Anda di halaman 1dari 5

Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm.

82-86 Volume 16, Nomor 2


ISSN 0854-3844

Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen


Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai

SAM’UN JAJA RAHARJA1*

1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Abstract. The aim of this research is to analyze the public sector policy management in the management of Citarum
river by using governance paradigm. The research used qualititive approach by using triangular sources techniques
consisting of: the state, civil society, and private sector. The result shows that the management of drainage basin becomes
a public matter involving the three main governance actors. However, the involvement of these three actors entails
three implications: (1) the addition of core competence principle to the distribution of authority among actors, apart
from ultra vires and general competence principles; (2) the addition of accessibility and effectiveness criteria in the
affair distribution among the actors, apart from externality, efficiency, and accountability criteria; and (3) the revision
of Government Regulation Number 38 year 2007 particularly on the affair distribution that involves non-state elements
(civil society and private sectors) according to governance paradigm. More over there has been a need to revise the
regulations related to the management of drainage basin.

Keywords: governance, public policy, civil society, drainage basin

PENDAHULUAN atas nama “hak” yang dimilikinya, terjadi eksploitasi


sesuai dengan tujuan masing-masing yang spesifik.
Air merupakan sumberdaya alam yang makin Keadaan ini berpotensi memunculkan kompetisi dan
langka dan kritis akibat berbagai tekanan kehidupan. Di konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal.
dunia diperkirakan ada 1,4 km3 air, 97,3% merupakan Konflik yang dimaksud antara lain konflik kuantitas
air laut dan 2,7% merupakan air di permukaan bumi. berkaitan dengan kelangkaan, konflik kualitas karena
Dari 2,7% air di permukaan bumi, 77,3% merupakan pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik
salju dan geyser; 22,4% air tanah dan resapan (itupun organisasional, karena pengelolaan yang fragmentaris
yang dapat dijangkau hanya 0,79%); air rawa dan danau dan sektoral atau kewilayahan administratif, konflik
0,0035%; uap air 0,004%; dan air sungai 0,00001%. nilai berkaitan dengan pandangan penguasaan dan
Dari beberapa sumber air di atas, sumber air yang pemanfaatan sumber air sebagai barang publik atau
dapat dijangkau oleh masyarakat dan Perusahaan privat dan komoditas ekonomi global. Ironisnya dan
Daerah Air Minum (PDAM) adalah air tanah yaitu dari sekaligus juga paradoks, yaitu manakala terjadi hal-hal
sumur dangkal dan artesis sebesar 0,79%; air sungai; negatif pada aliran sungai, seperti pencemaran, banjir,
dan sumber mata air yang belum dikuasai oleh sektor dan kekeringan, masing-masing pihak cenderung
swasta atau produsen Air Minum Dalam Kemasan saling menyalahkan. Melihat banyaknya organisasi
(AMDK). Namun kondisi sungai yang merupakan yang terlibat atau memanfaatkan Sungai Citarum
penyedia sumber daya air, memiliki masalah tersendiri. memperlihatkan bahwa pengelolaan tidak dapat di
Pergantian musim hujan dan kemarau membuat kondisi lakukan oleh satu pihak saja. Tetapi harus melibatkan
sungai tidak stabil antara banjir dan kekeringan, pihak lainnya dalam suatu konsep multipihak. Tujuan
ditambah lagi masalah pencemaran berbagai limbah dari penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen
industri dan domestik yang menjadikan air di sungai kebijakan sektor publik pada pengelolaan Sungai
menjadi tidak layak dikonsumsi. Citarum denagn paradigma Governance berdasarkan
Sungai atau daerah aliran sungai merupakan suatu tiga pilar: state, civil society dan private.
sumber daya air yang memiliki karakteristik yang khas
dan sifat yang berbeda dengan sumberdaya lainnya. METODE PENELITIAN
Keberadaan sungai dengan sifatnya yang mengalir dari
hulu ke hilir memiliki potensi opportunity value dan Penelitian dilakukan dengan mengambil obyek
externality effect antara hulu-hilir atau di sepanjang pada pengelolaan Sungai Citarum. Di lintasan Sungai
aliran sungai (Pangesti, 2000, 2002). Sifat sungai yang Citarum, terdapat berbagai instansi pemerintah, swasta,
mengalir dan melintasi batas wilayah administratif dan dan organisasi kemasyarakatan yang mengelola dan
bahkan negara, banyak pihak yang berkepentingan dan memanfaatkan keberadaan Sungai Citarum tersebut.
Instansi pemerintah dan perusahaan antara lain PLTA,
*
Korespondensi: +6281 2200 3228; harja_63@unpad.ac.id PDAM, BBWS Citarum, BPSDA, BPDAS, dll,
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 83

Sedangkan organisasi kemasyarakatan antara lain Mitra (pusat), tapi penyerahannya tidak selalu kepada
Cai, P3A, GP3A, LPC, Masyarakat Cinta Citarum, pemerintah daerah saja. Penyerahan ini dapat pula
dll. Di sinilah urgensinya pengelolaan menggunakan diberikan kepada suatu organisasi, badan atau bahkan
pendekatan atau paradigma governance. kepada individu. Terkadang desentralisasi dijadikan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bertalian dengan dekonsentrasi. Di sini terjadi peran
metode penelitian kualitatif. Konsisten dengan metode, ganda, antara sebagai administrasi lapangan dengan
data dikumpulkan dengan teknik triangulasi sumber, sebagai perangkat pemerintahan umum (Ridwan, 2005).
meliputi studi pustaka, angket, wawancara mendalam, Pengelolaan daerah aliran sungai merupakan
dan diskusi stakeholder. Unit analisis penelitian ini salah satu kewenangan pemerintah yang dapat
pada level organisasi, sesuai dengan pokok bahasan didesentralisasikan berdasarkan authority maupun
governance yang meliputi tiga pilar: state, civil society, urusan (fungsi). Bentuknya sendiri dapat mengacu
dan private. kepada model pembagian Cheema dan Rondinelli
(Agusalim, 2007) yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada
HASIL DAN PEMBAHASAN organisasi parastral atau semi otonom, devolusi,
privatisasi atau transfer urusan dari pemerintah kepada
A. Kewenangan dan Urusan Pengelolaan Sungai lembaga non pemerintah.
dalam Tinjauan Teknis dan Organisasi Konteks penyerahan urusan sendiri dikenal dengan
Ada persoalan prinsip yang melekat dalam pengelolaan tiga pendekatan yaitu ultra vires, general competence,
daerah aliran sungai (DAS). Pertama, dalam kerangka dan campuran perpaduan keduanya. Pengelolaan DAS
desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan secara eksplisit merupakan urusan pemerintahan di
masing-masing wilayah administratif membagi aliran bidang kehutanan. Namun, sebagaimana diketahui
sungai sesuai dengan wilayah masing-masing. Hal ini dalam DAS, melekat juga wilayah sungai yang mengalir.
memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan Urusan pengelolaan sungai secara eksplisit menjadi
kepentingan. Kedua, sungai merupakan sumberdaya urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum diatur
yang mengalir, tidak mengenal batas-batas wilayah dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Dengan demikian
administratif dan secara teknis tidak memungkinkan terdapat dua instansi pemerintah yang bersama-sama
aliran sungai dihentikan atau dialihkan ke wilayah mengurusi satu entitas dalam daerah aliran sungai.
lain, sesuai dengan kewenangan setiap instansi atau Pembagian urusan pemerintahan dalam Peraturan
organisasi. Konsekuensinya pengelolaan daerah Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menetapkan tiga kriteria
aliran sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan sebagai dasar pembagian yaitu eksternalitas, akuntabilitas,
secara sektoral-mandiri oleh masing-masing instansi dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah kriteria
pemerintah atau organisasi yang berkepentingan dan pembagian dengan memperhatikan dampak yang timbul
yang berada dalam lintasan daerah aliran sungai tersebut. dari penyelenggaraan suatu urusan apakah lokal, regional,
Urusan pemerintahan, khususnya urusan pemerintahan atau nasional. Kriteria akuntabilitas, kriteria pembagian
daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Namun urusan berdasarkan tanggung jawab penyelenggaraan
banyak makna dalam desentralisasi. Pada konteks ini, urusan kepada masyarakat bersifat lokal, regional atau
terdapat ketidaksepakatan mengenai makna desentralisasi nasional. Kriteria efisiensi yaitu pembagian urusan
itu sendiri. Banyak pihak yang sepakat bahwa pengalihan berdasarkan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
kekuasan dan sumberdaya kepada pemerintahan daerah penyelenggaraan urusan pemerintahan.
bukanlah suatu bentuk desentralisasi. Meskipun begitu, Kriteria tersebut tidak memadai jika diterapkan
banyak yang mengasumsikan bahwa desentralisasi pada pengelolaan sungai. Hal ini dikarenakan, pertama,
pada konteks ini juga termasuk transfer kekuasaan dan berdasarkan pada kriteria eksternalitas, dampak aliran
sumberdaya dari pemerintahan pusat (Schneider, 2003). sungai bukan hanya dampak lintas daerah atau regional
Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan tetapi juga dampak lintas stakeholder, lintas fungsi,
kekuasaan, pelimpahan kekuasaan, penyebaran dan lintas departemen/instansi/organisasi. Kedua,
dan pemencaran kekuasaan. Desentralisasi juga mendasarkan pada kriteria efisiensi, apabila diserahkan
didefinisikan sebagai penyerahan urusan (function) pada satu instansi saja tidak cukup karena pengelolaan
dan kewenangan (authority) dari pemerintahan yang sungai bersifat sangat kompleks dan mahal. Ketiga,
lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga ditingkat penerapan kriteria akuntabilitas pada satu tingkatan
yang lebih rendah atau kepada individu (Agusalim, pemerintahan juga tidak cukup. Hal ini karena dalam
2007). Cheema , Nellis, dan Rondinelli (1983) juga kenyataan aliran sungai tidak benar-benar secara eksak
memberikan pengertian desentralisasi dalam arti yang berada dalam satu lingkup/batas wilayah administrasi
lebih luas “...the transfer of authority to plan, make pemerintahan tertentu, tetapi selalu bersambung dengan
decision and manage public function from higher level wilayah administrasi lainnya.
of government to any individual organization or agency Jika dicermati, pembagian urusan pemerintahan
at lower level” Pendapat Cheema dkk. ini menggariskan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
bahwa kendati desentralisasi itu berasal dari pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 masih menggunakan paradigma
84 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86

lama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terlibat, (3) koordinasi antar swasta dan publik baik
bertumpu pada government. Penggunaan paradigma secara formal maupun informal, (4) konsep atau teori
lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial
2007 dapat ditelaah dalam pasal-pasal maupun (Laffer, 2002; Pierre)
penjelasannya. Pasal 1 ketentuan umum tentang urusan Konsep networks sebagai bentuk spesifik dari
pemerintahan menjelaskan “ .... urusan pemerintahan governance dalam menganalisis relasi antar aktor/
adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak organisasi diimplementasikan dalam berbagai bentuk
dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan (mode of governance) atau mode of governing. Koiman
pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi- mengemukakan beberapa mode of governing yaitu
fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam co-governing dan mixed mode governing (Kooiman,
rangka melindungi, melayani, memberdayakan, 2000; Pierre). Co-governing dicirikan dengan dominasi
dan menyejahterakan masyarakat.....”. Hal ini juga hubungan yang bersifat horizontal dan kesetaraan antar
dipertegas dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “.... pihak yang berelasi. Pada co-governing, para pihak
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan bekerja sama, berkoordinasi, dan berkomunikasi tanpa
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah terlalu didominasi oleh aktor pengatur.
dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama Ada beberapa tipe dari modus co-governance, yaitu
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan...”. (1) public private partnership yang menekankan co-
Ketentuan umum maupun pasal dalam dalam PP 38 operation ; (2) communicative governing, yaitu suatu
tahun 2007 tersebut sama sekali tidak menyinggung atau proses belajar dan penyesuaian pola perilaku dalam
menyebut sektor privat atau civil society sebagai unsur pengelolaan perubahan structural sebagai tanggung
yang terlibat atau dilibatkan dalam penyelenggaraan jawab bersama; (3) responsive regulation, dimana
urusan pemerintahan. institusi-institusi kunci dalam tatatan sosial (masyarakat,
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 negara, dan asosiasi) berpartisipasi secara langsung.
tentang desentralisasi juga menyiratkan dan menyuratkan Mixed mode governing mencirikan berperannya
tidak dilibatkannya unsur di luar pemerintah dalam masyarakat sipil, pasar, dan pemerintah secara mixed
urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi (bercampur). Pada saat bersamaan peran sentral
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah secara langsung menurun, sehingga bergeser
pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan menjadi mitra kerja dan fasilitator melalui bentuk
pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang pengaturan bersama (shared governance). Argumentasi
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan model ini didasarkan pada pemikiran bahwa masalah
urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar kolektif bersifat kompleks dan dinamis yang dalam
tingkatan dan susunan pemerintahan. penanganannya memerlukan pembagian tanggung jawab
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah dan aransemen bersama.
bergeser dari government ke governance yang bercirikan Mengacu kepada makna governance sebagai network
“...adanya multi-aktor dalam penyelenggaraan maka keterlibatan aktor non state dalam pengelolaan
pemerintahan, aktor tersebut meliputi state, civil society sungai merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu,
dan privat. Keterlibatan para aktor ini mengakhiri penerapan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
monopoli state dalam penyelenggaraan pemerintahan” bertumpu pada tiga kriteria yang disebutkan terdahulu,
(Prasojo, 2007; Muluk). dipandang tidak cukup memadai. Sehubungan dengan
Berdasarkan terminologi umum, governance itu, perlu ditambahkan setidaknya dua kriteria tambahan
dipahami sebagai keterkaitan antar organisasi, pelibatan yaitu aksesibilitas dan efektivitas.
lembaga publik dalam formulasi dan implementasi Kriteria aksesibilitas adalah pengelolaan urusan
kebijakan, serta terhubungnya berbagai organisasi untuk dengan mempertimbangkan instansi atau organisasi
melaksanakan tujuan-tujuan publik (Keban, 2004). apa yang (1) paling dekat dengan lokasi, (2) paling
Perluasan makna tentang governance juga dikemukakan mengetahui tata cara pengelolaan sesuai dengan nilai-
Rhodes (2002), yaitu (1) governance sebagai corporate nilai kearifan lokal yang berlaku, serta (3) paling dekat
governance, (2) governance sebagai new public dengan masyarakat yang terkena dampak suatu urusan
management, (3) governance sebagai good governance, dijalankan. Penelitian di Sungai Citarum Jawa Barat
(4) governance sebagai international interdependence, misalnya ditemukan bahwa kendati masalah yang terjadi
(5) governance sebagai socio cybernetic system, (6) secara organisatoris merupakan urusan pemerintah
governance sebagai new political economy, dan (7) pusat, justru masyarakat mengajukan tuntutan kepada
governance sebagai network. pemerintah daerah setempat melalui LSM. Berdasarkan
Governance sebagai networks juga memiliki ini, maka terdapat dua organisasi yang memenuhi kriteria
beberapa makna yaitu (1) cara para stakeholder aksesibilitas yaitu organisasi pemerintah daerah setempat
berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan, (2) pola dan organisasi swadaya masyarakat (non-state).
atau struktur yang muncul dalam sistem sosial politik Pada kerangka yang lebih luas, kriteria ini juga terkait
sebagai keluaran bersama dari seluruh aktor yang dengan konsep kebijakan publik dan otonomi daerah.
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 85

Sebagaimana diketahui sasaran kebijakan otonomi daerah kompetensi inti. Penerapan doktrin ini, khususnya pada
adalah untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan pengelolaan sungai ini didasarkan pada beberapa hal.
publik yang lebih baik. Implementasinya harus sesuai Pertama, instansi atau organisasi tertentu yang terlibat
dengan content, context, dan kondisi lapangan. Dalam pada dasarnya memiliki kelebihan dibanding yang lain
hal ini masyarakat setempat lebih tahu apa yang harus dalam urusan atau kasus tertentu. Kedua, kelebihan-
dilakukan. Di samping masyarakat merupakan target group kelebihan seperti (1) sektor society (masyarakat)
dalam implementasi kebijakan yang secara teoritis target pada edukasi dan motivasi masyarakat, (2) kelebihan
group merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sektor pemerintahan lokal pada aksesibilitas, artikulasi
implementasi kebijakan, di samping pelaksana kebijakan persoalan dan urgensi penyelesaian kasus, (3) kelebihan
(Suwaryo, 2005). departemen teknis pada aspek teknis, (4) kelebihan
Kriteria efektivitas adalah pengelolaan urusan dengan sektor private pada pengelolaan secara efisien, dan
mempertimbangkan hasil guna tertinggi yang diperoleh (5) masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisional
dari suatu penyelenggaraan urusan pemerintahan. dan kearifan lokal. Ketiga, pengelolaan sungai pada
Kriteria hasil guna diukur bukan hanya dalam perspektif dasarnya adalah otonomi bersama di antara organisasi
berjalannya program dan tercapainya tujuan/urusan yang terlibat dengan menggabungkan kompetensi inti
pemerintahan saja, tetapi tercapainya tujuan berdasarkan masing-masing.
perspektif para stakeholder lainnya. Kriteria efektivitas
juga berkaitan dengan kebijakan publik dan otonomi C. Ilustrasi Empirik dalam Pengelolaan DAS
daerah. Berhasil tidaknya suatu kebijakan tergantung Citarum
kepada insterest affected dari suatu masyarakat yaitu sejauh Dalam Pengelolaan DAS Citarum masih kuat terlihat
mana kepentingan masyarakat terakomodasi oleh suatu ego sektoral masing-masing instansi pemerintah maupun
kebijakan dan dapat memberi ruang gerak, partisipasi dan organisasi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa temuan
berbagi kekuasaan dengan masyarakat (Grindle, 2005; penelitian yang dikompilasi dari persepsi atau berdasarkan
Suwaryo). perspektif pengelola saat ini. Temuan penelitian diringkas
Perlunya penerapan kriteria aksesibilitas maupun sebagai berikut.
efektivitas diperkuat oleh temuan penelitian Atmanto di Pertama, dalam praktik pengelolaan DAS Citarum
Citarum dan Ciliwung (2007). Atmanto mengemukakan masih terjadi benturan otoritas antara instansi pemerintah
empat hal yang terkait dengan partisipasi masyarakat, pusat dengan pemerintah daerah bahkan dengan masyarakat
khususnya dalam pengelolaan sungai. Pertama, penerapan khususnya dalam menetapkan wilayah kewenangan. Hal
ekohidraulik dalam pengelolan kualitas air sulit berhasil ini terlihat dalam otoritas pengelolaan dan pemberian izin
tanpa melibatkan masyarakat. Kedua, adanya modal dalam area in-stream dan off –stream untuk DAS yang
sosial yang kuat dengan member ruang gerak peran serta sama.
masyarakat. Ketiga, penerapan sosio hidraulik pada Sungai Kedua, beberapa benturan kepentingan secara lebih
Citarum telah berhasil dengan baik karena didukung oleh luas dapat dipaparkan sebagai berikut (1) perbedaan
konstribusi masyarakat. Keempat, pengelolaan air sungai kehendak antara masyarakat dengan instansi lain
berbasis masyarakat terjadi penguatan karena masyarakat dalam pemanfaatan lahan di sekitar DAS; (2) benturan
memiliki kemampuan dalam mengelola sungai khususnya kepentingan antara pemerintah Kabupaten Bandung
dalam hal kualitas. Pengelolaan sumber daya air dengan dengan Propinsi Jawa Barat, khususnya dalam pemanfaatan
model Dharma Tirta menunjukan bahwa aksesibilitas dan air permukaan; (3) benturan antara kemanfaatan ekonomi
efektifitas ini berkaitan dengan kelembagaan birokrasi pada dan kebutuhan akan pengendalian dampak lingkungan
level pelaksana daerah dan pola paternalisme keterlibatan yang terjadi karena inkonsistensi dan perbedaan sikap
masyarakat setempat (Ridwan, 2006). dan posisi organisasi pengendali dampak lingkungan; (4)
benturan kepentingan antara pemerintah daerah, khususnya
B. Pergeseran Prinsip dalam Ultra Vires and di perbatasan. Aktivitas pemerintah daerah tertentu di
General Competence ke Core Competence perbatasan, membawa dampak ke wilayah pemerintah
Tidak ditemukannya penjelasan tentang pembagian lainnya di seberang perbatasan; (5) benturan kepentingan
kewenangan atau urusan yang bersifat perpaduan antara berkaitan dengan peran dan fungsi tiap instansi baik antara
doktrin ultra vires dan general competence mengundang instansi di daerah maupun antar instansi pemerintah daerah
satu pertanyaan penting. Hal itu berkaitan dengan tidak dengan pemerintah pusat.
ada penjelasan resmi pembagian kewenangan campuran
tersebut seperti kewenangan apa saja? Apa dasar KESIMPULAN
pembagian? Apa kriteria distribusi pembagian? Dan
penetapan mana yang harus dibagi dan tidak dibagi? Pengelolaan sungai merupakan urusan bersama
Oleh karena itu, perlu diajukan satu doktrin atau di antara organisasi, baik organisasi pemerintah pusat
kriteria berdasarkan kompetensi inti (core competence). maupun daerah (government sector), society (lembaga
Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa setiap swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal setempat),
organisasi pada umumnya memiliki satu atau lebih serta private. Implementasi kebijakan dari pengelolaan
86 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86

sungai sebagai urusan bersama memiliki implikasi. Michaels S., Nancy P. Goucher, Dan McCarthy. 2006. Policy
Pertama, implikasi prinsip pembagian urusan Windows, Policy Change, and Organizational Learning: Watersheds
pemerintahan yaitu perlu ditambahkannya prinsip in the Evolution of Watershed Management. Environt Manage Journal.
pembagian kewenangan dari dua prinsip (ultra vires 38:983–992.
dan general competence) menjadi tiga prinsip (ultra Muluk, MR Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam
vires, general competence, dan core competence). Pemerintahan Daerah. Malang, Penerbit Bayu Media.
Kedua, implikasi kriteria pembagian urusan dari Pangesti, Dyah Rahayu. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan
tiga kriteria (eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas) Sungai Menyongsong Abad–21. Orasi Ilmiah APU, Depkimbangwil.
menjadi lima kriteria (eksternalitas, efisiensi, dan ____. 2002. Sungai sebagai Sumberdaya Alam Yang Mengalir,
akuntabilitas, aksesibilitas dan efektivitas). Ketiga, dalam Kodoatie (ed) Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Era Otonomi
implikasi kebijakan yaitu perlunya penyempurnaan Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi.
kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Pierre, Jon. 2000, Debating Governance : Authority, Steering, and
Pada hal ini khususnya dalam pembagian urusan yang Democracy. London: Oxford Univerisity Press
memasukan unsur nonstate sesuai dengan paradigma Raharja, Sam’un Jaja. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan
baru penyelenggaraan pemerintahan, governance, yang Daerah Aliran Sungai Citarum. Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu
multi aktor yang terdiri unsur state, civil society, dan Administrasi FISIP UI.
private. Peraturan khusus terkait dengan sungai secara Ridwan, Irfan. 2005. Dekonstentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan
umum juga perlu ditinjau kembali. Kritis UU No.32 Tahun 2004). Jurnal Ilmu Administasi dan Organisasi,
Bisnis & Brokrasi, Vol.12, No.2 (Mei).
DAFTAR PUSTAKA ____. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Air Model Dharma Tirta
di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis &
Agusalim, Gadjong Andi. 2007. Pemerintah Daerah : Kajian Birokrasi, Vol. 14, No. 1 (Januari).
Politik dan Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Rodhes, RAW, 1999. Foreword in Walter JM Kickert et.al. (ed)
Atmanto, Dwi. 2007. Pendekatan Sosio Hidraulik dalam Pengelo- Managing Complex Network : Strategies for the Public Sector. London:
laan Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Sage Publication.
Citarum. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Schneider, Aaron. 2003. Decentralization: Conceptualization and
Indonesia Measurement. Comparative International Development, (Fall), Vol.38,
Cheema, G. Shaber et.al.1983. Decentralization in Developing No. 3.
Countries : A Review of Recent Experience, World Bank Paper. Suwaryo, Utang. 2005. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah.
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Disertasi, Bandung, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Penerbit Gava Media Bandung.

Anda mungkin juga menyukai