Abstrak
Salah satu gejala utama dari transisi menopause adalah gangguan tidur. Wanita perimenopause
sering mengeluh kesulitan untuk memulai dan/atau mempertahankan tidur yang sering terjadi
pada malam hari dan bangun pagi lebih awal. Faktor-faktor yang mungkin berperan dalam jenis
insomnia ini termasuk gejala vasomotor, perubahan tingkat reproduksi hormon, kelainan irama
sirkadian, gangguan mood, kondisi medis penyerta, dan gaya hidup. Masalah tidur umum lainnya
pada kelompok usia ini, seperti obstructive sleep apnea dan restless leg syndrome, juga dapat
memperburuk kualitas tidur. Penggunaan melatonin eksogen dilaporkan menyebabkan kantuk
dan tidur yang dapat memperbaiki gangguan tidur, termasuk terbangun pada malam hari yang
berhubungan dengan usia tua dan transisi menopause. Baru-baru ini, analog melatonin poten
(selektif melatonin-1 (MT1) dan agonis reseptor melatonin-2 (MT2)) dengan efek kerja yang
panjang dan pelepasan melatonin secara lambat telah dikembangkan. Kedua obat ini ditemukan
efektif dalam meningkatkan waktu tidur total dan efisiensi tidur serta mengurangi latensi tidur
pada pasien insomnia. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
perubahan status hormonal dengan masalah tidur di antara wanita menopause dan
pascamenopause.
Pendahuluan
1
benar terkait dengan menopause mungkin sulit dibedakan dengan gejala yang disebabkan oleh
penuaan.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa tidur pada subjek pria dan wanita berbeda selama
hidup, dan ini mungkin sebagai hasil dari pengaruh hormon gonadotropik perempuan saat tidur.
Jika dibandingkan tidur wanita dengan pria, wanita memiliki lebih banyak memiliki keluhan
tidur yang tidak hanya dipengaruhi oleh hormon gonadotropin itu sendiri, tetapi juga berkaitan
dengan hormon lain misalnya pada kehamilan yang berhubungan dengan perubahan fisiologis
dalam sistem lain (Gambar 1).
2
kronobiologis, faktor sosioekonomi, psikososial, budaya, dan ras/etnis mungkin juga berperan
antara tidur dan kondisi menopause (Gambar 2).
Insomnia
3
Harus dicatat di sini bahwa kualitas tidur yang kurang baik tidak selalu kurang
kualitas elektrofisiologi tidur. Ini sangat penting dalam kelompok ini. Perempuan pasca
menopause dilaporkan memiliki kualitas tidur yang kurang baik bahkan ketika pemeriksaan
polisomnografi menunjukkan bahwa jumlah tidur nyenyak yang lebih tinggi dan waktu tidur
yang lebih lama pada wanita premenopause dibandingkan dengan wanita postmenopause. Studi
lain membandingkan tidur polisomnografis di kalangan wanita muda, premenopause dan pasca
menopause. Dibandingkan wanita muda, wanita premenopause dan post menopause memiliki
tidur yang lebih sedikit efisiensi dan jumlah tidur nyenyak yang lebih sedikit; namun, angka ini
sebanding antara wanita premenopausal dan pasca menopause. Meskipun sebanding temuan
polysomnographic antara wanita premenopause (tidak muda) dan pasca menopause, keluhan
susah tidur lebih sering terjadi pada kelompok pascamenopause. Temuan ini masih
dipertimbangkan, penulis sugesti bahwa gangguan tidur merupakan peran dari usia, bukan status
menopause. Sebaliknya, satu penelitian menunjukkan waktu bangun lebih lama setelah tidur dan
efisiensi tidur buruk di antara wanita pasca menopause dibandingkan dengan wanita
premanopause. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor lain yang belum
ditemukan, status manopuse dapat mempengaruhi kualitas tidur pada kelompok ini. Dalam
bagian yang akan datang, kami mencoba untuk menilai faktor-faktor yang berhubungan dengan
insomnia pada kelompok pasien ini.
Gejala vasomotor (VMS), biasa disebut 'hot flashes/hot flushes', termasuk perasaan panas
yang intens disertai takikardia yang biasanya berlangsung kurang dari 30 menit untuk setiap
kejadian. Ini terjadi pada keadaan perimenopausal serta pada periode menopause. Sedangkan
penelitian telah lebih fokus pada pilihan pengobatan, tidak banyak yang diketahui tentang
etiologi dan patogenesis VMS ini. Namun, ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa
berkurang kadar estrogen bisa menjadi penyebab utama VMS/hot flash. Di antara menopause
dan wanita pasca menopause, VMS sering terlihat bersama dengan ketidakteraturan menstruasi,
perubahan suasana hati secara tiba-tiba, mudah tersinggung, peningkatan stres, kelupaan,
insomnia, depresi, kecemasan, dan kurangnya konsentrasi. Perubahan perilaku ini memiliki dasar
neurobiologis dan literatur menunjukkan bahwa perubahan kadar hormon, seperti penurunan
estrogen dan peningkatan kadar FSH, bisa berfungsi sebagai faktor etiologi. Telah
4
didokumentasikan bahwa wanita perimenopause, cenderung mengeluh kesulitan tidur dan
berisiko lebih tinggi untuk insomnia dibandingkan wanita pra menopause. Studi telah
menunjukkan bahwa VMS adalah faktor prediktor utama masalah tidur pada wanita menopause.
Wanita dalam kelompok usia ini memiliki efisiensi tidur yang lebih rendah. Tidur malam
kelompok usia ini ditandai dengan beberapa gejala terbangun dan mereka lebih sering gampang
marah pada siang hari. Sebuah penelitian baru-baru ini secara langsung mengatakan bahhwa ada
hubungan antara kesulitan tidur dengan kehadiran VMS pada wanita pascamenopause. Vincent
et al. telah menunjukkan bahwa VMS tidak hanya secara langsung dan secara negatif
mempengaruhi tidur, dan tetapi juga dapat memiliki efek tidak langsung pada suasana hati,
sebagian dimediasi oleh kesulitan tidur.
Namun, literatur kontradiktif juga tersedia dan ada studi yang mempertanyaakan
hubungan antara VMS dan kualitas tidur atau insomnia. Dalam salah satu studi ini,
temuan polisomografi menunjukkan bahwa wanita menopause bisa bangun pada malam hari
tanpa hot flashes. Joffe dkk. juga menunjukkan bahwa gejala vasomotor bisa hadir dengan tidak
adanya waktu terbangun pada malam hari. Ditemukan hubungan antara gejala vasomotor dan
terbangun pada malam hari, kadang tidak meyakinkan.
Estrogen
Estrogen dan kualitas tidur dapat memiliki hubungan tidak langsung juga, memediasi melalui
suasana hati depresi atau mungkin, depresi. Penurunan kadar estrogen berperan penting
dalam kekeringan vagina yang dapat menyebabkan disfungsi seksual. Penurunan estrogen
menyebabkan penurunan produksi pelumasan vagina, hilangnya elastisitas vagina dan ketebalan
epitelium vagina (atrofi vagina), dan perkembangan carhesles ureter. Hubungan kekeringan
vagina dengan disfungsi seksual bisa menjadi faktor psikologis penting terjadinya depresi yang
akhirnya menyebabkan gangguan tidur pada wanita menopause dan pasca menopause. Terapi
penggantian estrogen pada wanita menopause dan pascamenopause terbukti memperbaiki tidur
dengan mengurangi terbangun pada malam hari. Namun, teori ini terlalu sederhana karena kita
tahu bahwa semua orang yang sedang stres tidak selalu berkembang menjadi depresi atau
insomnia. Demikian pula, semua pasien depresi tidak dapat memberikan riwayat stressor
terhadap timbulnya gejala depresi. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa perubahan
5
hormon ovarium dapat berinteraksi dengan kerentanan genetik untuk terjadinya depresi dan
insomnia dan dapat memanifestasikan gejala-gejala ini.
Progesteron
Studi juga menunjukkan bahwa penurunan kadar progesteron dapat menyebabkan gangguan
tidur. Progesteron memiliki efek penenang dan ansiolitik, menstimulasi reseptor benzodiazepin,
yang memiliki peran penting dalam siklus tidur. Namun, bukti langsung untuk teori ini tidak
dapat ditemukan dalam literatur.
Pada wanita pascamenopause, tidur juga terganggu oleh karena usia terkait kondisi
medis, termasuk obesitas, masalah jantung, masalah gastrointestinal, masalah kencing, gangguan
endokrin, masalah nyeri kronis, penggunaan obat-obatan neuroaktif, rokok, alkohol, minuman
berkafein, penghambat reuptake serotonin selektif, bronkodilator, antiepilepsi obat-obatan,
preparat hormon tiroid, dan lainnya. Hubungan yang tepat antara berbagai faktor dan periode
pasca-menopause tidak begitu jelas. Pada orang dengan kerentanan genetik untuk insomnia,
faktor-faktor ini dapat bertindak sebagai presipitasi insomnia. Nyeri merupakan faktor penting
yang dapat menyebabkan gangguan tidur pada kelompok ini. Kualitas tidur yang buruk dengan
durasi tidur yang lebih lama telah dilaporkan berkaitan dengan skor nyeri yang lebih tinggi di
kalangan wanita. Artritis rheumatoid telah ditemukan berhubungan dengan kualitas tidur yang
buruk. Biomarker yang berkaitan dengan aktivitas penyakit misalnya, ESR, CRP, kelainan
radiologis ditemukan berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk selain usia dan depresi
dalam penelitian ini. Wanita perimenopause terutama mereka yang mengalami obesitas memiliki
kesempatan lebih tinggi untuk bangun tidur dengan sakit kepala di malam hari. Wanita-wanita
ini juga memiliki peluang lebih tinggi untuk mengalami hot flushes dan kualitas tidur yang
buruk. Selama fase awal menopause, sakit punggung tampak memiliki hubungan dengan kualitas
tidur yang buruk. Sangat menarik untuk dicatat bahwa sakit punggung, kualitas tidur dan gejala
vasomotor berkaitan satu sama lain, namun, penyebab gangguan ini masih perlu ditetapkan.
Kecemasan dan depresi telah dicatat berkaitan dengan masalah tidur pada wanita
pascamenopause. Kesulitan dalam memulai tidur telah terbukti berkorelasi kuat dengan
6
kecemasan, masalah tidur yang tidak dapat diperbaiki juga berkorelasi kuat dengan depresi.
Kesulitan dalam memulai tidur menyebabkan kecemasan, iritasi dan masalah tidur yang tidak
dapat diperbaiki yang pada gilirannya dapat bermanifestasi sebagai depresi. Salah satu faktor
penyebab utama depresi adalah insomnia. Tingkat estrogen dan progesteron yang rendah pada
wanita menopause meningkatkan risiko insomnia dan gangguan mood pada wanita
pascamenopause. Pada penelitian Guidozzi et al. menunjukkan korelasi yang signifikan antara
depresi dan gangguan tidur. Dengan demikian, pengobatan depresi dan gangguan tidur sangat
penting tanpa memandang usia ataupun status menopause.
Studi menunjukkan jika kita mengobati gejala menopause lebih awal setelah dimulainya
menopause dengan terapi estrogen (Estrogen Therapy/ET) dan terapi kombinasi estrogen-
progesteron (estrogen-progesterone therapy/EPT), terapi tersebut memiliki efek yang lebih
bermanfaat untuk mengobati gejala pascamenopause, sementara jika ada risiko kanker payudara
terapi ini dibatasi penggunaannya.
Terapi estrogen dengan atau tanpa progesteron sangat efektif dalam mengobati gejala
vasomotor (mengurangi hot flushes) dengan cara ini dapat meningkatkan kualitas tidur, HRT
juga merupakan salah satu pengobatan utama yang direkomendasikan untuk osteoporosis,
disfungsi seksual, gangguan suasana hati dan depresi.
7
plasebo-terkontrol dan BZA / CE telah ditemukan lebih efektif dalam mengendalikan gejala
vasomotor dan meningkatkan kualitas tidur diantara wanita menopause. BZA/CE tidak hanya
meningkatkan tidur tetapi juga efektif dalam mencegah osteoporosis yang dapat menyebabkan
keluhan nyeri dan memperburuk kualitas tidur di antara wanita-wanita ini.
Pada manusia, ritme sirkadian pelepasan melatonin dari kelenjar pineal sangat
dihubungkan dengan jam tidur biasa. Onset harian sekresi melatonin memiliki hubungan dengan
kurangnya tidur pada malam hari. Sekresi melatonin endogen menurun selama penuaan pada
semua jenis kelamin dan di antara wanita menopause mengalami penurunan tingkat melatonin
yang signifikan. Melatonin eksogen dilaporkan dapat menginduksi ngantuk dan tidur, dan dapat
memperbaiki gangguan tidur, termasuk terbangun tidur pada malam hari yang berhubungan
dengan usia tua.
Satu studi selama empat minggu telah menunjukkan peningkatan kualitas tidur, durasi
tidur dan pengurangan yang lebih besar pada gejala siang hari spesifik insomnia dengan
penggunaan zolpidem 10mg / malam dibandingkan dengan placebo pada wanita perimenopause
8
dan post-menopause. Hasil serupa telah ditemukan dengan eszopiclone 3mg / malam dalam
penelitian lain.
Penyakit ini awalnya dijelaskan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas Willis,
penyakit Willis-Ekbom, atau restless legs syndrome (WED / RLS), lebih sering terjadi pada
wanita. Sejumlah faktor termasuk defisiensi zat besi dan kehamilan mungkin bertanggung jawab
terhadap prevalensi yang lebih tinggi pada perempuan. Penyakit ini juga dilaporkan, terjadi
sekitar 18-30% pada wanita hamil. Dalam survei lain, hampir 15% wanita berusia 18-64 tahun
ditemukan memiliki gejala WED / RLS; Namun, prevalensinya tidak terpengaruh oleh status
menopause. Namun, menopause dapat meningkatkan persepsi keparahan RLS, dan dengan
demikian pada kelompok wanita ini mungkin lebih sering mencari bantuan medis.
Kami masih belum tahu bagaimana hormon wanita memengaruhi ekspresi WED / RLS
di seluruh siklus kehidupan wanita. Sejumlah teori telah diajukan yang mencakup defisiensi zat
besi sekunder akibat kehamilan atau tingkat estrogen yang terus-menerus tinggi selama
kehamilan atau penurunan estrogen dan melatonin saat menopause. Namun, teori-teori yang
diajukan untuk menjelaskan RLS selama menopause tampak jauh dari kenyataan sebagaimana
yang dimanifestasikan oleh fakta bahwa menopause tidak mempengaruhi prevalensi WED / RLS
dan dalam sebagian besar kasus, terapi penggantian hormon tidak mengubah gambaran klinis
secara signifikan. Sebaliknya, satu studi bahkan menyanggah peran hormon reproduksi wanita
sebagai penyebab penyakit ini.
Untuk berkontribusi pada perdebatan ini lebih lanjut, satu studi telah melaporkan bahwa
hormon reproduksi wanita mempengaruhi neurotransmisi. Estrogen mempengaruhi sistem
dopaminergik dan tidak hanya mengatur reseptor tetapi juga mekanisme reuptake. Selanjutnya,
juga mengurangi katabolisme dopamin oleh pengaruh penghambatan pada enzim Catechol-O-
methyltransferase (COMT). Dengan demikian, meningkatkan ketersediaan dopamin di jalur
nigro-striatal namun juga meningkatkan reuptake. Ini mungkin sebagian menjelaskan mengapa
beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara RLS dan prevalensi yang lebih tinggi
diantara kalangan wanita. Dimungkinkan bahwa efek estrogen pada neurotransmisi dopamin
bergantung pada keadaan. Ada juga kemungkinan bahwa estrogen dapat berinteraksi dengan
9
hormon lain seperti progesteron, prolaktin atau metabolisme besi dalam sistem saraf pusat (SSP)
yang mungkin tergantung kondisi untuk menghasilkan gejala WED / RLS. Namun, faktor-faktor
ini belum pernah dianalisis dan ini merupakan area untuk penelitian masa depan.
Sejumlah penelitian telah mengusulkan bahwa masalah tidur yang berhubungan dengan
menopause, seperti insomnia, dapat meningkatkan kemungkinan WED / RLS. Seperti yang telah
diskusikan, kesulitan tidur pada kelompok ini sebagian berkaitan dengan gejala vasomotor. Ini
bisa menjadi salah satu alasan mengapa gejala WED / RLS memiliki hubungan dengan gejala
vasomotor yang terjadi pada wanita menopause dalam banyak penelitian. Namun, salah satu
studi baru-baru ini tidak menemukan perbedaan antara kesulitan tidur pada seluruh jenis
kelamin, meskipun prevalensi RLS lebih tinggi pada perempuan. Selain itu, meskipun terapi
penggantian hormon (HRT) meningkatkan gejala vasomotor, belum ditemukan dapat
mempengaruhi WED / RLS dengan cara apa pun. Berdasarkan pertimbangkan fakta-fakta di atas,
mungkin bermanfaat secara sistematis untuk menilai peran HRT dalam pengelolaan RLS yang
dilaporkan oleh wanita menopause.
Prevalensi sleep apnea obstruktif (OSA) meningkat secara nyata setelah menopause
pada wanita. Dari terendah 47% hingga setinggi 67% wanita pasca menopause telah ditemukan
memiliki OSA pada seluruh penelitian. Wanita cenderung mengalami penambahan berat badan
setelah menopause dan ini menghasilkan BMI yang lebih tinggi, lingkar leher yang lebih besar
dan rasio pinggang-pinggul yang lebih besar, tetapi apakah menopause juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya obesitas sentral masih bersifat kontroversial. Dengan cara ini, saluran
pernapasan bagian atas menjadi berbeda secara anatomis setelah menopause dan menghasilkan
gangguan bernapas saat tidur. Dengan demikian, wanita pasca-menopause memiliki prevalensi
OSA yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita pra-menopause. Namun, berat badan tidak
menjadi satu-satunya faktor yang bertanggung jawab untuk kondisi ini, karena penelitian lain
menemukan bahwa meskipun indeks massa tubuh sebanding, wanita pasca menopause memiliki
OSA yang lebih berat dan mereka menghabiskan waktu tidur yang lebih banyak dengan OSA
dibandingkan untuk wanita pra-menopause.
10
Peran Progesteron pada Obstruksi Saluran Pernapasan Bagian Atas pada Wanita Pasca
Menopause
Seperti yang telah kita diskusikan, menopause adalah keadaan perubahan hormonal dan,
mengingat hal ini, kita harus bertanya pada diri sendiri- “apa yang meningkatkan kemungkinan
OSA setelah menopause- efek langsung hormon atau perubahan dalam langkah antropometrik?”.
Pertanyaan ini dijawab oleh Carskadon et al. yang menunjukkan bahwa faktor hormonal
memainkan peran kecil dibandingkan dengan langkah-langkah antropometri dalam
pengembangan OSA setelah menopause.
11
Kesimpulan
Kami telah meninjau hubungan antara gangguan tidur dan transisi menopause. Kami
mempresentasikan berbagai morbiditas dan komorbiditas khusus pada wanita selama periode ini
dan bagaimana interaksi faktor-faktor ini berdampak pada tidur. Meskipun jelas ada kebutuhan
untuk penelitian lanjutan, ada terapi perilaku dan farmakologis yang efektif tersedia untuk
mengobati gangguan tidur saat ini dalam kehidupan seorang wanita.
Data yang disajikan di atas jelas menunjukkan bahwa melatonin eksogen dan berbagai
analognya mempercepat dan mempertahankan tidur. Namun, ada ketidakkonsistenan dan
perbedaan antara sejumlah besar penelitian mengenai tingkat kemanjuran dan signifikansi klinis
dari efek ini. Oleh karena itu, preparat melatonin yang dilepaskan berkepanjangan dan agonis
melatonin yang diperkenalkan telah menunjukkan hasil yang baik dalam mengobati insomnia.
Jadi perubahan fisiologis memiliki dampak besar pada kesehatan wanita pascamenopause karena
perubahan ini menyebabkan pelepsan hormon-hormon penting tertentu dari sistem reproduksi
wanita. Progesteron bertanggung jawab untuk fungsi reproduksi vital saluran kelamin wanita,
kadar progesteron menurun pada wanita pascamenopause dan berkontribusi pada kecemasan,
depresi, disfungsi seksual, dan obstructive sleep apnea. Neurohormon melatonin yang penting
ditemukan menurun kadarnya pada wanita pascamenopause, yang juga berkontribusi terhadap
gangguan tidur dan akhirnya menyebabkan kecemasan dan depresi.
12