9 Hukum Kebijakan KKP Indonesia PDF
9 Hukum Kebijakan KKP Indonesia PDF
Memahami ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku terkait dengan
pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan. Juga, menelusuri
HUKUM DAN kebijakan operasional pemerintah
dalam perencanaan, implementasi
KEBIJAKAN KAWASAN dan evaluasi kawasan konservasi.
Ketentuan hukum dianalisis dari
KONSERVASI prinsip-prinsip global dalam bentuk
konvensi maupun kode etik
PERAIRAN bersama. Ketentuan konvensi
biasanya memerlukan peraturan
ratifikasi pada tingkat nasional.
Sedangkan ketentuan kode etik
langsung dijabarkan dalam bentuk
program aksi, tanpa ketentuan
hukum yang mengikat (soft law).
9.1 Definisi
Ada tiga terminologi penting yang sering digunakan dalam pembahasan pada bab ini, ialah:
hukum, peraturan, dan kebijakan. Definisi dari ketiga istilah ini agak sulit dirumuskan karena masing-
masing ahli hukum mempunyai pandangan yang berbeda. Definisi istilah tersebut pada bahasan ini
dibuat melalui sintesis berbagai definisi yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan
konservasi. Hukum didefinisikan sebagai suatu sistem aturan atau adat dalam bidang Kawasan
Konservasi Perairan, ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, sebagai pedoman
tindakan seluruh masyarakat Indonesia, mengikat dan dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran –
sistem aturan ialah berbagai komponen peraturan yang terkait satu sama lain menjadi satu
kesatuan. Peraturan didefinisikan sebagai tatanan, petunjuk, kaidah atau ketentuan yang dibuat
untuk mencapai sasaran (goal) dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Dengan
demikian, hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan bisa dikatakan sebagai himpunan seluruh
peraturan yang saling terkait satu sama lain dan mengatur tentang pengelolaan kawasan.
Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi
pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan
pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau
protokol – dia menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan
prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan
kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen
Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah
Perairan Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama, dunia
membahas kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai.
Hak Indonesia sebagai negara berdaulat atas wilayah perairan akhirnya diterima pada tahun 1982.
Namun pada saat yang sama, kita juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah
nyata terkait dengan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam
Wilayah Perairan Nasional. Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan global yang
mendorong berkembangnya Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, ialah sebagai berikut:
1) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958
2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982;
3) Agenda 21 UNCED (United Nations Convention on Environment and Development);
4) United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992;
5) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992;
6) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995;
Sedangkan beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah:
1) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007;
2) Arafura Timor Seas Expert Forum (ATSEF).
9.3.2 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982
Draft final United Nations Convention on the Law of the Sea diselesaikan pada sidang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-tiga di New York, tertanggal 30 April 1982. UNCLOS ditanda
tangani oleh 118 negara (termasuk Indonesia) pada tanggal 9 Desember 1982 di Montego Bay,
Jamaica. Mulai saat itu, UNCLOS dinyatakan mulai berlaku dan mengikat semua negara anggota PBB.
Selain ikut menjadi pelaku dalam menanda tangani perjanjian tersebut, secara resmi Pemerintah
Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Beberapa ketentuan
yang mengatur konservasi di wilayah laut negara pantai ialah sebagai berikut:
• Setiap negara pantai (coastal state), berdasarkan informasi terbaik yang tersedia, harus
melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam konservasi dan perlindungan sumber
daya hayati untuk mencegah penangkapan (pengambilan) berlebih dari sumber daya di
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif masing-masing negara pantai;
• Setiap negara pantai diharuskan bekerja sama dengan organisasi internasional, baik pada
tingkat subregional, regional maupun pada tingkat global dalam menjamin kelangsungan
atau konservasi sumber daya hayati laut di wilayah negaranya;
• Setiap negara pantai yang menangkap ikan di wilayah perairannya harus mengikuti
ketentuan konservasi yang berkalu. Setiap negara pantai harus menyampaikan tata waktu
terkait dengan penyelesaian peraturan konservasi dan pengelolaan sumber daya di wilayah
nasionalnya;
Teks pada UNCLOS menyebutkan kata konservasi sampai 34 kali, sebagai alat untuk
mempertahakan perikanan secara berkelanjutan.
UNCBD ialah salah satu hasil konvensi pada Agenda 21 yang dicetuskan oleh PBB di Rio de
Jeneiro Brasil, pada tanggal 13 Juni tahun 1992. Agenda 21 menghasilkan 40 konvensi yang tersusun
dalam 4 (empat) bagian besar. Salah satu konvensi yang dihasilkan ialah UNCBD, terkait dengan
kawasan konservasi (in-situ conservation). Tujuan utama dari aturan dalam teks UNCBD ialah:
mencapai konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman
hayati, dan pembagian secara adil terhadap keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya
hayati. Secara keseluruhan, tujuan konvensi ialah untuk mendorong kegiatan aksi yang mengarah
pada usaha pemanfaatan berkelanjutan. Beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut ialah:
• Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional,
setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya
sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional negara tersebut. Namun setiap negara juga
harus mengemban tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di dalam yurisdiksi-nya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan
terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya;
• Setiap negara, dengan kondisi dan kemampuan khususnya, wajib mengembangkan strategi,
rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana atau program yang sudah ada
untuk maksud tersebut, yang harus mencerminkan, diantaranya, upaya yang dirumuskan
dalam konvensi ini yang berkaitan dengan kepentingan negara masing-masing;
• Setiap negara wajib memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral atau lintas
sektoral yang berkaitan, sejauh yang mungkin dilakukan;
• Setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan konservasi atau kawasan yang
memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati;
• Setiap negara wajib mengembangkan pedoman untuk penyelesaian, pendirian dan
pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya
khusus untuk konservasi keanekaragaman hayati;
• Setiap negara wajib mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan
antara pemanfaatan kini dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan
secara berkelanjutan komponen komponennya;
UNFCCC juga merupakan bagian dari Agenda 21, termasuk dalam 40 konvensi yang
dihasilkan dari pertemuan tersebut. Konvensi ditanda tangani di Rio de Jeneiro pada tanggal 16 Juni
1992, oleh 178 negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia memandang perlu dan
meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994.
Teks yang tertuang dalam konvensi tidak secara khusus membahas kepentingan kawasan
konservasi. Hal ini disebabkan karena materi pembahasan utama terkait dengan perubahan iklim
global. Namun peran Kawasan Konservasi Perairan (MPA) selalu dibahas pada setiap pertemuan IPCC
(Inter-Governmental Parties on Climate Change).
Untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebih, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah
menetapkan suatu kode etik perikanan yang bertanggung jawab, Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF). Dalam kode etik, ditentukan prinsip-prinsip standar tingkah laku internasional
tentang praktek-praktek yang bertanggung jawab terkait dengan (termasuk) usaha penangkapan
ikan. Walaupun bersifat sukarela, ketentuan dalam kode etik bersifat global, ditujukan bagi negara,
pemerintah maupun non-pemerintah dan seluruh pihak swasta perikanan baik yang menjadi
anggota maupun bukan anggota PBB. CCRF diadopsi sejak tanggal 31 Oktober 1995, dan termasuk
kategori soft law. Dengan demikian Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu untuk menetapkan
peraturan khusus dalam meratifikasi CCRF.
Seluruh aturan dalam CCRF ditujukan untuk membantu negara-negara pantai di dunia dalam
membangun dan mengembangkan perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari
sumber daya perikanan. CCRF menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara
bertanggungjawab, dan bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan
nasional masing-masing negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi Perairan secara
khusus, CCRF memandang konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting dalam
pengelolaan perikanan. CCRF menyebutkan kata konservasi sampai 70 kali, dalam pendekatan
pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan. Beberapa ketentuan konservasi tersebut antara
lain, ialah:
• Para pihak dan pengguna sumber daya ikan harus melakukan tindakan konservasi terhadap
ekosistem perairan (laut). Hak menangkap ikan harus diikuti dengan kewajiban untuk
melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya perairan secara efektif
• Pengelolaan perikanan harus mampu mempertahankan kualitas, diversitas dan ketersediaan
sumber daya ikan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Langkah-langkah
pengelolaan tidak hanya ditujukan pada konservasi ikan-ikan yang menjadi target
penangkapan, tapi juga spesies lain yang menempati ekosistem yang sama dan ikan lain
yang tergantung dari keberadaan ikan target;
• Setiap negara yang terlibat dalam penangkapan ikan di laut harus melakukan prinsip atau
pendekatan kehati-hatian dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan
sumber daya ikan sesuai dengan informasi terbaik yang tersedia saat itu. Namun kurangnya
informasi ilmiah ini tidak dijadikan alasan untuk menunda langkah-langkah konservasi
terhadap spesies target.
• Semua jenis habitat penting untuk perikanan, seperti lahan basah, bakau, terumbu karang,
tempat pembesaran dan pemijahan ikan harus dilindungi dan direhabilitasi. Pengelola
perikanan harus mengambil langkah-langkah yang penting untuk melindungi habitat
tersebut dari perusakan, degradasi, polusi dan dampak lain yang disebabkan oleh aktifitas
manusia, yang bisa menurunkan kesehatan (viabilitas) sumber daya ikan.
• Setiap negara, harus mengintegrasikan kepentingan perikanan tangkap, termasuk
kebutuhan untuk konservasi sumber daya perikanan, dalam rencana pengelolaan wilayah
pesisir terpadu;
• Keragaman hayati pada habitat dan ekosistem perairan harus dikonservasi, ikan yang
terancam punah harus dilindungi;
Pada sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2007 di Australia, Presiden
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk melindungi terumbu karang di
Indonesia bagi kepentingan perikanan dan ketahanan pangan. Presiden menyatakan komitmen
untuk mencapai pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif, seluas 20 juta ha pada
tahun 2020. Pada saat yang sama, Presiden meminta 5 (lima) negara tetangga untuk mendukung
komitmen tersebut. Gagasan ini selanjutnya dikenal dengan istilah Coral Triangle Initiative (CTI),
suatu gagasan yang secara formal dicetuskan bersama oleh 6 (enam) negara, ialah: Indonesia,
Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan kepulauan Solomon. Tujuan dan sasaran dari
CTI ialah: pengelolaan wilayah bentang laut (sea scape) secara efektif, pengelolaan perikanan
melalui pendekatan ekosistem, pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan atau Marine Protected
Areas (MPA) secara efektif, langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim, dan peningkatan
status dari spesies yang terancam mengalami kepunahan.
9.4 Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kaw asan Konservasi
Sejak tahun 1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk
menerapkan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha penangkapan
ikan di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari peran serta pemerintah dalam
konvensi Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu.
Salah satu naskah konvensi ialah tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living
Resources of the High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga naskah
melalui UU No. 19 tahun 1961. Naskah konvensi mengharuskan setiap negara pantai (coastal state)
untuk melakukan langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dalam operasi penangkapan
ikan di wilayah perairan nasional masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah
satu alat ukur (tool) tidak disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi – Naskah konvensi
Jenewa bisa dikatakan sebagai peraturan yang bersifat tidak langsung dalam perkembangan
Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Indonesia meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun 1985. Secara strategis
UNCLOS merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara berdaulat,
termasuk Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang diumumkan sepihak oleh Pemerintah
Indonesia pada tahun 1957 mendapat pengakuan formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa di dunia. Namun pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab
untuk bekerja sama dengan negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara
berkelanjutan. Konservasi ialah pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara pantai
(kata konservasi disebut 34 kali pada naskah konvensi). Namun kawasan konservasi tidak disebutkan
secara tertulis sehingga UNCLOS bisa dikatakan sebagai peraturan global yang tidak langsung
mempengaruhi kebijakan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Indonesia ialah peserta konperensi UNCED (United Nations Conference on Environment and
Development) yang diadakan di Rio de Jeneiro Brasil pada tahun 1992. Konperensi menghasilkan 40
konvensi, salah satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention
on Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh pemerintah melalui UU No. 5
tahun 1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda
tangani naskah tersebut di Brasil pada tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang
kawasan konservasi. Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus
dilakukan dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan konservasi
genetik. Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi in-situ.
Sampai tahun 2002, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah mengalami beberapa kali
peninjauan dan/atau perubahan. Pada perubahan ke-empat (2002), ketentuan pada Pasal 33 (4)
menjadi sebagai berikut: “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas Demokrasi
Ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Ketentuan pada Pasal 33(4), terutama pada frase “Berwawasan Lingkungan”, merupakan
ketentuan peraturan tertinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. istilah konservasi
kawasan tidak disebutkan karena naskah konstitusi pada umumnya hanya mengatur ketentuan
pokok, sementara ketentuan lebih detail dibuat pada peraturan pelaksana yang lebih rendah.
Ketentuan Pasal 3 pada UU No. 5 tahun 1967 menyebutkan pembagian Hutan Negara ke
dalam bentuk:
• Hutan Lindung;
• Hutan Produksi;
• Hutan Suaka Alam; dan
• Hutan Wisata; dan
• Hutan Suaka Alam.
Hutan Suaka Alam dibedakan berdasarkan kategori Suaka Alam dan Suaka Margasatwa.
Sedangkan Hutan Wisata dibedakan berdasarkan kategori Taman Wisata dan Taman Buru. Sistem
penamaan kategori hutan ini tidak konsisten dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Keanekaragaman Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (dibahas kemudian).
9.5.4 UU No. 5 tahun 1990, Konservasi Sum ber daya Alam Hayati dan Ekosistem nya
Sebelum UU No. 5 tahun 1990, Pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Pasal 12 dari Undang-Undang ini menyebutkan
bahwa ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan
undang-undang tersendiri. Ketentuan pada Pasal 12 inilah yang mendorong Pemerintah untuk
menetapkan UU No. 5 tahun 1990.
UU No. 5 tahun 1990 terintegrasi dengan Peraturan Pelaksana yang ditetapkan 8 (delapan)
tahun berikutnya, ialah PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Pasal 5 dari UU No. 5 tahun 1990 menyatakan: Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan;
(b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c)
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk tujuan perlindungan,
Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan (Pasal 8(1.a)). Ketentuan dalam pasal inilah yang menentukan adanya kawasan konservasi
yang selanjutnya diatur pada PP No. 68 tahun 1998.
Pada Pasal 11 dinyatakan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan: (a) pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya; dan (b) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Selanjutnya, Pasal
12 menyebutkan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli. PP No.
68 tahun 1998 membagi kawasan suaka alam menjadi 2 (dua) kategori, ialah: Cagar Alam (CA) dan
Suaka Margasatwa (SM).
Pasal 26 dari UU No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa: pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) pemanfaatan kondisi lingkungan
UU No. 31 tahun 2004 harus dikaitkan dengan peraturan pelaksananya yang ditetapkan 3
(tiga) tahun kemudian, PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Artinya, kedua
ketentuan ini ditetapkan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan, ialah pemanfaatan secara
berkelanjutan atau lestari. Pasal 13(1) dari UU No. 31 tahun 2004 menyatakan sebagai berikut:
Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis
ikan, dan konservasi genetika ikan. Pasal 13 ini diterjemahkan sebagai konservasi sumber daya ikan
pada PP No. 60 tahun 2007. Konservasi sumber daya ikan didefinisikan sebagai upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dankeanekaragaman sumber daya ikan. Sedangkan konservasi ekosistem
adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat
penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang.
Pasal 8(1) dari PP No. 60 tahun 2007 menyatakan bahwa terkait dengan konservasi
ekosistem, satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan dapat
ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan
sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan
pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Selanjutnya, Pasal 8(2)
menyatakan bahwa Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman
Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Undang-Undang No. 31 tahun 2004
membuat nomenklatur baru tentang kawasan konservasi yang dibuat khusus berlaku pada wilayah
perairan.
9.5.6 UU No. 27 tahun 2007, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal
18(1) menyatakan bahwa: daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut. Selanjutnya, Pasal 18(3) menyatakan bahwa: Kewenangan
daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Selain satu pasal ini, UU No. 32
tahun 2004 tidak mempunyai ketentuan khusus tentang konservasi.
Arti kata pengelolaan tidak disebutkan dengan jelas. Dalam tata peraturan dan kebijakan, UU
No. 32 tahun 2004 mempunyai kedudukan yang sama dengan tiga undang-undang lainnya: UU No. 5
tahun 1990; UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 27 tahun 2007. Ketentuan pada Pasal 18 telah
menimbulkan preseden dua Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia yang ditetapkan dengan
menggunakan Peraturan Bupati: Peraturan Bupati Berau No. 31 tahun 2005 tentang Kawasan
Konservasi Laut Kabupaten Berau; Peraturan Bupati Raja Ampat No. 66 tahun 2007 tentang Kawasan
Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat; Peraturan Bupati Klungkung No. 12 tahun 209 tentang
Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida.
9.6 Analisis Hukum dan Kebijakan Nasional Tentang Kaw asan Konservasi
Istilah konservasi secara tersirat terdapat pada semua tata urutan peraturan di Indonesia,
dari konstitusi atau UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah. Undang-Undang yang pertama kali secara tegas membahas tentang kawasan
konservasi ialah UU No. 5 tahun 1990. Kawasan konservasi dibedakan berdasarkan fungsinya, ialah:
perlindungan keanekaragaman hayati, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Rome, Italy. Food and Agriculture
Organization of the United Nations (FAO). 41p
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy. FAO: 41p
Jepson, P., & R.J. Whittaker (2002). Histories of Protected Areas: Internationalisation of
Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia).
Environment and History 8(129-172).
PP. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998. Tentang Kawasan Suaka
Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 132.
PP. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007. Tentang Konservasi
Sumber daya Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134.
Santosa, A. (Ed) 2008 Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan. Bogor. POKJA
kebijakan Konservasi. 14x21 cm; xi+ 50 hal
UN, 1958. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva,
Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285;
Ringkasan:
1. Dokumen Kode Etik Perikanan bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries)
memberikan indikasi atau langkah awal konservasi dan pengelolaan perikanan tangkap melalui
Kawasan Konservasi Perairan. Sebutkan pernyataan di dalam teks yang mendukung hal ini;
2. Sebutkan peraturan global yang secara tegas menyatakan pendekatan konservasi kawasan
dalam pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati, dan Indonesia meratifikasi
peraturan global tersebut.
3. Sebutkan peraturan formal di Indonesia yang pertama kali secara jelas menunjukkan pendekatan
Kawasan Konservasi Perairan sebagai alat perlindungan keanekaragaman hayati, bersama
peraturan pelaksananya;
4. Zona perikanan berkelanjutan dimungkinkan untuk dibuat secara formal dalam suatu Kawasan
Konservasi Perairan. Sebutkan peraturan formal yang mendukung pernyataan ini;
5. Buktikan bahwa peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini mengalami
tumpang tindih, terutama dalam pengelolaan kawasan;
6. Buatlah nomenklatur atau kategori kawasan konservasi di Indonesia dengan menggunakan
kombinasi dasar hukum UU No. 5 tahun 1990 dengan UU No. 41 tahun 1999;
7. Buatlah nomenklatur atau kategori Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia dengan
menggunakan kombinasi dasar hukum UU No. 31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 dan UU No.
32 tahun 2004;
8. Jelaskan, bagaimana pengaruh Deklarasi Djuanda terhadap perkembangan Kawasan Konservasi
Perairan di Indonesia;
9. Buktikan bahwa secara nasional Indonesia sudah lebih dulu mengadopsi prinsip-prinsip
perlindungan keanekaragaman hayati, sebelum penetapan UNCBD pada tahun 1992;
10. Hukum dan peraturan tentang kawasan konservasi di Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Hal
ini bisa menyebabkan saling tumpang tindih dalam kewenangan. Bagaimana menyatakan atau
harmonisasi semua peraturan tersebut sehingga menjadi kekuatan yang optimal dalam
mencapai tujuan konservasi kedepan?