Anda di halaman 1dari 9

Kekuasaan dan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara

a. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara


Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 Presiden selaku kepala
pemerintahan memegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara, sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan. Penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dilaksanakan sebagai berikut:

1) Sebagian kekuasaan “dikuasakan kepada menteri keuangan”, selaku pengelola


fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Menteri Keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan pada
hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO), yaitu sebagai seorang manajer
keuangan negara pemerintah Republik Indonesia.
2) Sebagian kekuasaan “dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga Negara dan
lembaga pemerintah non kementerian”, selaku pengguna anggaran/pengguna
barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; dan setiap
menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer
(COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.
3) Dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, sebagian kekuasaan
pengelolaan keuangan “diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota” selaku
kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Kekuasaan presiden tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, antara lain
mengeluarkan dan mengedarkan uang yang pelaksanaannya diatur dengan undang‐
undang. Untuk mencapai kestabilan nilai rupiah, tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran
dilakukan oleh bank sentral.

Prinsip penyelenggaraan kekuasaan dan pelimpahan kewenangan di atas perlu


dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dan kepastian dalam pembagian
wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balance, serta
untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan.

b. Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara


Kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dimiliki presiden meliputi kewenangan
yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
1) Kewenangan yang bersifat umum, meliputi kewenangan untuk:
a) menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU);
b) menetapkan strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain:
 pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN,
 pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga,
 gaji dan tunjangan,
 pedoman pengelolaan penerimaan negara.
2) Kewenangan yang bersifat khusus, meliputi kewenangan membuat
keputusan/kebijakan teknis terkait pengelolaan APBN, antara lain menetapkan:
a) keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN,
b) keputusan rincian APBN,
c) keputusan dana perimbangan, dan
d) penghapusan aset dan piutang negara.

Bagan Penguasaan dan Penyerahan Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara:

c. Pelimpahan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara


Kewenangan presiden terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilimpahkan
kepada pejabat negara, yaitu sebagian kewenangan yang bersifat umum dikuasakan
kepada menteri/pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintahan non kementerian
negara, selaku pengguna anggaran atau Chief Operational Officer (COO); sementara
sebagian kewenangan yang bersifat khusus dikuasakan kepada
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) atau Chief Financial Officer
(CFO).
1) Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga
Dalam melaksanakan kewenangan umum tersebut, menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran mempunyai tugas untuk:
a) menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
b) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c) melaksanakan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
d) melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan
menyetorkannya ke kas negara;
e) mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
f) mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
g) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya; dan
h) melaksanakan tugas‐tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya
berdasarkan ketentuan undang‐undang.

2) Tugas Menteri Keuangan


Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan
mempunyai tugas sebagai berikut:
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan
dengan undang‐undang;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas‐tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan
ketentuan undang‐undang.

d. Penyerahan Kekuasaan Pengelolaan Keuangan


Dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan di
daerah (otonomi daerah), sebagian kekuasaan presiden diserahkan kepada
gubernur/walikota/bupati selaku Kepala daerah. Berdasarkan pasal 2 UU Nomor 17
Tahun 2003, keuangan negara yang diserahkan tersebut meliputi:
1) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
2) penerimaan daerah;
3) pengeluaran daerah;
4) kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak‐hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.

Penyerahan kekuasaan tersebut dilaksanakan dengan pengalokasian sebagian dana


APBN kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang‐undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana perimbangan tersebut terdiri atas:
1) Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (selanjutnya disebut DAU) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar‐daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang‐kurangnya 26% dari pendapatan dalam
negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.
Jumlah alokasi DAU untuk suatu daerah didasarkan atas dasar celah fiskal dan alokasi
dasar dari masing‐masing daerah.
 Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah.
 Alokasi dasar berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
 Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum, yang diukur berdasarkan secara
berturut‐turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks
Pembangunan Manusia.
 Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari
PAD dan Dana Bagi Hasil.
 Rumus DAU:

DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar


DAU = (Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal) + Jumlah gaji PNS Daerah
DAU = (Kebutuhan Fiskal ‐ (PAD + Dana Bagi Hasil) + Jumlah Gaji PNS Daerah

2) Dana Alokasi Khusus (DAK)


Dana Alokasi Khusus (selanjutnya disebut DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan
kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah dalam APBD, kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan
peraturan perundang‐undangan dan karakteristik daerah, dan kriteria teknis ditetapkan
oleh kementerian negara/departemen teknis.
Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang‐kurangnya 10%
dari alokasi DAK dan dianggarkan dalam APBD (daerah dengan kemampuan fiskal
tertentu tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping).
3) Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu yang bersumber dari:
 Pajak, terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan atas Hak
Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, serta cukai hasil tembakau.
 Sumber daya alam, terdiri atas minyak dan gas bumi, kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan panas bumi, dan hasil cukai.

4) Dana Otonomi Khusus


 Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dan Dana Tambahan Infrastruktur
dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat. Dana transfer ini
dialokasikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang‐undang.
 Dana Otonomi Khusus Aceh. Dana transfer ini dialokasikan berdasarkan UU
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
 Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu dana yang berasal dari
Bagian Anggaran BUN yang dialokasikan untuk mendanai Kewenangan Istimewa
dan merupakan Belanja Transfer pada bagian Transfer Lainnya. Dana transfer ini
dialokasikan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2012.

5) Dana Penyesuaian
Dana penyesuaian ditujukan untuk mendukung program/kebijakan tertentu pemerintah
yang berdasarkan peraturan perundang‐undangan, kegiatannya sudah menjadi urusan
daerah yang meliputi:
 Tunjangan Profesi Guru PNS Daerah
 Dana Tambahan Penghasilan Guru PNS Daerah
 Dana Insentif Daerah
 Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
 Bantuan Operasional Sekolah

e. Pengurusan Umum/Pengurusan Administrasi


Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pengurusan umum atau pengurusan
administrasi mengandung unsur penguasaan, yang erat hubungannya dengan
penyelenggaraan tugas pemerintahan di segala bidang dan tindakannya dapat
membawa akibat pengeluaran dan atau menimbulkan penerimaan negara.
Dalam pengurusan umum terdapat dua pejabat atau subjek pengurusan, yang disebut
otorisator dan ordonator.
1) Otorisator
Otorisator adalah pejabat yang memperoleh pelimpahan wewenang untuk
mengambil tindakan‐tindakan yang mengakibatkan adanya penerimaan dan/atau
pengeluaran negara.
Tindakan‐tindakan otorisator yang bisa berakibat penerimaan dan/atau
pengeluaran tersebut disebut otorisasi. Otorisasi dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a) Otorisasi bersifat luas/umum
Otorisasi bersifat luas/umum adalah otorisasi yang tidak membawa akibat
langsung pada pengeluaran dan atau penerimaan negara. Contoh otorisasi
umum adalah undang‐undang, peraturan pemerintah, peraturan pemerintah
pengganti undan‐gundang, keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan gaji
pegawai negeri, peraturan pemberian tunjangan, dan sebagainya. Otorisasi
umum baru akan berakibat pengeluaran dan/atau penerimaan, apabila sudah
ada/dilengkapi otorisasi yang bersifat khusus.
b) Otorisasi bersifat sempit/khusus.
Otorisasi bersifat sempit/khusus adalah otorisasi yang mempunyai akibat
langsung terhadap penerimaan dan/atau pengeluaran negara. Contoh otorisasi
khusus adalah surat keputusan pengangkatan pegawai, surat keputusan
penunjukan bendahara, surat keputusan pensiun, dan sebagainya.
2) Ordonator
Ordonator adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan pengujian dan
pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga
sehubungan dengan tindakan otorisator, serta memerintahkan pembayaran dan
atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Secara garis besar, ordonator bertugas untuk menguji, meneliti, dan mengawasi
penerimaan‐penerimaan, serta pengeluaran‐pengeluaran negara, termasuk
tagihan‐tagihan yang diajukan oleh pihak ketiga kepada pemerintah, apakah
benar‐benar telah sesuai dengan otorisasi yang dikeluarkan oleh otorisator dan
belum kedaluwarsa. Apabila tagihan‐tagihan tersebut telah memenuhi
persyaratan, maka ordonator menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM)
dan/atau Surat Penagihan.

f. Pengurusan Khusus/Kebendaharaan/Comptable
Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1), kewenangan
pengurusan khusus atau pengurusan kebendaharaan (comptable) dipegang oleh menteri
keuangan, sebagaimana disebutkan: “Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum
Negara (BUN)”.
Tugas kebendaharaan yang dilaksanakan BUN meliputi:
1) menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
2) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
3) melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
4) menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
5) menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka
6) pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;
7) mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
anggaran negara;
8) menyimpan uang negara;
9) menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi;
10) melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran
atas beban rekening kas umum negara;
11) melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah;
12) memberikan pinjaman atas nama pemerintah;
13) melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;
14) mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi
pemerintahan;
15) melakukan penagihan piutang negara;
16) menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara;
17) menyajikan informasi keuangan negara;
18) menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang
milik negara;
19) menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka
pembayaran pajak;
20) menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.
Selaku BUN, menteri keuangan mengangkat kuasa BUN untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang
ditetapkan. Tugas kebendaharaan yang dimaksud meliputi kegiatan menerima,
menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggung‐
jawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya, termasuk
melakukan pengendalian pelaksanaan anggara negara.
Kuasa BUN berkewajiban:
1) memerintahkan penagihan piutang negara kepada pihak ketiga sebagai
penerimaan anggaran; dan
2) melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran.
Untuk melaksanakan tugas‐tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
pendapatan/belanja pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/
lembaga, menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara penerimaan/pengeluaran.
Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan menerima, menyimpan,
menyetor/membayar/menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan
penerimaan/pengeluaran uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.
Bendahara pada satker dibedakan dalam bendahara khusus penerimaan dan bendahara
pengeluaran. Bendahara khusus penerimaan bertugas melakukan penerimaan atas
pendapatan negara dan selanjutnya menyetorkan ke kas negara.
Bendahara ini sering disebut juga “penyetor tetap“ atau “penyetor berkala” karena dari
uang yang diterimanya pada waktu yang tetap harus disetorkan ke kas negara. Contoh
bendahara jenis ini adalah Bendahara Penerima Bea Dan Cukai, bendahara penerima
pada kementerian/lembaga negara yang mengelola PNBP antara lain dari hasil
pertanian, kehutanan, penjualan jasa, sita, denda, dan sebagainya. Secara periodik,
bendahara ini membuat surat pertanggungjawaban tentang uang yang diterima dan
disetorkannya meskipun tidak ada uang yang harus disetor (tidak ada penerimaan).
Bendahara khusus pengeluaran bertugas melakukan pembayaran atas tagihan kepada
negara baik secara langsung maupun melalui uang persediaan dengan dana yang
diperolehnya melalui DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan bendahara, yaitu:
1) bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran diangkat oleh menteri/ pimpinan
lembaga melalui surat keputusan;
2) bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran adalah pejabat fungsional dan
tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa BUN;
3) bendahara penerimaan/pengeluaran dilarang melakukan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan
penjualan jasa, atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/ pekerjaan/penjualan
tersebut;
4) persyaratan pengangkatan dan pembinaan karir bendahara diatur oleh BUN selaku
Pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara.

Anda mungkin juga menyukai