Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEDIATRI
I. Pengertian Pediatrik
Pediatrik adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan
perawatan medis bayi (infant), anak-anak (children), dan remaja (aldosents).
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu
kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak sejak
lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang
berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit
pada perkembangan anak. Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis,
fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan metabolisme (AAP, 2012).
III. 1 Fisiologi dan Kinetika pada Neonatus (Term New born Infants)
Variasi kerja obat terjadi pada neonatus karena adanya variasi karakteristik
biologis pada bayi yang baru lahir, diantaranya massa tubuh yang kecil,
kandungan lemak tubuh rendah, volume air tubuh tinggi dan permeabilitas
beberapa membran lebih besar seperti pada kulit dan sawar otak (Hashem, 2005).
1. Absorpsi pada Neonatus
Pada bayi yang baru lahir (neonatus), waktu transit lambung lebih lama, pH
lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan mempengaruhi
penyerapan obat yang diberikan secara oral (Hashem, 2005). Dengan demikian
selama periode neonatal, obat-obat yang tidak tahan asam seperti benzilpenisilin
dan ampisilin akan diserap lebih baik, sedangkan penyerapan obat-obatan seperti
fenitoin, fenobarbital dan rifampisin rendah (WHO, 2007).
Pada minggu pertama sejak lahir, neonates mengalami achlorhydria dan
hanya setelah usia tiga tahun ekskresi asam lambung menyerupai orang dewasa.
Dalam usia hingga satu bulan waktu pengosongan lambung lebih lama dan gerak
peristalsis tidak teratur. Massa otot rangka lebih terbatas dan kontraksi otot yang
berperan mendorong aliran darah untuk penyebaran obat yang diberikan secara
intramuskular relatif lemah (Rowland dan Tozer,1995).
Tingkat perfusi perifer rendah dan mekanisme pengaturan panas belum
sempurna pada neonatus mengganggu penyerapan. Obat topikal diserap lebih cepat,
dan biasanya lebih baik karena penghalang kulit neonatus masih relatif tipis
sehingga risiko toksisitas yang lebih besar (Hashem, 2005).
2. Distribusi pada Neonatus
Bayi yang baru lahir memiliki konsentrasi protein plasma dan kapasitas
pengikatan albumin yang rendah, sehingga berpengaruh pada kemampuan
mengikat terhadap obat yang terikat ekstensif dengan protein plasma. Rendahnya
kapasistas protein plasma mengikat obat menyebabkan beberapa efek obat yang
merugikan. Misalnya, protein plasma dapat mengikat bilirubin. Obat sangat kuat
berikatan dengan protein dapat menggantikan bilirubin sehingga menyebabkan
kerusakan otak dari kernikterus akibat hiperbilirubinemia. Antibiotik sulfonamid
adalah contoh obat utama pada kasus ini (Hashem, 2005).
Volume distribusi dalam kompartemen tubuh bayi sangat berbeda dengan
orang dewasa. Jumlah total kandungan air tubuh mencapai 70-80% dari berat badan
pada bayi prematur dan bayi baru lahir, dibandingkan dengan orang dewasa sekitar
50-55%. Cairan ekstraseluler sekitar 40% dari total berat badan, sekitar dua kali
pada orang dewasa. Tingginya kandungan air tubuh dan rendahnya kapasitas
protein plasma mengakibatkan volume distribusi obat yang larut dalam air lebih
besar. Sehingga dibutuhkan dosis relatif lebih besar untuk obat yang larut dalam air
untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan (Hashem, 2005).
Secara substansial jumlah lemak tubuh pada neonatus lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa, dan hal ini juga dapat mempengaruhi efek
terapi obat. Beberapa obat yang kelarutannya tinggi dalam lemak, distribusinya
lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Sebagai contoh, perbedaan
volume distribusi diazepam berkisar 1,4-1,8 L/kg pada neonatus dan 2,2-2,6 L/ kg
pada dewasa (Nahata dan Taketomo, 2008).
3. Metabolisme pada Neonatus
Neonatus memiliki kemampuan lebih rendah untuk metabolisme obat yang
rentan dibandingkan dengan bayi dan anak-anak (Nahata dan Taketomo, 2008).
Secara umum metabolisme obat oleh enzim hati belum sempurna pada neonatus.
Setelah lahir, kapasitas metabolisme akan naik secara dramatis dari sekitar
seperlima hingga sepertiga tingkat orang dewasa selama minggu pertama
kehidupan (Hashem, 2005).
Jalur utama metabolisme obat dibagi menjadi fase reaksi 1 dan fase reaksi
2. Fase 1 melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan hidrasi. Jalur paling
utama adalah reaksi oksidasi yang melibatkan enzim sitokrom P450 (CYP). Enzim-
enzim CYP utama dibagi menjadi CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8 - 10, CYP2C19,
CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4 dan 5. Jalur untuk fase 2 melibatkan
glukuronidasi, sulfasi, metilasi, asetilasi dan konjugasi glutation. Jumlah
kandungan sitokrom P450 di hati janin adalah antara 30% dan 60% dari nilai
dewasa dan mendekati nilai-nilai orang pada usia 10 tahun (Choonara, 2005).
Tempat utama metabolisme obat adalah dalam hati, selain saluran
pencernaan, sel darah, dan organ lain juga terlibat dalam metabolisme obat. Tujuan
biologis metabolisme obat adalah untuk mengkonversi senyawa lipofilik (larut
dalam lemak) menjadi lebih polar dan lebih larut dalam air dengan demikian lebih
mudah diekskresikan ke dalam empedu atau urin (Choonara, 2005). Obat-obat yang
nonpolar, dan larut dalam lipid (misalnya diazepam, teofilin dan parasetamol) akan
dimetabolisme dalam hati sehingga menjadi lebih polar. Sedangkan obat yang larut
dalam air, biasanya diekskresikan dalam bentuk tidak berubah oleh filtrasi
glomerulus dan / atau sekresi tubular pada ginjal (misalnya aminoglikosida,
penisilin, dan diuretik) (WHO,2007).
Bayi baru lahir memiliki kemampuan memetabolisme obat yang rendah
dibandingkan dengan bayi dan anak terutama pada neonatus prematur. Perubahan
metabolisme dapat mempengaruhi neonatus yaitu terjadinya resiko toksisitas obat
lebih besar. Neonatus biasanya membutuhkan dosis obat yang lebih kecil dan
diberikan lebih jarang dari pada bayi dan anak-anak (Choonara, 2005).
4. Ekskresi pada Neonatus
Pada neonatus fungsi ginjal belum berkembang secara sempurna, sehingga
ekskresi obat pada neonates obat lebih lambat. Neonatus memiliki kemampuan
yang rendah memekatkan urin sehingga pH urin rendah, sehingga mempengaruhi
ekskresi beberapa senyawa. Fungsi ginjal secara keseluruhan mendekati tingkat
dewasa pada akhir atau tahun pertama sejak kelahiran (Hashem, 2005).
Fungsi ginjal sangat penting untuk disposisi obat pada periode neonatus.
Banyak pasien neonatus yang mengalami infeksi diberi antibiotik yang larut dalam
air. Secara umum pada neonatus waktu paruh eliminasi obat semakin lama. Laju
eliminasi meningkat pesat selama minggu-minggu berikutnya, dan waktu paruh
sama dengan orang dewasa biasanya dicapai pada akhir bulan pertama
(WHO,2010).
III. 2 Fisiologi dan Kinetika pada Bayi danAnak
V. InteraksiObat
V.1 Pengertian
Interaksi obat yaitu situasi ketika suatu zat (biasanya obat lain)
mempengaruhi aktivitas obat ketika keduanya diberikan secara bersamaan.
Aktivitas tersebut bisa bersifat sinergis (efek obat meningkat) atau antagonis (efek
obat berkurang) ataubisa menghasilkan efek baru. Interaksi dapat terjadi antara obat
dengan obat, obat dengan makanan, dan obat dengan herbal.
V.2 Mekanisme Interaksi Obat
Pemberian satu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat terjadi
melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik (terjadi perubahan
konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja reseptor) dan interaksi
farmakodinamik (terjadi modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah
konsentrasinya dalam cairan jaringan). Selain dua mekanisme tersebut masih ada
yang disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro sehingga
satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip farmakologi yang terlibat
dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara fisika atau kimia. (Hashem, 2005).
V.3 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang dapat mempengaruhi proses
absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi (Baxter, 2008). Perubahan ini pada
dasarnya adalah terjadi modifikasi konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat bersifat
homergic jika memiliki efek yang sama dalam organisme dan heterergic jika
efeknya berbeda
V.4 Interaksi Pada Level Absorpsi Obat
Absorpsi gastrointestinal diperlambat oleh obat yang menghambat
pengosongan lambung, seperti atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat
(misalnya metoklopramid) yang mempercepat pengosongan lambung. Atau, obat A
dapat berinteraksi dengan obat B dalam usus sedemikian rupa untuk menghambat
penyerapan obat B (Hashem, 2005). Selain itu dapat juga terjadikarena dampak
perubahan pH pencernaan, adsorpsi, khelasi dan mekanisme kompleks lainnya,
perubahan motilitas gastrointestinal, induksi atau inhibisi protein transporter obat,
dan malabsorpsi disebabkan oleh obat (Baxter, 2008).
Beberapa contoh interaksi absorpsi obat:
a. Kalsium (dan juga besi) membentuk kompleks tak larut dengan tetrasiklin
dan menghambat penyerapan obat,
b. Penambahan epinefrin pada suntikan bius lokal yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperlambat penyerapan obat bius, akibatnya
memperpanjang efek lokal obat bius tersebut (Hashem,2005).
V.5 Interaksi Pada Level Distribusi Obat
Mekanisme interaksi utama pada level distribusi adalah terjadinya
kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma. Dalam kasus ini, obat yang tiba
pertama berikatan dengan protein plasma akan meninggalkan obat lain yang larut
dalam plasma, sehingga memodifikasi konsentrasi yang obat bebas.
Distribusi obat ke dalam otak dan beberapa organ lainnya seperti
testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein aktif
ini mengangkut obat keluar dari sel ketika obat telah secara pasif menyebar masuk
ke dalam sel. Ada beberapa obat dapat menghambat transporter ini sehingga
meningkatkan penyerapan obat (Baxter, 2008).
Beberapa contoh interaksi disitribusi obat:
a. Salisilat menggantikan metotreksat pada tapak ikat albumin dan mengurangi
sekresinya ke dalam nefron.
b. Quinidine dan beberapa obat lainnya termasuk antidisritmia verapamil dan
amiodaron menggantikan digoksin pada tapak ikat-jaringan sekaligusmengurangi
ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas
digoxin (Hashem, 2005).
V.6 Interaksi Pada Level Metabolisme Obat
Interaksi pada Level Metabolisme terjadi karena metabolisme obat objek
dirangsang atau dihambat oleh obat presipitasi. Terikat dengan metabolisme ini ada
dua hal penting. Pertama, diantara obat yang berinteraksi ada yang menginduksi
enzim dan yang kedua ada yang menghambat aktivitas enzim.
a. Induksi Enzim
Induksi enzim adalah perangsangan atau induksi enzim yang terjadi dalam
retikulum endoplasik sel hati dan sitokrom P 450 (CYP) oleh obat tertentu, sehingga
aktivitas metabolik bertambah. Akibatnya metabolisme obat menjadi lebih aktif dan
konsentrasi obat objek dalam plasma berkurang, sehingga efektivitasnya pun
menurun (Dalimunthe, 2009).
b. Inhibisi Enzim
Inhibisi enzim adalah apabila suatu obat menghambat metabolisme obat
lain, sehingga memperpanjang atau meningkatkan aksi obat. Sebagai contoh,
allopurinol mengurangi produksi asam urat akibat hambatannya terhadap enzim
santin oksidase, pada waktu yang sama metabolisme beberapa obat yang
berpotensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin juga dihambat.
Penghambatan santin oksidase secara bermakna meningkatkan efek obat-obat tsb.
Sehingga jika diberikan bersama allopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin
harus diturunkan sampai 1/3 atau ¼ dosis biasanya.
Milsap, R.L., dan Jusko, W.J. 1994. Pharmacokinetics in The Infant. Environ
Health Perspect, 102(11): 107-110.