Anda di halaman 1dari 15

TRAUMA URETRA

Anatomi Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi.
Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria,
organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak
pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh sistem simpatetik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra
terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatic. Aktivitas sfingter uretra eksterna ini dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup
pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa,
kurang lebih 23-25 cm. perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran
urine lebih sering terjadi pada pria.

Gambar 1. Anatomi Uretra


Urethra masculine panjangnya sekitar 8 inci (20 cm) dan terbentang dari collum vesicae urinaria
sampai ostium uretra eksternum pada glans penis. Uretra masculine dibagi menjadi tiga bagian yaitu
pars prostatica, pars membranacea dan pars cavernosa.
Sedangkan panjang urethra feminine kurang lebih 1,5 inci (3,8 cm). uretra terbentang dari collum
vesicae urinaria sampai ostium urethane externum yang bermuara kedalam vestibulum sekitar 1 inci (2,5
cm) distal dari clitoris. Urethra menembus sphincter urethrae dan terletak tepat didepan vagina.
Disamping ostium urethrae externum terdapat muara kecil dari ductus glandula paraurethralis. Urethra
dapat dilebarkan dengan mudah.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika dan uretra pars membranacea. Urethra
pars prostatica panjangnya 3 cm (1 ¼ inci), sesuai namanya berada/melewati prostat. Pada dinding

1
posterior urethra pars prostatica terdapat peninggian longitudinal yang dinamakan crista urethralis, pada
tiap-tiap sisi terdapat celah sempit dinamakan sinus prostaticus yang terdiri dari 15-20 muara kelenjar
prostat. Pada kira-kira pertengah crista urethralis terdapat tonjolan disebut colliculus seminalis
(verumontanum) yang membuka ke arah utriculus prostaticus. Colliculus seminalis merupakan saluran
yang tak tampak, panjangnya sekitar 5 mm, berjalan turun dari lobus medius prostat. Bagian ini diyakini
ekuivalen dengan vagina pada wanita. Pada sisi lain orificium dari utriculus prostaticus terdapat
pembukaan ductus ejaculatorius, yang dibentuk dari gabungan ductus vesicula seminalis dengan ujung
vas deferens. Sedangkan Urethra pars membranacea panjangnya sekitar 1,25 cm (0,5 inci), menembus
sphincter externa urethra (sphincter volunter vesica urinaria) dan membrana fascia perinealis yang
menutupi bagian superficial sphincter. Bagian ini merupakan bagian urethra yang paling tidak bisa
dilebarkan.
Uretra anterior pada pria merupakan bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra pasr spongiosa terdiri atas : (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3) fossa navikularis dan (4)
metaus uretra eksterna. Urethra pars spongiosa panjangnya sekitar 15 cm (6 inci), berada dalam corpus
spongiosum penis. Pada mulanya berjalan ke atas dan ke depan untuk menempati bagian bawah
symphisis pubis kemudian sedikit demi sedikit akan menekuk ke bawah dan ke depan. Ostium urethrae
extrenum merupakan bagian yang tersempit dari seluruh urethra. Bagian urethra yang terletak di dalam
glans penis melebar membentuk fossa navikularis (fosa terminalis).

Gambar 2. Letak bagian-bagian uretra dan organ lain.

Daerah potensial untuk cedera dapat disimpulkan dari studi lebih lanjut tentang anatomi
uretra. Uretra pars membranosa rentan terhadap cedera dari fraktur panggul karena ligamen

2
puboprostatic mengikat puncak kelenjar prostat ke tulang panggul dan dengan demikian menyebabkan
adanya kerusakan dari uretra ketika panggul bergeser. Uretra pars bulbar rentan terhadap cedera benda
tumpul karena adanya jalan sepanjang perineum. Cedera kangkang (straddle injury) karena jatuh atau
tendangan ke daerah perineum dapat menyebabkan trauma bulbar. Sebaliknya, uretra penis memiliki
sedikit kemungkinan terluka dari kekerasan eksternal karena mobilitasnya, tetapi cedera iatrogenik dari
kateterisasi atau manipulasi dapat juga terjadi pada fossa navicularis.

Trauma Uretra

Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior,
hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan
serta prognosisnya.
Ruptur uretra adalah kerusakan kontinuitas uretra yang disebabkan oleh ruda paksa yang datang
dari luar (patah tulang panggul atau straddle injury) atau dari dalam (kateterisasi, tindakan-tindakan
melalui uretra).
Trauma pada uretra laki-laki harus didiagnosis efisien dan efektif diobati agar mencegah gejala
sisa jangka panjang yang serius. Pasien dengan penyakit striktur uretra sekunder akibat peristiwa
traumati jika tidak dikelola dengan baik cenderung memiliki masalah berkemih yang signifikan dan
berulang serta membutuhkan intervensi lebih lanjut.

Etiologi

Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenic akibat
instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur
uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat
menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-
hati dapat menimbulkan robekan uretra karena fals route atau salah jalan; demikian pula tindakan operasi
trans uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenic.
Dalam banyak hal peristiwa traumatis, etiologi cedera uretra dapat diklasifikasikan sebagai trauma
tumpul atau penetrasi. Di uretra posterior, cedera tumpul hampir selalu terkait dengan kejadian akibat
perlambatan seperti jatuh dari beberapa jarak atau tabrakan kendaraan. Pasien-pasien ini paling sering
mengalami patah tulang panggul yang melibatkan panggul anterior. Trauma tumpul ke uretra anterior
paling sering terjadi pada pukulan ke segmen bulbar seperti terjadi ketika mengangkangi suatu objek

3
atau dari serangan langsung atau tendangan ke perineum..Trauma uretra anterior tumpul kadang-kadang
diobservasi jika terdapat fraktur penis.

Gambaran klinis

Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretram, yaitu terdapat
darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma. Perdarahan peruretram ini
harus dibedakan dengan hematuria yaitu urine bercampur darah. Pada trauma uretra yang berat,
seringkali mengalami retensi urine. Pada keadaan ini tidak boleh dilakukan pemasangan kateter, karena
tindakan pemasangan kateter dapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah.
Sedangkan menurut Cummings (2013), diagnosis cedera uretra membutuhkan indeks kecurigaan
yang cukup tinggi. Cedera uretra harus dicurigai dalam setiap kejadian fraktur panggul, trauma
kateterisasi, luka tumpul pada selangkangan (straddle injury), atau cedera penetrasi dekat uretra. Gejala
termasuk hematuria atau ketidakmampuan untuk berkemih. Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan adanya
darah pada meatus atau kelenjar prostat yang melayang pada pemeriksaan colok dubur. Ekstravasasi
darah di sepanjang jalur fasia perineum merupakan indikasi cedera pada uretra. Adanya temuan “pie in
the sky” dapat diungkapkan dengan cystography biasanya menunjukkan adanya gangguan uretra.

Gambar 3. Gambaran “Teardrop atau pie in the sky” pada pasien fraktur pelvis

Diagnosis trauma uretra dibuat dengan dengan urethrography retrograde, yang harus dilakukan
sebelum pemasangan kateter uretra untuk menghindari cedera lebih lanjut pada uretra. Ekstravasasi
kontras menunjukkan lokasi kerusakan. Pengelolaan selanjutnya didasarkan pada temuan urethrography
dalam kombinasi dengan kondisi umum pasien.

4
Gejala klinis yang sering terjadi menurut Purnomo, Daryanto dan Seputra (2010) adalah sebagai
berikut :
1. Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury, ruptur uretra posterior,
patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).
2. Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior maupun posterior.
3. Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi, sedangkan pada ruptur
uretra anterior didapatkan hematoma atau pembengkakan di daerah kantong buah zakar,
kadang-kadang disertai pula dengan pembengkakan perineum dan batang penis, disebut
sebagai hematoma kupu-kupu.
4. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior, kemungkinan besar terjadi
kerusakan organ ganda (multipel).

Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting dari kerusakan
uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat
menyebabkan infeksi pada periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi
complete laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema
dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan
atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul
infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah pada ostium
uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis

2.1 Pemeriksaan Radiologi


Urethrography retrograde dinamis adalah standar emas untuk mengevaluasi trauma uretra.
Gambaran radiology uretra memungkinkan untuk klasifikasi cedera dan manajemen selanjutnya.
Investigasi X-ray tambahan seperti CT-Scan diindikasikan terkait politrauma pada pasien.
Urethrography retrograde adalah studi pencitraan standar untuk diagnosis cedera uretra. Hal ini
dilakukan dengan menggunakan injeksi lembut 20-30 mL kontras ke dalam uretra.Pemeriksaan dibuat
untuk ekstravasasi, yang dapat diketahui dengan adanya titik-titik dan lokasi dari gambaran air mata
pada uretra “urethral tear”.

5
Gambar 4. Uretra normal pada pemeriksaan uretogram (Radiopedia.org)

Gambar 5. Hasil uretrogram pada partial urethral disruption (Radiopedia.org)

Gambar 6. Uretra posterior terkompresi akibat adanya hematoma (Radiopedia.org)


Jika dicurigai terjadi trauma uretra posterior, maka kateter suprapubik dimasukan dan untuk
menyingkirkan trauma leher kandung kemih menggunakan cystogram. Cystogram simultan dan
uretrogram dapat dilakukan untuk menilai tempat, tingkat keparahan dan lamanya cedera dan fungsi dari
leher kandung kemih.
Cystography statis memungkinkan untuk cedera kandung kemih yang terjadi secara bersamaan,
untuk dikecualikan dalam penatalaksanaan akut. Ketika mempertimbangkan untuk perbaikan, voiding

6
cystography (dilakukan melalui kateter suprapubik) menunjukkan leher kandung kemih dan anatomi
uretra pars prostatika dan memungkinkan untuk perencanaan bedah yang tepat.
Ketika uretra proksimal tidak dapat divisualisasikan menggunakan cystogram dan uretrogram,
maka dapat digunakan MRI pada uretra posterior dan endoskopi melalui saluran suprapubik.
Pemeriksaan endoskopi (Urethroscopy) tidak digunakan dalam diagnosis awal trauma uretra
posterior pada laki-laki. Namun endoskopi diperlukan untuk informasi gangguan parsial dari urtra
anterior distal. Pada wanita uteroskopi merupakan tambahan penting untuk identifikasi dan derajata
trauma uretra.

2.2 Ruptur Uretra Posterior


Trauma uretra posterior (uretra pars membranosa dan prostatika) merupakan cedera yang klasik
menyertai fraktur pelvis.
Ruptura uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang
mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan
robekan uretra prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam
kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-
prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-buli akan terangkat ke parsial.

a. Klasifikasi Ruptur Uretra Posterior


Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra
dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma
urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras yang masih
terbatas di atas diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut
rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma
sampai ke perineum

7
Gambar 7. Klasifikasi menurut Colapinto
b. Diagnosis
Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali datang dalam keadaan syok karena
terdapat fraktur pelvis/cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan. Ruptur uretra
posterior seringkali memberikan gambaran klinis yang khas berupa : (1) perdarahan per-uretram, (2)
retensi urine dan (3) pada pemeriksaan colok dubur terdapat floating prostate (prostat melayang) di
dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan ultrasonografi retrograde mungkin terdapat elongasi uretra
atau ekstravasasi kontras pada pars prostate membranasea

8
Gambar 8. A. cedera selangkangan menyebabkan rupture uretra pars bulbosa. B. lapisan yang
membungkus uretra mulai dari korpus mulai dari ksopus spongiosum (k.s), fascia buck (f.B), dan
fasia Colles (f.C). C dan D. robekan uretra dengan fasia buck masih utuh menyebabkan hematoma
terbatas pada penis (h.p) E dan F Robekan fasia bucks menyebabkan hematom meluas sampai ke
skrotum sebagai hematoma kupu-kupu (h.k)

Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke atas oleh
penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa
ditemukan pada ruptur uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis
kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya
terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin adalah hematoma pada pelvis.
Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat
dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa menunjukkan adanya
suatu jejas pada lokasi yang diperiksa

c. Tindakan
Ruptur uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen dan
fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya dibidang
urologi perlu melakukan tindakan yang invasive pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan
menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta
menambah kerusakan pada uretra dan struktur neurovascular di sekitarnya. Kerusakan neurovascular
menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia .
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk diversi urine.
Setelah keadaan stabilsebagian ahli urology melakukan primary endoscopic realignment yaitu
melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini
diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum
1 minggu pasca rupturdan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari. Sebagian ahli urologi lain
mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa
jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan rekronstruksi membuahkan hasil
yang lebih baik.
Menurut Tanagho dkk (2008), penanganan trauma uretra posterior dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu :

9
1. Tatalakasana segera (Immediate Management).

Tatalaksana awal meliputi sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin. Vesika urinaria
dan prostat biaasnya terangkat kea rah superior oleh hematoma periprostatic dan hematoma
perivesikal. Vesika rinaria biasanya mengalami distensi karena volume urin yang banyak yang
terakumulasai sebelum resusitasi dan persiapan operasi Urin biasanya bebas dari darah, teteapi dapat
terjadi hematuria massif. Vesika urinaria harus dibuka dan dilihat apakah ada laserasi atau tidak,
vesika urinaria ditutup dengan benang jahit yang dapat di absorpsi dan sistostomi di masukkan ke
dalam untuk drainse urin. Sistostomi suprapubik ini dipertahankan selama 3 bulan. Hal ini untuk
menunggu resolusi dari hematoma pelvis,prostat dan vesika urinaria akan kembali ke posisi
anatomisnya secara perlahan.
Laserasi inkomplit dari uretra posterior akan sembuh spontan, dan sistostomi suprapubik dapat
di lepaskan setelah 2-3 minggu. Sistostomi ini tidak boleh dilepaskan sebelum terbukti tidak adanya
ekstravasasi dengan pemeriksaan sistouretrografi.

2. Rekonstruksi urtera tunda (Delayed urethral reconstruction)


Rekonstruksi uretra setelah putus dari prostat dapat dilakukan dalam waktu 3 bulan, jika tidak
ada abses pelvis atau infeksi pelvis yang persisten. Sebelum rekonstruksi, dilakukan sistogram dan
uretrogram untuk mengetahui secara pasti panjang dari striktur uretra. Striktur ini biasanya 1-2 cm
dan berada si posterior dari tulang pubis. Rekonstruksi yang dilakukan biasanya single-stgae
reconstrusction dari ruptur uretra dengan eksisi langsung pada striktur uretra dan anastomosis dari
bulbus uretra langsung ke bagian apeks prostat. Setelah itu dimasukkan kateter silicon 16F dengan
sistostomi suprapubik. Kateter dilepaskan sekitar satu bulan, dan pasien bisa berkemih seperti biasa.

3. Immediate Urethral Ligament


Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk menyetel kembali uretra segera. Insiden striktur,
impotensi, dan inkontinensia tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan cystostomy segera dan
rekonstruksi tertunda. Namun, beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan penataan kembali
uretra segera.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari kemudian,
sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading)

10
Gambar 9. Cara pemasangan kateter Foley secara langsir (Rail Roading)
Cara pemasangan kateter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra
2. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui sistotomi yang dibuat lebih
dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting yang dirasa di tempat ruptur
3. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde dari buli-buli
4. Sonde dicabut dari uretra
5. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter Foley yang dijahit pada
kateter Nelaton
6. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
7. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga balon kateter Foley
tertarik dan menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi di buli-buli ditutup

d. Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptur uretra adalah striktur uretra yang seringkali kambuh, disfungsi
ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi ereksi terjadi pada 13-30 % kasus disebabkan karena
kerusakan saraf parasimpatetik atau terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih jarang
terjadi, yaitu 2-4 % yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra eksterna. Setelah rekonstruksi
uretra seringkali masih timbul striktur (12-15 %) yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna

11
(sachse). Meskipun masih bisa kambuh lagi, striktur ini biasanya tidak memerlukan tindakan
uretroplasti ulangan.

Ruptur Uretra Anterior

Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cedera
selangkangan), yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang
terjadi berupa: kontusio dinding uretra, ruptur parsial, atau ruptur total dinding uretra.

a. Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama
dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture
beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck,
dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia buck ikut robek,
ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu
sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

Gambar 10. Hematoma kupu-kupu atau Butterfly Hematom

b. Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika
terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-
kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi retrograde pada

12
kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ektravasasi kontras, sedangkan pada rupture uretra tidak
menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa.

c. Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan tindakan khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat
menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4-6 bulan diperlukan
pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup
dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urine. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2
minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada
ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktur uretra. Namun jika timbul striktur uretra, dilakukan
reparasi uretra atau sachse.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas
sehinga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra
dilakukan
Sedangkan tatalaksana trauma uretra anterior menurut Tanagho dkk (2008) dialkukan beberapa
tindakan sebagai berikut :
1. Tindakan Umum
Kehilangan banyak darah biasanya tidak terjadi. Jika pendarahan berat tidak terjadi, maka
tekanan lokal untuk pengendalian dan diikuti oleh resusitasi diperlukan.

2. Tindakan Spesifik
a. Urethral Contusion
Pasien dengan luka memar uretra menunjukkan tidak ada bukti pengeluaran darah, dan
uretra tetap utuh. Setelah urethrography, pasien diperbolehkan untuk buang air; dan jika buang
air terjadi seperti biasanya, tanpa rasa sakit atau pendarahan, tidak ada perlakuan tambahan
diperlukan. Jika pendarahan terus berlanjut, drainase kateter uretra dapat dilakukan.

b. Urethral Laceration
Sebuah irisan kecil garis tengah di daerah suprapubik dengan mudah mengekspose
kubah kandung kemih sehingga tabung suprapubik cystostomy dapat disisipkan, sehingga
memungkinkan pengalihan kemih lengkap dimana sementara itu terjadi menyembuhkan luka
uretra. Percutaneous cystostomy mungkin juga dapat digunakan dalam luka tersebut.
Penyembuhan pada tempat cedera dapat menghasilkan pembentukan striktur. Sebagian besar

13
striktur tidak parah dan tidak membutuhkan bedah rekonstruksi. kateter cystostomy
suprapubik mungkin dilepaskan jika tidak ada ekstravasasi yang terjadi. Tindak lanjut dengan
dokumentasi dari laju aliran kemih akan menunjukkan apakah terjadi obstruksi uretra akibat
striktur.

c. Urethral Laceration with extensive urinary extravasation


Setelah luka besar, pengeluaran darah mungkin melibatkan perineum, skrotum, dan
perut bagian bawah. Drainase pada area tersebut diindikasikan. Suprapubik cystostomy untuk
pengalihan kemih diperlukan. Infeksi dan pembentukan abses umum terjadi dan
membutuhkan terapi antibiotik.
d. Immediate Repair
Perbaikan segera luka uretra dapat dilakukan, tetapi prosedur ini sulit dan insiden
timbulnya striktur tinggi.

Komplikasi

Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel
uretrokutan, dan epididimitis.
Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra. Khusus pada ruptur uretra
posterior dapat timbul komplikasi impotensi dan inkontinensia.

DAFTAR PUSTAKA

Cummings, M. James. 2013. Urethral Trauma. Deaprtement Of Surgery, Division Of Urology. University of
Missouri School of Medicine. (http://emedicine.medscape.com/article/451797 ) diakses 22 Desember
2016.

Eliastam, M., Sternbach L. George, Michael J.B. 1998. Penuntun Kegawatdaruratan Medis.alih bahasa:
Hunardja Santana. Ed. 5. Jakarta:EGC. Hal 162.

14
Ivy-Rose. 2006. The Blader and Urethral Male.
(http://www.ivyroses.com/HumanBody/Urinary/Urinary_Bladder_Urethra_Male.php), diakses 22
Desember 2016.

Pienero Luis M., et all. 2010. EAU Guidelines on Urethral Trauma. European Association Of Urology
(http://uroweb.org/wp-content/uploads/2010-Urethral-Trauma.pdf ), diakses 22 Desember 2016.

Purnomo B. 2003. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto. Hal .199-202

Purnomo B., Daryanto B., Seputra P. Kenta. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi (SMF Urologi
Laboratorium Ilmu Bedah). RSU Dr. Saiful Anwar:Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Sjamsuhidajat R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi 3. Jakarta : EGC

Radiopedia. Urtehral Injuries. (http://radiopaedia.org/articles/urethral-injuries), diakses 22 Desember 2016.

15

Anda mungkin juga menyukai