Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

EKOSISTEM DI PEGUNUNGAN

Oleh
Maratul Muslimah
16/407386/PGE/01283

Dosen Pengampu
Prof. Chafid

PROGRAM STUDI S2 PENGINDERAAN JAUH


FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
1. Persebaran Gunung dan Pegunungan di Indonesia
Gunung dan pegunungan secara genesa pembentukannya berdasarkan klasifikasi
Verstappen (1983) digolongkan ke dalam bentuklahan asal proses vulkanik dan struktural.
Bentuklahan asal proses vulkanik merupakan kelompok besar satuan bentuklahan yang terjadi
akibat aktivitas gunung api, antara lain: kerucut gunungapi, madan lava, kawah, dan kaldera.
Selanjutnya, bentuklahan asal proses struktural merupakan kelompok besar satuan bentuklahan
yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan,
perbukitan, dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuklahan asal struktural. Secara
topografi, bentuklahan gunung memiliki pengertian dicirikan dengan suatu bentuk permukaan
tanah yang menjulang yang letaknya jauh lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah sekitarnya,
sedangkan pegunungan adalah meliputi kawasan yang luas yang terdiri dari deretan puncak dan
lembah gunung.

Secara fisiografis wilayah Indonesia terletak dalam rangkaian cincin gunung api (Ring of
Fire) yang merupakan pertemuan 2 jalur pegunungan yaitu sirkum pasifik dan Sirkum
Mediterania. Jalur Sirkum Mediteraniann di Indonesia membentang dari Pulau Sumatra, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku, sedangkan Sirkum Pasifik masuk ke Indonesia melalui Sulawesi
kemudian bercabang ke Pulau Halmahera dan berakhir di Papua (Parwati dkk., 2012). Hal
tersebut menjadikan banyaknya deretan gunung dan pegunungan di Indonesia baik yang masih
aktif hingga saat ini maupun yang sudah mati. Berdasarkan sejarah letusannya, gunung api aktif
di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga ( A, B, dan C) yaitu tipe A (79 buah), adalah gunung api
yang pernah meletus sejak tahun 1600, tipe B (29 buah) adalah yang diketahui pernah meletus
sebelum tahun 1600, dan tipe C (21 buah) adalah lapangan solfatara dan fumarola (Pratomo,
2006).

Kawasan pegunungan di Indonesia memiliki ciri khas yang terbentuk berdasarkan posisi
geografis Indonesia yang berada pada daerah tropis. Kawasan pegunungan di Indonesia
berdasarkan ciri-cirinya kemudian disebut sebagai Kawasan Tropis Pegunungan (KTP).
Pegunungan-pegunungan tinggi di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Malaysia, dan Filipina
adalah pusat penyebaran KTP (Hamilton, et al., 1995 dalam Wiharto, 2015).
2. Ekosistem Penyusun pada Pegunungan di Indonesia

Karakteristik suatu areal dari sudut ekosistem dapat dilihat dari jenis vegetasi yang
tumbuh di atasnya. Jenis vegetasi dipengaruhi oleh iklim yang kemudian mempengaruhi jenis
tanah. Rantai hubungan antara iklim, jenis tanah, dan jenis vegetasi saling berkaitan dan saling
mempengaruhi dalam membentuk ekosistem pegunungan. Lebih jauh lagi, rantai hubungan
tersebut kemudian memberikan gambaran pemanfaatan dalam bentuk penggunaan lahan yang
ada. Indonesia yang merupakan daerah tropis, ketinggian tempat berpengaruh terhadap iklim,
jenis tanah, fisiografi dan penggunaan lahan. Ketinggian tempat dapat mempengaruhi perubahan
suhu, kelembaban, dan curah hujan. Semakin tinggi suatu tempat, semakin tinggi curah hujan
dan kelembabannya dan suhu menjadi semakin rendah yang kemudian hal-hal tersebut
berpengaruh terhadap jenis tanaman (Rusna, 2012).

Kawasan Tropis Pegunungan berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman


hayati di Indonesia, disebabkan lahan-lahan hutan alam yang utuh dan masih tersisa saat ini
terutama di Sumatera, Jawa, Bali, Nusatenggara, dan Sulawesi hanya terdapat di dataran tinggi,
yang termasuk di dalamnya adalah KTP. Tingkat endemisme juga tinggi untuk taxa-taxa tertentu
di kawasan tropis pegunungan, khususnya burung, mamalia kecil, dan beberapa familia
tumbuhan-tumbuhan yang terbatas penye-barannya pada zona di atas ketinggian 1000 m dpl,
dan untuk Indonesia contohnya adalah Ranunculaceae dan Primulaceae.

Iklim adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam terbentuknya ekosistem pegunungan.
Iklim pegunungan di daerah tropis lebih beragam dibanding dengan iklim dataran rendah daerah
tropis. van Steenis (2006) dalam Wiharto (2015) mengatakan bahwa, iklim Kawasan Tropis
Pegunungan (KTP) merupakan hasil dari perpaduan rumit berbagai variabel yang mengikuti pola
dasar (1) buaian harian hari pendek, (2) penurunan suhu secara teratur sesuai elevasi, dan (3)
pergantian tahunan tiupan angin tenggara atau angin muson sepanjang musim panas di belahan
bumi utara (Juni hingga September) dan angin muson basah barat laut (November hingga Maret).

Perbedaan suhu harian di pegunungan lebih dinamis daripada suhu tahunan. Perbedaan
suhu yang dipengaruhi elevasi juga mempengaruhi jenis tanah. Sepanjang gradasi elevasi terjadi
perubahan tanah yang menjadi lebih banyak mengandung humus. Udara yang semakin dingin
dan basah mempengaruhi proses penghancuran bahan organik sehingga menyebabkan tanah
menggambut. Jenis lumut yang banyak ditemukan sebagai pembentuk gambut yaitu Sphagnum
(Whitmore, 1986 dalam Kartawinata , 2013). Struktur dan nutrien yang dikandung tanah
mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan dapat mempengaruhi susunan vegetasi alam.
Keadaan pH tanah juga merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam menentukan
penyebaran tumbuhan. Beberapa tumbuhan membutuhkan pH tertentu untuk dapat
berkembang sedangkan tumbuhan lainnya cukup toleran (Suin, 2003).

Terdapat zonasi pada jenis vegetasi di pegunungan. Vegetasi pegunungan meliputi hutan
pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, hutan subalpin, semak dan padang rumput
subalpin, semak dan padang rumput alpin, sampai vegetasi salju (nival vegetation) yang tersebar
pada elevasi 1000-4884 m dpl. Batas antara hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan
atas tidak selalu nyata tetapi perubahannya perlahan dan membentuk suatu kontinum
(continuum). Pada elevasi <2400 m dpl permukaan kanopi hutan tidak rata karena kehadiran
pohon-pohon mencuta dan terdiri dari beberapa lapisan. Batas antara pegunungan atas dengan
zona hutan subalpin jelas terlihat pada elevasi >2400 m dpl. Zona di atas elevasi 4100 m dpl (zona
alpin) tidak ditemukan lagi hutan dan vegetasi yang mendominasi adalah semak dan padang
rumput. (Kartawinata, 2013 ).

Ekosistem yang ada pada suatu pegunungan sangat ditentukan berdasarkan lokasi di
mana pegunungan tersebut berada walaupun secara umum berada pada satu daerah yang
cenderung sama (misalnya daerah tropis atau subtropis). Ciri khas ekosistem tersebut
memberikan pengaruh dan peran yang berbeda-beda terhadap lingkungan di sekitar
pegunungan. Sebagai contoh ekosistem pegunungan tropis di Indonesia misalnya Gunung Salak.

Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis yang terdapat di Jawa
Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai dengan 2 210 m dpl. Gunung ini
memiliki peran yang penting bagi lingkungan di sekitarnya, antara lain: (1) konservasi
keanekaragaman hayati pegunungan, dengan adanya spesies tumbuhan yang hanya ditemukan
di Gunung Salak, yaitu Rhizanthes zippeli, Rafflesia rochusseni, dan Corybas vinosus (2) menjaga
keseimbangan ekosistem dan (3) konservasi tanah dan air, terutama untuk menjamin pasokan
air bagi berbagai daerah yang terdapat di sekitarnya (Wiharto, 2008). Hutan yang menyusun
aliansi vegetasi di Gunung Salak tersebut terbentuk oleh pepohonan yang sepanjang tahun
memiliki tajuk dengan daun yang selalu hijau. Kriteria yang digunakan dalam penentuan unit
vegetasi tingkat kelompok pada Gunung Salak yaitu kondisi iklim makro yang berpengaruh
terhadap jenis vegetasi yang ditemukan. Suhu rata-rata di Gunung Salak yaitu 25.83oC dengan
suhu rata-rata tertinggi adalah 26.4 oC pada bulan Mei dan terendah adalah 24.9 oC pada bulan
Januari. Curah hujan tertinggi (495.20 mm) terjadi pada bulan Januari dan terendah (167.80 mm)
pada bulan Agustus (Wiharto, 2008).

Wiharno (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan kriteria UNESCO (Mueller-Dombois


dan Ellenberg, 1974) suatu formasi untuk hutan tropis secara umum di dataran rendah dan hutan
tropis subpegunungan dapat lagi dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) hutan yang didominasi oleh
tumbuhan berdaun lebar, (2) hutan yang didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum, dan (3)
hutan yang didominasi oleh tumbuhan bambu. Selanjutnya berdasarkan kriteria NVCS (FGDC,
1997; dan Grossman et al., 1994) dalam Wiharto (2008), hutan tanaman termasuk ke dalam
kriteria tersendiri, yaitu hutan formasi hutan tanaman/perkebunan dan budi daya.

Contoh ekosistem pegunungan tropis yang lain di Indonesia misalnya di Gunung Bromo.
Ekosistem yang ada di Gunung Bromo dipetakan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan
jauh. Hasil pemetaan yang diperoleh menunjukkan bahwa ekosistem penyusun yang ada antara
Gunung Bromo dan Gunung Salak berbeda. Beberapa tipe ekosistem utama yang ada pada Gunung
Bromo antara lain tipe ekosistem hutan primer, hutan sekunder, laut pasir, danau, lahan terbuka,
pemukiman, semak belukar, dan tegalan. Perincian masing-masing ekosistem yang ada pada Gunung
Bromo menurut Sukojo (2003), antara lain:
1) Ekosistem hutan primer yaitu ekosistem yang secara fisik belum terganggu, atau hanya
sedikit yang terganggu oleh aktivitas manusia. Ciri umum ekosistem hutan primer adalah
tidak terpengaruh oleh musim, memiliki keanekaragaman spesies hewan dan tumbuhan
yang sangat tinggi, strukturnya sangat kompleks dan relatif stabil
2) Ekosistem hutan sekunder muda yang mudah dibedakan dari ekosistem hutan primer
dengan terdapatnya komposisi spesies dan struktur. Walaupun demikian sulit
membedakan antara hutan sekunder tua dan hutan primer sejati.
3) Ekosistem laut pasir dideskripsikan mirip dengan ekosistem gurun. Tumbuhan herba
berkembang saat curah hujan cukup, memiliki daun yang kecil dan seringkali tertutup
bulu seperti tumbuhan herba di gurun. Bagian terbesar tumbuhan adalah efemeral, yang
menyelesaikan daur hidupnya dalam waktu yang sangat singkat, dalam jangka waktu sau
bulan atau kurang. Herba yang tidak efemeral kebanyakan berupa perenial akar yang
selamat dari musim kering dalam bentuk umbi Ekosistem danau dapat dibagi menjadi tiga
zona yaitu zona litoral, zona limnetik dan zona profundal. Danau adalah bentuk geologi
sementara yang terbentuk karena bencana alam, menjadi “dewasa” dan “mati” dengan
tenang dan perlahan-lahan. Danau lahir akibat bencana alam pada zaman es atau periode
aktivitas tektonik dan vulkanik yang intensif. Danau di daerah tropika mempunyai suhu
permukaan yang tinggi (20-30°C) dan memperlihatkan penurunan suhu yang kecil dengan
bertambahnya kedalaman.
4) Ekosistem lahan terbuka adalah ekosistem lahan akibat perambahan dan aktivitas
manusia atau akibat alam. Komunitas vegetasi pegunungan (subalpine) tropis pada
ketinggian di atas 2500 meter berupa pohon kerdil dan ditumbuhi lumut kerak.
5) Ekosistem pemukiman adalah ekosistem tempat manusia hidup dan bermukim.
6) Ekosistem semak belukar meliputi savana yang merupakan daerah peralihan antara hutan
dan padang rumput. Savana terjadi karena keadaan tanah dan atau kebakaran yang
berulang dan bukan disebabkan oleh keadaan iklim Vegetasinya harus tahan terhadap
kekeringan dan kebakaran, jumlah jenis dalam vegetasinya tidak besar. Rumput-rumput
yang termasuk ke dalam genera panicum, penisetum, andrpogon, dan imperata
merupakan penutup yang dominan, sedangkan pohon-pohon yang tersebar memiliki
jenis yang berbeda dari jenis pohon-pohon di hutan.
7) Ekosistem tegalan merupakan daerah pengelolaan pertanian. Sumber daya yang
merupakan basis ekosistem ini adalah lahan basah dan lahan kering. Eksplorasi sumber
daya ini dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat berakibat lingkungan
tersebut menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi. Ekosistem tegalan ini mencakup kebun
campuran, tegalan dan bentuk pertanian lainnya yang umumnya berada di sekitar taman
nasional.
3. Permasalahan

Kawasan pegunungan memiliki nilai yang penting dalam kehidupan makhluk hidup. Nilai
penting dari kawasan pengunungan ditunjukkan dengan keberadaan sebagian besar sungai
utama di dunia berasal dari kawasan pegunungan. Pegunungan di daerah tropis yang disebut
dengan Kawasan Tropis Pegunungan (KTP) adalah sumber utama air dan berperan penting dalam
ketahanan pangan di daerah tropis. Pengunungan tropis berperan penting sebagai pusat
keanekaragaman budaya, dan tempat perlindungan bagi budaya-budaya asli dari tekanan budaya
yang lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh posisinya yang terisolasi, dan jarak yang jauh dari
pusat kekuasaan (Price, 2004 dalam Wiharto, 2015).

Tekanan terhadap kawasan tropis dataran menjadikan kawasan tropis pegunungan


menjadi penting dalam perlindungan dan sumberdaya dari beragam tumbuhan dan hewan, dan
juga merupakan tempat perlindungan keanekaragaman genetik (Wiharto, 2015). Mayoritas KTP
saat ini telah menjadi pulau-pulau terfragmentasi gunung tropis yang dikelilingi oleh bentang
alam budidaya pertanian. Pembukaan lahan oleh petani-petani miskin adalah penekan utama
terhadap KTP di seluruh dunia. Di Amerika Selatan, peternakan yang ekstensif merupakan
penekan utama. Kawasan di Afrika, ini juga telah mengalami degradasi akibat pembakaran di
musim kering, dan kegiatan wisata perburuan. Kegiatan pembalakan di Asia Tenggara adalah
faktor utama penyebab rusaknya KTP (Blyth et al., 2002 dalam Wiharto, 2015). Budidaya
pertanian pada lereng-lereng curam, tanpa aplikasi teknik-teknik konservasi tanah, juga
merupakan penyebab meningkatnya erosi. Erosi yang berlebihan, peningkatan run-off,
pemadatan tanah, dan juga meningkatnya turbiditas sumber air. Rusaknya sumber air akan
mempengaruhi keanekaragaman hayati daerah pegunungan. Kerusakan daerah pegunungan
akan semakin parah dengan banyaknya aktivitas pembangunan seperti jalan raya, bangunan, dan
bendungan (Neupane & Thapa, 2001 dalam Wiharto, 2015).

Selain dari faktor manusia, faktor alam yang menyebabkan kerusakan ekosistem
pegunungan tropis. Ekosistem pegununungan sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Faktor
iklim merupakan komponen agroekosistem yang paling sulit untuk dimodifikasi (Rusna, 2012).
Perubahan iklim menyebabkan perubahan suhu dan pola curah hujan, kemudian meningkatkan
peluang bencana klimatis seperti kekeringan dan banjir.

4. Pengelolaan ekosistem pegunungan di Indonesia


Pengelolaan ekosistem pegunungan sangat penting dilakukan mengingat ekosistem
pegunungan memiliki nilai yang sangat penting bagi flora-fauna dan kehidupan yang ada di dalam
kawasan pegunungan itu sendiri, serta kawasan di sekitar pegunungan. Pengelolaan yang
diterapkan antara satu sistem pegunungan dengan sistem pegunungan yang lain tidak dapat
disamakan meskipun berada pada satu kondisi geografis yang sama (tropis dan subtropis).
Kompleksitas yang ada pada satu pegunungan harus dipelajari secara mendalam dan harus
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem pegunungan misalnya ketinggian,
iklim, jenis tanah, jenis batuan, jenis tutupan vegetasi yang ada, penggunaan lahan yang
dilakukan, dan peran dari pegunungan tersebut untuk menentukan pengelolaan yang paling
tepat dilakukan.

Salah satu contoh pengelolaan ekosistem pegunungan yaitu pada ekosistem hutan Taman
Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Ekosistem hutan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) telah
mengalami degradasi dan penurunan fungsi. Upaya restorasi dilakukan untuk memulihkan fungsi
ekosistem TNGC. Pengelolaan yang dilakukan diawali dengan mengidentifikasi bentuk dan
penyebab degradasi hutan, untuk restorasi ekosistem dengan jenis-jenis pohon asli, dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNGC. Terdapat empat bentuk hutan terdegradasi
berdasarkan penyebabnya di TNGC yaitu: (a) bekas areal pengelolaan hutan bersama masyarakat
(PHBM); (b) areal perambahan liar; (c) hutan bekas terbakar; dan (d) areal wisata yang salah
kelola. Selanjutnya ditentukan tujuan restorasi di TNGC yang dapat dikelompokkan untuk: (a)
memulihkan fungsi hidrologi; (b) memulihkan fungsi ekologi dan estetika; dan (c) mendukung
sosial ekonomi masyarakat sekitar (Gunawan dan Endro, 2013).
Daftar Pustaka
Gunawan, H. Dan Endro S. 2013. Kondisi Biofisik Dan Sosial Ekonomi Dalam Konteks Restorasi
Ekosistem Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Forest Rehabilitation Journal Vol. 1 No.
1:17-37.

Kartawinata, K. 2013. Diversitas Ekosistem Alami Indonesia: Ungkapan Singkat dengan Sajian
Foto . Pustaka Yayasan Obir Indonesia.
Parwati, Fajar Y, Rokhis Khomarudin. 2012. Aplikasi Model Probabilistik dan Energy Cone untuk
Simulasi Zona Bahay Gunung Api. Jurnal Gunungapi dan Mitigassi Bencana Geologi. Vol.4
No. 1.
Pratomo, I. 2006. Klasifikasi Gunung Api Aktif Indonesia, Studi Kasus dari beberapa letusan
Gunungapi dalam sejarah. Jurnal Geologi Indonesia. Vol. 1 No. 4:209-227
Rusna, I Wayan. Karakteristik Zone Agroekosistem Dan Kesesuaian Lahan Di Lereng Selatan
Gunung Batukaru Kabupaten Tabanan. Bumi Lestari, [S.L.], V. 8, N. 1, Nov. 2012. Issn
2527-6158.
Suin, M. N. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukojo, B.M. 2003. Pemetaan Ekosistem Di Wilayah Gunung Bromo Dengan Teknologi Penginderaan
Jauh. Jurnal Makara Teknologi, Vol. 7, No. 2.

Wiharto, M. 2008. Klasifikasi Vegetasi Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Jurnal Forum
Pascasarjana Vol. 31 No. 1:13-23
Wiharto, M. 2015. Kawasan Tropis Pegunungan Sebagai Kawasan Rawan Bencana Dengan Nilai
Ekologi Tinggi Dan Upaya Pelestariannya. Jurnal Bionature, Volume 16, Nomor 1, April
2015, hlm. 1-7

Anda mungkin juga menyukai