitas nol audiometrik tidak sama. Pada audiogram angka-
angkaintensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi
merupakan kenaikan logaritmik secara pembanding. Terdapat dua
standar yang dipakai adalah ISO (International Standard
Organization) dan ASA (American standard Association). Dengan
nilai berupa : 0dB ISO = -10 dB ASA atau 10dB ISO = 0 dB ASA
g. Notasi audiogram, untuk pemeriksaan audiogram dipakai grafik
AC,yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang
diperiksaantara 125 – 8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan
garisterputus-putus (intensitas yang diperiksa: 250 – 4000 Hz).
9

Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga kanan,
warna merah.
h. Grafik audiogram, garis vertical menandakan frekuensi. 125 Hz pada
garis vertical paling kiri grafik menandakan frekuensi nada rendah.
Semakin ke kanan maka frekuensi nada makin tinggi. Frekuensi
berbicara terdapat pada 500- 3000 Hz. Garis horizontal menyatakan
intensitas suara. 0 dB pada garis paling atas menandakan suara yang
sangat lemah, dan semakin kebawah intensitas bunyi makin tinggi.
Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui ear phone atau melalui
boneconductor ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Hasilnya akan diperiksa secara terpisah, untuk bunyi yang disalurkan
melalui ear phone mengukur ketajaman pendengaran melalui
hantaran udara, sedangkan melalui bone conductor telinga mengukur
hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang. Dengan
membaca audiogram yang dihasilkan kita dapat mengetahui jenis
dan derajat kurang pendengaran seseorang.
4. Pengertian Bising
Kebisingan didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki,
misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik, atau yang
menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup. Bising
dalam kesehatan kerja, bising diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang
pendengaran) maupun secara kualitatif (penyempitan spektrum
pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan
pola waktu.
a. Jenis Kebisingan
Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising dapat dibagi
atas :
1) Bising yang continue dengan spektrum frekuensi yang luas.
Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk
10

periode 0,5 detik berturut-turut. Misalnya mesin, kipas angin,


dan dapur pijar.
2) Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit.
Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai
frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz).
Misalnya gergaji serkuler dan katup gas.
3) Bising terputus-putus (intermitten). Bising disini tidak terjadi
secara terus menerus, melainkan ada metode yang relatif tenang.
Misalnya suara lalu lintas dan kebisingan di lapangan terbang.
4) Bising implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan
suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya
mengejutkan pendengarnya. Misalnya suara ledakan mercon,
tembakan, dan meriam.
5) Bising implusif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya
saja disini terjadi secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.
Berdasarkan pengaruh terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :
1) Bising yang mengganggu (irritating noise). Intensitas tidak
terlalu keras. Misalnya mendengkur.
2) Bising yang menutupi (masking noise). Merupakan bunyi yang
menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi
ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga
kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam
dalam bising sumber lain.
3) Bising yang merusak (damaging/injurious noise) adalah bunyi
yang intensitasnya melampaui NAB. Bunyi jenis ini akan
merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
5. Anatomi Telinga dan Mekanisme Mendengar
a. Telinga terdiri dari 3 bagian utama yaitu:
1) Telinga bagian luar.
Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory
canal), dibatasi oleh membran timpani. Telinga bagian luar
11

berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara


dan menyebabkan membrane timpani bergetar. Semakin tinggi
frekuensi getaran semakin cepat pula membrane timpani
bergetar begitu juga sebaliknya.
2) Telinga bagian tengah.
Terdiri atas osside yaitu tulang kecil (tulang pendengaran
yang halus) Martil – landasan – sanggurdi yang berfungsi
memperbesar getaran dari membran timpani dan meneruskan
getaran yang telah diperbesar ke oval window yang bersifat
fleksibel. Oval window ini terdapat pada ujung dari cochlea.
3) Telinga bagian dalam.
Yang juga disebut cochlea dan berbentuk rumah siput.
Cochlea mengandung cairan, di dalamnya terdapat membran
basiler dan organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang
merupakan reseptor pendengaran. Getaran dari oval window
akan diteruskan oleh cairan cochlea, menghantarkan membran
basiler. Getaran ini merupakan impuls bagi organ corti yang
selanjutnya diteruskan ke otak melalui syaraf pendengaran
(nervuscochlearis).
b. Mekanisme Pendengaran
Suara ditangkap daun telinga dan dialirkan melalui saluran
telinga. Getaran suara ditangkap gendang telinga dan diteruskan ke
telinga tengah. Getaran diteruskan oleh tulang – tulang sanggurdi ke
jendela rumah siput. Getaran memenuhi rumah siput sehingga dapat
ditangkap oleh sel – sel saraf, sel – sel saraf rambut getar di rumah
siput menghantarkan sinyal listrik akibat getarannya ke saraf
pendengaran, saraf pendengaran menghantarkan sinyal listrik ke
otak, otak menerjemahkan sinyal listrik sebagai sensasi bunyi.
c. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran yaitu perubahan pada tingkat
pendengaran yang berakibat kesulitan dalam melaksanakan
12

kehidupan normal, biasanya dalam memahami pembicaraan. Secara


kasar gradasi gangguan pendengaran karena bising itu sendiri dapat
ditentukan menggunakan parameter percakapan sehari-hari sebagai
berikut:
1) Normal yaitu tidak mengalami kesulitan dalam percakapan biasa
(6m).
2) Sedang yaitu kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai jarak
> 1,5 m.
3) Menengah yaitu kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari
mulai jarak > 1,5 m.
4) Berat yaitu kesulitan dalam percakapan keras/berteriak pada
jarak > 1,5 m.
5) Sangat berat yaitu kesulitan dalam percakapan keras/berteriak
pada jarak < 1,5 m.
6) Tuli total yaitu kehilangan kemampuan pendengaran dalam
berkomunikasi.
Gangguan pendengaran akibat bising atau yang biasa disebut
tuli akibat kerja adalah gangguan pendengaran parsial atau total pada
satu atau kedua telinga yang didapat di tempat kerja. Termasuk
dalam hal ini adalah trauma akustik dan tuli akibat kerja karena
terpajan bising.
Trauma akustik adalah gangguan pendengaran yang terjadi
akibat terpajan oleh satu/beberapa kali suara keras yang mendadak,
biasanya dalam bentuk ledakan atau akibat trauma langsung pada
kepala/telinga. Trauma ini dapat mengenai satu atau kedua telinga,
dan dapat merupakan tuli kondusif atau sensorik.
Tuli akibat terpajan bising atau yang sering kali disebut
gangguan pendengaran permanen kumulatif, selalu merupakan tuli
sensorik yang diakibatkan pajanan bising terus menerus selama
jangka waktu yang panjang, biasanya beberapa tahun dan hampir
selalu mengenai keduanya.
13

Berbeda dengan tuli konduktif yang merupakan gejala klinis


akibat gangguan sekunder di liang telinga tengah/liang telinga luar
dan biasanya bersifat sementara. Tuli sensorik merupakan penyakit
primer yang menyebabkan kecacatan, akibat terjadinya gangguan
organ di liang telinga dalam seperti koklea dan/atau di sistem
persarafan telinga lainnya.
Pada tahap awal pajanan bising, terjadi edema striae
vaskularis membrane basiler koklea, yang menyebabkan kacaunya
susunan streriosilia sel-sel rambut dan berkurang kekakuannya.
Dalam kondisi demikian terjadi gangguan pendengaran sementara,
terutama pada frekuensi yang lebih tinggi. Gangguan ini disebut
Temporary Threshold Shifts (TTS). Setelah 14 jam, bila tidak lagi
terjadi pajanan bising, streolisia sel-sel rambut koklea menjadi
normal.
Namun, pajanan yang berulang terus menerus akan membuat
komponen organ ini menjadi rusak, tidak dapat diperbaiki dan tidak
dapat beregenerasi lagi sehingga mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran yang permanen. Gangguan ini disebut
Permanent Treshold Shift (PTS) atau tuli akibat terpajan bising.
d. Derajat Gangguan Pendengaran
World Health Organization atau WHO mengklasifikasikan
derajat gangguan pendengaran menjadi 5 yaitu derajat 0-4 yang
menggambarkan dari tidak adanya gangguan pendengaran sampai
adanya gangguan pendengaran sangat berat yang ditunjukkan pada
tabel 1. Nilai ambang dengar ditentukan berdasarkan hasil rata-rata
ambang dengar frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz pada
pemeriksaaan audiometri.
American Speech Language Hearing Association atau ASHA
juga menetapkan derajat gangguan pendengaran yang dapat
digunakan untuk program skrining anak usia sekolah yang beresiko
mengalami gangguan pendengaran akibat berbagai faktor
14

predisposisi. Adanya gangguan pendengaran pada anak usia sekolah


akan dapat berpengaruh terhadap pendidikan, kesehatan serta
komunikasi. ASHA menetapkan kriteria gangguan pendengaran
derajat sangat ringan sampai derajat sangat berat dengan derajat
gangguan pendengaran sangat ringan merupakan nilai ambang
dengar 16-25 dB seperti ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 1. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan WHO
1991
Audiometri
Derajat gangguan Deskripsi
rata-rata dari 500,
pendengaran gangguan
1000, 2000, 4000 Hz
Tidak ada atau ada
gangguan sangat
0 tidak ada gangguan 25 dB atau kurang
ringan, dapat
mendengar bisikan
Dapat mendengar
atau mengulang
kata-kata dengan
1 gangguan ringan 26-40 dB
suara normal yang
diucapkan dari
jarak 1 meter
Dapat mendengar
atau mengulang
kata-kata dengan
2 gangguan sedang 41-60 dB
suara keras yang
diucapkan dari
jarak 1 meter
Dapat mendengar
kata-kata yang
3 gangguan berat 61-80 dB diteriakkan pada
telinga yang lebih
baik
Tidak dapat
mendengar atau
gangguan sangat berat
4 81 dB atau lebih mengerti kata-kata
atau tuli
walaupun telah
diteriakkan
15

Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan ASHA


1981
Derajat gangguan Audiometri
pendengaran rata-rata dari 500, 1000, 2000, 4000 Hz
Normal (-)10 – 15
Sangat ringan 16 – 25
Ringan 26 – 40
Sedang 41 – 55
Sedang - berat 56 – 70
Berat 71 – 90
Sangat berat >90

6. Diagnosis tuli akibat kerja


a. Anamnesis
1) Riwayat Pekerjaan
Hal yang harus ditanyakan ketika melakukan pemeriksaan
kasus tuli akibat kerja adalah peristiwa yang terjadi di tempat
kerja pada saat awal terganggu pendengarannya. Untuk
memperjelas progresivitas gangguan pendengaran, dibutuhkan
hasil-hasil audiogran yang pernah dilaksanakan. Seluruh riwayat
pekerjaan pekerja perlu ditanyakan pula secara mendetail,
termasuk berbagai faktor yang dirasakan memperberat gangguan
pendengarannya, seperti jabatan, jenis tugas yang dilaksanakan
dan lama kerja.
Gangguan pendengaran umumnya terjadi setelah pajanan
bising lebih dari 5 tahun, progresivitas berkurang bila pajanan
bising dihentikan, dan menjadi permanen bila terpajan terus
menenerus selama lebih dari 10 tahun. Hal ini bergantung pada
lamanya pajanan pada tiap tahapan tugas per hari kerja dan
umur pada masa masing-masing aktivitas kerja. Walaupun tanpa
pajanan bising, gangguan pendengaran bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur (presbikusis). Oleh karena itu, selain
beratnya ganggguan pendengaran akibat bertambahnya umur,
16

juga yang diakibatkan pajanan bising di tempat kerja, harus


mempertimbangkan. Hal – hal lain yang perlu ditanyakan
meliputi : lokasi fisik di tempat kerja, produk yang dihasilkan,
jenis pelayanan tugas kerja, kondisi alat pelindung diri yang
digunakan, frekuensi, dan lama penggunaannya selama bertugas,
intensitas bising di tempat kerja, serta jenis bising (spectrum
frekuensi). Untuk terjadinya gangguan pendengaran, bising
dengan frekuensi yang lebih dari 500 Hz mempunyai potensi
ynag lebih besar dibandingkan dengan bising dengan frekuensi
yang lebih rendah. Juga perlu ditanyakan suasana sekeliling
sumber bising, jarak keterpajanan dari sumber bising, dan posisi
telinga dari sumber bising pada saat bekerja.
2) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga perlu diketahui untuk menyingkirkan
adanya gangguan pendengaran akibat faktor keturunan.
3) Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Beberapa penyakit yang pernah diderita sejak dalam
kandungan perlu ditanyakan, karena penyakit tersebut dapat
menyebabkan gangguan pendengaran sebelum terpajan bising di
tempat kerja, seperti :
a) Infeksi Intrauterine
b) Kelahiran Premature
c) Hipoksia Prenatal
d) Hiperbilirubinemia Perinatal
e) Meningitis
f) Kelainan konginetal pada telinga, kepala atau leher
g) Benturan keras pada kepala atau telinga
4) Penggunaan Obat atau Keracunan Obat-obatan
Penggunaan obat atau keracunan obat ototoksik, seperti :
a) Aminoglikosida (streptosimin, kanamisin, gentamisin)
b) Cisplatin
17

c) Lasix
d) Aspirin
e) Toluenea
f) CO
g) Karbon disulfida
5) Hobi
Beberapa aktivitas di luar tenpat kerja dapat menyebabkan
gangguan pendengaran, seperti :
a) Membuat kerajinan dari bahan baku kayu atau logam
b) Reparasi otomotif
c) Balap motor/mobil
d) Menembak
e) Musik keras
f) Mengemudi traktor, dll
6) Pemeriksaan fisik
Selama anamnesis dapat diamati bahwa seseorang dengan
tuli sensorik yang ringan sampai menengah biasanya berbicara
dengan suara yang keras sebaliknya seseorang dengan tuli
konduktif biasanya berbicara dengan suara yang halus.
Tanda dini gangguan pendengaran yang lain juga perlu
diamati seperti :
a) Pada tuli sensorik, gangguan pendengaran terutama pada
bunyi dengan frekuensi tinggi, sehingga biasanya
mengalami kesulitan mendengar kata – kata dengan huruf
konsonan yang berdesis seperti S, F, SH, CH, C. Seseorang
dengan tuli sensorik sering kali mengeluhkan bahwa lawan
bicara tidak berbicara dengan jelas, terutama bila lawan
bicaranya wanita atau anak-anak.
b) Terjadi perubahan perilaku berkomunikasi, misalnya
membutuhkan jarak yang dekat dengan lawan bicara atau
harus melihat mulut lawan bicara.
18

c) Mendapat kesukaran untuk mendengar kata-kata yang


diucapkan pada lingkungan yang bising.
d) Pembicaraan melalui telepon biasanya tidak terganggu,
karena umumnya bunyi pada telepon menggunakan
frekuensi kurang dari 3000 Hz.
e) Terasa ada bunyi mendenging di telinga (tinnitus).
Pemeriksaaan THT yang seksama perlu dilaksanakan.
Fokus infeksi di teliga jelas dapat mengakibatkan gangguan
pendengaran.
B. Perundang-Undangan
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER..01/MEN/1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
2. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 Tentang Perubahan
Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan
Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.01/MEN/1980 Tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
BAB III
HASIL

A. Gambar Alat, Cara Kerja, Prosedur Pengukuran


1. Gambar Alat

19
20

Bagian-bagian alat dan fungsinya :


a. Pressure berfungsi untuk melihat panah pada titik angka saat
dilakukan pengukuran.
b. Pump berfungsi untuk menentukan arah panah pada angka saat
pengukuran.
c. Power berfungsi untuk mengetahui alat telah nyalah atau belum.
d. Sensitivity berfungsi untuk ON/OFF alat.
e. Tone berfungsi untuk memberikan suara saat pengukuran
berlangsung.
f. Frekuensi berfungsi untuk menentukan berapa besar frekuensi saat
pengukuran.
g. Intensitas dB berfungsi untuk menentukan berapa besar intensitas
saat pengukuran.

2. Cara Kerja
a. Hidupkan alat dengan memutar sensitivity sampai lampu power
menyala.
b. Periksa telinga kanan dulu, earphone merah disebelah kanan.
c. Tentukan frekuensi dari 500, 1000, 2000, 4000 dan intensitas dB dari
50 dB sampai 10 dB.
d. Setelah menentukan frekuensi dan intensitas desible pencet tombol
tone untuk mengukur tingkat pendengaran.
e. Dalam tiap-tiap frekuensi dan intensitas dB diukur 3 kali.
f. Setelah selesai pengukuran telinga kanan earphone di pindah ke
telinga kiri (earphone merah disebelah kiri).
g. Lakukan sama dengan pengukuran telinga kanan.
h. Setelah selesai matikan alat dengan memutar tombol sensitivity dan
lampu power mati.

3. Prosedur Pengukuran
a. Tahap Persiapan
1) Persiapan tenaga kerja yang akan diperiksa :
21

a) Hindari paparan bising (termasuk music) selama 16 jam


sebelum dilakukan pemeriksaan.
b) Lakukan pemeriksaan telinga luar apakah ada sumbatan
(contoh : serumen). Bila terdapat sumbatan harus
dibersihkan terlebih dahulu (konsultasikan ke dokter THT
c) Ditanyakan apakah ada gangguan pendengaran dan adakah
perbedaan kemampuan mendengar pada kedua telinga
d) Duduk dalam ruangan kedap suara (≤ 40 dB) atau duduk
dalam ruangan tenang (≤ 40 dB) menghadap ke arah yang
berlawanan dengan operator.
2) Persiapan peralatan dan bahan
a) Audiometri set telah terkalibrasi
b) Tersedianya audiogram dalam jumlah yang cukup (sesuai
dengan jumlah tenaga kerja yang akan diperiksa)
c) Tersedianya alat tulis (spidol merah dan biru)
d) Tersedianya sumber listrik untuk peralatan audiometri
3) Persiapan metode
a) Tersedianya SOP (standar Operational Prosedur)
b) Tersedianya data audiogram dasar (baseline data)
b. Tahap Pelaksanaan
1) Berikan instruksi kepada orang yang diperiksa untuk
memberikan respon dengan menekan tombol respon atau
mengangkat tangan setiap mendengar nada melalui earphone.
2) Tempatkan earphone sesuai dengan liang telinga (warna merah
pada telinga kanan dan warna biru pada telinga kiri).
3) Hidupkan alat dengan menekan tombol ON/power
4) Dahulukan telinga yanglebih baik pendengarannya atau telinga
kanan (tekan tombol nada warna merah untuk memeriksa
telinga kanan)
5) Mulai pemeriksaan di frekuensi 1000 Hz dengan
menekan/memutar tombol frekuensi sesuai dengan 1000Hz.
22

6) Tekan tombol nada mulai 0 dB dan tingkatkan intensitas secara


bertahap dengan menekan/memutar tombol tombol intensitas,
lepaskan tombol nada bila terdapat respon
7) Turunkan intensitas 10 dB lebih rendah dan berikan nada
pendek (1 detik penekanan tombol nada)
8) Jika terdapat respon, ulangi prosedur diatas sehingga orang
yang diperiksa tidak memberikan respon
9) Tingkatkan intensitas 5 dB lebih tinggi dan berikan nada
pendek (tiga) kali
10) Jika terdapat 1 respon, ulangi prosedur diatas sehingga orang
yang diperiksa memberikan 2 respon dari 3 nada pendek yang
diberikan
11) Turunkan intensitas 5 dB lebih rendah dan berikan nada
pendek (tiga) kali
12) Tingkat intensitas terendah yang memberikan 2 respon dari 3
nada pendek yang diberikan diambil sebagai tingkat ambang
dengar
13) Catat tingkat ambang dengar pada audiogram dengan spidol
(tanda lingkaran merah untuk telinga kanan, tanda silang biru
untuk telinga kiri)
14) Periksa tingkat ambang dengar pada frekuensi 2000, 3000,
4000, 6000 Hz dengan prosedur yang sama, kemudian ulangi
pemeriksaan pada frekuensi 1000 Hz
15) Pemeriksaan ulang pada frekuensi 1000 Hz harus memberikan
tingkat ambang dengar yang sama. Jika tidak, harus dilakukan
pemeriksaan ulang
16) Periksa tingkat ambang dengar pada frekuensi 500 Hz dengan
prosedur yang sama
17) Periksa telinga sebelahnya dengan prosedur yang sama
23

18) Lepaskan earphone. Jika ditemukan kelainan pendengaran,


harus dilakukan pemeriksaan ulang dan catat tingkat ambang
dengar rata-rata di audiogram
B. Hasil Praktikum dan Perhitungan
1. Hasil Pengukuran
Praktikum Pengukuran Audiometri dilakuakan pada,
Hari, Tanggal : Senin, 23 April 2018
Tempat : Laboratorium Hiperkes dan Gedung C FK UNS
Waktu : 09.30 – 11.00 WIB
Kelompok/ Kelas : III/ B
Hasil Nama Probandus
No
Pengukuran Febby Galuh Maya Novita Ullyn
1. Umur 20 21 20 21 21
2. L/P P P P P P
500 25 25 30 25 25
Telinga 1000 20 20 25 20 25
3.
Kanan 2000 10 10 15 10 20
4000 10 15 10 10 15
4. Rata-rata 16,25 17,5 20 16,25 21,25
Kebisingan
5. 44 dB 44 dB 45 dB 46 dB 46 dB
Lingkungan
500 25 25 25 25 30
Telinga 1000 20 20 25 20 25
6.
Kiri 2000 10 15 15 10 15
4000 10 10 10 15 20
7. Rata-rata 16,25 17,5 18,75 17,5 22,5
Kebisingan
8. 45 dB 45 dB 46 dB 45 dB 45 dB
Lingkungan
9. Keterangan Normal Normal Normal Normal Normal
10. Operator Maya Ullyn Febby Ullyn Galuh
24

2. Hasil perhitungan
a. Febby Dwiani P
1) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  20  10  10

4
65

4
 16,25 dB  Normal
2) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  20  10  10

4
65

4
 16,25 dB  Normal
3) Penentuan Tingkat Kecacatan
a) Ketulian monaural
(1) Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata dikurangi 25
dB :
(a) Telinga kanan : 16,25 – 25 = - 8,75 dB
(b) Telinga kiri : 16,25 – 25 = - 8,75 dB
(2) Konvensi Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata
dengan mengalikan 1,5 % :
(a) Telinga kanan : - 8,75  1,5% = -13,1 %
(b) Telinga kiri : - 8,75  1,5% = -13,1 %
b) Ketulian binaural
(1) Telinga kanan (lebih baik) : -13,1 %  5 = -65,5 %
(2) Telinga kiri (lebih buruk) : -13,1 %  1 = -13,1 %
25

 65,5%  (13,1%)
Jumlah 
6
 -13,1 %  Normal, tidak mengalami kecacatan
b. Galuh Larasati
1) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  20  10  15

4
70

4
 17,5 dB  Normal
2) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  20  15  10

4
70

4
 17,5 dB  Normal
3) Penentuan Tingkat Kecacatan
a) Ketulian monaural
(1) Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata dikurangi 25
dB :
(a) Telinga kanan : 17,5 – 25 = - 7,5 dB
(b) Telinga kiri : 17,5 – 25 = - 7,5 dB
(2) Konvensi Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata
dengan mengalikan 1,5 % :
(a) Telinga kanan : - 7,5  1,5% = -11,25 %
(b) Telinga kiri : - 7,5  1,5% = -11,25 %
b) Ketulian binaural
(1) Telinga kanan (lebih baik) : -11,25%  5 = -56,25 %
26

(2) Telinga kiri (lebih buruk) : -11,25%  1 = -11,25%


 56,25%  (11,25%)
Jumlah 
6
 -11,25%  Normal, tidak mengalami kecacatan
c. Maya Astri N.A
1) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
30  25  15  10

4
80

4
 20 dB  Normal
2) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  25  15  10

4
75

4
 18,75 dB  Normal
3) Penentuan Tingkat Kecacatan
a) Ketulian monaural
(1) Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata dikurangi 25
dB :
(a) Telinga kanan : 20 – 25 = -5 dB
(b) Telinga kiri : 18,75 – 25 = - 6,25 dB
(2) Konvensi Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata
dengan mengalikan 1,5 % :
(a) Telinga kanan : - 5  1,5% = -7,5 %
(b) Telinga kiri : - 6,25  1,5% = -9,37 %
27

b) Ketulian binaural
(1) Telinga kanan (lebih buruk) : -7,5 %  1 = -7,5%
(2) Telinga kiri (lebih baik) : -9,37 %  5 = -46,85 %
 7,5%  (46,85%)
Jumlah 
6
 -78,6 %  Normal, tidak mengalami kecacatan
d. Novita Wahyu Kusumastuti
1) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  20  10  10

4
65

4
 16,25 dB  Normal
2) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  20  10  15

4
70

4
 17,5 dB  Normal
3) Penentuan Tingkat Kecacatan
a) Ketulian monaural
(1) Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata dikurangi 25
dB :
(a) Telinga kanan : 16,25 – 25 = - 8,75 dB
(b) Telinga kiri : 17,5 – 25 = - 7,5 dB
(2) Konvensi Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata
dengan mengalikan 1,5 % :
(a) Telinga kanan : - 8,75  1,5% = -13,1 %
28

(b) Telinga kiri : - 17,5  1,5% = -11,25 %


b) Ketulian binaural
(1) Telinga kanan (lebih baik) : -13,1 %  5 = -65,5 %
(2) Telinga kiri (lebih buruk) : -11,25 %  1 = -11,25 %
 65,5%  (11,25%)
Jumlah 
6
 -12,79 %  Normal, tidak mengalami kecacatan
e. Ullyn Helvy P
1) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
25  25  20  15

4
85

4
 21,25 dB  Normal
2) Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri :
Ambang Dengar Frekuensi(500 Hz  1000 Hz  2000 Hz  4000 Hz)

n
30  25  15  20

4
90

4
 22,5 dB  Normal
3) Penentuan Tingkat Kecacatan
a) Ketulian monaural
(1) Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata dikurangi 25
dB :
(a) Telinga kanan : 21,25 – 25 = - 3,75 dB
(b) Telinga kiri : 22,5 – 25 = - 2,5 dB
(2) Konvensi Hearing Threshold Level (HTL) rata-rata
dengan mengalikan 1,5 % :
29

(a) Telinga kanan : - 3,75  1,5% = -5,62 %


(b) Telinga kiri : - 2,5  1,5% = -3,75 %
b) Ketulian binaural
(1) Telinga kanan (lebih baik) : -5,62 %  5 = -28,1 %
(2) Telinga kiri (lebih buruk) : -3,75 %  1 = -3,75 %
 28,1%  (3,75%)
Jumlah 
6
 -5,35 %  Normal, tidak mengalami kecacatan
BAB IV
PEMBAHASAN

Senin, 23 April 2018 kelompok III kelas B melakukan kegiatan


praktikum pengukuran Tingkat Pendengaran pada mahasiswa D3 Hiperkes dan
keselamatan kerja. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat
“Audiometri” dimana data diperoleh berdasarkan data intensitas dari frekuensi
yang ditentukan.
Pengukuran dengan menggunakan alat “Audiometri” ini dilakukan
karena alat memiliki kelebihan seperti penggunaanya yang mudah dan tidak
membutuhkan waktu lama. Selain itu juga dapat melihat tingkat pendengaran
subyek pada waktu di tempat kerja. Akan tetapi alat ini juga memiliki kekurangan
yaitu pengukuran tingkat pendengaran mengharuskan pemeriksaan dilakukan
sebanyak 4x di telinga kanan, dan 4x di telingan kiri dengan frekuensi yang
berbeda-beda dan pengukuran kebisingan lingkungan telinga kanan dan telinga
kiri.
Pengukuran tingkat pendengaran yang dilakukan pada 5 probandus
berasal dari anggota kelompok III kelas B terhadap 5 mahasiswa diperoleh data
sebagai berikut :
1. Febby Dwiani Putri berumur 20 tahun, hasil pengukuran sebagai berikut :

Telinga Kebisingan Lingkungan Rata-rata


Telinga Kanan 44 dB 16,25 dB
Telinga Kiri 45 dB 16,25 dB

Maka keterangan hasil pengukuran pada kedua telinga menunjukan


bahwa masih dalam taraf “ Normal ” karena nilai ambang batas tidak
melebihi dari 25 dB. Selanjutnya Penentuan Tingkat Kecacatan dengan
indicator Ketulian binaural menunjukkan hasil  -13,1 % , dimana termasuk
kategori “Normal” dan tidak mengalami kecacatan.

30
31

2. Galuh Larasati berumur 21 tahun, hasil pengukuran sebagai berikut :

Telinga Kebisingan Lingkungan Rata-rata


Telinga Kanan 44 dB 17,5 dB
Telinga Kiri 45 dB 17,5 dB

Maka keterangan hasil pengukuran pada kedua telinga menunjukan


bahwa masih dalam taraf “ Normal ” karena nilai ambang batas tidak
melebihi dari 25 dB. Selanjutnya Penentuan Tingkat Kecacatan dengan
indicator Ketulian binaural menunjukkan hasil  -11,25% , dimana termasuk
kategori “Normal” dan tidak mengalami kecacatan.
3. Maya Astri berumur 20 tahun, hasil pengukuran sebagai berikut :

Telinga Kebisingan Lingkungan Rata-rata


Telinga Kanan 45 dB 20 dB
Telinga Kiri 46 dB 18,75 dB

Maka keterangan hasil pengukuran pada kedua telinga menunjukan


bahwa masih dalam taraf “ Normal ” karena nilai ambang batas tidak
melebihi dari 25 dB. Selanjutnya Penentuan Tingkat Kecacatan dengan
indicator Ketulian binaural menunjukkan hasil  -78,6 % , dimana termasuk
kategori “Normal” dan tidak mengalami kecacatan.
4. Novita Wahyu Kusumastuti berumur 21 tahun, hasil pengukuran sebagai
berikut :

Telinga Kebisingan Lingkungan Rata-rata


Telinga Kanan 46 dB 16,25 dB
Telinga Kiri 45 dB 17,5 dB

Maka keterangan hasil pengukuran pada kedua telinga menunjukan


bahwa masih dalam taraf “ Normal ” karena nilai ambang batas tidak
melebihi dari 25 dB. Selanjutnya Penentuan Tingkat Kecacatan dengan
indicator Ketulian binaural menunjukkan hasil  -12,79 % , dimana termasuk
kategori “Normal” dan tidak mengalami kecacatan.
32

5. Ullyn Helvi berumur 21 tahun, hasil pengukuran sebagai berikut :

Telinga Kebisingan Lingkungan Rata-rata


Telinga Kanan 46 dB 16,25 dB
Telinga Kiri 45 dB 16,25 dB

Maka keterangan hasil pengukuran pada kedua telinga menunjukan


bahwa masih dalam taraf “ Normal ” karena nilai ambang batas tidak
melebihi dari 25 dB. Selanjutnya Penentuan Tingkat Kecacatan dengan
indicator Ketulian binaural menunjukkan hasil  -5,35 % , dimana termasuk
kategori “Normal” dan tidak mengalami kecacatan.
Berdasarkan data hasil pengukuran dapat disimpulkan bahwa ke-5
probandus memiliki tingkat pendengaran dengan kategori “Telinga Normal”. Hal
ini dapat disebabkan karena probandus yang diukur adalah mahasiswa dimana
kegiatan setiap harinya tidak bersinggungan dengan bising, sehingga hasil
pengukuran menunjukkan tingkat kenormalan. Selain itu ruangan yang digunaka
untuk melakukan pengukuran dalam keadaan yang hening , sehingga probandus
dapat mendengar suara dari alat dengan penuh konsentrasi. Usia probandus yang
masih muda mempengaruhi organ tubuh seperti telinga yang dapat berfungsi
secara optimal.
Pengendalian yang dapat dilakukan untuk mahasiswa adalah mengatur
waktu penggunaan headseat sehingga tidak mempengaruhi fungsi telinga ,
menjaga kesehatan telinga , tidak melakukan hal – hal yang berbahaya
menyangkut fungsi fisologis telinga seperti memasang tindik , mengubah bentuk
telinga , dan mengurangi paparan bising yang diterima.
Pengendalian yang dapat dilakukan untuk pekerja adalah dengan
mengatur shift kerja , mewajibkan penggunaan alat pelindung diri (APD) berupa
ear plud atau ear muff pada temoat kerja yang menghasilkan bising , melakukan
monitoring pada tingkat kebisingan di tempat kerja agar tidak melebihi nilai
ambang batas dan melakukan pemeriksaan kesehatan.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
1. Cara pengukuran tingkat pendengaran pada mahasiswa dengan
menggunakan alat Audiometer yaitu :
a. Hidupkan alat dengan memutar sensitivity sampai lampu power
menyala.
b. Periksa telinga kanan dulu, earphone merah disebelah kanan.
c. Tentukan frekuensi dari 500, 1000, 2000, 4000 dan intensitas dB dari
50 dB sampai 10 dB.
d. Setelah menentukan frekuensi dan intensitas desible pencet tombol
tone untuk mengukur tingkat pendengaran.
e. Dalam tiap-tiap frekuensi dan intensitas dB diukur 3 kali.
f. Setelah selesai pengukuran telinga kanan earphone di pindah ke
telinga kiri (earphone merah disebelah kiri).
g. Lakukan sama dengan pengukuran telinga kanan.
h. Setelah selesai matikan alat dengan memutar tombol sensitivity dan
lampu power mati.
2. Tingkat kepekaan pekerja yang diukur menggunakan Audiometer, dapat
digolomgkan menjadi 4 golongan ketulian yaitu :
a. Tuli Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20 - 40 dB.
b. Tuli Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40 - 60 dB.
c. Tuli Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60 - 80 dB.
d. Tuli Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas > 80 dB.
3. Perhitungan tingkat kepekaan pada mahasiswa yaitu dengan :
a. Perhitungan Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan
b. Perhitungan Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri
c. Penentuan Tingkat Kecacatan

33
34

Dari hasil perhitungan 5 Mahasiswa didapatkan hasil :


1) Perhitungan Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kanan :

No Nama Probandus Rata-rata


1. Febby Dwiani P 16,25 dB
2. Galuh Larasati 17,5 dB
3. Maya Astri Nur Aini 20 dB
4. Novita Wahyu K 16,25 dB
5. Ullyn Helvy Pravika 21,25 dB

2) Perhitungan Rata-Rata Ambang Dengar pada Telinga Kiri :

No Nama Probandus Rata-rata


1. Febby Dwiani P 16,25 dB
2. Galuh Larasati 17,5 dB
3. Maya Astri Nur Aini 18,75 dB
4. Novita Wahyu K 17,5 dB
5. Ullyn Helvy Pravika 22,5 dB

3) Penentuan Tingkat Kecacatan


Seluruh mahasiswa yang diukur “normal” atau tidak
mengalami ketulian

B. Saran
1. Saran untuk Praktikan
a. Mahasiswa harus mengatur waktu penggunaan headseat sehingga
tidak mempengaruhi fungsi telinga , menjaga kesehatan telinga ,
tidak melakukan hal – hal yang berbahaya menyangkut fungsi
fisologis telinga seperti memasang tindik , mengubah bentuk telinga
, dan mengurangi paparan bising yang diterima.
b. Pada saat pengukuran pastikan audiometer dan Noise Dosimeter
dalam kondisi baik
c. Saat pengukuran kebisingan lingkungan max 20 dB
35

d. Mahasiswa focus pada bunyi bukan pada praktikan yang memencet


tombol audiometri.
e. Pastikan mahasiswa dalam kondisi yang baik dan tidak ada yang
menutupi alat pendengaran.
2. Saran untuk Program Studi Diploma III Hiperkes & Keselamatan Kerja
a. Pastikan alat audiometri dalam kondisi baik dan tidak ada kerusakan
baik headset sekalipun.
b. Menyediakan ruangan kedap suara untuk pengukuran agar
kebisingan lingkungan tidak melebihi ambang batas.
c. Pada saat praktikum didampingi oleh asisten maupun dosen untuk
meminimalisir kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA

Clark, J. G. Type, Degree, and Configuration of Hearing Loss. ASHA . 2011 ;


7976-16
dkk,. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja, danProduktivitas.
Surakarta : UNIBA PRESS.
Espina C. Children and noise. WHO Training Package for The Health Sector.
World Health organization.
Mathers C, Smith A, Concha M. Global Burden of hearing loss in the year 2000.
Geneva: World Health Organization; 2000.p. 1-30
Moller AR. Noise-Induced Hearing Loss. In : Moller AR editor. Hearing:
Anatomy, Physiology, and Disorders of The Auditory System 2nd ed.
London : Elsevier ; 2006.p. 220-5.
Permana, Budi. 2007. Inspeksi Kecelakaan Kerja. Surakarta : CV. Maju Mundur.
pp: 20-15
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.
Suma’mur. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT. Toko
Gunung Agung.
Suma’mur. 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : CV
Haji Masagung. p : 10
Tim Penyusun. 2018. Buku Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Kerja
Semester IV. Surakarta : Program D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja
UNS.
Wulandari, Ratna. 2014. Makalah tentang Kebisingan. Semarang : Universitas
Negeri Semarang.

36
LAMPIRAN

Alat ukur ketulian “Audiometer”

Kegiatan Pengukuran

Headseat , alat penunjuk dengar dan


Sound Level Meter
Kegiatan pengambilan data

Sound Level Meter untuk mengukur Operator sedang mengoperasikan


kebisingan lingkungan saat alat
pengambilan data

37

Anda mungkin juga menyukai