Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan
dan prosedur serta jumlah pasien dan staff RS yang cukup besar merupakan hal potensial bagi
terjadinya kesalahan medis (medical error).
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman. Sitem tersebut meliputi assesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisi insiden, kemampuan belajar dari
insidendan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem
tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau melakukan tindakan yang seharusnya diambil (DepKes RI, 2006).
Safety adalah bebas dari kejadian cedera, manurut WHO (2009) menyatakan bahwa keselamtan
pasien merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk melindungi pasien
dari kerugian karena efek pelayanan kesehatan. The National Patient Safety Foundation
mendefinisikan bahwa patient safety adalah upaya menghindarkan, mencegah dan perbaikan dari
kasus adverse outcome atau perlukaan yang disebabkan oleh proses layanan kesehatan.
Menurut IOM keselamatan pasien adalah mengutamakan sistem perawatan yang mencegah
kesalahan (pencegahan kerugian pada pasien), belajar dari kesalahan yang terjadi, membangun
budaya keselamatan yang melibatkan para profesional tenaga kesehatan, manajemen dan pasien.
Sedangkan menurut AHRQ keselmatan pasien didefinisikan sebagai pencegahan bahaya yaitu bebas
dari kecelakaan atau hasil dari perawatan medis.
Definisi kesalamatan pasien menurut KKP-RS (komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) adalah
bebasnya pasien dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang
potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial/psikologis, cacat, kematian dan lain-lain) terkait
dengan pelayanan kesehatan.
KKP-RS PERSI medefinisikan KTD (adverse event) adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang
mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan (commesion) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommision). Sedangkan kejadian Nyaris cedera
(nearmis) merupakan suatu kesalahan akibat elaksanakan suatu tindakan (commesion) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommiions) yang dapat menderai pasien tetapi cedera
serius tidak terjadi, yang disebabkan karena kebeuntungan, pencegahan atau peringanan.
Menurut IOM, ada lima prinsip untuk merancang safety system di organisasi kesehatan, yaitu : (Kohn
et al, 2000).
Prinsip 1 : provide leadership yang meliputi :
Menjadikan patient safety sebagai tujuan utama / prioriotas
Menjadikan patient safety sebagai tanggung jawab bersama
Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggung jawab untuk safety program
Menyediakan sumber daya manusia dan dana untuk analisa error dan redesign sytem
Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi ‘unsafe’ dokter
Prinsip 2 : memperhatikan leterbatasan manuasia dalam perancangan proses
Design jon for safety
Menyederhanakan proses
Membuat standard proses
Prinsip 3 : mengembangkan tim yang efektif
Prinsip 4 : antisipasi untuk kejadian tak terduga dengan pendekatan proaktif, meyediakan anidotum
dan training simulasi
Prinsip 5 : menciptakan atmosfer ‘learning’
Menggunakan simulasi
Mendorong pelaporan kejadian
Memastikan tidak ada tekanan saat mlaporkan kejadian
Mengimplementasikan mekanisme umpan balik dan belajar dari kesalahan
Adapun tujuna keselamatan pasien dalam panduan keselamtan pasien Rumah Sakit, adalah :
(DepKes RI 2006)
Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
Menurut kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit
Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD
Standar keselamatan Pasien Rumah Sakit yang disusun mengacu pada “Hospital Patient Safety
Standars” meliputi : (DepKes RI, 2006)
Hak Pasien
Mendidik Pasien dan keluarga
Keselamatan Pasien dan kesinambungan pelayanan
Penggunaan metoda-metod peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselmatan pasien
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Mendidik staff tentang keselmatan pasien
Komunikasi merupakan kunci staf untuk mencapai keselamatan pasien
Di Indonesia, kegiatan keselamtan pasien sudah dilaksanakan oelh RS sejak lama namun dalam
bentuk elemen-elemennya saja dan bukan merupakan suatu program yang komprehensif. Misalnya
telah dilaksanakan sistem pengendalian infesksi nosokomial, sitem K# (Kesehatan dan Keselamatan
Kerja), manajemen resiko , informed consen, audit medis, review kasus dan evaluasi berbagai
program mutu pelayanan lainnya. Jadi, kegiatan keselamtan pasien dalam bentuk sistem yang
komprehensif memang baru dimulai sejak tahun 2000-an (Lumenta dalam Hamdani, 2007)
Mengacu pada hal tersebut, maka RS harus merancang proses baru memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD
dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses
perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagia pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yaitu
: (DepKes RI 2006)
Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka
dan adil
Pimpin dan dukung staf anda. Bangunalah komitmen dan fokus kuat dan jelas tentang keselamtan
pasien di rumah sakit anda.
Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan sistem dan proses pengeloaan risiko, lakukan
identifikasi dan assesman hal yang potensial.
Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan
kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS)
Libatkan dan berkomuniaksi dengan pasien. Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan
pasien
Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselmatan pasie. Dorong staf anda untuk melakukan
analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul
Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. Gunakan informasi yang ada
tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
Konsep Budaya
Konsep budaya awalnya berkembang dari antropologi sosial pada abad ke-19. Budaya merupakan
sebuah konsep yang kompleks yang diartikan sebagai kumpulan keyakinan dan nilai tentang
bagaimana suatu komunitas seharusnya dalam melakukan tindakan (Kreitner, 2007). Menurut
Hofstede (200%) budaya adalah pemikiran kolektif yang membuat perbedaan antara anggota satu
kelompok dari kelompok lainnya. Sedangkan menurut Schein (2004) budaya dibentuk dari nilai yang
berbeda dan perilaku yang mungkin dianggap panduan untuk keberhasilan.
Menurut Edgar H. Schein dalam stoner, et al (1996) budaya memiliki 3 tingkatkan, yaitu artifact, nilai
– nilai yang didukung (espoused value) dan asumsi yang mendasari (underlying assumptions).
Tingkat 1 : Artifact. Tingkat ini merupakan dimensi yang paling terlihat dari budaya organisasi,
merupakan lingkungan fisik dan sosial organisasi. Anggota organisasi sering tidak menyadari
mengenai artifact budaya organisasi mereka, tetapi orang luar organisasi dapat mengamatinya
dengan jelas.
Tingkat 2 : Espoused vaule (nilai-nilai yang didukung). Semua pembelajaran organinsasi merelefsikan
nilai-nilai anggota organisasi, perasaan mereka mengenai apa yang seharusnya berbeda dengan apa
yang ada. Jika anggota organinsasi menghadapi persoalan atau tugas baru, solusinya adalah nilai-
nilai.
Tingkat 3 : Basic underliying assumptions (asumsi dasar). Jika solusi yang dikemukakan pemimpin
perusahaan dapat berhasil berulang-ulang, maka solusi dianggap sudah sebagaimana seharusnya.
Asumsi dasar merupakan solusi yang paling dipercatya sama halnya dengan teori ilmu pengetahuan
yang sedang diterapkan untuk suatu problem yang dihadapi organisasi.
Budaya keselamatan
Industri kesehatan merupakan industri yang penuh resiko, ditambah dengan makin tingginya
tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan dengan jaminan keamanan yang tinggi, menurut
para ahli mengalaborasi konsep budaya keselamatan dari dunia industri yang dijadikan sebagai dasar
pengembangan konsep safety culture di organisasi kesehatan.

Menurut Singer (2009) salah satu perbedaanya adalah upaya membangun keselamatan di industri RS
lebih difokuskan untuk melindungi pasien dibandingkan personilnya sendiri. Persepsi yang kemudian
dibagi antara anggota kelompok ditujukan untuk melindungi pasien dari kesalahan pengobatan
ataupun dari perlukaan akibat tindakan intervensi. Persepsi ini meliputi kumpulan norma, standar
profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam keselamatan pasien. Budaya ini kemudian
akan mempengaruhi ‘beliefs’ dan tindakan individu dalam memberikan pelayanan (Blegen, 2006).
Menurut O’Toole dalam Jainhong (2004) budaya keselamatan (safety culture) dipelayanan
kesehatan didefinisikan sebagai keyakinan. Nilai, perilaku yang dikaitkan dengan keselamatan pasien
yang secara tidak sadar dianut bersama oleh anggota organinsasi. Budaya keselamatan merupakan
istilah yang merujuk pada komitmen keselamatan yang dimiliki oleh semua level dalam suatu
organisasi dari level terbawah sampai level eksekutif.
Safety culture merupakan bagian terpenting dari budaya organisasi. Menurut ACSNI (Advisory
Comittee on The Safety of nuclear Installations), 1993 dalam The UK Health and Safety Axecutive
(2005), budaya keselamatan adalah hasil dari nilai, sikap, perspsi, kompetensi dan pola kebiasaan
yang meberi gambaran komitmen, gaya dan kehandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi
dengan budaya keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan
kepercayaan dengan bertukar persepsi akan keselamatan dan oleh efektifnya langkah-langkah
pencegahan.
Terdapat 5 indikator yang mempengaruhi budaya keselamatan (HMRI, 2004 dalam The UK Health
and Safety Executive, 2005) :
Leadership
Two-way communication
Employe involvement
Learnning culture
Attitude towards blame
Budaya Keselamatan Pasien
Pengertian Budaya Keselamatan Pasien
Menurut Institute Of Medicine (2000) yang dikutip oleh Nieva (2003) tentang perlunya perubahan
budaya untuk menuju sistem kesehatan yang lebih aman :
“The Biggest Challange to moving toward a safer health system is changing the culture from one of
blaming individuals for errors to one in which errors are treated not as personal failures, but as
opportunities to improve the system and prevent harm”
Dijelaskan bahwa tantangan terbesar kearah sistem kesehatan yang lebih aman adalah mengubah
budaya dari menyalahkan seseorang karena kesakahan/error yang dianggap sebagai kegagalan
individu kearah menjadikannya sebagai peluang untuk memperbaiki sistem untuk mencegah cedera.
Dapat disimpulkan bahwa mengembangkan budaya keselamatan pasien (Healings et al, 2007)
Dari beberapa sumber, pengertian buadaya keselamatan pasien hampir sama dengan budaya
organisasi secara umum, yaitu : nilai-nilai/values yang dianut bersama antar anggota organisasi
tantang apa yang penting, keyakinan/beliefs tentang bagaimana nmelakukan sesuatu di dalam
organnisasi dan interaksi nilai dan keyakinan tersebut dengan unit kerja dan struktur serta sistem
organisasi, yang secara bersama-sama menghasilkan norma perilaku dalam organisasi (Schein,
2004). Hanya saja budaya keselamatan pasien lebih spesifik terhadap keselamatan (untuk
mempromosikan keselamatan) serta menekankan peran interpersonal, unit kerja dan kontribusi
organisasi dalam membentuk asumsi-asumsi dasar bahwa kerja individu dalam organisasi
berkembang sepanjang waktu (Singer et al,, 2009)
Berdasarkan nilai dan keyakinan yang dianut bersama tersebut, terbentuk suatu pola perilaku yang
terintegrasi dari individu dan organisasi yang secara kontinu mencara upaya meminimalkan hal yang
membahayakan pada pasien yang mungkin berasal dari proses penerimaan pelayanan kesehatan.
Suatu budaya keselamatan pasien harus dikenali oleh seluruh anggota layanan kesehatan, diperkuat
dan dilatih secara teratur oleh para profesional dan pimpinan organisasi karena pelayanan
kesehatan memang mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dan mudah sekali terjadi kesalahan
sehingga penanganannya pun berisiko tinggi. Suatu budaya keselamatan pasien yang positif
mempunyai aspek-aspek sebagai berikut : (Kirk et al,. 2007)
Komunikasi berdasarkan kepercayaan dan keterbukaan yang sifatnya matual
Perspsi yang sama tentang pentingnya keselamatan
Keyakinan dalam ketepatan dari ukuran-ukuran pencegahan keselamatan
Pembelajaran organisasi
Komitmen pimpinan dan tanggug jawab eksekutif
Pendekatan tanpa menyalahkan (no blame) dan tanoa hukuman (non punitive) terhadap pelaporan
dan analisis insiden
Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah
budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar. Dalam proses ini
diperlukan upaya transformasional yang menyangkut intervensi multi tingkat dan multi dimensioanl
yang terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership style, serta budaya organisasi. Menurut
Kotter keberhasilan transformasi 70% -90% ditentukan oleh peran leadership dan sisanya (0 %-30%)
oleh peran managership (Adib, 2012)
Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Menurut carthey & Clarke (2010) dalam buku “Implementing Human In Healtcare ‘How to’ guide”
bahwa organisasi kesehatan akan memiliki budaya keselamatan pasien yang positif, jika memiliki
budaya sebagai berikut :
Budaya Keterbukaan (Open Culture)
Budaya ini menggambarkan semua staf RS merasa nyaman berdiskusi tentang insiden yang terjadi
ataupun topik tentang keselamatan pasien dengan teman satu tim ataupun dengan maanajernya.
Staf merasa yajin bahwa fokus utama adalah keterbukaan sebagai media pembelajaran dan bukan
untuk mencara kesalahan ataupun menghukum. Komunikasi terbuka dapat juga diwujudkan pada
saat serah terima pasien, briefing staff maupun monitoring report.
Budaya Keadilan (just culture)
Merupakan budaya merupakan atmaosfer “trust” sehingga anggota bersedia dan memiliki motivasi
untuk memberikan data dan informasi serta melibatkan pasien dan keluarganya secara adil dalam
setiap pengambilan keputusan terapi.perawat dan pasien diperlakukan secara adil saat terjadi
insiden dan tidak berfokus dalam mencari kesalahan individu tetapi lebih mempelajari secara sistem
yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu staf
membuat pelaporan secara jujur mengenai kejadian yang terjadi dan menjadikan inseiden sebagai
pelajaran dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien.
Buadaya pelaporan (reporting culture)
Budaya dimana staf siap untuk melaporkan insiden atau near miss, sehingga dapat dinilai jenis error
dan dapat diketahui kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf serta dapat diambil tindakan sebagai
bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai
kemampuan untuk mengidentifikasi faktor resiko terjadinya insiden sehingga dapat mengurangi atau
mencegah insiden yang akan terjadi.
Budaya belajar (learning culture)
Setiap lini dari organisasi baik sharp end (yang bersentuhan langsung dengan pelayanan) maupun
blunt end (manajemen) menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Organisasi
berkomitmenuntuk mempelajari insiden yang telah terjadi, mengkomunikasikan kepada staf dan
senantiasa mengingatkan staf.
Budaya informasi (informed culture)
Organisasi mampu belajar dari pengalaman masa lalu sehingga memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi dan menghindari insiden yang kan terjadi karena telah belajar dan terinformasi
dengan jelas dari insden yang sudah pernah terjadi, misalnya dari pelaporan kejadian dan investigasi.
Sedangkan dimensi budaya keselamatan pasien menurut AHRQ (Agency For Heakthcare Research
and Quality) dalam buku Hospital Survey on patient safety Culture (HSOPSC) adalah :
Dimensi Budaya Keselamatan tingkat unit :
Keterbukaan komunikasi
Umpan balik dan komuniaksi tentang kesehatan
Respon non-punitive (tidak menghukum)terhadap kesalahan
Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
Staffing
Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan
Kerjasama dalam unit
Dimwnsi Budaya Keselamatan Tingakt RS
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Serah terima transisi
Kerjasama antar unit
Dimensi Outcome
Frekuensi pelaporan kejadian
Persepsi keseluruhan tentang keselmatan pasien
Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir
Tingkat keselamatn pasien
Berikut adalah penjelasan mengenai dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien dari AHRQ :
Keterbukaan Komunikasi
Dengan adanya keterbukaan komunikasi diharapkan staf medis dapat berkomunikasi dengan baik
dan benar pada saat serah terima/pengopran pasien yang meliputi keluhan pasien, terapi yang
sudah ataupun yang mau diberikan serta insiden terkait keselamatan pasien jika ada dan juga
merasa bebas untuk bertanya kepada yang lebih berwenang. Keterbukaan komunikasi juga harus
dilakukan antara manajer dengan staf selain diantara sesama staf untuk peningkatan keselamatan
pasien.
Umpan balik dan komunikasi tentang kesehatan
Diartikan sebagai sejumlah mana staf diberitahu tentang kesalahan yang dilakukan, menerima
umpan balik masukan dari staf dan mendiskusikan upaya untuk mencegah kesalahan tidak terulang
kembali.
Respon non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan
Organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang non-punitive yang tujuannya
adalah supaya setiap elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian. Ketika sistem punishment
dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan membuat
organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan (Hamdani, 2007).
Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan
Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta menstransfer
pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi (kreitner, 2007). Diartikan sejauh mana kesalahan akan
membawa perubahan positif yang selalu di evaluasi efektifitasnya sehingga menghasilakn perbaikan
yang berkelanjutan
Staffing
Salah satu prinsip yang direkomendasikan IOM dalam laporannya “To Err is Human” (2000) untuk
implementasi patient safety di RS adalah mendesain pekerjaan dengan memperhatikan faktor
manusia. Ini berarti dalam penataanya harus memperhitungkan jam kerja, beban kerja, rasio
staffing, dan juga sistem shift dengan memperhatikan faktor kelelahan, siklus tidur dan lain-lain.
Mendesain pekerjaan untuk safety juga termasuk melakukan training, memberi tugas pada orang
yang tepat dan memposisikan seseorang pada posisi yang tepat.
Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan
Diartikan sejauh mana supervisor/manajer mempertimbangkan saran staf untuk peningkatan
keselamatan pasien, tidak mengabaikan masalah tingkat keselamatan dan memberi penghargaan
pada staf yang menerapkan pelaksanaan keselamatan pasien.
Kerjasama dalam unit
Diartikan sejauh mana staf saling mendukung satu sama lain dan bekerjasama sebagai sebuah tim
untuk pelaksanaan keselamatan pasien
Dukungan manajeman terhadap upaya keselamatan pasien
Diartikan sejauh mana manajemen RS menyediakan budaya kerja yang mempromosikan
keselamatan pasien dan berpedoman bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama.
Serah terima dan transisi
Diartikan sejauh amna proses serah terima berjalan baik yang membuat penyampaian informasi
tentang yang berkaitan dengan keselamatan pasien kepada staf lain.
Kerjasama antar unit
Diartikan sejauh man setiap unit dalam RS saling bekerjasama dan berkoordinasi antar unit dengan
tujuan yang sama yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien.
Frekuensi pelaporan kejadian
Diartikan sejauh mana kesalahan berikut dilaporkan :
Kesalahan yang diketahui dan dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien
Kesalahan yang tidak berpotensi membahayakan pasien
Kesalahan yang dapat merugikan pasien tetapi tidak terjadi.
Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien
Diartikan persepsi dari seluruh staf berkaitan dengan KP termasuk pemahaman tentang prosedur
dan sistem yang baik untuk mencegah kesalahan.
Pengukuran budaya keselamatan pasien
Pengukuran budaya keselamatan pasin dapat dilakukan berdasarkan dimensi yang mendasari
ataupun berdasarkan tingkat maturitas dari organisasi dalam menerapkan budaya keselamatan
pasien. Dikarenakan belum adanya konsensus menegnai standard pengukuran budaya keselamtan
pasien, menyebabkan bervarasinya definisi, konsep maupun dimensi budaya keselamatan pasien.
Beberapa organisasi mengembangkan standard pengukuran dengan masing-masing instrumennta,
antara lain AHRQ, stanford,dan MaPSaF (Manchester patient Safety Assesment Framework). Namun,
sejauh ini kuesioner HSOPSC dari AHRQ yang paling banyak direkomendasikan untuk mengukur
budaya keselamatan pasien karena telah terjamin validitas dan relibilitasnya secara internasioanl
(AHRQ, 2011).
Pengukuran budaya keselamatan pasien yang dikembangkan oleh AHRQ melalui 12 instrumen
seperti yang tercantum dalam 12 dimensi AHRQ yang disampaikan sebelumnya. Stanford
mengembangkan instrument Safety Atitudes Questionnare (SAQ) dengan mengidentifikasi 6 elemen
budaya keselamatan pasien, yang terdiri dari kerjasama, iklim keselamatan, kepuasan kerja, kondisi
stres, persepsi manajemen dan kondisi kerja. Stanford Instrument (SI) menilai budaya keselamatan
pasien dari 5 elemen, antara lain organisasi, depatemen, produksi, pelaporan dan kesadaran diri.
Sedangkan modified stanford Instrument (MSI) hanya mengidentifikasi 3 elemen yang berpengaruh
pada budaya keselamatan pasien yaitu nilai keselamatan, takut/reaksi negatif, persepsi
keselamatan. Adapun MaPSaF mengembangkan tingkat lematangan (maturuty) organisasi dalam
menerapkan budaya keselamatan pasien yang terdiri dari 5 elemen, yaitu : patologis, reaktif,
kalkulatif, proaktif, dan generatfi dimana tingkat maturitas generatif adalah yang paling tinggi
dimana budaya keselamatan pasien sudah terintegrasi dengan tujuan RS.
Menurut pengamatan penulis, meski terdapat berbagai macam diemnsi/elemen untuk mengukur
budaya keselamatan, yaitu budaya keterbukaan (open culture), budaya keadilan(just culture),
budaya pelaporan (report culture), budaya belajar (learning culture), dan budaya informasi
(informed culture) seperti yang disampaikan oleh Cathey&Clarke (2010).
Pengukuran budaya KP dapat digunakan oleh organisasi kesehatan sebagai alat untuk : (AHRQ, 2012)
Meningkatkan kesadaran karyawan tentang keselamatan pasien
Mendiagnosis dan menilai tingkat budaya keselamatan pasien saat ini
Mengidentifikasi kekuatan dan area-area yang memerlukan penguatan budaya keselamatan pasien
Menilai trend budaya keselamatan pasien dan intervensi yang dilakukan
Melakukan perbandingan internal dan eksternal

Anda mungkin juga menyukai