Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen
atau Acheh, Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau
Ache)[1][2] yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh diperkirakan memiliki substrat (lapis
bawah) dari rumpun bahasa Mon-Khmer [3] dengan pembagian daerah bahasa lain seperti
bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan
Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas
seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan
kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di
Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat
tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan
sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa
Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil
yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah
lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari Hikayat Aceh, Hikayat Rajah Aceh dan
Hikayat Prang Sabi yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam
naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang
berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Prang Sabi
(Aceh: Hikayat Perang Sabil) mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat
perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada
di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.[4]

Rumpun bahasa Mon-Khmer:


Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui.

Paleografi rumpun bahasa Mon-Khmer.

Ada yang percaya bahwa asal usul orang Aceh adalah "suku Mantir" (atau dalam bahasa
Aceh: Mantee)[5] yang dikaitkan dengan "Mantera" di Malaka dan orang berbahasa Mon-
Khmer.[6] Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh
Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua
Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh
tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain

Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang [10] dan kerajaan Sui [11] di Tiongkok pernah
disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah
kekuasaannya meliputi Aceh Besar [12][13] sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai
Kerajaan Lamuri [14] yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik,
Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan
nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam
sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam
buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran)[15][16] saat itu masih berada di
bawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan
raja pertamanya Balaputradewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat
dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting
Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.[17]

Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang
memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan
yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan pelabuhan dan
pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan
Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan
alur sungai Musi di mana dalam hegemoni alur perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti
berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja Rajendra
Chola dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh
pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (Lamuri) dan Takuapa (Kedah)
yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore 1030 di
India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke
tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada gajahnya
yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda yang sangat banyak
berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu
besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayatunggawarman
dapat ditawan kemudian dilepas setelah mengaku takluk,[18] tak lama kemudian armada Chola
kembali kenegerinya sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari
penduduk, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan
untuk mengamankan atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada
waktu itu sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada
melakukan sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang
melemah[19] karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan.[20] sejak kekalahan ini
kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi
kerajaan-kerajaan yang dahulu berada di bawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan
memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru
berakhir pada tahun 1377.

Era Malik Al Saleh

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan
dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia
bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang
didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera
berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun
1297. Di mana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah
oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, kerajaan ini juga
pernah diserang oleh tentara siam pada zaman pemerintahan Sultan Maliku'l-Nassar, dan
serangan tersebut berhasil dihalau saat Sultan Maliku'l-Mahmud tiba dan berhasil membunuh
pimpinan Pasukan Siam, Talak Sejang[21].
Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada

Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh Jayanagara dari
Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit
yang diangkat oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang
disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum
seluruh usantara berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Menurut Hikayat Raja-raja
Pasai diberitakan serangan Majapahit ke Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Ahmad
Perumudal Perumal. Kemungkinan serangan oleh Majapahit terjadi tahun 1350 atau 1361
bersamaan dengan serangan ke Jambi & Palembang[22]. Pada abad ke-14, Sriwijaya telah
digantikan oleh kerajaan Dharmasraya di Sumatra. Hal ini dikarenakan Sriwijaya telah
melemah setelah serangan Kerajaan Chola dari India pada 1025, menjadikan Dharmasraya
sebagai tujuan Ekspedisi Pamalayu oleh Singasari di Pulau Sumatra pada tahun 1275
berdasarakan Prasasti Padang Roco dan Serat Pararaton.

Era Sultan Iskandar Muda

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.

Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan
pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan
Semenanjung Melayu, ketika di bawah kekuasaan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri
ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan
istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman
Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu
yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan
membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih
dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh melawan Portugis

Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di
bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan
Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis
di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri
Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam
(1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat
ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis
di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-
hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas
kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah
“ Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam. ”
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja
James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim
surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut
maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan
dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah
memakamkan orang Islam, maka dia dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan
sebuah gereja. Kini di makam dia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang
Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu
Beatrix.

Utsmaniyah

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka.
Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya
tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu
dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk
membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama
Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah
bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa
Blang Balok kecamatan peureulak (sumber MAA Atim). Pada 1565, Kesultanan Turki
Usmani mengirimkan ekspedisi untuk membantu Kesultanan Aceh memerang Portugis di
Malaka. Ekspedisi ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan utusan Aceh dengan Sultan
Turki Usmani, Sulaiman pada tahun 1564.[23] Ekspedisi Usmani pertama dipimpin oleh
Kurtoğlu Hızır Reis yang tediri dari 15 kapal dengan berbagai meriam artileri.[24]

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada
masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana
Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan
Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga
mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di
sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus
menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga
membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta jul
Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah
seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan
Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan
Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya
adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti
Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah.
Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16,
pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang
di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan


wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah
koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda
untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan
di kawasan tersebut.

Perang Aceh

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh


Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan
daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda ada di bawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Di mana isi perjanjian London
adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan
Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat
penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika
keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan
lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan
daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika,
Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda
menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari
Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa
ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal
Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun, namun ekspedisi tersebut berhasil
dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah,
yang telah memodernisasikan senjatanya. dan bahkan Köhler sendiripun tewas tertembak di
depan Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873.

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku
Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai sultan Aceh di mesjid Indrapuri. Pada 13
Oktober 1880, pemerintah kolonial setelah berhasil menguasai istana, menyatakan pada dunia
bahwa Aceh telah ditaklukan dan perang telah berakhir. namun pernyataan pemerintah
belanda ternyata salah besar, perang Aceh terus berlanjut secara gerilya dengan semangat
fisabilillah terus berkobar diseluruh Aceh. perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun
1942 menjelang Jepang datang.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh meminta bantuan kepada perwakilan
Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam
perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga mengirim
Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Usmaniyah. Namun
Turki Utsmani kala itu sedang menghadapi invasi rusia yang mencaplok kawasanya seperti
uzbekistan dan lain-lain. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan
Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para
pelaut Britania Raya yang sedang ditawan disalah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh,
dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima
bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August
Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini
meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan
gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan
Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah
menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar
bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899
ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar
gugur. Tetapi Cut NyaK Dhien, istri Teuku Umar tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut
Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang
telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan
saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di
pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu
dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia
bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada
1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama
letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian
besar Aceh.

Sultan Muhammad Daudsyah akhirnya terpaksa meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun
1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda
(Belanda menggunakan strategi licik dengan menekan/menangkap keluarga sultan/pejuang
Aceh untuk melemahkan perjuangan mereka). setelah penyerahan diri sultan, perjuangan
mempertahankan kedaulatan Aceh dilanjutkan oleh Teungku Chik Di Tiro Muhammad
Saman setelah mendapat mandat sebagai wali nanggroe dari sultan Muhammad Daudsyah
sebelum menyerahkan diri. 1904.

Strategis licik penculikan anggota keluarga Pejuang/teuntara Aceh, Misalnya Christoffel


menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera
Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli
dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima
Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut
Po Raden, saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima
Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem
menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima
Polem.

Taktik licik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta
Reh (14 Juni 1904) di mana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki, 1149
perempuan dan anak-anak.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, walaupun kondisi fisik telah sangat lemah bahkan matapun telah
buta. Cut Nyak Dhien akahir dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan
perjanjian rahasia dengan belanda. Cut nyak Dhien kemudian diasingkan dan
meninggal/dikemumikan di Sumedang, Jawa Barat.

Surat tanda penyerahan

Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para
pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan) mengakui
daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan
hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah
yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)

Bangkitnya nasionalisme

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan
wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik.
Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912,
tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah
pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini
bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya
(Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun
yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah
organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen)
dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik
sebagai residen Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).

Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut
kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang
berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak
banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi
jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan
para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan
terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada
tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah dan Jeunieb, pada tahun
1944.

Masa Republik Indonesia

Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat

41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh


Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman
Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara
bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).

dan Aceh tidak termasuk salah satu negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang
meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:
1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatera Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah
Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan
Timur.
9. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Aceh sebagai salah satu daerah yang oleh Soekarno dianggap status quo, kemudian
dimasukkan ke dalam Republik Indonesia dengan cara meleburkankan ke dalam provinsi
sumatera utara. Sehingga Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat.

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan
Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden
Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat
Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember
1949.

Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan
Mr. Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan tandatangannya
pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan
RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan
penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius Hermanus Johannes Lovink
dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan
kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

Kembali ke Negara Kesatuan

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS
mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian
menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara
bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS
Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari
itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI
dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh


3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan
Negara Islam Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 20
September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah:

Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka
“ lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari
Negara Islam.

Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk


bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:

1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi


bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2
supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa,
Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik,
merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat
mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan
dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban
tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah
bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk,
karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti
melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan
masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti
biasa.

Negara Islam Indonesia


Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh
September 1953
Darussalam

Anda mungkin juga menyukai