Anda di halaman 1dari 45

1

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 4 TAHUN DENGAN GIZI BURUK


DAN PERAWAKAN SANGAT PENDEK DISERTAI DENGAN
KELAINAN TULANG SUSPEK OSTEOGENESIS IMPERFECTA DAN
DIARE AKUT TANPA TANDA DEHIDRASI PADA
THERAPEUTIC FEEDING CENTER PUSKESMAS BUMIJAWA

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas praktik Dokter Komprehensif


Puskesmas Bumijawa

Disusun Oleh :
Fajri Tri Baskoro
Ivandy Fam
Dea Bastiangga
Rifqi Aziz Fauzian

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP
2018
2

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 4 TAHUN DENGAN GIZI BURUK


DAN PERAWAKAN SANGAT PENDEK DISERTAI DENGAN
KELAINAN TULANG SUSPEK OSTEOGENESIS IMPERFECTA DAN
DIARE AKUT TANPA TANDA DEHIDRASI PADA
THERAPEUTIC FEEDING CENTER PUSKESMAS BUMIJAWA

Bumijawa, 14 Agustus 2018

Mengetahui,

Dokter Pembimbing Kepala Puskesmas Bumijawa

dr. Iin Inawati dr. Ida Barru Fitriyah


NIP. 197503132014122001 NIP. 198008152010012017
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gizi buruk masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang perlu
penanganan secara optimal. Berdasarkan data profil kesehatan Jawa Tengah tahun
2016 terdapat 982 temuan gizi buruk, dengan temuan kasus terbesar di kabupaten
Brebes yakni 92 kasus, disusul oleh kabupaten Tegal dengan urutan kedua yakni
sebanyak 90 temuan kasus gii buruk. Data terbaru berdasarkan rakor Dinkes
Kabupaten Tegal tahun 2018 menyatakan terdapat 55 kasus gizi buruk.
Kejadian gizi buruk perlu di deteksi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu, dilanjutkan dengan penentuan
status gizinya. Penemuan kasus gizi buruk harus segera ditindak lanjuti dengan
rencana tindak lanjut yang jelas, sehingga penanggulangan gizi buruk dapat
memberikan hasil yang optimal.
Upaya awal deteksi gizi buruk dilakukan pertama kali di posyandu melalui
kegiatan penimbangan, dan kemudian membandingkan berat badan dengan umur.
Jika ditemukan kasus gizi buruk maka segera dilakukan perawatan gizi buruk
sesuai dengan pedoman tatalaksana gizi buruk.
Puskesmas Bumijawa memiliki program Therapeutic Feeding Center
(TFC) sebagai upaya penanggulangan gizi buruk, dengan prinsip dasar
meningkatkan jangkauan/cakupan pemulihan gizi, ketepatan waktu dalam
penemuan kasus secara dini sehingga penanganan lebih awal dan komprehensif,
pelayanan yang tepat sesuai dengan situasi kondisi anak, penanganan anak gizi
buruk merupakan kegiatan yang terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan
yang ada, penanganan anak gizi buruk melibatkan lintas sectoral, LSM, organisasi
profesi dan tokoh masyarakat, serta pemantauan pelaksanaan penanganan gizi
buruk dilakukan secara rutin.
Oleh karena itu, dengan adanya program TFC ini diharapkan dapat
memberikan penanganan gizi buruk secara komferhensif, sehingga menghasilkan
hasil yang optimal.
4

1.2 Tujuan Penulisan


Memahami cara mendiagnosis pasien gizi buruk, serta tatalaksana secara
komferhensif di tingkat pelayanan kesehatan primer dengan program Therapeutic
Feeding Center (TFC).
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Buruk


Gizi buruk merupakan suatu kondisi akut atau kronis dimana terjadi
defisiensi atau ketidakseimbangan energi, protein dan nutrien lainnya yang
menimbulkan gangguan fungsi tubuh dan menimbulkan manifestasi klinis
(Jonkers 2011). Keadaan gizi buruk berdampak terhadap angka kesakitan dan
kematian serta terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual, produktivitas.
Anak balita merupakan populasi yang paling rentan mengalami masalah gizi
buruk.

2.1.1 Definisi Status Gizi


Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang dapat dilihat untuk
mengetahui apakah seseorang tersebut normal atau bermasalah. Gizi salah adalah
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan dan atau
keseimbangan zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan dan
aktivitas atau produktivitas (Siswanto, 2011). Status gizi juga dapat merupakan
hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh
dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tersebut (Supriasa, 2001).

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi


Status gizi buruk dapat dipengaruhi oleh asupan makanan yang kurang dan
anak sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu, gizi buruk dipengaruhi oleh
faktor lain seperti sosial ekonomi, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.
A. Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak
1. Peranan diet
Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang
terutama dalam segi protein dan karbohidratnya. Diet yang
mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan menyebabkan
6

anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi


walaupun zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak
menjadi penderita marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian
makanan yang tidak sesuai usia akan menimbulkan masalah gizi pada
anak (Behrman, 2004).
2. Peranan penyakit atau infeksi
Penyakit atau infeksi menjadi penyebab kedua terbesar setelah asupan
makanan yang tidak seimbang. Tingkat kesadaran akan kebersihan diri
di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia masih kurang.
Infeksi kronik akan menyebabkan anak menjadi kurang gizi yang pada
akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh
sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru pada anak (Behrman,
2004).

B. Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak


1. Peranan Sosial Ekonomi
Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan
masalah sosial ekonomi dan kemiskinan. Data di Indonesia dan negara
lain menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi
dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat terutama
masalah kemiskinan yang pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan
makanan serta keragaman makanan yang dikonsumsi (Behrman, 2004).
2. Peranan Kepadatan Penduduk
Dalam kongres tahun 1974, World Food Organization memaparkan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi
dengan bertambahnya persediaan pangan maupun bahan makanan
setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan
(Behrman, 2004).

2.1.3 Patofisiologi
7

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.


Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu: tubuh sendiri
(host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Faktor diet memang
memegang peranan penting, namun faktor lainnya juga ikut menentukan.
Marasmus adalah compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi
tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama. Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha mempertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok dan energi. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan. Karbohidrat dapat dipakai oleh
seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya katabolisme protein terjadi
setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi
karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama kurangnya intake makanan, jaringan
lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah lemak
tidak dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat mempergunakan asam
lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan. Pada
akhirnya setelah semua tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi lagi, protein
akan dipecah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Proses ini berjalan
menahun, dan merupakan proses adaptasi terhadap ketidakcukupan asupan energi
dan protein (Behrman, 2004).

2.1.4 Antropometri
Pengukuran antropometri dilakukan dengan penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi/panjang badan. Selanjutnya dilakukan ploting pada grafik
dengan tiga indikator pertumbuhan anak (TB/U atau PB/U, BB/U, BB/PB, BB/PB
atau BB/TB).

2.1.5 Penentuan Status Gizi Anak


Penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran panjang badan (PB)/tinggi
badan(TB) dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan timbangan yang
8

telah ditera secara berkala. Pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum dan tanda
spesifik khususnya defisiensi mikronutrien harus dilakukan. Penentuan status, gizi
dilakukan berdasarkan BB/TB atau BB/PB. Grafik pertumbuhan yang digunakan
sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.

Tabel Penentuan status gizi menurut kriteria waterlow, WHO 2006 dan CDC 2000
Status Gizi BB/TB WHO 2006 BB/TB IMT CDC 2000
(% median)
Obesitas > +3 SD > 120 > P95
Overweight > +2 hingga +3 SD > 110 P85-P99
Normal +2 SD hingga -2 SD > 90
Gizi Kurang < -2 hingga -3 SD 70 – 90
Gizi Buruk < -3 SD < 70

2.1.6 Diagnosis Gizi Buruk


Kriteria Anak Gizi Buruk (Kemenkes, 2011)
Gizi buruk tanpa komplikasi
a. BB/TB < -3 SD dan atau;
b. Terlihat sangat kurus dan atau;
c. Adanya edema dan atau;
d. LILA <11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
Gizi buruk dengan komplikasi
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran

2.1.7 Tatalaksana Anak Gizi Buruk


A. Alur Pemeriksaan dan Langkah untuk Menangani Gizi Buruk
9

Berikut adalah alur pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menentukan


langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani penemuan kasus anak gizi
buruk:

Gambar Alur Pemeriksaan dan Langkah untuk Menangani Gizi Buruk


(Sumber: Departemen Kesehatan 2011)

B. Fase dalam Penatalaksanaan Gizi Buruk


Tatalaksana gizi buruk terdiri dari empat fase yaitu :
1. Fase stabilisasi (hari 1 – 2)
Pada fase stabilisasi, diberikan makanan formula 75 (F-75) dengan
asupan gizi 80-100 kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 g/KgBB/hari.
ASI tetap diberikan pada anak yang masih mendapatkan ASI.
2. Fase transisi (hari 3 – 7)
Pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan dari F-75
menjadi F-100. Diberikan makanan formula 100 (F-100) dengan
asupan gizi 100-150 kkal/kgBB/ hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari.
3. Fase rehabilitasi (minggu ke 2 – 6)
10

Pada fase rehabilitasi, diberikan makanan seperti pada fase transisi


yaitu F-100, dengan penambahan makanan untuk anak dengan BB < 7
kg diberikan makanan bayi dan untuk anak dengan BB > 7 kg
diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-220 kkal/kgBB/hari dan
protein 4-6 g/kgBB/hari.
4. Fase tindak lanjut (minggu ke 7 – 26)
Fase tindak lanjut merupakan fase yang dilakukan di rumah.
Setelah anak pulang dari pusat pemulihan gizi (PPG), anak tetap
dikontrol secara berkala. Anak tetap melakukan kontrol (rawat jalan)
pada bulan I satu kali/ minggu, bulan II satu kali/ 2 minggu,
selanjutnya sebulan sekali sampai dengan bulan ke-6.
C. Sepuluh Langkah Esensial Penanganan Gizi Buruk
Terdapat 10 langkah esensial dalam penanganan gizi buruk.

Gambar Fase Penatalaksanaan Gizi Buruk


(Sumber: Departemen Kesehatan 2011)
11

1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemia


Hipoglikemia dan hipotermia biasanya muncul bersamaan, dan
merupakan tanda dari infeksi. Hipoglikemia merupakan suatu keadaan
dimana kadar glukosa sangat rendah (<3 mmol/l atau <54 mg/dl). Gejala
hipoglikemia dapat berupa letargis, nadi lemah dan kehilangan kesadaran.

Tabel Terapi Hipoglikemia


Tanda Tindakan
Sadar (tidak letargi) Berikan 50 ml dekstrosa 10% atau glukosa 10% (1
sendok makan dalam 3,5 sendok makan air)secara
oral atau dengan NGT.
Tidak sadar (letargi) Berikan larutan dekstrosa / glukosa 10% IV (5 ml
x berat badan), diikuti dengan 50 ml glukosa 10%
secara NGT.
Renjatan (Shock) Berikan larutan dekstrosa / glukosa 10% secara IV
sebanyak 5 ml/kgBB, selanjutnya beri infus Ringer
Laktat dan Glukosa 10% perbandingan 1 : 1
sebanyak 15 ml/kgBB untuk 1 jam.
(Sumber: Departemen Kesehatan 2011)

2. Mencegah dan mengatasi hipotermia


Dapat dikatakan hipotermia apabila suhu aksila < 36,5°C. Berikut ini
adalah terapi dan pencegahan hipotermia:
Tabel Terapi Hipotermia
Suhu Tindakan
36,5°C - 37°C Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya
Hindari adanya hembusan angin
12

Pertahankan suhu ruangan 25-30°C


Tetap diselimuti pada malam hari
Jangan biarkan tanpa baju terlalu lama saat pemeriksaan dan
penimbangan
Tangan yang merawat harus hangat
Segera ganti baju atau peralatan tidur yang basah
Segera keringkan badan setelah mandi
Jangan menggunakan botol air panas untuk menghangati
badan
< 36,5°C Cara ‘kangaroo’  kontak langsung antara kulit ibu dan
kulit anak
Lampu  diletakan 50 cm dari anak
(sumber : Departemen Kesehatan 2011)

3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi


Pada gizi buruk kekurangan volume darah dapat muncul bersama
dengan edema, karena itu tidak dianjurkan untuk rehidrasi secara intravena
kecuali apabila terjadi renjatan. Pada anak dengan gizi buruk, sangat sulit
untuk memperkirakan status dehidrasi dengan gejala klinis saja, maka,
pada pasien gizi buruk diasumsikan memiliki diare. Terapi dehidrasi pada
gizi buruk:
- ReSoMal 5 ml/kg setiap 30 menit selama 2 jam per oral atau
dengan NGT.
- ReSoMal 5-10 ml/kg/jam untuk 4-10 jam berikutnya, diselingi
dengan F-75.
- Lanjutkan pemberian F-75.
Pencegahan dehidrasi pada gizi buruk :
- Pemberian F-75
- ReSoMal 50-100 ml setiap buang air besar cair
- Apabila anak masih mendapatkan ASI, ASI tetap dilanjutkan
13

4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit


Anak dengan gizi buruk memiliki kadar natrium yang tinggi dalam
tubuh, walaupun natrium pada plasma dapat menurun. Defisiensi kalium
dan magnesium juga terdapat pada anak dengan gizi buruk dan setidaknya
membutuhkan waktu 2 minggu untuk mengoreksinya. Terapi
ketidakseimbangan elektrolit:
- Kalium ekstra 3-4 mmol/kg/hari
- Magnesium ekstra 0.4-0.6 mmol/kg/hari
- Saat rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (contoh: ReSoMal)
- Berikan makanan tanpa garam

5. Mengobati infeksi
Pada anak dengan gizi buruk biasanya tanda-tanda infeksi, seperti demam,
tidak muncul. Oleh karena itu, anak perlu diberikan antibiotik spektrum
luas.

Gambar Pemilihan antibiotik pada anak dengan gizi buruk


14

6. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro


Anak dengan gizi buruk memiliki defisiensi mineral dan vitamin,
untuk itu anak dengan gizi buruk perlu diberikan :
Vitamin A

Gambar Jadwal dan dosis pemberian vitamin A


Tablet Fe
Tabel Formula dan Dosis Tablet Besi
15

(sumber: Departemen Kesehatan 2011)

Suplemen multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (berikan 5 mg pada hari pertama)
- Zinc 2 mg/kg/hari
- Copper 0.3 mg/kg/hari
- Zat besi 3 mg/kg/hari (zat besi diberikan setelah memasuki fase
rehabilitasi)

7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi


Pada masa stabilisasi, terdapat beberapa poin penting, yaitu:
- Makan dengan porsi sedikit, namun sering, rendah osmolar dan
rendah laktosa
- Makanan diberikan secara oral atau NGT
- 100 kkal/kg/hari
- Protein 1-1.5 g/kg/hari

Bentuk Formula Dosis


Tablet Besi/Folat 6–12 bulan  1 x ¼ tablet per hari
(Sulfas ferosus 200 mg atau 60 mg 1–5 tahun  1 x ½ tablet per hari
besi elemental + 0,25 mg asam folat)

Sirup Besi 6–12 bulan  1 x 2,5 ml


(Sulfas ferosus 200 mg) setiap 5 ml (½ sendok teh) per hari
mengandung 30 mg besi elemental 1–5 tahun  1 x 5 ml
(1 sendok teh) per hari
- Cairan 130 ml/kg/hari (anak dengan edema berat berikan cairan
100 ml/kg/hari)
Pada hari pertama dan kedua (fase stabilisasi), frekuensi makan
setiap 2 jam sekali, sedangkan pada hari ketiga hingga kelima (fase
transisi), frekuensi makan dikurangi menjadi setiap 3 jam sekali, dan
16

frekuensi terus dikurangi hingga pada hari keenam dan ketujuh (fase
transisi), frekuensi makan menjadi setiap 4 jam sekali.

8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar


Pemberian makanan untuk tumbuh kejar dimulai pada fase rehabilitasi.
Target fase rehabilitasi adalah penambahan berat badan > 10 g/kg/hari

9. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang


Pada anak dengan gizi buruk, akan terdapat keterlambatan
perkembangan mental dan perilaku, untuk stimulasi tumbuh dan kembang
dibutuhkan:
- Kasih sayang
- Lingkungan yang ceria
- Structured play therapy setiap hari selama 15 – 30 menit
- Aktivitas fisik setelah keadaan anak cukup baik
- Keterlibatan ibu / orang tua apabila memungkinkan
(seperti comforting, bermain, memberi makan)

10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah


Saat anak memiliki WFL (weight for length) diatas 90% (sama dengan
-1 SD), dapat dikatakan telah sembuh dari gizi buruk. Orang tua harus
diedukasi mengenai pola makan yang baik dan stimulasi sensorik yang
harus dilanjutkan di rumah. Kemudian, anak harus dipantau secara berkala
(follow up).

2.2 Osteogenesis Imperfecta


Osteogenesis Imperfekta (OI) merupakan gangguan pembentukan tulang
yang bersifat diturunkan, dengan karakteristik fragilitas tulang dan rendahnya
massa tulang. OI merupakan gangguan jaringan ikat bersifat genetik yang cukup
jarang dijumpai, disebabkan oleh mutasi gen yang bertugas mengkode prokolagen
tipe 1 (COL 1A1 dan COL 1A2) dan menyebabkan gangguan pada pembentukan
17

kolagen tipe 1. Spektrum klinis OI sangat luas, mulai dari bentuk letal pada masa
perinatal hingga bentuk ringan yang membuat diagnosis penyakit ini pada dewasa
menjadi kurang jelas (Indrawan et al, 2013).

2.2.1 Epidemiologi
Angka kejadian dan prevalensi secara akurat belum tersedia. Telah
dilaporkan bahwa angka kejadian OI yang bisa dideteksi pada bayi adalah 1 dalam
20.000 hingga 50.000 (Indrawan et al, 2013). Tidak ada perbedaan menurut ras
dan jenis kelamin. Usia penderita saat gejala muncul, terutama gejala mudah
patahnya tulang, sangat bervariasi. Pada bentuk yang ringan, penderita bisa tidak
mengalami patah tulang sampai masa dewasa. Sedangkan pada bentuk yang berat
patah tulang dapat dialami sejak dalam uterus/ prenatal (Plotkin & Pattehar,
1998).

2.2.2 Etiologi
Kolagen merupakan glikoprotein fibrous utama yang terdapat dalam
matriks ekstraseluler dan pada jaringan ikat sepeti tulang rawan, matriks organik
tulang, tendon, dan mereka mempertahankan kekuatan jaringan ini. Kolagen
terbagi menjadi kolagen tipe I, II ,III, V, dan XI. Kolagen tipe I merupakan
protein yang paling penting pada tubuh manusia. Gen COL1A1 yang terletak pada
kromosom 17 dan gen COL1A2 yang terletak pada kromosom 73 merupakan gen
yang mengkode 2 rantai kolagen tipe I yaitu α1 dan α2 (Solovyov et al, 2009;
Yalovac et al, 2007; Ottani et al, 2002)
Osteogenesis imperfekta merupakan kelainan autosomal dominan yang
disebabkan oleh mutasi gen kolagen tipe I, COL1A1 dan COL1A2 yang
bertanggung jawab dalam sintesis dari protein terbanyak tulang, kulit, ligamen,
tendon dan hampir seluruh jaringan konektif. Mutasi ini memicu formasi kuantitas
patologik (osteogenesis imperfekta tipe I) dari kolagen atau perubahan kualitas
produksi kolagen (osteogenesis imperfekta tipe II, III, atau IV). Hasilnya ialah
campuran dari kolagen yang normal dan tidak normal (Di Lullo et al, 2002; Ivo et
al, 2007; Beck et al, 2000).
18

2.2.3 Patogenesis
Prokolagen tipe I adalah struktur protein utama yang menyusun matriks
tulang dan jaringan fibrous lainnya, seperti kapsul organ, fasia, kornea, sklera,
tendon, selaput otak dan dermis. Sekitar 30% berat badan manusia terdiri dari
prokolagen tipe I. Secara struktural, molekul prokolagen tipe I berbentuk triple
helix, terdiri dari 2 rantai pro α1(I) (disebut COL1A1, dikode pada kromosom 17)
dan 1 rantai pro α2 (I) (disebut COL1A2, dikode pada kromosom 7). Masing-
masing rantai triple helix itu dibentuk oleh rangkaian 388 asam amino Gly-X-Y
yang berulang. Prolin sering berada di posisi X, sedangkan hidroksiprolin atau
hidroksilisin sering berada di posisi Y. Glisin (Gly) merupakan asam amino
terkecil yang mempunyai struktur cukup padat dan berperan penting sebagai poros
dari helix sehingga bila terjadi mutasi akan sangat mengganggu struktur dan
produksi helix (Marini, 2004; Plotkin & Pattehar, 1998; Root, 2002; Nussbaum et
al, 2004).
Prokolagen yang abnormal akan membentuk cetakan yang tak normal
sehingga matriks pelekat tulang pun tak normal dan tersusun tak beraturan.
Beberapa protein bukan kolagen dari matriks tulang juga berkurang. Hal ini
menyebabkan adanya penurunan pembentukan tulang, osteopenia, dan terjadi
kerapuhan sehingga meningkatkan angka kepatahan (fraktur). Lebih dari 200
mutasi yang berbeda mempengaruhi sintesis atau struktur prokolagen tipe I
ditemukan pada penderita osteogenesis imperfekta. Jika mutasi tersebut
menurunkan produksi/ sintesis prokolagen tipe I, maka terjadi osteogenesis
imperfekta fenotip ringan (osteogenesis imperfecta tipe I), namun jika mutasi
menyebabkan gangguan struktur prokolagen tipe I maka akan terjadi osteogenesis
imperfekta fenotip yang lebih berat (tipe II, III, dan IV). Kelainan struktur itu
pada dasarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu 85% karena point mutation
akibat glisin digantikan oleh asam amino lain dan sisanya karena kelainan single
exon splicing. Masing-masing rantai kolagen sebagai triple helix prokolagen,
disekresikan ke ruang ekstraseluler. Domain amino- dan carboxyl-terminal
dipecah di ruang ekstraseluler, mengalami maturitas, kemudian dirangkai, di
19

tulang akan mengalami mineralisasi (Marini, 2004; Root, 2002; Nussbaum et al,
2004).

2.2.4 Manifestasi Klinis


Adanya tulang yang rapuh disertai fraktur baik tanpa, maupun disertai
trauma yang bersifat ringan atau sedang. Secara umum, semakin awal fraktur
terjadi, semakin berat derajat osteogenesis imperfekta yang diderita. Extremitas
bawah merupakan daerah yang paling sering terkena. Fraktur femoral merupakan
jenis fraktur pada tulang panjang yang paling sering terjadi, dengan lokasi
umumnya pada bagian tulang yang konveks, transversal, dan bergeser secara
minimal (Marini, 2004; Chevrel, 2006).
Sebagaimana kolagen tipe I juga merupakan komponen yang penting dari
beberapa jaringan ekstraskeletal, maka terdapat beberapa manifestasi
ekstraskeletal seperti dentinogenesis imperfecta, sklera yang berwarna biru,
kehilangan pendengaran, hiperlacity pada kulit dan ligamen, melemahnya sendi,
penyakit jantung, dan postur tubuh yang pendek (Solovyov et al, 2009; Ivo et al,
2007).

Gambar klinis pada pasien anak dengan OI


20

Gambar Pasien dengan OI, memiliki dahi lebar, tulang yang rapuh dan postur
tubuh yang pendek
Kerapuhan tulang pada penyakit ini disebabkan karena berkurangnya
massa tulang, degenerasi organisasi jaringan tulang dan kecacatan geometri tulang
pada bentuk dan ukuran. Kehilangan pende-ngaran adalah salah satu tanda pasti
dari osteogenesis imperfekta, dengan kehadirannya yang bervariasi, antara 26%
dan 60%. Sklera yang berwarna biru disebabkan oleh pigmentasi pada lapisan
koroid yang ditunjukan melalui sklera yang tipis (Aizenbud et al, 2008; Heimert
et al, 2002).

Gambar Sklera berwarna kebiruan pada pasien OI

Pasien dengan osteogenesis imperfekta mempunyai kemampuan


intelektual yang baik seperti yang terdapat pada populasi pada umumnya. Tidak
21

terdapat bawaan pada kelainan ini yang mempengaruhi kemampuan kognitif


(Clements et al, 2005).
Kelainan kraniofasial
Kraniofasial dapat dibagi dalam dua bagian: bagian kranial dan bagian
fasial. Pertumbuhan bagian fasial memiliki hubungan yang lebih erat dengan
pertumbuhan somatik secara bertahap. Diawali dengan pertumbuhan lateral,
dilanjutkan pertumbuhan anteroposterior, dan pada akhirnya pertumbuhan vertikal
(Kusaladewi, 2008).
Wajah yang berbeda dari beberapa tipe osteogenesis imperfekta
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit. Secara klinis, osteogenesis
imperfekta biasanya memiliki bentuk wajah yang segitiga, tulang bitemporal yang
protrusif, tulang dahi yang prominen, occipital yang overhanging, dan juga
lingkar kepala yang lebih besar dibandingkan normal (Aizenbud et al, 2008;
Solovyov et al, 2009).

Gambar Ciri kraniofasial pada pasien OI, yaitu wajah berbentuk segitiga dan dahi
lebar

Ukuran dan bentuk kraniofasial dipengaruhi oleh faktor epigenik seperti


postur kepala dan paksaan pada otot. Hubungan mereka secara positif
22

berhubungan dengan meningkatnya abnormalitas dari kualitas tulang dan juga


dengan keparahan dari penyakitnya (Aizenbud et al, 2008).
Pada penderita osteogenesis imperfekta, maksila lebih retrusif
dibandingkan dengan mandibula dalam hubungannya dengan basis kranii anterior.
Tinggi wajah, panjang maksila dan mandibula efektif, dan panjang basis kranial
anterior dan posterior lebih pendek dibandingkan pasien normal. Hal ini
disebabkan karena regio sella terdesak oleh berat dari tengkorak yang
menghasilkan pembengkokan ke bawah dari basis cranial (Chang et al, 2007;
Waltimo-Siren, 2005).
Pasien osteogenesis imperfekta memiliki sudut basis kranial yang lebih
besar, dimana hal ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jensen
dan Lund di tahun 1997. Basis kranial yang mendatar, disebabkan tulang yang
rapuh tidak dapat menahan stres mekanik dari berat kepala. Panjang basis kranial
anterior dan posterior juga lebih memendek, yang mengindikasikan pertumbuhan
basis kranial juga lemah (Chang et al, 2007; Lund et al, 1998).

Kelainan pada gigi dan rongga mulut


Pada pasien osteogenesis imperfekta, gingiva pada maksila terlihat saat
tersenyum dan bibir kerap kali tidak kompeten. Namun, osteogenesis imperfekta
tidak mempengaruhi ada atau tidaknya penyakit gusi (periodontitis). Ukuran
rongga mulut pada pasien osteogenesis imperfekta relatif lebih kecil dibandingkan
normal karena lemahnya pertumbuhan maksila dan mandibula. Gigi pasien
osteogenesis imperfekta tidak mempunyai oklusi yang baik sehingga
menyebabkan kesulitan dalam menggigit. Ini disebabkan oleh ukuran dan atau
posisi dari rahang atas atau rahang bawah. Insisif pada maksila proklinasi ekstrim
sementara insisif rahang bawah retroklinasi parah (Aizenbud et al, 2008).
Makroglosia merupakan suatu keadaan lidah yang mempunyai ukuran
lebih besar dari normal. Pengaruh makroglosia terhadap gigi sangat besar.
Makroglosia dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
Makroglosia dapat menyebabkan maloklusi pada gigi. Makroglosia juga dapat
menimbulkan maloklusi pada gigi dan rahang seperti crossbite, openbite dan
23

prognatisme mandibula. Kasus yang paling sering pada penderita makroglosia


adalah crossbite dan openbite (Langlais & Miller, 1994).
Dentinogenesis imperfekta (DI) merupakan salah satu kelainan khas pada
gigi yang dapat timbul pada osteogenesis imperfekta (dentinogenesis imperfekta
tipe I) atau dapat terpisah dari osteogenesis imperfekta (dentinogenesis imperfekta
tipe II). Dentinogenesis imperfekta juga dikenal sebagai opalescent dentin dan
merupakan kondisi autosomal dominan yang mempengaruhi baik gigi susu
maupun gigi permanen dan ditandai dengan perubahan warna pada gigi. Gigi
primer dengan dentinogenesis imperfekta lebih parah diban-dingkan dengan gigi
permanen, dan warna yang dilaporkan adalah opalescent, abu-abu, coklat, atau
kuning45 dan dapat didiagnosa secara klinis pada gigi bayi yang pertama kali
tumbuh (Schwartz et al, 2008; Marks, 2002; Bhandari & Pannu, 2008).

2.2.5 Klasifikasi
Osteogenesis imperfekta diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu:
1. Osteogenesis Imperfekta tipe 1
(tipe paling sering dan paling ringan).
- Fraktur tulang, dengan terjadi fraktur tulang paling banyak
sebelum pubertas. Pasien dengan osteogenesis imperfekta tipe 1
mengalami fraktur sekitar 20-40 sebelum pubertas.
- Tinggi badannya normal atau mendekati normal
- Persendian longgar dan tonus otot lemah
- Skleranya berwarna biru, ungu, atau abu-abu.
- Bentuk wajah triangular
- Kecenderungan ke arah skoliosis
- Deformitas tulang tidak ada atau minimal
- Dentinogenesis imperfekta mungkin terjadi, menyebabkan gigi
rapuh.
2. Osteogenesis Imperfekta tipe II
- Bentuk paling parah dari osteogenesis imperfekta (bentuk lethal)
- Lethal setelah lahir, karena gangguan respiratori
24

- Fraktur yang terjadi banyak dan deformitas tulang berat.


- Tinggi badan kecil dengan paru tidak berkembang
- Kolagen yang dibentuk tidak sesuai
3. Osteogenesis Imperfekta tipe III
- Mudah terjadi fraktur tulang (sering kali terjadi pada saat lahir),
dan x-rays menunjukkan penyembuhan fraktur yang terjadi
sebelum kelahiran. Pasien dengan osteogenesis imperfekta tipe III
mengalami 100 kali fraktur sebelum pubertas.
- Tinggi badannya secara jelas lebih pendek dari normal
- Persendiannya longgar dan perkembangan otot buruk pada lengan
dan kaki
- Os. costae berbentuk seperti tong (barrel-shaped)
- Terjadi gangguan respiratori
- Deformitas tulang berat
- Terjadi kehilangan pendengaran
- Gelaja lainnya seperti osteogenesis tipe I
4. Osteogenesis Imperfekta tipe IV
- Gejala seperti tipe I dan tipe III tapi pada keadaan yang lebih berat
- Mudah fraktur tulang, dengan fraktur tulang terjadi paling banyak
sebelum pubertas
- Tinggi badan lebih pendek dari rata-rata
- Warna sklera normal, warna putih atau mendekati warna putih
- Deformitas tulang ringan sampai sedang, skoliosis mungkin terjadi
- Os. Costae berbentuk tong (barrel-shaped)
- (Patria, 2012).

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


A. Laboratorium biokimia dan molekular
Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari biopsi kulit,
terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfekta tipe I, III dan IV. Analisa
mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan resiko osteogenesis
25

imperfekta, melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi antara analisa


DNA dan biopsi kolagen akan mendeteksi hampir 90% dari semua tipe mutasi
gen pengkode prokolagen tipe I (Marini, 2004; Plotkin & Pattekar, 1998).
B. Pencitraan
Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey). Bentuk ringan (tipe
I) tampak korteks tulang panjang yang menipis, tidak tampak deformitas tulang
panjang. Bentuk sangat berat (tipe II) tampak gambaran manik-manik (beaded
appearance) pada tulang costae, tulang melebar, fraktur multipel dengan
deformitas tulang panjang. Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV) tampak
metafisis kistik atau gambaran popcorn pada kartilaho, tulang dapat normal
atau melebar pada awalnya kemudian menipis, dapat ditemukan fraktur yang
menyebabkan deformitas tulang panjang, sering disertai fraktur vertebra
(Plotkin & Pattekar, 1998; Root & Diamond, 2002). Densitas mineral tulang
(bone densitometry) diukur dengan Dual-Energy X-Ray Absorptiometry
(DEXA) yang menghasilkan nilai rendah pada pederita (Plotkin & Pattekar,
1998).
Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk
mendeteksi kelainan panjang tulang anggota badan, yang tampak dapat berupa
gambaran normal (tipe ringan) sampai gamabaran isi intrakranial yang sangat
jelas karena berkurangnya mineralisasi tulang kalvaria atau kompresi kalvaria.
Selain itu dapat juga ditemukan tulang panjang yang bengkok, panjang tulang
berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur costa multipel. USG prenatal
ini terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfekta tipe II (Plotkin &
Pattekar, 1998; Root & Diamond, 2002).

2.2.7 Diagnosis Banding


A. Child abuse & Neglect (perlakuan salah dan penelantaran pada anak)
Pada osteogenesis tipe ringan paling sulit dibedakan dengan kasus
penelantaran anak. Usia fraktur tulang yang berdeda-beda pada neonatus dan
anak harus dicurigai karena kasus penelantaran anak. Selain itu pada
penelantaran anak juga terdapat manifestasi klinis non skeletal, misalnya
26

perdarahan retina, hematoma organ visera, perdarahan intrakranial,


pankreatitis dan trauma limpa. Tipe fraktur pada penelantaran anak biasanya
adalah fraktur sudut metafiseal yang jarang ditemukan pada osteogenesis
imperfekta. Densitas mineral tulang pada penelantaran anak juga normal,
sedangkan pada osteogenesis imperfekta rendah (Plotkin & Pattekar, 1998;
Chevrel, 2006).
B. Osteoporosis Juvenil Idiopati
Keadaan ini ditemukan pada anak yang lebih tua, terutama usia antara 8
atau 11 tahun, yang mengalami fraktur dan tanda osteoporosis tanpa didasari
penyakit lainnya. Gejala biasanya nyeri tualng belakang, paha, kaki, dan
kesulitan berjalan. Fraktur khasnya berupa fraktur metafiseal, meski dapat
juga terjadi pada tulang panjang. Sering terjadi fraktur vertebra yang
menyebabkan deformitas dan perawakan pendek ringan. Tulang tengkorak
dan wajah normal. Osteoporosis juvenil idiopati akan membaik spontan dalam
3-5 tahun, namun deformitas vertebra dan gangguan fungsi dapat menetap.
Jika didapat riwayat keluarga dengan keluhan yang sama maka harus
dipikirkan suatu osteogenesis tipe ringan (Chevrel, 2006).
C. Achondroplasia
Merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan akibat
mutasi pada gen FGFR3. Gen ini bertanggung jawab pada pembentukan
protein yang berperan dalam pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan
tulang (osifikasi) dan jaringan otak. Klinis didapat sejak lahir berupa
perawakan pendek, termasuk tulang belakang, lengan dan tungkai terutama
lengan dan tungkai atas, pergerakan siku terbatas, makrosefali dengan dahi
yang menonjol.
D. Riketsia
Merupakan gangguan kalsifikasi dari osteoid akibat defisiensi metabolit
vitamin D. Walau jarang terjadi, riketsia juga bisa karena kekurangan kalsium
dan fosfor dalam diet. Klinis ysng ditemukan antara lain hipotoni otot,
penebalan tulang tengkoran yang menyebabkan dahi menonjol, knobby
deformity pada metafisis dan dada (rachitic rosary), bisa terjadi fraktur
27

terutama tipe greenstick. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kada 25-


hidroksi-vitamin D serum, kalsium dan fosfor yang rendah, serta alkalin
fosfatase meningkat. Beberapa penyakit malabsorpsi intestinal berat, penyakit
hati atau ginjal menimbulkan gambaran klinis dan biokimia sekunder riketsia
nutrisional. Pada osteogenesis imperfekta kalsium serum dan alkalin fosfatase
normal. Kadar 25-hidroksi-vitamin D serum penderita osteogenesis imperfekta
sering rendah menunjukkan defisiensi vitamin D sekunder akibat kurangnya
paparan terhadap sinar matahari yang sering dialami penderita osteogenesis
imperfekta (Chevrel, 2006; Finberg, 2008).

2.2.8 Penatalaksanaan
Penyembuhan osteogenesis imperfekta sampai saat ini belum ditemukan.
Oleh sebab itu, pananganan penyakit ini difokuskan pada simptom, mencegah
komplikasi, dan menjaga massa tulang serta kekuatan otot. Terapi non-bedah
termasuk terapi fisik dan rehabilitasi. Terapi bedah dan obat-obatan yang
digunakan untuk meningkatkan densitas tulang merupakan pilihan terapi yang
lainnya. Terapi dengan menggunakan bisphosphonates telah menjadi sebuah
terapi simptomatik yang penting. Terapi ini dapat meningkatkan prognosis pada
bentuk osteogenesis imperfekta yang parah dan meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan cara mengurangi resorbsi tulang dan mengontrol rasa nyeri. Potent
inhibitor dari obat resporpsi tulang dan hormon pertumbuhan juga telah
digunakan pada tahun terakhir (Schwartz et al, 2008; Malmgren et al, 2008;
Elmrini et al, 2008; Forin, 2007; Tau, 2007).
Bisphosphonate (pamidronate), merupakan bisphosphonate yang
mengandung nitrogen, diberikan untuk menambah massa tulang dan menurunkan
kejadian patah tulang. Bisphosphonate mengandung nitrogen yang paling sering
digunakan adalah pamidronate, olpadronate, ibandronate, alendronate,
risedronate, dan zoledronate. Literatur medis saat ini dipenuhi laporan kasus yang
memuji kesuksesan terapi osteogenesis imperfekta dengan bisphosphonate.
Sebagai dampak, bisphosphonate saat ini secara luas digunakan untuk terapi
osteogenesis imperfekta pada anak, remaja dan orang dewasa. Hampir semua
28

laporan melibatkan penggunaan pamidronate intravena (Shaw & Bishop, 2005;


Falk et al, 2003; Astrom et al, 2002).
Bisphosphonate saat ini secara luas digunakan untuk terapi osteogenesis
imperfekta pada anak, remaja dan orang dewasa. Bisphosphonate diberikan dalam
2 hari berturut-turut setiap tiga hingga empat bulan dengan dosis 30 mg/m2 luas
permukaan tubuh dalam 2 hari, dan tidak didapatkan efek samping (Falk et al,
2003; Astrom et al, 2002).
Luaran dari osteogenesis imperfekta sangat beragam. Sejumlah parameter
digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan terapi bisphosphonate meliputi
peningkatan densitas mineral tulang, penurunan angka patah tulang, penurunan
keluhan nyeri, perbaikan saat berjalan, dan peningkatan ketebalan korteks yang
terlihat pada roentgen polos. Petanda biokemia dari pergantian tulang bernama n-
telopeptide (NTX), sangat bermanfaat untuk memantau terapi pamidronate.
Ekskresi NTX lewat urin mencerminkan penurunan resorpsi tulang pada pasien
yang menerima terapi antiresorptif. Sebagai tambahan, nyeri dan kebutuhan akan
pembedahan, digunakan untuk memantau respon terapi (Chevrel, 2006; Morris et
al, 2006).
Terapi bedah berupa terapi bedah ortopedi ditujukan untuk perawatan
fraktur dan koreksi deformitas. Fraktur harus dipasang splint atau cast. Pada
osteogenesis imperfekta fraktur akan sembuh dengan baik, sedangkan cast
diperlukan untuk meminimalkan osteoporisis akibat imobolisasi jangka lama
(Marini, 1998).

2.2.9 Prognosis
Prognosis penderita osteogenesis imperfekta bervariasi tergantung klinis
dan keparahan yang dideritanya. Penyebab kematian tersering adalah gagal napas
(Indrawan et al, 2013). Osteogenesis imperfekta merupakan suatu kondisi kronis
yang membatasi harapan hidup dan fungsi penderitanya. Osteogenesis imperfekta
tipe II merupakan bentuk yang paling berat dan menyebabkan kematian pada
masa perinatal. Pasien yang menderita osteogenesis imperfekta tipe II
menunjukkan fraktur multipel pada iga maupun tulang panjang, deformitas tulang
29

yang berat, dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi respirasi. Bayi
dengan osteogenesis imperfekta tipe II meninggal dalam usia bulanan – 1 tahun
kehidupan. Penderita osteogenesis imperfekta tipe III biasanya meninggal karena
penyebab pulmonal pada masa anak-anak dini, remaja. Sedangkan penderita
osteogenesis imperfekta tipe I dan IV dapat hidup dengan usia yang lebih panjang
(Indrawan et al, 2013; Marini, 2004).
30

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. AN
Umur : 4 tahun
Tanggal lahir : 22/10/13
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Batumirah, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal
Agama : Islam
Identitas Orangtua Pasien
Nama Ayah : Tn. S
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : Tidak Sekolah
Nama Ibu : Ny. M
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD

3.2 Data dasar


Anamnesis
Data didapat dari alloanamnesis dengan ibu pasien pada hari Kamis,
2 Agustus 2018 pukul 09.00 WIB di BP Umum Puskesmas Bumijawa.
A. Keluhan Utama : BAB cair
B. Riwayat Penyakit Sekarang
±3 hari yang lalu pasien mendadak mengalami BAB cair. BAB cair
terjadi sebanyak 4-5 kali sehari. BAB cair berlendir (-), berdarah (-),
menyemprot (-). BAB cair disertai dengan demam (+), namun ibu tidak
31

mengukurnya, mual (-), muntah (-). Pasien masih dapat makan minum
dengan baik. BAK dalam batas normal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sakit dengan keluhan serupa (+)
- Riwayat infeksi paru (+)
- Riwayat gizi buruk (+)
- Riwayat rawat inap (-)
- Kelaianan tulang, suspek osteogenesis imperfecta

D. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat keluarga dan orang yang tinggal satu rumah dengan
keluhan serupa disangkal.
- Kakak perempuan pasien menderita kelainan tulang yang sama,
dengan riwayat fraktur berulang, suspek osteogenesis imperfecta.

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah bekerja sebagai petani dengan penghasilan 1 juta per bulan. Ibu
pedagang warung dirumah dengan penghasilan 1 juta per bulan.
Mempunyai dua orang anak perempuan yang belum mandiri. Ayah dan
ibu merupakan saudara satu buyut.

3.3 Data Khusus


A. Riwayat Perinatal
a. Riwayat Prenatal
Ibu pasien rutin ANC setiap bulan pada bidan puskesmas dan satu
kali pada dokter saat awal kehamilan. Selama masa kehamilan, Ibu
mengalami perdarahan (-), darah tinggi (-), kencing manis (-), ruam-
ruam (-), demam (-), riwayat trauma (-). Selain itu, saat hamil Ibu juga
mengkonsumsi Vit. A (+), asam folat (+), tablet besi (+), obat-obatan
32

selain yang diberikan bidan atau dokter (-), jamu-jamuan (-). Sebelum
hamil ibu sudah mendapatkan vaksin TT (+).
b. Riwayat Natal
Lahir bayi perempuan cukup bulan (38 minggu) dari ibu G2P1A0
usia 33 tahun, secara spontan dengan BBL 2400 g, di Puskesmas. Bayi
lahir langsung menangis kencang (+), kebiruan (-), kuning (-) dan
dirawat bersama dengan ibu.
c. Riwayat postnatal
Anak rutin dibawa ke puskesmas untuk dilakukan imunisasi, tidak
ada ikterik, maupun alergi.

B. Riwayat Kontrasepsi
Pasca melahirkan anak pertama, ibu tidak menggunakan KB.

C. Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : 4x (0,2,4,6 bulan)
Polio : 4x (0,2,4,6 bulan)
DTP : 3x (2,4,6 bulan)
HiB : 3x (2,4,6 bulan)
BCG : 1x (1 bulan)
Campak : 1x (9 bulan)
Boster : (+)
Kesan : Imunisasi dasar program pemerintah lengkap,
booster (+)

D. Riwayat Makan
a. Kualitatif
- ASI eksklusif, dari lahir sampai usia 6 bulan.
- ASI + nasi tim, dari usia 6 bulan sampai 12 bulan.
- ASI + Makanan keluarga, mulai usia 1 tahun (Makanan
keluarga berupa nasi, ayam, daging, telur, ikan, sayur, buah).
33

- Susu formula + Makanan keluarga, mulai usia 2 tahun sampai


sekarang.
b. Kuantitatif (Food Recall, tiga hari terakhir)
Pagi Siang Malam
I ½ Nasi + sayur + ½ nasi + sayur + ½ Nasi + sayur +
telur + Susu + ikan pindang + telur + biskuit MT
Biskuit MT Balita biskuit MT Balita Balita
II ½ Nasi + tempe + Nasi + ½ potong ½ porsi nasi + telur
Susu + MT Balita ayam + Biskuit MT + sayur sop + susu +
Balita biskuit MT Balita
III ½ Nasi + ikan ½ Nasi + ikan ½ Nasi + tempe +
pindang + susu + pindang + biskuit Sayur sop + biskuit
biskuit MT Balita MT Balita MT Balita
Kesan : kualitas dan kuantitas makanan dan minuman cukup.

E. Riwayat Pertumbuhan
Berat Badan lahir = 2.4 kg
Berat Badan sekarang = 7.8 kg
Tinggi Badan = 84 cm
Lingkar Lengan Atas = 14 cm
Lingkar Kepala = 47 cm
Berdasarkan status anthropometri dengan WHO Anthro:
WAZ = -5.45 SD
HAZ = -5.17 SD
WHZ = -4.14 SD
MUAC-for-age = -1.96 SD
HC-for-age = -1.98 SD
Kesan : Gizi Buruk dan Perawakan Sangat Pendek dengan Lingkar
Lengan Atas dan Lingkar Kepala normal.
34

F. Riwayat Perkembangan
Saat pasien berumur 2 bulan pasien mampu mengangkat kepala, usia 6
bulan dapat duduk tanpa berpegangan, namun belum dapat berjalan
sendiri, usia 12 bulan pasien mampu masukan balok ke dalam wadah
namun belum bisa berdiri. Saat ini pasien berumur 4 tahun, pasien dapat
berinteraksi dengan baik dengan teman maupun orang di sekitar
rumahnya, namun masih belum dapat berjalan.
Kesan : Perkembangan normal sesuai usia anak, namun dengan gangguan
berjalan.
3.4 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
Keadaan umum : tampak rewel
Tanda-tanda vital :
TD : tidak dilakukan pengukuran
RR : 23 x/menit
HR : 109 x/menit
T : 38,5°C
Nadi regular, isi, dan tegangan cukup.
Kepala : Mesosefal, rambut hitam
Wajah : Dismorfik (-)
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-),sklera ikterik (-/-),
mata cowong (-/-), edema palpebral (-/-)
Hidung : Nafas cuping (-/-), epistaksis(-/-), discharge (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa kering(-), perdarahan gusi(-),
gigi (-) riwayat patah gigi
Tenggorokan : Tonsil T1-1, hiperemis (-), kripte tidak melebar (-),
Detritus (-), faring hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-/-), discharge(-/-)
Leher : Perbesaran nnll (-/-), bull neck (-)
Thoraks
35

Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-), deformitas (+)


pectus carinatus
Pulmo :
Inspeksi : Dada simetris saat statis maupun dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) / (+/+), suara vesikuler
menurun
pada paru kanan bawah
Suara tambahan; ronkhi (-/-) / (-/-), wheezing (-/-) / (-/-),
hantaran (-/-) / (-/-).
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2cm medial dari LMCS,
tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, gallop (-), bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Supel, teraba perbesaran hepar dan lien tidak teraba ,
turgor kembali cepat, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Genital : Perempuan
Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/-)
CRT (<2”/<2”) (<2”/<2”)
Ekstremitas terkesan kecil dan kurus.
36

3.5 Daftar Masalah


No Masalah Aktif Tanggal No Masalah Pasif Tanggal
1. BAB cair 4-5x 1. BB dan TB sangat 02/08/2018
02/08/2018
sehari rendah untuk usia
2. Demam 02/08/2018 2. Pectus carinatus 02/08/2018
3. Bising usus 3. Gigi (-) riwayat
02/08/2018 02/08/2018
meningkat patah
3. Belum dapat
02/08/2018
berjalan sendiri

3.6 Diagnosis
Diagnosis Klinis
- Diare akut tanpa dehidrasi ec suspek viral dd/ bakterial
- Kelainan tulang, suspek osteogenesis imperfecta dd/osteoporosis
juvenile idiophatic, achondroplasia
Diagnosis Gizi
Gizi buruk dan perawakan sangat pendek
Diagnosis Kerja
Gizi buruk dan perawakan sangat pendek dengan disertai kelainan tulang,
suspek osteogenesis imperfecta dan diare akut tanpa tanda dehidrasi ec.
suspek viral

3.7 Rencana Pemecahan Masalah


A. Gizi buruk dan perawakan sangat pendek
IpDx : S : -
O : Antrhopometri WHO (WHZ, HAZ, WAZ)
IPRx :
Status Dietetik
BB sekarang : 7,8 kg
BB ideal : (usia x 2) + 8
(4 tahun x 2) + 8 = 16 kg
37

Kebutuhan Nutrisi
Cairan : (10 x 100 cc) = 1000 cc + (6 x 50) = 300  1300 cc
Kalori : 100 x 16 = 1600 kkal
Protein : 1,23 x 16 = 19,68 g
Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
Cairan (cc) Kalori (kkal) Protein (g)
Nasi Putih 300 1709 64
(3 porsi)
Susu 300 225 2,7
(3 gelas)
Biskuit MT Balita 3 135 1
(3 buah)
Air putih 700 - -
TOTAL 1303 2069 67,7
AKG 100,2 % 129% 344%
Jalur : Peroral
Pemantauan : Akseptabilitas diet, evaluasi BB,TB

B. Kelainan tulang, suspek Osteogenesis Imperfecta


IpDx :S: -
O : Rujuk ke Spesialis Anak
Usul : Bone survey, BMD, DEXA, Analisis DNA,
Biopsi kolagen
IpRx :-
IpMx : Fraktur, Muscle wasting, Mobilitas
IpEx :
- Menjelaskan kepada keluarga mengenai penyakit anak
- Menjelaskan pentingnya latihan jalan buat menguatkan
otot kaki dan meningkatkan massa tulang
- Menjelaskan mengenai pencegahan fraktur yang
merupakan komplikasi dari penyakit anak.
38

C. Diare akut tanpa dehidrasi ec viral


IpDx :S: -
O : darah lengkap
IpRx : Oralit 200 dilarutkan dalam 200 cc air, setiap BAB cair
Paracetamol sirup 120mg/6 jam (jika t ≥ 380C)
Zinc 20mg 1x1 selama 10 hari
IpMx : Evaluasi KU, tanda vital, tanda – tanda dehidrasi
IpEx :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai
diare dan penanganannya
- Menjelaskan kepada orang tua tentang tanda-tanda
dehidrasi, dan melapor kepada perawat jika orang tua
menemukan tanda-tanda tersebut.
39

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang anak perempuan berusia empat tahun dengan berat badan


7,8 kg dan tinggi badan 84 cm datang ke Puskesmas Bumijawa dengan keluhan
buang air besar cair. Anamnesis didapat dari alloanamnesis dengan ibu pasien
pada hari Kamis, 2 Agustus 2018 pukul 09.00 WIB di BP Umum Puskesmas
Bumijawa.
3 hari sebelum datang ke puskesmas, konsistensi BAB pasien
mendadak cair. BAB cair terjadi sebanyak 4 sampai 5 kali dalam sehari. Keluhan
BAB cair disertai dengan darah (-), lendir (-), menyemprot (-), demam (+) namun
tidak diukur, mual (-), muntah (-). Pasien masih dapat makan dan minum dengan
baik serta BAK pasien masih dalam batas normal. Karena keadaan pasien tidak
juga membaik, akhirnya orang tua pasien memutuskan untuk membawa pasien
berobat ke Puskesmas Bumijawa.
Sebelumnya pasien juga pernah memiliki riwayat sakit dengan
keluhan serupa. Selain itu pasien juga pernah memiliki riwayat infeksi paru-paru
(+), growth faltering (+), flat growth (+), kelainan tulang (+) suspek osteogenesis
imperfecta serta riwayat rawat inap sebelumnya (-). Pada keluarga pasien tidak
ditemukan anggota keluarga yang sakit dengan keluhan serupa, namun didapatkan
anggota keluarga lainnya yang memiliki riwayat kelainan tulang (+), fraktur
berulang, suspek osteogenesis imperfecta, kakak perempuan pasien.
Pasien lahir dari ibu G2P1A0 pada usia 33 tahun, dengan usia kehamilan 38
minggu. Bayi lahir spontan di puskesmas dan langsung menangis. Berat badan
lahir 2400 gram, panjang badan lahir 43 cm dan lingkar kepala 28 cm. Selama
kehamilan ibu rutin kontrol kehamilan pada bidan puskesmas setiap bulan dan
pada dokter saat awal kehamilan. Keluhan ibu selama hamil seperti demam (-),
perdarahan (-), ruam-ruam (-), kencing manis (-), hipertensi (-) serta trauma (-).
Selama hamil, ibu mengkonsumsi jamu-jamuan (-), minuman beralkohol (-), obat-
obatan yang diberikan selain dari bidan atau dokter (-), vitamin A (+), asam folat
(+) dan tablet besi (+) serta mendapatkan vaksin TT (+). Riwayat imunisasi dasar
40

pasien lengkap dan boster (+). Riwayat makan dan minum pasien kesan ASI
eksklusif, Riwayat pertumbuhan pasien didapatkan BB dan TB sangat rendah
untuk usianya (WAZ Score -5.45 SD dan HAZ Score -5.17 SD), namun dengan
Lingkar Lengan Atas dan Lingkar Kepala normal untuk usianya (MUAC-for-age -
1.96 SD dan HC-for-age -1.98 SD). Riwayat perkembangan pasien diketahui
sesuai usia namun dengan gangguan berjalan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis dan keadaan
umum tampak rewel. Tanda vital pasien didapatkan HR 109x/menit, isi dan
tegangan nadi cukup serta reguler, RR 23x/menit dan suhu 38,5°C. Selain itu
ditemukan pula gigi (-), riwayat gigi patah pada pemeriksaan mulut serta
deformitas dinding dada (+) pectus carinatus dan suara dasar vesikuler (+/+) /
(+/+), menurun pada paru kanan bawah saat dilakukan pemeriksaan thoraks. Pada
pemeriksaan abdomen ditemukan bising usus (+) meningkat serta pada
ekstremitas didapatkan kesan kecil dan kurus.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas, maka dapat ditarik diagnosis
gizi buruk dengan disertai kelainan tulang, suspek osteogensis imperfecta dan
diare akut tanpa tanda dehidrasi ec. suspek viral.
Diagnosis gizi buruk pada pasien ini didapatkan dari status
antropometrinya. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan
pasien maka didapatkan nilai WAZ Score -5.45 SD, HAZ Score -5.17 SD dan
WHZ Score -4.14 SD. Sesuai dengan kriteria status gizi yang dikeluarkan oleh
WHO tahun 2006, maka pasien masuk ke dalam kateri gizi buruk karena ketiga
penilaian tersebut sudah kurang dari -3.00 SD. Selain itu bila kita merujuk pada
kriteria diagnosis gizi buruk yang dikeluarkan oleh Kemeterian Kesehatan pada
tahun 2011, pasien ini juga telah memenuhi kriteria gizi buruk karena memiliki
nilai BB/TB < -3.00 SD dan terlihat sangat kurus. Selanjutnya guna memberikan
penatalaksanaan yang adekuat, maka diperlukan penghitungan kebutuhan nutrisi
sesuai dengan kondisi pasien saat ini. Berdasarkan penghitungan kebutuhan
nutrisi pasien dan rencana pemenuhan kebutuhan pasien, maka didapatkan Angka
Kecukupan Gizi yang sudah melebihi 100%, baik pada kebutuhan jumlah cairan,
kalori dan juga protein.
41

Diagnosis Kelainan Tulang, suspek Osteogenesis Imperfecta sejatinya


masih harus ditelusuri lebih lanjut. Diagnosis ini didapatkan dari hasil anamnesis
berupa riwayat kelainan pertumbuhan tulang dan fraktur berulang, baik pada
pasien ataupun anggota keluarga lainnya yaitu kakak dari pasien serta tidak
ditemukannya gigi pada pemeriksaan mulut pasien dan deformitas dinding dada
(+) pectus carinatus pada pemeriksaan fisik thoraks pasien. Nilai WAZ Score dan
HAZ Score yang kurang dari -3.00 SD mengindikasikan bahwa seolah-olah
pasien mengalami gizi buruk, akan tetapi nilai MUAC-for-age dan dan HC-for-
age seperti membantahkan indikasi tersebut dan mengarahkan diagnosis pada
kelainan tulang. Namun di sisi lain riwayat Growth Faltering dan Flat Growth
pada pasien semakin membuat kerancuan akan diagnosis ini. Keterbatasan alat
dan tenaga di puskesmas membuat diagnosis ini belum dapat ditegakan dengan
pasti. Oleh sebab itu pasien diusulkan untuk dirujuk ke dokter spesialis anak pada
fasilitas pelayanan kesehatan sekunder guna mendapatkan tatalaksana dan
pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti Bone survey, Bone Mass Density,
DEXA, Analisis DNA dan Biopsi Kolagen.
Diagnosis diare akut tanpa dehidrasi ec. suspek viral didapatkan dari hasil
anamnesis BAB cair sebanyak 4 sampai 5 kali dalam sehari tanpa disertai dengan
darah, lendir ataupun menyemprot dan pemeriksaan fisik abdomen bising usus (+)
meningkat. Selain itu temuan mata tidak cowong, turgor kembali dengan cepat
dan kesadaran composmentis pada pemeriksaan fisik serta diketahui BAK masih
dalam batas normal dan pasien masih memiliki keinginan untuk minum pada
anamnesis, menunjukan bahwa pasien tidak mengalami dehidrasi. Oleh sebab itu
tatalaksana yang diberikan berupa Oralit 200 yang dilarutkan dalam 200 cc air
minum, diberikan setiap setelah pasien BAB cair, paracetamol sirup 120mg/6 jam
(jika t ≥ 380C) dan zinc 20 mg, diberikan 1 kali dalam sehari selama 10 hari.
Selanjutnya pasien dapat diusulkan untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap
guna mencari tanda infeksi lebih dalam dan keluarga pasien dapat diberikan
edukasi terkait tanda dan gejala dehidrasi.
42

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Program TFC memiliki peranan cukup penting sebagai upaya dalam
pengelolaan kasus gizi buruk, mulai dari pelacakan kasus, pengelolaan secara dini
dan komperhensif, hingga pemantauan perkembangan hasil tatalaksana yang
berkelanjutan.

5.2 Saran
- Mengoptimalkan peran tenaga kesehatan dalam upaya penanganan gizi
buruk, sehingga dapat memberikan penanganan yang komperhensif
dan terintegrasi.
- Mengoptimalkan peran lintas sektoral dalam penanganan kasus gizi
buruk.
- Mengoptimalkan edukasi masyarakat mengenai gizi buruk sebagai
upaya untuk meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam
penanggulangan kasus gizi buruk.
- Perlunya tatalaksana dan pemantauan yang berkelanjutan untuk kasus
gizi buruk yang sudah ditemukan dan dikelola.
43

DAFTAR PUSTAKA

Jonkers C, Kouwenoord K, et al. Guideline screening and treatment of


malnutrition. Dutch Malnutrition Steering Group: Amsterdam; 2011
Siswanto, Hadi, et al. “Berapa besar masalah gizi di Indonesia dan bagaimana
menanggulanginya?”. Jurnal data dan informasi kesehatan: 2011; vol
1(1):9
Supriasa, I Dewa Nyoman, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Jakarta; EGC:
2001.
Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and
Undernutrition in Nelson Textbook of Pediatric. Ed ke-18:2004;225-232
Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Depkes RI: Jakarta; 2011
Aizenbud D, Peled M, Figueroa AA. A combined orthodontic and surgical
approach in osteogenesis imperfecta and severe class III malocclusion: case
report. Oral Maxillofacial Surgery Journal 2008; 66: 1045-53.
Astrom E, Soderhall S. Beneficial effect of long term intravenous bisphosphonate
treatment of osteogenesis imperfecta. Arch Dis Child 2002; 86:356-64.
Beck K, Chan VC, Shenoy N, Kirkpatrick A, Ramshaw JAM, Brodsky B.
Destabilization of osteogenesis imperfecta collagen-like model peptides
correlates with the identity of the residue replacing glycine. Proc Natl Acad
2000; 97(8): 4273-8.
Bhandari S and Pannu K. Dentinogenesis imperfecta: A review and case report of
a family over four generations. IJDR 2008;19(4): 357-61.
Chang PC, Lin SY, Hsu KH. The craniofacial characteristics of osteogenesis
imperfecta patients. European Journal of Orthodontics 2007; 29: 232-7.
Chevrel G. Osteogenesis imperfecta. 2010. Available at:
http://www.orpha.net/data/ patho/GB/uk-OI.pdf. Accessed January 20,
2010.
44

Clements K, Etris D, Franken A, Hauk J, Huber MB, Hofhine M, Letocha AD,


Przybylski T, VanDerAhe L, Young G. United State: Osteogenesis
imperfecta: A guide for nurses. National Institute of Health (NIH); 2005.
p.1.
Di Lullo GA, Sweeney SM, Körkkö J, Ala-Kokko L, San Antonio JD. Mapping
the ligand-binding sites and disease-associated mutations on the most
abundant protein in the human, type I collagen. Biol Chem 2002; 277(6):
4223-31.
Elmrini A, Boujraf S, Marzouki A, Agoumi O, Daoudi A. Osteogenesis
imperfecta tarda. A case report. Nigerian Journal of Orthopaedics And
Trauma 2006; 5(2): 61-2.
Falk MJ, Heeger S, Lynch KH. Intravenous biphosphonate therapy in children
with osteogenesis imperfecta. Pediatrics 2003; 111:573-7.
Forin V. Osteogenesis imperfecta. Presse Med 2007; 36(12): 1787-93.
Heimert Tamra L, Lin Doris DM, Yousem David M. Case 48:Osteogenesis
imperfecta of the temporal bone. Radiology 2002; 224: 166-70.
Indrawan, D.K et al, 2013. Osteogenesis Imperfekta pada Bayi Perempuan
Berusia 2 Hari. JIKA, Vol. I, No. 2, Juni 2013.
Ivo R, Fuerderer S, Eysel P. Spondylolisthesis caused by extreme pedicle
elongation in osteogenesis imperfecta. Euro Spine Journal 2007; 16:1636-
40.
Kusaladewi M. Maloklusi pada sindroma down [Skripsi Studi Pustaka]. Surabaya:
Universitas Airlangga; 2008; p.14.
Langlais RP, Miller CS. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Alih
bahasa: Budi Susetyo. Jakarta : Hipokrates, 1994. p. 24, 42-45, 58, 82.
Lund AM, Jensen BL, Nielsen LA, Skovby F. Dental manivestations of
osteogenesis imperfecta and abnormalities of collagen I metabolism. J
Craniofac Genet Dev Biol 1998; 18(1): 30-7.
Malmgren B, Åmström E, Söderhäll S. No osteonecrosis in jaws of young patients
with osteogenesis imperfecta treated with bisphosphonates. J Oral Pathol
Med 2008; 37(4): 196-200.
45

Marini JC. Osteogenesis imperfecta. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, editors. Nelson text book of pediatrics. Philadelphia: Saundres, 2004.
h. 2338-8.
Marks R. Dental care for persons with OI. 2002. Available at: www.osteo.org.
Accessed January 22, 2015.
Morris CD, Einhorn TA. Current concepts review biphosponate in orthopaedic
surgery [cited 2015 Jan 22]. Diunduh dari: URL: www.ejbjs.org.
Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. The molecular and biochemical basis of
genetic disease. Dalam: Thompson and thompson genetic in medicine, edisi
ke-6. Philadelphia: Saunders, 2004, 229-346.
Ottani V, Martini D, Franchi M, Ruggeri A, Raspanti M. Hierarchial structures in
fibrillar collagens. Micron 2002; 33(7-8): 587-96.
Patria, S.Y. 2012. Lecture : Congenital Musculoskeletal Disorders. Pediatrics
Dept. Fac. Medicine, Gadjah Mada Univ, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai