Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PORTOFOLIO

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun oleh:

dr. Lillian Elaine

Pembimbing:

dr. Anggayasti, SpA, M.Kes

dr. Binti Ratna Khomsiyatin

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD KABUPATEN KEDIRI

2017
BAB I

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS
Nama : By. Ny. S.
Jenis kelamin : Laki-laki
Nomor Rekam Medis : 108595
Tanggal lahir : 14 Desember 2017
Alamat : Benowo, Kepung
Tanggal masuk : 14 Desember 2017
Nama Ayah : Tn. S
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Sopir
Nama Ibu : Ny. S
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kuning sejak 7 hari setelah lahir

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien sesak setelah lahir dan langsung dimasukkan ke ruang rawat perinatologi.7 hari
setelah dirawat, timbul kuning. Pasien mendapatkan ASI melalui selang sejak usia 3 hari.

Riwayat Kehamilan
Ibu pasien berumur 33 tahun saat hamil. Selama kehamilan, pasien rutin kontrol kandungan
ke bidan satu kali perbulan. Ibu pasien dua kali mengandung dengan riwayat kelahiran
spontan. Pasien melahirkan saat usia kandungan 31 minggu. Cairan ketuban merembes sejak
4 hari sebelum akhirnya dibawa ke RS, warna jernih. Ibu pasien tidak memiliki riwayat
diabetes mellitus, hipertensi, asma, hepatitis. Tekanan darah selama kehamilan dalam batas
normal.
HPHT : 4-5-2017

2
HPL : 11-2-2018
Status Ginekologi : G2P1A0, masa kehamilan 31 minggu.
Golongan darah : B+

Riwayat Kelahiran
Kelahiran tunggal, spontan, pada usia kandungan 31 minggu. Skor Apgar menit pertama 6
dan menit kedua 8. Berat badan lahir 1600 gram dengan panjang badan 41 cm. Bayi tidak
langsung menangis, bayi kemudian dikeringkan, dihangatkan, dihisap lendir, dilakukan gosok
punggung dan diberi oksigenasi, bayi kemudian menangis, dan dilakukan perawatan suportif.
Bayi tidak tampak sianosis dengan diberikannya bantuan oksigen, terdapat retraksi ringan.
Tidak tampak kuning. Tidak ada muntah, tidak kembung.

Riwayat Pasca Kelahiran


Pasien sudah diberikan vitamin K 1 mg IM.

Riwayat Imunisasi
Pasien belum mendapatkan imunisasi.

Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak kedua dari kehamilan kedua. Tidak ada riwayat kuning maupun
penggunaan fototerapi pada saudara kandung pasien saat lahir.

PEMERIKSAAN FISIK
23 Desember 2017 (Postnatal)
Tanda Vital
Kesadaran : compos mentis, tampak aktif
DJ : 150 x/menit
Suhu : 36.7°C
RR : 48 x/menit, napas cuping hidung (-), retraksi subcostae (+)
Antropometri
Panjang badan : 41 cm
Berat badan lahir : 1600 g
Lingkar kepala : 31 cm
Lingkar dada : 29 cm
3
Lingkar perut : 29 cm
Lingkar lengan atas : 8 cm

Pemeriksaan per Sistem


Kepala : ubun-ubun besar datar, deformitas (-)
Rambut : hitam
Kulit : kekuningan
Mata : simetris, tidak ada discharge,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : simetris, bentuk normal
Hidung : napas cuping hidung (-), tidak ada sekret
Leher : dalam batas normal
Jantung : DJ 150x/menit, bunyi jantung S1 S2 normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : pergerakan dinding dada simetris, retraksi dada intercostae (+),
suara dasar vesikuler (+/+),tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Abdomen : datar, supel, hati serta limpa tidak teraba, tidak ada asites
Genitalia : laki-laki, tampak skrotum, testis belum teraba
Anus : ada
Ekstremitas : tonus lemah, gerakan bebas, akral hangat, tidak ada sianosis,
tidak ada pucat, CRT < 2 detik
Neurologis : refleks moro (+), genggam (+) lemah, Babinski (+), hisap (-),
rooting (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
Tanggal 14 Desember 2017
Hemoglobin : 17.0 g/dL
Hematokrit : 44.3 %
Leukosit : 14000 /ul
Hitung Jenis :
Eosinophil 0%, Basofil 0%, Neutrofil Segmen 51%, Batang 2%, Limfosit 46%,
Monosit 1%
Trombosit : 268000/ul (150000-40000)
4
Tanggal 22 Desember 2017
Hemoglobin : 15.6 g/dL
Hematokrit : 40.2 %
Leukosit : 15900 /ul
Hitung Jenis :
Eosinophil 0%, Basofil 0%, Neutrofil Segmen 51%, Batang 5%, Limfosit 42%,
Monosit 2%
Trombosit : 413000/ul (150000-40000)

Pemeriksaan Bilirubin
Tanggal 20 Desember 2017
Bilirubin total : 19.62 mg/dL
Bilirubin direk : 0.35 mg/dL
Bilirubin indirek : 19.27 mg/dL

Tanggal 22 Desember 2017


Bilirubin total : 14.46 mg/dL
Bilirubin direk : 1.23 mg/dL
Bilirubin indirek : 13.23 mg/dL

DIAGNOSIS
1. Neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan
2. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
3. Asfiksia
4. Hiperbilirubinemia

TATALAKSANA
1. O2 2 liter per menit nasal kanul
2. Termoregulasi, pasien dimasukkan ke dalam inkubator
3. Inf. D10% 0.18 NS 8 tpm
4. Fototerapi 1x24 jam
5. Inj. Amoxicillin 2 x 100 mg
5
6. Inj. Aminophilin 3x4 mg
7. Pasang OGT
8. ASI per OGT 6 x 6-8cc
9. Apialys 1x0.3cc
10. Nistatin 3x1cc

FOLLOW UP
Pemeriksaan Fisik (24 Desember 2017)
Kesadaran : compos mentis, tampak aktif
Nadi : 150 x/menit
RR : 50 x/menit
Suhu : 370C
Kulit : kuning berkurang
Mulut : terpasang OGT
Dada : pergerakan dinding dada simetris, retraksi dada intercostae (+),
suara dasar vesikuler (+/+),tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Abdomen : supel, tidak kembung.

Pemeriksaan Bilirubin
Tanggal 24 Desember 2017
Bilirubin total : 4.96 mg/dL (0.00-0.25)
Bilirubin direk : 0.20 mg/dL (0.00-1.4)
Bilirubin indirek : 4.76 mg/dL (0.00-0.75)

Pemeriksaan Fisik (26 Desember 2017)


Kesadaran : compos mentis, tampak aktif
Nadi : 146 x/menit
RR : 48x/menit
Suhu : 36.70C
Kulit : tidak tampak kuning, CRT < 2 detik
Mulut : terpasang OGT
Dada : pergerakan dinding dada simetris, retraksi dada intercostae (+),
suara dasar vesikuler (+/+),tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
Abdomen : supel, tidak kembung.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total ≥ 5 mg/dL (86


µmol/L). Ikterus neonatorum adalah penampakan warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan
mukosa pada bayi baru lahir akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan
tersebut.Hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice merupakan terminologi yang merujuk pada
keadaan yang sama.Hiperbilirubinemia merupakan keadaan transien yang sering ditemukan
baik pada bayi cukup bulan (50%-70%) maupun pada bayi prematur (80%-90%). Kondisi
hiperbilirubinemia seringkali merupakan proses fisiologis yang tidak membutuhkan terapi
khusus, namun tidak jarang pula memiliki penyebab nonfisiologis yang membutuhkan terapi
dikarenakan potensi toksik dari bilirubin.

Metabolisme bilirubin
Bilirubin merupakan produk akhir dari metabolisme heme yang sebagian besar berasal dari
hemoglobin (75%) dan selebihnya berasal dari heme di hepar, mioglobin otot, serta
eritropoesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Ketika besi dilepaskan dari
heme oleh heme-oksigenase, bagian non-besi dari heme kemudian diubah menjadi biliverdin
(berwarna hijau) dan kemudian menjadi bilirubin (berwarna jingga-kuning). Bilirubin ini
sering disebut dengan bilirubin indirek/tak terkonjugasi. Bilirubin kemudian masuk ke dalam
aliran darah. Karena bilirubin merupakan zat yang sukar larut air, transport bilirubin ke hati
dibantu oleh molekul karier yaitu albumin. Bilirubin yang terikat albumin dengan mudah
masuk dari plasma ke dalam space of Disse diantara endothelium dan hepatosit. Lapisan
endothelial sinusoid tidak memiliki membran basalis sehingga celah pada endothelium
memungkinkan terjadinya kontak langsung dengan membran plasma hepatosit. Di dalam
hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim bilirubin
uridine diphosphate glucoronasyltransferase menjadi bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk)
yang larut dalam air. Bilirubin terkonjugasi kemudian dieksresikan sebagai empedu ke dalam
usus halus. Bakteri dalam usus besar akan mengubah bilirubin menjadi urobilinogen yang
akan diubah menjadi urobilin (dieliminasi melalui urin) dan sebagian besar menjadi
sterkobilin (dieliminasi melalui feses). Selain itu, sebagian bilirubin akan diabsorpsi kembali
dan masuk ke sirkulasi enterohepatik setelah dihidrolisis oleh enzim β-glukoronidase. Pada
fetus, enzim β-glukoronidase sudah terdeteksi sejak usia kehamilan 12 minggu yang
7
mempercepat penyerapan bilirubin intestinal dan memungkinkan bilirubin dikeluarkan
melalui plasenta.

Manifestasi klinis
Pada neonatus, ikterus dapat terlihat ketika kadar bilirubin serum melebihi 5 mg/dL. Ikterus
akan muncul dengan urutan sefalokaudal, yaitu pada awalnya warna kuning akan terlihat di
bagian kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Penekanan
pada kulit merupakan cara terbaik untuk melihat adanya kuning, namun penilaian secara
visual ini sulit dilakukan pada bayi-bayi berwarna kulit gelap. Terlihatnya kuning pada
bagian tubuh tertentu dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah bilirubin serum seperti
yang diklasifikasikan oleh Kramer sebagai berikut.

Tabel. 1. Indeks Kramer untuk menginterpretasi ikterus neonatorum

Bagian Tubuh Estimasi kadar total serum bilirubin


Kepala dan leher 4-8 mg/dl
Tubuh sebelah atas 5-12 mg/dl
Tubuh sebelah bawah dan paha 8-16 mg/dl
Lengan dan tungkai bawah 11-18 mg/dl
Telapak tangan dan telapak kaki > 15 mg/dl

Di bawah ini merupakan penyebab terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus:


1) Hiperbilirubinemia fisiologis
Pada hiperbilirubinemia fisiologis, kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi
(unconjugated bilirubin) adalah 6-8 mg/dL, muncul pada bayi cukup bulan sejak usia
3 hari kemudian berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini,
naik secara perlahan dengan kadar puncak yang lebih tinggi, serta memerlukan waktu
yang lebih lama untuk menghilang, dapat mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada
neonatus kurang bulan dapat mencapai 10-12 mg/dL. Kondisi ini dapat disebabkan
karena:
a. Peningkatan produksi bilirubin yang disebabkan oleh masa hidup eritrosit yang
lebih singkat dan eritropoiesis yang belum efektif

8
b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
c. Defek uptake bilirubin oleh hati
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase
(UDGP-T) yang rendah
e. Penurunan ekskresi hepatik
2) Hiperbilirubinemia nonfisiologis
Kondisi yang termasuk hiperbilirubinemia nonfisiologis yaitu apabila:
a. Awitan ikterus terjadi sebelum usia bayi 24 jam
b. Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam
c. Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL
d. Ikterus yang menetap > 2 minggu
e. Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan
berat badan, apne, takipnu, instabilitas suhu)

Selain karena penyebab-penyebab di atas, hiperbilirubinemia yang berhubungan


dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice
(BMJ). Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami hiperbilirubinemia yang dikenal
dengan BFJ. Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2
atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Breastfeeding jaundice tidak memerlukan
pengobatan dan tidak perlu diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan
mempunyai cadangan cairan dan energi yang dapat mempertahankan metabolismenya selama
72 jam. Pemberian ASI yang cukup dapat mengatasi BFJ. Ibu harus memberikan kesempatan
lebih pada bayinya untuk menyusu. Kolostrum akan cepat keluar dengan hisapan bayi yang
terus menerus. ASI akan lebih cepat keluar dengan inisiasi menyusu dini dan rawat gabung.
Sedangkan, untuk breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang
masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada
hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab
hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang
ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung
pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan
lebih berat ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan
sebagai penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil
metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibu-ibu
9
tertentu. Pendapat lain menyatakan hambatan terhadap fungsi glukoronid transferase di hati
oleh peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang tidak di esterifikasi dapat juga
menimbulkan BMJ. Faktor terakhir yang diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan
sirkulasi enterohepatik. Kondisi ini terjadi akibat (1) peningkatan aktifitas beta-glukoronidase
dalam ASI dan juga pada usus bayi yang mendapat ASI, (2) terlambatnya pembentukan flora
usus pada bayi yang mendapat ASI serta (3) defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl
transferase (UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom
Gilbert.

Faktor risiko hiperbilirubinemia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Tabel 2. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi usia gestasi ≥35
minggu
Faktor risiko mayor
Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona risiko tinggi
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
Inkompatibilitas golongan darah dengan uji antiglobulin direk positif atau penyakit
hemolitik lain (misalkan defisiensi G6PD)
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat saudara kandung mendapat terapi sinar
Sefalhematom atau memar luas
ASI eksklusif, terutama bila asupan tidak adekuat dan terdapat penurunan berat badan
berlebih
Ras Asia timur
Faktor risiko minor
Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona risiko tinggi
sedang
Usia gestasi 37-38 minggu
Ikterus terjadi sebelum dipulangkan
Riwayat saudara kandung dengan ikterus
Bayi makrosomia dari ibu DM

Pada neonatus dengan ikterus, perlu dilakukan pemeriksaan bilirubin yang kemudian diplot
ke dalam normogram untuk menentukan risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi
usia gestasi ≥35 minggu (lihat Gambar 1)
10
Gambar 1. Normogram untuk menentukan risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat
pada bayi usia gestasi ≥35 minggu

Diagnosis
Anamnesis
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-
fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan adanya kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-I-antitripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit
Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II, atau fibrosis kistik
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah
- Riwayat sakit selama kehamilan menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamide)
- Riwayat persalinan dengan trauma yang mungkin menyebabkan hemolisis dan
perdarahan. Bayi asfiksia mungkin akan mengalami ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin sehingga dapat mengalami hiperbilirubinemia.

11
Keterlambatan klem tali pusat juga dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan
hiperbilirubinemia.
- Pemberian ASI, dimana harus dibedakan antara breastfeeding jaundice (ikterus yang
disebabkan oleh kekurangan asupan ASI) dan breastmilk jaundice (ikterus yang
disebabkan oleh air susu ibu).

Pemeriksaan Fisik
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan mengobservasi warna kulit setelah dilakukan
penekanan menggunakan jari. Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisik:
- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
- Tanda infeksi intrauterine, seperti mikrosefali, kecil masa kehamilan, korioretinitis
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
- Petekie, berhubungan dengan infeksi congenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berhubungan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau
penyakit hati
- Hipotiroid

Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin serum total. Bilirubin direk diperiksa bila ikterus menetap > 2 minggu atau
dicurigai kolestasis
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan ada tidaknya hemolisis.
- Golongan darah, rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari
adanya penyakit hemolitik
- Kadar enzim G6PD
- Pada ikterus berkepanjangan, periksa uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk mencari
infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis,
defek metabolic atau hipotiroid

Tatalaksana
Tatalaksana hiperbilirubinemia indirek antara lain fototerapi, exchange transfusion,
pemutusan terapi enterohepatik dan induksi enzim. Fototerapi adalah terapi radiasi
12
menggunakan energi foton yang berasal dari lampu dengan panjang gelombang 425–475 nm.
Fototerapi menggunakan sinar biru dengan panjang gelombang 400-550 nm, sinar hijau (550-
800 nm), maupun sinar putih (300-800 nm). Dari berbagai sinar tersebut, sinar biru
merupakan sinar yang efektif untuk mengurangi kadar bilirubin.
Fototerapi bekerja dengan mengubah bilirubin indirek yang lipofilik menjadi hidrofilik,
sehingga dapat dieksresikan melalui empedu atau urin dan tinja. Cahaya yang direabsorbsi
oleh bilirubin akan menyebabkan reaksi isomerisasi dari bentuk trans menjadi bentuk cis.
Selain itu, terjadi pula konversi ireversibel menjadi lumirubin, bentuk isomerisasi lainnya.
Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat fototerapi dan dapat
dengan cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu. Bilirubin plasma tak terkonjugasi oleh
fototerapi diubah menjadi dipyrole, suatu produk fotooksidan yang dieksresikan melalui urin.
Efek samping fototerapi terbanyak adalah skin rash. Selama melakukan fototerapi, karena
sinar dipancarkan dari atas bayi, diperlukan penutup mata serta genitalia.

Indikasi fototerapi pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu dapat dilihat pada Gambar 2,
sedangkan panduan untuk bayi prematur dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 2. Panduan terapi sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu

13
Tabel 3. Panduan terapi sinar untuk bayi prematur
Berat Indikasi terapi sinar
Bilirubin serum total (mg/dl)
< 1000 g Dimulai dalam 24 jam pertama
1000-1500 g 7-9
1500-2000 g 10-12
2000-2500 g 13-15

Transfusi Tukar
Transfusi tukar dilakukan dengan mengambil sejumlah darah pasien lalu dilanjutkan dengan
pengembalian darah dari donor dengan jumlah yang sama secara kontinu sampai sebagaian
besar darah pasien dan dewasa tertukar. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
ensefalopati bilirubin. Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar dapat
membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus sehingga mencegah
hemolisis lebih lanjut serta memperbaiki kondisi anemia.Transfusi tukar direkomendasikan
segera pada bayi dengan gejala ensefalopati bilirubin akut yang ditandai dengan hipertoni,
arching, retrocolli, opistotonus, demam, dan tangis melengking (high-pitch crying). Darah
yang digunakan untuk transufi tukar adalah wholeblood golongan darah O dengan usia < 7
hari. Indikasi transfusi tukar dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB.

Usia (hari) BCB sehat (mg/dL) Bayi dengan faktor risiko*


(mg/dL)
1 15 13
2 25 15
3 30 20
4 30 20
*) faktor risiko terdiri dari bayi kecil (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis, dan sepsis

Tabel 5. Indikasi transfusi tukar pada BBLR.

Berat badan (gram) Kadar bilirubin (mg/dL)


< 1000 10-12
1000 -1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20

14
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien adalah bayi laki-laki berusia 10 hari setelah kelahiran. Pasien lahir kurang bulan
dengan usia kehamilan 31 minggu. Skor APGAR pasien 6 pada menit pertama dan 8 pada
menit ke-5. Pasien memiliki berat lahir 1600 g dengan panjang badan 41 cm, sesuai masa
kehamilan. Pasien setelah lahir mendapatkan injeksi vitamin K. Prematuritas dan berat badan
lahir rendah merupakan faktor risiko hiperbilirubinemia, baik fisiologis maupun non-
fisiologis. Neonatus dengan prematuritas mengalami penurunan uptake bilirubin oleh hepar
dan memiliki usia sel darah merah yang lebih pendek (70-90 hari).
Pada awalnya, pasien dirawat di ruang NICU RSUD Kabupaten Kediri karena lahir kurang
bulan dan sesak saat lahir dari ibu dengan riwayat PRM. Ikterus pada bayi mulai terlihat sejak
7 hari pasca kelahiran sehingga dilakukan pemeriksaan kadar total serum bilirubin, kadar
bilirubin terkonjugasi, serta bilirubin tidak terkonjugasi. Pada umumnya, ikterus yang muncul
lebih dari 24 jam setelah kelahiran cenderung fisiologis, baik pada bayi cukup bulan maupun
prematur.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan total bilirubin serum, serta
bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin indirek dapat disebabkan oleh hemolisis maupun non-
hemolisis. Untuk membedakan penyebab hemolisis dapat dilakukan tes Coombs. Tes
Coombs positif mengarahkan kecurigaan pada inkompabilitas golongan darah serta
sentisisasi rhesus. Pada pasien ini tidak dilakukan tes coombs. Penyebab hemolisis lainnya
jarang terjadi, kecuali defisiensi G6PD yang dapat disingkirkan melalui tes rapid fluorescent
spot atau PCR untuk mendeteksi adanya defek gen G6PD. Penyebab non-hemolisis di
antaranya breastmilk jaundice yang cenderung fisiologis, trauma kelahiran, serta polisitemia.
Breastmilk jaundice dapat disingkirkan karena pasien tidak memiliki riwayat pemberian ASI,
termasuk trauma kelahiran yang ditandai dengan sefalhematom maupun deformitas lainnya.
Peningkatan bilirubin direk dapat disebabkan oleh infeksi maupun kelainan metabolik. Pada
pasien didapat keadaan sesak yang tampak dari penggunaan otot bantu napas yang terlihat
dengan adanya napas cuping hidung dan retraksi dada intercostae. Frekuensi napas masih
dalam rentang normal neonatus, yaitu 40-60 kali/menit. Penyebab lain yang perlu
dipertimbangkan adalah pasien mengalami respiratory distress yang merupakan salah satu
tanda terjadinya sepsis neonatus terutama dengan riwayat ibu PRM sehingga memungkinkan
adanya infeksi pada neonatus. Pada awal dirawat pasien mendapatkan terapi oksigenasi untuk
15
membantu mengatasi asfiksia yang dialami Pasien ini juga mendapatkan terapi antibiotik
untuk mengatasi infeksi.
Indikasi fototerapi pada pasien ini mengikuti tabel WHO yaitu pada bayi dengan risiko
dengan angka bilirubin serum total, maupun sesuai dengan berat badan lahir rendah 1600
gram dengan angka bilirubin 13-15 mg/dl.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et
al. Hiperbilirubinemia. In: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
2. Martiza. Ikterus. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani
NS, editors. In: Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Jakarta: UKK-
Gastroenterologi-Hepatologi IDAI; 2012. p. 263-84.
3. Lauer BJ, Spector ND. Hyperbilirubinemia in the Newborn. Pediatrics in Review.
2011;32:341.
4. Subcomittee on Hyperbilirubinemia. Clinical Practice Guideline: Management of
Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant ≥ 35 weeks of gestation. American
Academy of Pediatrics. 2004 Juli;114:297.
5. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 2008. p. 147-69.
6. Rohsiswatmo R. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Menyusui Yang Kuning . Buku
Indonesia Menyusui. 2013. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-teapi-
sinar-pada-bayi-menyusui-yang-kuning

17

Anda mungkin juga menyukai