Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS ROI

Drowning: Penanganan Kegawatdaruratan dan


Perawatan di Ruang Intensif

Oleh:
dr Yakup (KUP)

Pembimbing:
dr Prananda Surya Airlangga, MKes. SpAn. KIC.

Departemen/SMF Anestesiologi dan Reanimasi


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo
SURABAYA
2014
1. PENDAHULUAN
1
Pada tahun 2004 diperkirakan 388.000 orang meninggal di seluruh dunia karena
tenggelam (drowning). Data ini diperoleh dari Global Burden of Disease, menyebabkan
drowning menjadi penyebab ketiga kematian akibat trauma setelah kecelakaan lalu lintas dan
jatuh dari ketinggian. Data ini mungkin juga sebenarnya lebih kecil karena yang tercatat
hanya drowning akibat kecelakaan dan submersion, tidak termasuk drowning akibat bencana
(banjir), serangan, bunuh diri dan kecelakaan transport. Drowning menjadi kekhawatiran
global dalam bidang kesehatan karena menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang serius.1
Di beberapa negara, termasuk di Amerika Serikat, insiden drowning paling tinggi
terjadi pada anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun dan disusul anak umur 15 sampai 19
tahun. Sekitar 50 % pasien yang dibawa ke unit gawat darurat di Amerika Serikat karena
drowning adalah anak umur di bawah 5 tahun, 25 % anak umur 5-14 tahun. Tingkat
keparahan paling tinggi juga terjadi pada anak di bawah 5 tahun.3
Penyebab drowning meliputi banyak faktor, bervariasi menurut umur dan lokasi
geografik. Penanganan segera korban drowning merupakan tantangan tersendiri karena
manajemen dan patofisiologinya yang unik.3
2. DEFINISI
Pada tahun 2002 dalam first World Congress on Drowning di Amsterdam Belanda
disepakati beberapa terminologi tentang drowning. Selama konferensi tersebut definisi baru
telah dikembangkan untuk memudahkan pengumpulan data untuk tujuan epidemiologi.
Definisi ini telah disetujui dan diterima oleh ILCOR (International Liaison Committee on
Resuscitation), WHO (World Health Organization) dan CDC (Centers for Disease Control
and Prevention).4
Drowning adalah proses gangguan respirasi akibat tertelannya cairan ke dalam saluran
nafas. Akibat drowning ada tiga yaitu: kematian, morbiditas dan tidak ada morbiditas.
Definisi lain yang sering digunakan drowning adalah proses sufokasi akibat tertelannya
cairan, cairan tersebut bisa teraspirasi ke dalam paru atau tidak. Menurut definisi ini,
drowning sebagai penyebab kematian, jika kematian tersebut terjadi dalam waktu 24 jam
setelah kejadian.4
Near Drowning adalah bentuk definisi yang lain. Ini berarti pasien bisa bertahan lebih
dari 24 jam setelah sufokasi. Near drowning berarti ada perbaikan setelah kejadian. Pada
beberapa literatur istilah ini sering disebut pula sebagai submersion injury atau submersion
incident. Menurut definisi WHO, istilah near drowning sudah tidak digunakan lagi. Definisi
ini sudah diganti menjadi drowning dengan mortalitas, morbiditas atau tanpa morbiditas.4
2
Secondary drowning menggambarkan bahwa korban mendapat pertolongan awal tapi
terjadi kematian setelah beberapa menit sampai hari setelah pertolongan awal tersebut.
Definisi secondary drowning tetap kontroversi dan tidak digunakan lagi.4
Immersion syndrome adalah bentuk drowning disebabkan terpaparnya secara tiba-tiba
oleh air yang sangat dingin (<20°C atau 68°F) yang kemungkinan menyebabkan disritmia
akibat respon vagal. Dua bentuk disritmia tersebut yang paling sering adalah asistol dan
fibrilasi ventrikel. Intoksikasi alkohol atau bahan intoksikan lain kemungkinan menjadi
faktor predisposisi syndrome ini.4
Immersion hypothermia merupakan bentuk drowning yang bisa diakibatkan oleh
hipotermi karena prolonged immersion. Ketika suhu sentral mencapai 32-33°C, korban akan
kehilangan aktivitas atau gerakan yang bertujuan sehingga pada titik tersebut berenang dan
tindakan perlindungan diri yang lain terhenti dan terjadilah drowning.4
3. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2002 terdapat 3447 kasus drowning di Amerika Serikat, rata-rata 9 orang
perhari. Angka ini tidak termasuk kejadian akibat kecelakaan kapal. Drowning merupakan
penyebab kedua kematian anak-anak usia 0-19 tahun dimana dilaporkan 1068 kasus
kematian anak akibat drowning pada tahun 2003. Empat puluh persen dari semua kasus
drowning terjadi pada anak di bawah 4 tahun, laki-laki tiga kali lebih sering daripada
perempuan pada semua umur.4
Orang dewasa (atau orang tua) yang menggunakan alkohol dan obat-obatan tidak hanya
meningkatkan resiko kejadian drowning untuk mereka sendiri tapi juga dapat meningkatkan
resiko orang-orang di sekitarnya. Karena semua aktivitas yang berhubungan dengan air
meningkat pada musim panas, secara alami insiden drowning juga meningkat pada musim
dan cuaca panas. Tempat yang sering terjadi adalah kolam renang rumah, bathtubs, dan
tempat air terbuka.
Kira-kira 6% kasus drowning menggambarkan kekerasan atau keteledoran pada anak.
Pada sebuah penelitian 67% kasus drowning di bathtub diakibatkan karena adanya kekerasan
atau keteledoran. Bathtub biasanya merupakan tempat tersering kejadian drowning pada anak
di bawah 1 tahun.4
Bunuh diri dan pembunuhan kemungkinan bisa tampak sebagai drowning. Bunuh diri
yang tampak sebagai drowning bisa melalui jatuh dari jembatan, dari ketinggian lain atau
episode drowning primer. Air juga digunakan sebagai alat pembunuhan pada kasus kriminal
termasuk yang melibatkan anak-anak. Epilepsi juga tercatat bisa meningkatkan resiko

3
drowning. Anak-anak dengan epilepsi mempunyai resiko 10 kali lipat terjadi drowning
daripada anak yang tidak ada riwayat kejang.

4. ETIOLOGI
Kekerasan pada anak atau keteledoran dapat menggambarkan kejadian drowning pada
kelompok umur bayi. Pada anak yang lebih tua atau orang dewasa, kecelakaan saat rekreasi
di air, obat-obat terlarang, percobaan bunuh diri atau pembunuhan dapat menyebabkan
submersion injury. 4
Faktor resiko terjadinya drowning:
- Umur : 40% di bawah umur 4 tahun, tersering pada umur 2 tahun dan umur antara
16-18 tahun
- Lokasi : kolam renang rumah atau bathtub
- Jenis kelamin: laki-laki 3:1 perempuan
- Obat-obatan: biasanya karena konsumsi alkohol
- Trauma: terjatuh
- Penyakit penyerta: epilepsi
- Bulan musim panas: 50% dari Mei sampai Agustus

5. PATOFISIOLOGI
a. Mekanisme Drowning
Urutan peristiwa yang terjadi pada drowning didapatkan dari model binatang. Pada
akhir tahun 1940, Swann et al menenggelamkan anjing dan mempelajari peristiwa apa
saja yang terjadi. Pada kebanyakan kasus drowning, periode panik dan kegelisahan
(meronta) diikuti rasa capek merupakan peristiwa awal. Brouardel di Perancis pada tahun
1890 menyebutnya sebagai “stage of surprise”. Fase ini berlangsung sekitar 5-10 detik.
Pia mencatat bahwa stadium ini pada manusia berlangsung selama 20-60 detik. Selama
stadium ini korban akan bergerak untuk meraih sesuatu atau berusaha untuk tetap berada
di permukaan air. Hiperventilasi akan terjadi selama kepala bisa bertahan di atas air.
Tanda lain yang menunjukkan korban potensial drowning adalah mulut terbuka tanpa
suara dan kepala dalam posisi hiperekstensi.4
Setelah itu terjadi periode apnea ( breath holding) selama sekitar 60 detik. Mulut
diam dan respirasi berhenti. Setelah apnea, Brouardel kemudian mendeskripsikan suatu
stadium di mana agitasi berhenti dan korban kemungkinan menelan air dan mulai
memuntahkannya. Kira-kira 90% korban drowning menghisap air dan vomitus, berusaha
membatukkan, kemudian terjadi gasping secara involuntir, paru-paru tergenang oleh air
4
karena air masuk bersama udara. Sebenarnya menurut data klinis dan eksperimental,
bersama dengan ditemukannya paru-paru kering selama otopsi, diduga kematian dapat
terjadi tanpa aspirasi cairan yang bermakna. Data terakhir menunjukkan bahwa “dry lung
death” ditemukan hanya 2% pada korban yang meninggal.4
Brouardel kemudian menjelaskan adanya “second stage of respiratory arrest”
dimana tidak ada gerakan dada yang terjadi dan binatang coba menjadi tidak sadar.
Gerakan nafas agonal, cardiac arrest dan kemudian terjadi kematian.
Abnormalitas yang paling penting dari drowning adalah hipoksemia berat akibat
asfiksia. Akibat hipoksia dapat mempengaruhi otak, jantung dan ginjal. Aspirasi minimal
1-3 ml/kg cairan dapat menyebabkan fungsi paru yang abnormal akibat dari beberapa
mekanisme. Refleks vagal menyebabkan vasokonstriksi pulmonal sehingga terjadi
pulmonary hypertension setelah aspirasi cairan. Aliran air melewati epitel alveolar,
membran basalis dan kapiler endotel menyebabkan kerusakan cepat struktur paru.
Kehilangan atau inaktivasi dari surfaktan paru menyebabkan alveoli kollaps yang
berakibat menurunnya compliance paru.4
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran,
eksudasi materi protein ke alveoli dan edema paru. Akibat lain adalah
ventilation/perfusion mismatch dan hipoksemia yang berat. Abnormalitas ini
menyebabkan peningkatan yang cepat PaCO2 dan penurunan PaO2. Aliran darah paru dan
fungsi paru mungkin tidak kembali normal setelah beberapa hari sejak kejadian.

b. Jenis Cairan Aspirat


Aspirasi cairan meskipun dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan perubahan yang
drastis pada PO2. Perbedaan antara jenis cairan air asin dan air tawar biasanya lebih
ditekankan, tapi toksisitas cairan aspirat dan adanya kontaminan seperti endapan, lumpur,
kotoran, bakteri, dan diatom secara klinis lebih relevan. Aspirasi isi lambung yang asam
dan debris lain seperti kotoran, pasir, lumpur, diatom atau alga berperan dalam
pemburukan paru dengan terjadinya pneumonitis aspirasi.4
Secara teori seharusnya ada perbedaan antara tenggelam di air asin dan air tawar
bila terdapat jumlah cairan signifikan yang teraspirasi. Secara kebetulan, sedikit korban
tenggelam yang hidup menelan sejumlah cairan yang dapat menyebabkan perubahan
yang signifikan dalam volume darah ataupun serum elektrolit. Dalam penelitian
eksperimental didapatkan bila cairan aspirat kurang dari 20ml/kg berat badan biasanya

5
tidak terjadi perubahan elektrolit yang mengancam jiwa dan sedikitnya diperlukan 11
ml/kg berat badan cairan aspirat untuk menyebabkan perubahan volume darah.
Air asin menyebabkan akibat yang lebih hebat terhadap paru-paru dibandingkan
dengan air tawar. Bila teraspirasi air asin, garam akan berdifusi ke dalam darah sehingga
menyebabkan peningkatan kadar natrium. Kekuatan osmotik akan menarik cairan kaya
protein dari sirkulasi menuju interstitial paru. Akibatnya terjadi washout surfaktan, edema
paru dan kerusakan parenkim paru. Aspirasi air asin dua kali lebih lethal daripada air
tawar per unit volume karena kandungan dan jenis bakteri lebih banyak. Air asin
diketahui mengandung lebih dari 20 bakteri patogen termasuk Pseudomonas
putrefactions, Staphylococcus aureus dan Vibrio parahaemolyticus.4
Bila teraspirasi air tawar, larutan yang bersifat hipotonik akan bergerak secara cepat
melewati alveolar-kapiler. Hal ini menyebabkan kerusakan lapisan surfaktan dan
berakibat kolapsnya alveolar dan menurunnya compliance sehingga terjadi
ventilation/perfusion (V/Q) mismatch yang bermakna. Kurang lebih 75% aliran darah
akan bersirkulasi melewati segmen paru yang mengalami hipoventilasi tersebut.1
Jenis dan jumlah cairan aspirat saat ini dipercaya tidak memainkan peran penting
terhadap outcome klinis. Cairan aspirat sejumlah 1-3ml/kg dan menyebabkan proses
patofisiologis paru namun jarang menyebabkan gangguan elektrolit. Muntahan dan
aspirasi isi lambung dapat menyebabkan terjadinya acute lung injury.1

c. Hipotermi
Terdapat patofisilogi yang unik apabila terjadi drowning di air yang sangat dingin
(<10°C). Pada kondisi ini dapat terjadi cold induced myocardial disfunction dan aritmia.
Beberapa korban drowning di air yang sangat dingin dapat bertahan hidup tanpa defisit
neurologis karena efek protektif hipotermi.3
“Diving reflex” adalah suatu fenomena air dingin pada anak-anak dimana akan
terjadi apnea, bradikardi, dan vasokonstriksi hebat apabila wajah terpapar oleh air yang
sangat dingin. Reflek ini dikombinasi dengan hipotermi akibat surface cooling diduga
memainkan peran terjadinya hipometabolisme protektif sehingga dapat memperbaiki
daya tahan hidup setelah tenggelam lama di air yang sangat dingin.3
Penelitian pada anjing menjelaskan bahwa menelan dan aspirasi air yang sangat
dingin akan meningkatkan cooling rate sehingga adanya aspirasi tersebut ditambah
dengan hipotermi akibat surface cooling akan melindungi fungsi neurologis akibat
hipoksia yang lama. Ketika akhirnya terjadi cardiac arrest maka terdapat tambahan waktu
6
10-15 menit sebelum otak benar-benar rusak secara irreversible pada pasien hipotermi
anoksik.4

d. Pneumonia
Diagnosa pneumonia akibat drowning biasanya susah ditegakkan. Korban drowning
yang tidak terinfeksi bisa mempunyai tanda dan gejala mirip pneumonia. Kebanyakan
korban drowning akan mempunyai gejala paru dan abnormalitas pada foto thoraknya.5
Diagnosa pneumonia akibat drowning ditegakkan berdasar adanya tanda dan gejala
seperti pneumonia, infiltrat paru fokal baru pada foto thoraks, bukti histopatologi
pneumonia, adanya bukti organisme di darah, jalan nafas dan air dari lokasi drowning.5
Beberapa organisme yang dapat menyebabkan pneumoni akibat drowning dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Organisme penyebab pneumonia akibat drowning

Organisme Air tawar Air laut

Bakteri aerob gram negatif


Aeromonas spp +++ +
Burkholderia pseudomallei ++
Chromobacterium violaceum ++
Francisella philomiragia ? ++
Klebsiella pneumoniae +
Legionella species +
Neisseria mucosa +
Pseudomonas aeruginosa + ?
Shewanella putrefaciens +
Vibrio species ? +

Bakteri aerob gram positif


Streptococcus pneumoniae ++ +
Staphylococcus aureus ? ?

Fungi
Aspergillus species ? +
Pseudallescheria boydii ?

Keterangan: +++ = sering, ++ = kadang-kadang, + = jarang

6. PENATALAKSANAAN
7
a. PRA HOSPITAL
 Pertolongan dan Resusitasi Awal
Bantuan hidup dasar yang diberikan di tempat kejadian pada korban drowning
bisa berhasil atau gagal. Pengertian tentang prinsip-prinsip resusitasi awal pada
korban drowning adalah penting diketahui oleh pemberi pertolongan pra hospital
termasuk cara menjaga jalan nafas dan berbagai modalitas untuk memberi nafas
bantuan baik dengan bag valve mask atau peralatan jalan nafas yang lain.4
Pasien harus secepat mungkin dipindahkan dari air. Meskipun bantuan nafas di
dalam air dapat dilakukan tetapi penekanan dada untuk resusitasi jantung paru di
dalam air dikatakan tidak efektif.

 Lama Tenggelam
Waktu adalah krusial dalam manajemen korban drowning. Pulihnya status
neurologis secara penuh tidak dapar diprediksi bila korban tenggelam lebih dari 60
menit dalam air yang sangat dingin (icy water) atau lebih dari 20 menit dalam air
dingin (cool water).4
Lamanya tenggelam sering tidak akurat dan biasanya merupakan estimasi
waktu. Saat kejadian biasanya orang-orang di sekitar tidak ada yang memperhatikan
lamanya korban tenggelam. Lama waktu antara panggilan pertolongan dan saat tiba
tim penolong sering diketahui dan pada kasus ekstrim hal ini dianggap sebagai lama
tenggelam.

 Mekanisme Kejadian
Semua pasien yang terlibat dalam kecelakaan kapal, terjatuh dengan posisi
kepala dulu, jatuh dalam air yang bergerak cepat, selancar, atau jatuh dari ketinggian
lebih dari 10 kaki harus diangap sebagai multitrauma dan potensial terjadi trauma
cervical spine.
Heimlich manuver tidak begitu bermanfaat untuk dilakukan pada korban
tenggelam meskipun tujuannya untuk mengeluarkan partikel benda asing yang
menyumbat. Justru dengan manuver ini dapat menyebabkan aspirasi isi lambung
karena manuver ini sering menyebabkan pasien muntah. Waktu tidak boleh dibuang
percuma hanya untuk melakukan manuver ini atau manuver yang lain.4
 Resusitasi Jantung Paru

8
Resusitasi yang adekuat dan cepat merupakan faktor paling penting yang bisa
menentukan daya tahan hidup korban. Tindakan segera dari penolong awal
mempunyai pengaruh besar terhadap outcome korban drowning.

 Suplementasi Oksigen
Pemberian bantuan oksigen menjadi hal utama untuk pertolongan pra hospital
korban drowning. Usaha awal harusnya diberikan oksigen 100%, diberikan melalui
bag valve masked atau intubasi pada pasien yang tidak sadar.

 Suction
Peralatan suction harusnya selalu ada dan siap digunakan karena kebanyakan
pasien akan muntah atau mungkin banyak sekret akibat edem paru. Bila terjadi
muntah atau tampak akan muntah sebaiknya pasien diposisikan lateral dekubitus.
Intubasi sejak awal akan melindungi pasien dari aspirasi, memudahkan suction dan
pemberian oksigen aliran tinggi.

 Manajemen Post Resusitasi


Baju basah harus dilepas bila memungkinkan, dan pasien harus ditutup dengan
selimut atau diberi penghangat. Pasien harus dimonitor terus tanda-tanda vitalnya,
tanda potensial muntah atau tanda pemburukan yang lain selama transportasi.
Masalah potensial termasuk edema paru dan shock akibat trauma yang berkaitan juga
harus diwaspadai.

b. PERAWATAN DEFINITIF
 Manajemen Unit Gawat Darurat
Korban drowning mungkin datang di unit gawat darurat dalam kondisi yang
bervariasi mulai dari asimptomatis sampai cardiac arrest. Prioritas utama penanganan
korban drowning di unit gawat darurat adalah memperbaiki hipoksia dengan cara
memberikan oksigen yang adekuat dan ventilasi. Semua pasien drowning harus
dianggap hipoksia, asidosis dan hipotermi. Perhatian awal ditujukan untuk
penanganan resusitasi ABC, termasuk perhatian terhadap immobilisasi cervical spine.
Oksigen adalah lini pertama untuk terapi. Pasien yang bernafas spontan yang dapat
mempertahankan SaO2 > 90% dan PaO2 > 90 torr dengan FiO2 <0.5 mungkin hanya
membutuhkan terapi oksigen.3
9
Pasien sadar baik, bayi yang hanya “tercelup” dan tidak membutuhkan bantuan
nafas atau bantuan terapi oksigen mungkin bisa diobservasi selama beberapa jam di
unit gawat darurat dan dipulangkan bila kondisi tetap baik. Foto rontgen thoraks
mungkin tidak terlalu banyak membantu dalam memprediksi disposisi atau membuat
keputusan klinis. Pasien-pasien tanpa gejala dengan pulse oksimetri normal mungkin
aman untuk dipulangkan ke rumah.4
 Disposisi
Disposisi dari unit gawat darurat meliputi pulang ke rumah, masuk rumah sakit
untuk monitoring atau masuk ICU. Keputusan ini tergantung pada riwayat atau
keadaan saat tenggelam, status fisiologis, dan hasil tes diagnostik. Semua pasien
drowning harus diobservasi minimal 6-8 jam. Masuk rumah sakit untuk observasi dan
monitoring direkomendasikan pada pasien yang memiliki riwayat hipoksia
(tenggelam lebih dari 1 menit, pernah apnea atau sianosis atau membutuhkan
resusitasi pulmonal), atau pasien yang dalam masa observasi tetap membutuhkan
oksigen atau tetap simptomatis. Tanda aspirasi meliputi batuk, tachypnea, nyeri dada,
dan demam. Masuk ICU harus dipertimbangkan pada pasien yang membutuhkan
resusitasi paru dan jantung, riwayat hipotermi sedang sampai berat atau mempunyai
foto thoraks dan analisa gas darah abnormal.3
 Manajemen Pasien Kritis
Pasien asistol memerlukan intubasi, rewarming cepat, perbaikan volume dan
pemberian obat-obatan. Defibrilasi pada pasien ventrikel fibrilasi harus dilakukan di
tempat kejadian bila memungkinkan. Jika terdapat hipotermi maka defibrilasi
mungkin berhasil bila sudah dilakukan rewarming. Kondisi jantung yang dingin
selalu sulit untuk restart sehingga penting untuk tidak menyerah di awal. Pernah
dilaporkan pasien pulih lengkap setelah 2 jam resusitasi jantung paru khususnya pada
pasien anak hipotermis. Usaha resusitasi harus dilanjutkan sampai sirkulasi dan
respirasi dinilai ulang dan korban dihangatkan atau sudah terjadi mati otak.4
Intubasi cepat dapat digunakan untuk melindungi jalan nafas dan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau continuous
positive airway pressure (CPAP) dengan intermitten mandatory ventilation (IMV)
dapat dengan mudah dilakukan pada pasien yang sudah diintubasi. PEEP akan
memperbaiki daerah paru yang mengalami atelektasis dan memperbaiki ventilasi.
Idealnya PEEP ini harus dimulai sejak ruang unit gawat darurat dan dipantau dengan
10
analisa gas darah untuk melihat perkembangan pasien. Nasal CPAP mungkin
bermanfaat pada pasien sadar yang tidak terintubasi dengan distres nafas.4
Penambahan PEEP akan menurunkan derajat shunting paru, menurunkan V/Q
mismatch dan meningkatkan functional residual capacity. Bronchospasme mungkin
diatasi dengan nebulisasi bronchodilator seperti albuterol.4
Intubasi diperlukan pada pasien yang mengalami hipoksia berat dengan atau
tanpa asidosis, adanya tanda distres nafas, usaha respirasi yang tidak adekuat dan
gagal mempetahankan patensi jalan nafas (misalnya pada pasien tidak sadar). Pasien
drowning juga dalam resiko tinggi untuk menjadi acute lung injury (ALI) atau acute
respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga protective lung ventilation strategies
harusnya digunakan untuk mengurangi kerusakan iatrogenik akibat ventilasi mekanik.
Hal ini meliputi target SaO2 > 88% dengan pH >7.2, mengoptimalkan PEEP, tidal
volume < 6 ml/kg dan plateau pressure < 30 cmH2O.1
Bronkoskopi memungkinkan untuk mengambil sumbatan benda atau bahan
asing dan muntahan. Bronchoalveolar lavage dapat digunakan untuk mendapatkan
sample untuk tujuan kultur pada kasus aspirasi pneumoni. Penggunaan
Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) pada pasien yang tetap hipoksik
meskipun diberikan ventilasi mekanik yang agresif, bisa memberikan hasil yang
baik.1
Pada pasien drowning dengan bukti adanya shock maka jalur infus intravena
sangat diperlukan. Akses intraosseus harus dipertimbangkan untuk pasien yang
ekstrim atau bila akses intravena sulit didapat. Korban drowning apakah di air asin
atau air tawar membutuhkan resusitasi cairan yang agresif, lebih sesuai menggunakan
cairan kristaloid seperti normal saline. Bolus cairan awal 20 ml/kg adalah sesuai.
Asidosis harus dikoreksi dengan memberikan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan
pemberian cairan yang cukup. Infus natrium bikarbonat biasanya tidak diperlukan.3
Disfungsi cardiac mungkin terjadi akibat hipoksia. Kondisi ini ditandai dengan
cardiac output rendah dengan systemic dan pulmonal vascular resistance yang tinggi
dan mungkin tetap ada meskipun telah dilakukan oksigenasi, ventilasi dan perfusi
yang adekuat. Edema paru kardiogenik mungkin bisa menyebabkan ARDS.
Furosemide bukan indikasi pada pasien seperti ini, justru penambahan volume dan
inotropik seperti dobutamine mungkin bermanfaat untuk mengembalikan perfusi
jaringan yang adekuat.3
11
 Perlindungan Cervical Spine
Kejadian trauma dalam drowning biasanya berkaitan dengan riwayat kecelakaan
kapal atau jatuh dari ketinggian. Bila ada indikasi trauma atau ada indikasi benturan
kecepatan tinggi dengan air, cervical spine harus dilindungi dengan cervical collar
dan long spine board. Foto x-ray cervical harus segera dilakukan untuk evaluasi.4

 Manajemen Hipotermi
Hipotermi adalah kondisi temperatur sentral kurang dari 35°C. Kondisi ini harus
diantisipasi dan diterapi pada semua korban drowning, termasuk drowning dalam air
hangat. Efek klinis hipotermi karena drowning di air dingin biasanya lebih cepat dan
lebih berat. Gangguan kognitif dan fungsi otot adalah tanda klinis pertama yang
tampak.3
Prinsip utama manajemen hipotermi adalah mencegah jangan sampai
temperatur sentral jatuh lebih ke bawah, melakukan rewarming sambil
mempertahankan stabilitas hemodinamik. Tingkat hipotermi dibagi menjadi ringan
(32-35°C), sedang (28-32°C), dan berat (<28°C). Klasifikasi ini dapat membantu
memperkirakan temuan klinis dan memilih metode yang tepat untuk rewarming.
Tujuan rewarming adalah untuk menaikkan suhu 1-2° C perjam untuk mencapai
rentang 33°C sampai 36°C. Bila hemodinamik pasien stabil, rewarming yang agresif
di atas rentang nilai tersebut harus dihindari karena hipertermi akan memeperburuk
trauma serebral pada pasien post cardiac arrest.3
Teknik rewarming pasif dan aktif dipakai berdasarkan pada derajat severitas
hipotermi, status kardiovaskuler dan peralatan yang ada. Temperatur sentral harus
dimonitor terus menerus dengan probe rektal atau esofagus karena termometer
standard hanya bisa mengukur sampai 34°C. Ketika menggunakan rewarming
eksternal aktif hati-hati terjadinya luka bakar iatrogenik.
Ketika temperatur sentral kurang dari 30°C medikasi kardioaktif dan defibrilasi
biasanya tidak efektif. Pada suhu ini defibrilasi harus dilakukan hanya sekali dan
RJPO harus dilanjutkan sampai suhu di atas 30°C. Bila ventrikel fibrilasi atau
ventrikel takikardi tetap ada pada suhu di atas 30°C, defibrilasi atau kardioversi harus
terus dilakukan.3
Tabel 2. Teknik rewarming

Rewarming pasif - Melepas pakaian basah dan dingin

12
- Menggunakan blanket hangat untuk menutupi pasien

Rewarming aktif - Eksternal


o Pack hangat
o Lampu pemanas
o Forced air external rewarmer
- Internal
o Warmed humidified oxygen (lewat masker atau ETT)
o Cairan intravena yang dihangatkan
o Warm saline lavage (gaster, peritoneal, rektal, mediastinal)
o Peritoneal dialisis
o Extracorporeal membrane rewarming technique

 Pencegahan Cedera Otak Sekunder


Penyebab umum terjadinya kematian atau cacat pada pasien drowning yang
sudah masuk rumah sakit adalah posthypoxic encephalopathy. Oleh karena itu
resusitasi otak dan pencegahan cedera neurologis yang lebih jauh merupakan hal
penting untuk diperhatikan pada pasien ini.3
Manajemen gawat darurat harus fokus pada pencegahan hipoksia, hiperkarbi,
dan hipertermi. Menghindari hipoksia lebih jauh dilakukan dengan kontrol jalan nafas
sejak awal, ventilasi tekanan positif, dan pencegahan aspirasi (intubasi dan
dekompresi lambung). Umtuk mencegah hipertermi suhu pasien harus selalu
dimonitor, dan pada pasien hipotermi prases rewarming aktif harus dengan target
temperatur 33-36°C. Pada pasien drowning cedera paru dan otak sering harus dikelola
secara sinergis. Strategi ventilasi untuk pasien acute lung injury (mengijinkan untuk
permisive hiperkarbi) mungkin tidak sesuai dengan pasien cedera kepala
(menginginkan normokarbi atau hipokarbi ringan).3
Menurunkan peningkatan TIK tidak terbukti sebagai strategi cerebroprotective
efektif dalam menangani pasien drowning. Monitoring perkembangan edema serebri
harus dilakukan di ICU. Beberapa ahli menganjurkan kondisi hipotermi dalam
menangani pasien drowning yang tetap dalam kondisi koma.3
 Anamnesa
Setelah usaha resusitasi dilakukan, penting untuk mendapatkan riwayat medis,
riwayat mekanisme kejadian atau data yang lain untuk memperkirakan prognosis atau
komplikasi yang mungkin timbul. Data seperti jenis cairan, tempat tenggelam,
temperatur cairan, lama tenggelam, usaha pertolongan yang sudah dilakukan di

13
tempat kejadian harus digali. Penggunaan alkohol atau pemakaian obat harus
diidentifikasi. Adanya penyakit penyerta juga harus diidentifikasi. Bila korban adalah
bayi atau anak-anak maka kemungkinan child abuse juga harus diperhatikan.4
 Pemeriksaan Fisik
Tampilan klinis pasien drowning sangat bervariasi mulai dari yang asimptomatis
sampai yang cardiac arrest. Gejala umum pasien akan mencerminkan sistem organ
yang dipengaruhi oleh trauma hipoksik atau anoksik. Umumnya gejala pulmoner
seperti dyspnea, distres nafas, batuk atau wheezing akan tampak. Wheezing mungkin
fokal atau terdengar di seluruh lapangan paru karena bronkospasme, edema paru atau
aspirasi. Gejala cardiac mungkin akan terlihat takikardi, tapi pada kasus yang berat
akan tampak bradikardi atau asistol. Gejala gastrointestinal mungkin muntah atau
kadang-kadang diare. Bila ada mekanisme trauma mungkin kelihatan memar, laserasi
atau deformitas.4
 Pemeriksaan Penunjang
Dua pemeriksaan penunjang yang dianggap penting pada korban drowning
adalah foto rontgen cervical spine dan thoraks. Sedangkan untuk pemeriksaan laborat
adalah analisa gas darah. Tes lain yang mungkin perlu diperhatikan adalah kadar
etanol, obat, enzim liver dan ginjal, fungsi koagulasi, hitung darah lengkap, aspirasi
darah dan trakea untuk kultur untuk menilai potensial patogen. EKG juga harus selalu
dimonitor untuk mengetahui kondisi cardiac.

o Foto thoraks
Foto awal bisa tampak normal bahkan pada pasien yang secara klinis
mungkin terdapat edema paru. Sebaliknya mungkin foto awal bisa tampak
gambaran edema paru pada pasien yang secara klinis tampak asimptomatis. Foto
thoraks dipakai untuk menilai manajemen klinis atau prognosis. Harus dicari
gambaran abnormal baik dari paru-paru, jantung, mediastinum, tulang ataupun
subkutis.

o Foto cervical spine


Foto cervical spine harus dievaluasi pada korban drowning yang
mempunyai riwayat high impact atau ada tanda klinis trauma. Adanya trauma
cervical memerlukan manajemen berbeda. Harus dicari gambaran fraktur,
dislokasi atau tanda abnormalitas yang lain.

14
o Analisa gas darah
Pasien drowning bisa menunjukkan gambaran asidosis baik respiratorik
maupun metabolik. Komponen respiratorik harus dikoreksi dengan kontrol jalan
nafas dan ventilasi. Komponen metabolik bisa dikoreksi dengan memperbaiki
oksigenasi, pemberian cairan adekuat, dan memperbaiki perfusi. Asidosis
metabolik yang berat mungkin memerlukan natrium bikarbonat.
Dari analisa gas darah dapat diketahui fungsi ventilasi dan oksigenasi.
Derajat shunting, V/Q mismatch dapat dianalisa untuk kemudian diperbaiki.

o Darah lengkap dan serum elektrolit


Pemeriksaan rutin darah lengkap dan elektrolit mungkin tidak
menguntungkan kecuali bila korban drowning tenggelam dalam cairan unik
dengan jumlah cairan tertelan cukup banyak. Peningkatan jumlah lekosit mungkin
sebagai respon stres fisiologis sehingga akan menyulitkan dalam interpretasi.

o CT scan kepala
Pemeriksaan CT scan kepala rutin pada pasien tanpa mekanisme trauma
yang jelas biasanya akan memberikan sedikit keuntungan. Pada pasien yang
mengalami submersion berat mungkin bisa tampak gambaran edema serebri,
namun akan sedikit manfaatnya bila dilakukan pada pasien yang kesadarannya
masih intak.

 Terapi Adjuvan
o Penggantian Cairan dan Inotropik
Kekurangan volume intravaskuler umumnya terjadi. Bila terjadi shock dapat
diberikan kristaloid 20 ml/kg pada awal terapi. Bila terdapat tanda edama paru
maka pemberian cairan mungkin harus dibatasi. Suport inotropik seperti dopamin
dan dobutamin diberikan sesuai indikasi.

o Antibiotik
Mortalitas drowning associated pneumonia sekitar 60%. Dalam sebuah
penelitian dimana 21 pasien diberikan antibiotik profilaksis, terdapat 16 pasien
berkembang menjadi pneumonia dari organisme yang resisten terhadap antibiotik
tersebut. Tidak ada pengurangan kejadian pneumonia atau mortalitas ketika
diberikan antibiotik profilaksis.

15
Kontroversi pemberian antibiotik berkurang apabila memang pasien
mengalami aspirasi kontaminan dari air tempat dia tenggelam (misalnya kotoran).
Bila terdapat kontaminan dalam paru beberapa ahli merekomendasikan pemberian
antibiotik.
Keputusan untuk memberi antibiotik memang sulit. Antibiotik harus
diberikan pada pasien yang menunjukkan tanda infeksi atau sepsis. Bila pasien
terdapat peningkatan demam, infiltrat paru atau tanda sistemik infeksi maka terapi
empiris harus segera dimulai. Celakanya beberapa korban drowning akan
menampakkan tanda dan gejala pneumonia seperti panas dan lekositosis.
Beberapa klinisi menganjurkan kultur aspirat trakea dan memberi antibiotik yang
sesuai dengan hasil kultur tersebut.

o Glukosa
Hipotermi dan alkohol mungkin menyebabkan hipoglikemi. Korban
drowning mungkin mendapat keuntungan dari dekstrose. Bayi dan anak-anak
mempunyai sedikit cadangan glikogen dan bisa menjadi hipoglikemi secara
sekunder akibat stres fisiologis.

o Steroid
Terapi kortikosteroid untuk trauma paru karena drowning tidak terlalu
banyak membantu baik pada penelitian anjing maupun manusia. Hanya sedikit
manfaat pemberian kortikosteroid intravena dalam terapi drowning. Steroid
harusnya tidak digunakan untuk terapi trauma paru. Namun bila terdapat edema
serebri maka terapi kortikosteroid bisa memberikan efek yang menguntungkan.
Beberapa kasus ARDS dilaporkan juga membaik setelah diberikan kortikosteroid.

o Surfaktan
Surfaktan paru akan rusak akibat aspirasi air asin atau air tawar.
Penambahan surfaktan artifisial secara teori akan memperbaiki pertukaran gas
paru pada korban drowning. Surfaktan artifisial telah digunakan pada terapi
korban drowning dan beberapa dilaporkan berhasil.

7. PROGNOSIS
Drowning merupakan kecelakaan yang sering terjadi berhubungan dengan mortalitas
dan morbiditas yang tinggi. Tidak ada sistem skoring klinis untuk memprediksi angka

16
survival dan kesembuhan status neurologis pada korban drowning. Beberapa faktor
mempengaruhi rendahnya survival diantaranya waktu tenggelam yang lama, terlambatnya
memulai resusitasi efektif, asistol saat tiba di rumah sakit, pupil yang sudah dilatasi, GCS
yang rendah dan asidosis metabolik yang berat.1
Faktor prognostik yang memberikan angka survival yang baik diantaranya pasien sadar
saat tiba di rumah sakit, tenggelam di air sangat dingin, lama tenggelam singkat, anak dan
dewasa muda, mendapat pertolongan bantuan hidup dasar sejak di tempat kejadian, dan
pasien sehat.4
Sistem prognostik tidak pernah dapat memprediksi outcome 100% spesifik, sehingga
skor severitas yang tinggi tidak selalu mengindikasikan angka survival yang rendah atau
gangguan neurologis yang berat. Penelitian korban drowning pada musim panas
menunjukkan survival rendah dan morbiditas tinggi. Hal ini mungkin disebabkan hilangnya
reflek protektif dan protektif hipotermi
Tabel 3. Indikator prognostik drowning

Indikator prognostik menguntungkan Indikator prognostik tidak menguntungkan

- Umur > 3 tahun - umur ≤ 3 tahun


- Perempuan - laki-laki
- Tenggelam di air dingin ( <10° C) - tenggelam di air hangat ( >10°C)
- Lama tenggelam < 5 menit - lama tenggelam ≥ 5 menit
- Tidak ada aspirasi - aspirasi
- Mendapat resusitasi sejak awal (dalam - resusitasi awal tertunda ( > 10 menit sejak
waktu 10 menit sejak kejadian) kejadian)
- Hemodinamik baik - pulseless saat tiba di rumah sakit
- pH darah > 7.1 saat tiba di rumah sakit - pH darah < 7.1
- sadar baik - komatosa
- pupil reaktif - pupil fixed dan dilatasi
- tidak memerlukan adrenalin - memerlukan adrenalin
- foto thoraks normal - foto thoraks abnormal
- gula darah inisial <200 mg/dl - gula darah inisial ≥ 200 mg/dl

8. KESIMPULAN
Resusitasi awal memberikan peran penting dalam meningkatkan angka survival dan
tetap ditujukan sesuai kaidah dasar untuk mengelola airway, breathing, dan circulation dalam
menangani kegawatdaruratannya. Pertolongan yang diberikan sejak di tempat kejadian
sampai di rumah sakit dapat mempengaruhi outcome pasien drowning. Manajemen lebih jauh

17
harus memperhatikan untuk perbaikan koreksi hipoksia, asidosis, protective lung ventilation
strategies, teknik respirasi yang lebih maju dan memperbaiki perfusi. Segala penyulit
drowning harus diantisipasi dan dikelola dengan benar. Penting diperhatikan untuk mencegah
cedera paru sekunder, cedera otak sekunder, cedera neurologi dan hipotermi.

9. LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An Abdur Rahman
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : laki - laki
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 78 cm
Register : 12246039
Diagnosa : Drowning

MEKANISME TRAUMA

Pasien tenggelam
22 Mei 2013 jamdi17.30
pelabuhan Tanjung Perak saat bermain, tidak ada kejang, pasien tampak
biru, lama tenggelam ± 10 menit, pasien ditolong oleh pamannya

Pasien dibawa ke RS PHC Surabaya


Jam 18.15
18
Nafas gasping, SpO2 72%, GCS 124, Tekanan darah: 80/45mmHg, Nadi: 142kali/menit, Temp
axiler 36°C
Terapi:
- Oksigen JR 8 lpm,
- Intubasi ETT 4.0 NK (midazolam 1 mg, propofol 30 mg, morfin 1 mg iv)
- Infus RL 100 cc
- Pasang NGT no 12, kateter urine no 6
- Rujuk ke RS dr Soetomo karena keterbatasan biaya

Jam
RES RS23.30
dr Soetomo
A: bebas tube in,
B: kontrol respirasi, 30 kali/menit, tampak cairan pink frotty, Suara nafas ves/ves Rh+/+ Wh -/-
SpO2: 94-95%
C: perfusi hangat, kering, merah, CRT<2”, nadi:145 kali/menit, temp rektal: 38.5°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop(-)
D: tersedasi
Sikap:
- Pertahankan airway tetap bebas
- Kontrol ventilasi
- Diagnostik laboratorium, foto thoraks, CT scan kepala
- Termoregulasi: kompres dingin, injeksi metamizol 150 mg iv
Evaluasi:
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PCV f:30 PC:10 PEEP:4 Tr:1 FiO2: 90%
 f:35-40 TV:88-95 MV:3.8-4.0
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Tensi:100/55 mmHg, Nadi:145-160 kali/menit
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : tersedasi
B4 : BAK kateter 150 cc dalam 6 jam
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
Laboratorium:

Hb : 10.5 PPT : 11/11.9 SGOT : 33 Na : 135


Hct : 31.9 APTT : 19.8/25.7 SGPT : 11 K : 3.7
L : 11.7 BUN : 3.6 Alb : 4.0 Cl : 103
Tr : 355 SK : 0.22 GDA : 200 Ca : 8.3

19
BGA Jackson Rees 10 lpm BGA PCV f:30 PC:10 PEEP:4 Tr:1
FiO2: 90%
 f:35-40 TV:88-95 MV:3.8-4.0
pH 7,39
pH 7,25
PCO2 37 PCO2 43
PO2 306
PO2 84
HCO3 18,9
HCO3 22,4 BE -8,3
SaO2 100
BE -2,6
PF Ratio 306
SaO2 96

PF Ratio 84

Foto thoraks: keradangan paru dd/ aspirasi pneumonia

20
Assesment: Drowning + Aspirasi Pneumonia
Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin + PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene
- Infus D5 ½ NS 50 cc/jam
- Injeksi deksametason 3x5mg iv
- Injeksi metamizole 3x150mg iv
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
Balance cairan 23.30-07.00
Input Output
Visite dr Pesta M SpAn: D5 ½ NS 150 cc Urine 85 cc
- Ukur TB dan BB
- Berikan antibiotik ceftriaxone
- Sedasi dengan midazolam
- Acc MRS di ROI

Kondisi
23 Meipasien:
2013 jam 07.00 (RES hari 1)
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PCV f:30 PC:14 PEEP:4 FiO2: 80%  f:40-45 TV:85-95 MV:3.4-3.8
Suara nafas ves/ves, Rh kasar basal +/+, wh-/- SpO2: 99%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Tensi: 90/50, Nadi:155-160 kali/menit, temp rektal:37.4°C
Cor S1S2 tunggal murmur,(-) gallop (-)
B3 : tersedasi
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
CT scan kepala: gambaran edema cerebri

21
Assesment: Drowning + Aspirasi Pneumonia + Edema Cerebri
Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin + PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene
- Infus D5 ½ NS 40 cc/jam
- Injeksi deksametason 3x5mg iv
- Injeksi metamizole 3x150mg iv
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv
- Midazolam 1 mg/jam sp
Jam 13.00 Pasien pindah ROI
Balance cairan 07.00-13.00

Input Output
D5 ½ NS 200 cc Urine 90 cc
RL 100 cc
Total 300 cc Total 90 cc
KONDISI DI ROI

23 Mei 2013 jam 13.00 (ROI hari 0) Kondisi pasien:


B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PCV f:40 PC:16 PEEP:5 Tr:4
FiO2: 40%
 f:40-45 TV:90-100
MV:3.7-4.0
Suara nafas ves/ves, Rh kasar basal +/+, wh-/-
SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Tensi: 95/60, Nadi:130-
135 kali/menit, temp rektal:38.6°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : tersedasi
22
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal

BGA PCV f:40 PC:16 PEEP:5 Tr:4


FiO2: 40%  f:40-45 TV:90-100
MV:3.7-4.0
pH 7,36
PCO2 37
PO2 138 Balance cairan 13.00-07.00
HCO3 20,9 Input Output
D5 ½ NS 720 cc Urine 590 cc
BE -4,5
SaO2 99
PF Ratio 345

Kondisi pasien: 24 Mei 2013 jam 07.00 (ROI hari 1)


B1 : A: bebas tube in
B: ventilator PCV f:40 PC:18 PEEP:5 Tr:1 FiO2: 40%  f:40-45 TV:110-120 MV:4.0-4.4
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:120 kali/menit, temp rektal:36.2°C
Cor S1S2 tunggal murmur (-) gallop (-)
B3 : tersedasi
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
Foto Thoraks:

23
BGA PCV f:40 PC:18 PEEP:5 Tr:1
FiO2: 40%  f:40-45 TV:110-120
MV:4.0-4.4
pH 7,37
PCO2 42,1
PO2 69.6
HCO3 24,7
BE -0,7
SaO2 93,2
PF Ratio 174
Laboratorium:

BUN : 8.1 K : 4.7


SK : 0.17 Cl : 96
GDA : 99 Ca : 7.7
Na : 135

Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia + edema cerebri + atelektasis lobus superior D


Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin + PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Infus D5 ½ NS 40 cc/jam
- Injeksi deksametason 3x5mg iv
- Injeksi metamizole 3x150mg iv
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv
Visite dr Airlangga SpAn KIC:
- Pasien perlu didefisitkan lagi
- Bila perlu pakai manitol, tapi hitung dulu osmolaritas cairan
- Foto thorax terdapat atelektasis lobus superior D
Balance cairan
Input Output
D5 ½ NS 880 cc Urine 920 cc
Defisit 40 cc
25 Mei 2013 jam 07.00 (ROI hari 2)
Kondisi pasien:
24
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator PCV f:40 PC:18 PEEP:5 Tr:2 FiO2: 40%  f:40-42 TV:112-115 MV:4.7-4.8
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:95-110 kali/menit temp rektal:35.2°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : GCS 3x6 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal

Foto thoraks

Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia + edema cerebri + atelektasis lobus superior D


Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde E1-E3 D5 10 cc, E4-E6 D5 20cc
- Infus D5 ½ NS 40 cc/jam
BGA PCV f:40 PC:18 PEEP:5 Tr:2 BGA PCV f:40 PC:18 PEEP:6 Tr:2 -
FiO2: 40%  f:40-42 TV:112-115 FiO2: 40%  f:40-42 TV:112-120 -
MV:4.7-4.8 MV:4.5-5.0
-
pH 7,40 pH 7,31
-
PCO2 48 PCO2 49
-
PO2 93 PO2 143
-
HCO3 30 HCO3 24,7 -
BE 5,0 BE -1.6 -
SaO2 97 SaO2 99 -
PF Ratio 232 PF Ratio 357 -
Injeksi deksametason 3x2.5mg iv
25
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv
- Injeksi manitol 4x10cc

Konsul dr Airlangga SpAn KIC:


- Melaporkan hasil BGA, foto thorax membaik
- Manitol 4x10cc
- Tetap defisitkan

Balance cairan

Input Output
Sonde 60 cc Urine 1100 cc
D5 ½ NS 880 cc
Defisit 60 cc

26 Meipasien:
Kondisi 2013 jam 07.00 (ROI hari 3)
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PSIMV f:30 PC:16 PS:16 PEEP:6 Tr:1 FiO2:30%
 f:30-40 TV:110-120 MV:4.5-4.8
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:95-110 kali/menit temp rektal:36.2°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : GCS 4x6 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
BGA PSIMV f:30 PC:16 PS:16
PEEP:6 Tr:1 FiO2:30%
 f:30-40 TV:110-120 MV:4.5-4.8
pH 7,43
PCO2 46,8
PO2 108
HCO3 31,8
BE 7,4
SaO2 98,3 Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia +
PF Ratio 360 atelektasis lobus superior D
Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
26
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde peptamen junior 8x20cc
- Infus D5 ½ NS 30 cc/jam
- Injeksi deksametason stop
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv
- Injeksi manitol 3x10cc
Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
- Melaporkan mode ventilator PCV menjadi PSIMV, hemodinamik stabil, pasien tidak
febris
- Manitol 3x10cc,
- Deksametason stop
Balance cairan
Input Output
Sonde 160 cc Urine 640 cc
D5 ½ NS 720 cc
Obat 40 cc
Excess 320 cc

27 Meipasien:
Kondisi 2013 jam 07.00 (ROI hari 4)
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PSIMV f:25 PC:12 PS:12 PEEP:6 Tr:1 FiO2:30%
 f:30-33 TV:120-125 MV:3.6-4.1
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:110-115 kali/menit temp rektal:36.4°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : GCS 4x6 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal

Foto Thoraks

27
BGA PSIMV f:25 PC:12 PS:12
PEEP:6 Tr:1 FiO2:30%
Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia  f:30-33 TV:120-125 MV:3.6-4.1
Terapi:
- Suport ventilator pH 7,44
- Posisi slight head up PCO2 43
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + PO2 140
suction berkala sesuai indikasi HCO3 29,2
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde peptamen junior 8x30cc BE 5,0
- Infus D5 ½ NS 20 cc/jam SaO2 100
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv PF Ratio 466
- Injeksi manitol 2x10cc
- Injeksi alinamin 3x1/3 ampul
Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
- Mode PSIMV weaning turunkan rate, bila bagus ubah menjadi spontan
- Manitol diturunkan
- Tunggu hasil kultur
Balance cairan
Input Output
Sonde 240 cc Urine 700 cc
D5 ½ NS 480 cc Retensi 5 cc
Obat 70 cc BAB 50 cc
Excess 45 cc
28 Mei 2013 jam 07.00 (ROI hari 5)
Kondisi pasien:
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PSIMV f:8 PC:10 PS:10 PEEP:6 Tr:2 FiO2:30%
 f:35-40 TV:105-110 MV:3.8-4.3
28
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:120-125
BGA PSIMV f:8 PC:10 PS:10
kali/menit temp rektal:36.5°C
PEEP:6 Tr:2 FiO2:30%
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
 f:35-40 TV:105-110 MV:3.8-4.3
B3 : GCS 4x6 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
pH 7,46 B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
PCO2 44
B6 : dalam batas normal
PO2 121 Laboratorium:
HCO3 31,3
Hb : 9.0 Na : 130
BE Hct7,5 : 27.3 K : 3.8
L : 10.6 Cl : 97
SaO2 99
PF Ratio 403

Assesment: Drowning+Aspirasi pneumonia


Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde peptamen junior 8x40cc
- Infus D5 ½ NS 20 cc/jam
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv
- Injeksi manitol stop
- Injeksi alinamin 3x1/3 ampul
Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
- Mode PSIMV diturunkan spontan tapi tidak kuat, foto thorax masih ada perselubungan di
sebelah kanan
- Hb 9.0, GCS 4x6  belum perlu transfusi

Balance cairan
Input Output
Sonde 320 cc Urine 740 cc 29
D5 ½ NS 480 cc
Obat 10 cc
Excess 70 cc
29 Meipasien:
2013 jam 07.00 (ROI hari 6)
Kondisi
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode PSIMV f:8 PC:10 PS:10 PEEP:6 Tr:2 FiO2:30%
 f:25-30 TV:105-110 MV:2.6-3.2
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:120-125 kali/menit, temp rektal:36.4°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : GCS 4x6 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
Foto Thorax

Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia


Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde peptamen junior 8x50cc
- Infus D5 ½ NS 15 cc/jam
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv
- Injeksi alinamin 2x1/3 ampul
Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
30
- Melaporkan hasil kultur dahak Staphilococcus coagulase negatif, tren lekosit turun, tidak
febris
- Antibiotik ceftriaxone diteruskan sampai besok, lalu stop
Balance cairan
Input Output
Sonde 400 cc Urine 765 cc
D5 ½ NS 350 cc
Obat 20 cc BGA mode spontan PS:10 PEEP:5
Excess 35 cc Tr:1 FiO2:30%
 f:23-26 TV:93-99 MV:2.6-2.7
Kondisi
30 Meipasien:
2013 jam 07.00 (ROI hari 7) pH 7,47
B1 : A: bebas tube in
B: ventilator mode spontan PS:10 PEEP:5 Tr:1 PCO2 40,9
FiO2:30%  f:23-26 TV:93-99 MV:2.6-2.7 PO2 103,1
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99- HCO3 30,3
100%
BE 6,5
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:113-115 kali/menit,
SaO2 98,3
temp rektal:36.8°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-) PF Ratio 343,6
B3 : GCS 4x6 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
Foto Thoraks:

Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia (membaik)


Terapi:
- Suport ventilator
- Posisi slight head up
31
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala + suction berkala sesuai indikasi
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde peptamen junior 8x75cc
- Infus Kaen 3B 250cc/24jam
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
- Injeksi ceftriaxone 2x250mg iv (hari 8)
- Injeksi metronidazole 3x150mg iv (hari 1)
- Injeksi alinamin 2x1/3 ampul

Konsul dr Airlangga SpAn KIC:


- Weaning turunkan rate, lalu spontan, target frekuensi 30x/mnt
- Sonde naikkan 8x75 cc, sisanya berikan Kaen 3B 250 cc/24jam
Hasil parasitologi: pada sampel kami dapatkan bentukan amoeboid dengan tonjolan-tonjolan
pseudopoda dan banyak yang berisi eritrosit di dalamnya. Kesimpulan kami memang
kemungkinan besar Acanthamoeba
Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
- Melaporkan hasil parasitologi  tambah metronidazole
Balance cairan
Input Output
Sonde 600 cc Urine 530 cc
Kaen 3B 250 cc
Obat 300 cc
Total 1150 cc Total 530 cc

31 Mei 2013 jam 07.00 (ROI hari 8)


Kondisi pasien:
B1 : A: bebas, terpasang masker
B: spontan, RR 22-24 kali/menit
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 99-100%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:113-115 kali/menit, temp rektal:36.5°C
Cor S1S2 tunggal murmur (-) gallop (-)
B3 : GCS 456 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia (membaik)
Terapi:
- Oksigen masker 5 lpm
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Sonde peptamen junior 8x75cc
32
- Infus Kaen 3B 250cc/24jam
- Injeksi ranitidin 2x10mg iv
BGA udara bebas (oksigen 21%)
- Injeksi ceftriaxone stop
pH 7,45 - Injeksi metronidazole 3x150mg iv (hari
PCO2 42,5 2)
- Injeksi alinamin 2x1/3 ampul
PO2 75,4 Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
HCO3 30,3 - Pasien sudah diekstubasi, kondisi stabil
Input Output Balance cairan
BE 5,8
Sonde 600 cc Urine 330 cc
SaO2 Kaen95,5
3B 250 cc
Excess 520 cc
PF Ratio 359

1 Juni 2013 jam 07.00 (ROI hari 9)


Kondisi pasien:
B1 : A: bebas
B: spontan, RR 22-24 kali/menit
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 96-97%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:100-105 kali/menit, temp rektal:36.0°C
Cor S1S2 tunggal murmur (-) gallop (-)
B3 : GCS 456 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK kateter
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal

Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia (membaik)


Terapi:
- Oksigen udara bebas
- Posisi slight head up
- Nebulizer ventolin+PZ tiap 6 jam
- Chest fisioterapi nafas berkala
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- MSSminum bebas tercatat
- Diet lunak
- Infus Kaen 3B 250cc/24jam
33
- Injeksi ranitidin stop
- Injeksi metronidazole 3x150mg iv (hari 3)
- Injeksi alinamin stop
Konsul dr Airlangga SpAn KIC:
- Pasien klinis baik, tidak ada distres nafas, SpO 2 96-97%, foto thoraks masih terdapat
perselubungan, batuk kuat
- Boleh minum atau makan, NGT aff
- Kateter aff
- Injeksi metronidazole diteruskan dulu
- Pindah ROI 2  tetap diikuti
Balance cairan
Input Output
Kaen 3B 250 cc Urine 300 cc
Minum 150 cc BAB 200 cc
Total 400 cc Total 500 cc

Kondisi
2 Juni pasien:
2013 jam 07.00 (ROI hari 10)
B1 : A: bebas
B: spontan, RR 22-24 kali/menit
Suara nafas ves/ves, Rh -/-, wh-/- SpO2: 95-96%
B2 : perfusi HKM, CRT<2”, Nadi:100-105 kali/menit, temp rektal:36.0°C
Cor S1S2 tunggal, murmur(-), gallop (-)
B3 : GCS 456 Pupil bulat isokor 3/3mm RC +/+
B4 : BAK spontan
B5 : abdomen soepel, BU (+)
B6 : dalam batas normal
Assesment: Drowning + aspirasi pneumonia (membaik)
Terapi:
- Oksigen udara bebas
- Posisi slight head up
- Oral dan personal higiene 2x/hari
- Diet bebas TKTP
- metronidazole 3x150 mg po
- KRS

10. PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki, 2 tahun, berat badan 11 kg, tenggelam di air laut saat bermain, lama
tenggelam kurang lebih 10 menit. Pasien segera ditolong dan dibawa ke RS terdekat. Saat di RS
tersebut kondisi anak tampak sianosis, nafas gasping, SpO2 72% dengan penurunan kesadaran
34
GCS 124. Segera diberikan pertolongan oksigenasi dan intubasi, diberikan cairan dan segera
dirujuk ke RS Dr Soetomo.
Pasien diterima di ruang resusitasi dengan kondisi tampak cairan pink frotty dari ETT,
terdengar suara ronkhi di kedua lapang paru dengan SpO2 94-95% dengan oksigen Jackson Rees
10 lpm. Curiga awal terjadi edema paru dd aspirasi pneumonia. Dilakukan kontrol ventilasi,
kemudian dilakukan pemeriksaan laborat, foto thoraks dan CT scan kepala. Dari pemeriksaan
laborat didapatkan hasil BGA asidosis metabolik dengan gambaran shunting berat PF ratio 84,
Hb 10.5 lekosit 11.7, GDA 200, sementara hasil laborat lain seperti RFT, LFT dan serum
elektrolit masih dalam batas normal. Foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat di paru kanan
mengesankan suatu aspirasi pneumonia, sementara dari CT scan kepala tampak gambaran edema
cerebri.
Terapi awal di ruang resusitasi diberikan suport ventilator untuk kontrol ventilasi dan
oksigenasi, pasien diposisikan slight head up, diberikan nebulizer dan fisioterapi nafas berkala,
cairan infus, diberikan injeksi steroid, metamizole, ranitidin, antibiotik dan midazolam sebagai
sedasi. Pasien segera dipindah ke ROI untuk perawatan intensif lebih lanjut. Untuk diagnostik
pneumonia pasien ini diperiksakan kultur lengkap dan kultur parasitologi.
Selama perawatan di ROI terapi awal yang diberikan di ruang resusitasi tetap diteruskan.
Pasien dirawat di ROI selama 10 hari. Pada pasien ini terjadi gangguan oksigenasi dimana
didapatkan PaO2 yang rendah meskipun diberikan oksigen konsentrasi tinggi. Pasien ini dalam
resiko tinggi untuk menjadi acute lung injury (ALI) atau acute respiratory distress syndrome
(ARDS) sehingga protective lung ventilation strategies harusnya digunakan untuk mengurangi
kerusakan iatrogenik akibat ventilasi mekanik. Hal ini meliputi target SaO 2 > 88% dengan pH
>7.2, mengoptimalkan PEEP, tidal volume < 6 ml/kg dan plateau pressure < 30 cmH2O. Pada
awal perawatan diberikan kontrol ventilasi dengan ventilator mode PCV. PEEP awalnya
diberikan 4 namun karena oksigenasi yang belum adekuat akhirnya dinaikkan bertahap sampai 6.
Pada pasien drowning yang sudah terjadi aspirasi pneumoni biasanya akan terjadi gangguan
compliance paru sehingga penambahan PEEP ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak
terjadi barotrauma. Fraksi oksigen juga diturunkan pelan-pelan dengan target dibawah 50%
namun tetap memberikan SpO2 diatas 95%. Respon ventilasi dan oksigenasi cukup baik
sehingga pada hari hari ke-3 sudah dapat dilakukan weaning menjadi mode PSIMV. Saat
menggunakan mode PSIMV ini rate nafas kontrol diturunkan pelan-pelan sehingga pasien
35
diharapkan dapat mulai berlatih untuk bernafas spontan. PS dan PC juga mulai diturunkan
namun tetap harus dimonitor tidal volume yang dihasilkan. Pada hari ke-7 mode ventilator sudah
diubah menjadi mode spontan dan hari ke-8 pasien sudah bisa dicoba T-piece dan ekstubasi.
Evaluasi klinis selalu dilakukan ketika dilakukan weaning seperti tanda distres nafas, apakah
pasien berkeringat atau tidak, pasien gelisah atau tidak, apakah ada usaha nafas berlebih, monitor
nadi, SpO2, dan selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks dan
BGA.
Pada hari pertama perawatan di ROI terjadi penyulit atelektasis lobus superior kanan
sehingga terjadi gangguan oksigenasi dimana didapatkan PF ratio turun menjadi 174. Untuk
mengatasi hal tersebut dilakukan chest fisioterapi nafas berupa claping dan vibrating berkala, sisi
yang sakit diposiskan berada di atas dan dilakukan manuver rekruitmen untuk membuka lobus
paru yang kolaps. Pada hari ketiga PF ratio sudah naik menjadi 360 dan gambaran atelektasis
pada foto toraks juga sudah mulai membaik.
Edema cerebri yang terjadi pada pasien ini diakibatkan karena hipoksia lama dan
hipoperfusi cerebral. Untuk mengatasi hal ini awalnya diberikan sedasi dengan midazolam,
diberikan steroid, pembatasan cairan dan manitol. Midazolam diberikan supaya pasien tenang,
menurunkan kebutuhan metabolisme dasar , mencegah secondary insult dan memudahkan untuk
memberikan ventilasi dan oksigenasi. Respon klinis terhadap terapi ini cukup baik sehingga
pasien yang awalnya GCS 124 maka pada hari ketiga perawatan di ROI GCS sudah naik menjadi
4x6.
Sejak awal pasien ini diberikan antibiotik karena memang dicurigai terjadi aspirasi
pneumonia. Hal in didukung kondisi klinis adanya febris, lekositosis, dan gambaran infiltrat pada
foto thoraks. Diberikan antibiotik empiris pada awal perawatan sambil menunggu hasil kultur
dahak, darah dan urine. Hasil kultur dahak menunjukkan adanya kuman Staphilococcus
coagulase negatif sedangkan kultur urine dan darah tidak ditemukan adanya kuman sehingga
antibiotik tetap diberikan selama 8 hari. Respon terhadap antibiotik ini cukup baik sehingga
paien sudah tidak febris lagi mulai hari ketiga di ROI dan lekosit menunjukkan tren yang
menurun. Dari hasil pemeriksaan parasitologi trakea didapatkan bentukan acanthamoeba
sehingga ditambahkan antibiotik metronidazole.

36
Pasien ini tenggelam di air asin dimana secara teori dapat terjadi hemokonsentrasi,
hipernatremi, hiperkalemi dan edema paru. Pada pasien ini hal-hal tersebut tidak ditemukan
kemungkinan karena jumlah cairan yang diaspirasi tidak mencapai 20cc/kg berat badan.
Secara teori banyak faktor prognostik yang tidak menguntungkan pada pasien ini
diantaranya adalah umur kurang dari 3 tahun, laki-laki, lama tenggelam ≥ 5 menit, ada aspirasi,
komatosa, foto thoraks abnormal, dan gula darah inisial ≥ 200 mg/dl, namun dengan perawatan
dan pertolongan yang diberikan secara cepat, penanganan di UGD yang tepat dan perawatan di
ruang intensif yang baik, maka pasien ini dapat diselamatkan dan tidak ada defisit neurologis
yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Heikal S, Berry C. 2012. Management of Drowning. Update in Anaesthesia. Hal.141-144


2. Golden F, Tipton M. 1997. Immersion, Near Drowning and Drowning. British Journal of
Anaesthesia;79:214-225
3. Noel S Zuckerbraun, Richard A Saladino. 2005. Pediatric Drowning: Current Management
Strategies for Immediate Care. Clinical Pediatric Emergency Medicine 6; 49-56
4. Stewart C. 2006. Pediatric Submersion Injuries: New Definitions and Protocols. Pediatric
Emergency Medicine Practice volume 3, number 4

37
5. Peter T Ender, Matthew J Dolan. 1997. Pneumonia Associated with Near Drowning. Clinical
Infectious Disease 25: 896-907
6. E. Onyekwelu. Critical Study Of Near Drowning Cases At A Pediatric Emergency
Department In West Africa. The Internet Journal of Health. 2009 Volume 8 Number 2
7. Saleh M Al-Mofadda, Abdullah Al-Turki. 2001. Pediatric Near Drowning: The Experience
of King Khalid University Hospital. Annals of Saudi Medicine. Volume 21, Nos 5-6

38

Anda mungkin juga menyukai