Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

Pendahuluan
I. Latar Belakang

Perguruan tinggi merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan


dan teknologi oleh sebab itu perguruan tinggi merupakan tempat bagi terciptanya
sumberdaya manusia yang handal dalam persaingan era globalisasi ini. Indonesia
merupakan Negara yang harus mencipatakan sumberdaya manusia yang mampu
mengantarkan Negara ini memiliki possisi tawar menawar dalam persaingan global.
Namun dalam kenyataannya bebagai program yang dicanangkan oleh pemerintah
masih hanya menjadi suatu hal yang sis-sia saja. Salah satu penyebabnya adalah
kurangnya penerapan bahasa Indonesia dalam dunia IPTEK. Karena bahasa
Indonesia merupakan sarana komunikasi bahasa yang utama di Indonesia maka
seharusnya segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia komunikasi harus
menggunakan bahasa Indonesia tidak terkecuali untuk IPTEK sehingga dalam
perkembangannya akan berjalan dengan sangat mudah. Dengan cara ini maka tidak
ada alasan bagi Indonesia untuk tertinggal dengan Negara lain bahkan bisa menjadi
yang sangat diperhitungkan dalam persaingan global. Dengan alasan bahwa ada
keterkaitan erat antara bahasa Indonesia, perguruan tinggi, dan Indonesia dalam
persaingan global maka perguruan tinggi harus menerapkan bahasa Indonesia yang
baik dan benar dan mengembangkannya dalam dunia IPTEK sehingga bahasa
Indonesia menjadi bahasa IPTEK dan dalam perkembangannya mudah dipahami
oleh semua lini masyarakat.
II. Rumusan Masalah

1. Bagaimana menerapakan bahasa Indonesia sebagai bahasa IPTEK?


2. Bagaimana peran perguruan tinggi dalam penerapan bahasa Indonesia dalam
dunia IPTEK?
III. Tujuan

Menempatkan perguruan tinggi sebagai sarana pengembangan bahasa


Indonesia dalam dunia IPTEK

IV. Manfaat
Mempercepat perkembangan IPTEK di Indonesia sehingga Indonesia menjadi
Negara yang maju dalam dunia IPTEK.

BAB 2
Pembahasan

I. Bahasa Indonesia (Keilmuan)

Seorang pekerja ilmiah yang harus melaporkan hasil temuannya dalam suatu
cabang ilmu akan menghadapi beberapa masalah. Masalah yang utama adalah
bagaimana konsep-konsep yang diperoleh dari penyeledikan dan kajian
keilmuannya itu harus diungkapkan dan bagaimana ekspresi keilmuan itu harus
dirangkai-rangkaikan dalam bahasa Indonesia. Persoalan ini sebenarnya persoalan
yang universal, tidak hanya dihadapi oleh orang Indonesia yang berbahasa
Indonesia, namun juga dihadapi oleh bangsa lain yang sudah maju bahasanya.
Sebagai sarana berpikir ilmiah dan sarana komunikasi ilmiah, seorang ilmuwan
harus menggunakan bahasa keilmuan. Jujun S. Suriasumantri (1995: 183-185)
memberikan ciri-ciri bahasa keilmuan yang dapat mewadahi perkembangan iptek,
yaitu: (1) bersifat reproduktif, (2) langsung ke sasaran (straitforward), (3) gaya
berbahasa lugas, (4) tidak bersifat emotif, (5) tidak bersifat afektif, (6)
menggunakan istilah keilmuan yang sah berdasarkan bidang ilmunya, dan (7)
menggunakan penalaran yang logis dan runtut.
Sifat reproduktif menyebabkan uraian tidak bermakna ganda dan tidak
menimbulkan salah penafsiran. Yang dikemukakan adalah isi ilmuanya dan bukan
keelokan bahasanya (seperti dalam karya sastra). Karena itu, penulis karya
keilmuan harus berusaha berbahasa sejelas dan sesederhana mungkin.
Sifat langsung ke sasaran harus diusahakan oleh penulis karya iptek. Penulis
harus menyadari bahwa setelah dibaca orang lain, tulisannya sering sulit dipahami
maknanya. Karena itu, penulis harus mampu menyatakan apa yang seharusnya
dinyatakan. Tidak dibenarkan menyatakan sesuatu dengan berputar-putar atau
memberikan sindiran. Menguraikan sesuatu dengan sindiran dan uraian
berkepanjangan menyalahi kaidah komunikasi keilmuan.
Kedua cirri tersebut berkaitan dengan cirri ketiga, yakni bergaya bahasa lugas.
Pemakaian gaya bahasa dan keindahan bahasa diusahakan sekecil mungkin karena
dapat menimbulkan kesan kurang serius dan dapat menimbulkan makna ganda.
Karena itu, sering dijumpai komunikasi ilmiah dengan bahasa “kering” (tidak indah
seperti dalam karya sastra). Seorang pembaca naskah iptek sudah barang tentu telah
siap menghadapi gaya berbahasa demikian.
Sifat emotif dan afektif sering dijumpai dalam penggunaan bahasa melalui
komunikasi tidak resmi (santai dan akrab). Kedua sifat itu harus dihindari, karena
bahasa iptek harus bersifat lebih rasional dan menunjukkan pemikiran apa
adanya (das sein).Tulisan emotif dan afektif menimbulkan kesan ketidakpastian,
sehingga karya iptek menjadi tidak meyakinkan pembacanya.
Istilah-istilah bidang keilmuan tertentu memiliki karakteristik tersendiri dalam
hal pembakuan aspek semantiknya. Seorang ilmuwan yang memasuki bidang ilmu
tertentu akan memahami istilah keilmuan bidang ilmunya itu dan sanggup
menggunakannya dalam komunikasi ilmiah sesuai dengan makna yang diacunya.
Ini merupakan salah satu bukti kekayaan keilmuwanan yang dimilikinya.
Komunikasi iptek juga mensyaratkan penerapan logika yang mapan dalam
berbahasa. Karya ilmiah dalam komunikasi iptek harus menunjukkan alur
pemikiran mengikuti logika tertentu yang dipilih seorang penulis. Penulisannya
harus menggunakan epistemologi keilmuan dan tidak sebebas seperti dalam
komunikasi lainnya.
Johanes (dalam Herman J. Waluyo, 1991:5) mengemukakan 8 syarat gaya
pengungkapan tulisan sebagai komunikasi iptek, yaitu: (1) nada tulisan
iptek/keilmuan bersifat formal dan objektif, (2) titikpandang baku (grammatical
point of view) dan harus taat azas, (3) tingkat bahasa yang dipakai dalam tulisan
iptek adalah tingkat bahasa resmi dan bukan bahasa harian (colloquial), (4) bentuk
wacana paparan (exposition) lebih banyak dipakai daripada bentuk argumentasi,
deskripsi, dan narasi, (5) komunikasi gagasan dalam karya iptek harus jelas,
lengkap, dan ringkas, serta dapat meyakinkan secara tepat, (6) sejauh mungkin
dihindari istilah ekstrem, berlebihan, dan haru (emosional), (7) menghindari kata-
kata mubazir, dan (8) bahasa keilmuan lebih berkomunikasi dengan pikiran
daripada dengan perasaan.
Di samping itu, sebagai bahasa iptek bahasa Indonesia juga harus dapat
menjalankan 4 fungsi bahasa iptek, yaitu: (1) fungsi referensial, (2) fungsi direktif,
(3) fungsi metalingual, dan (4) fungsi fatis (Zuchridin Suryawinata, 1995: 64-
73).Menurut Anton M. Moeliono (1991:114-126; 1993:6-7), pengembangan bahasa
Indonesia agar menjadi bahasa yang modern, dalam arti dapat mewadahi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta relevan dengan
perkembangan peradaban dunia, harus bertopang pada 3 kegiatan, yaitu: (1)
pengembangan kecendekiaan bahasa, (2) pemekaran kosa kata, dan (3)
pengembangan laras bahasa.

II. Strategi Pengembangan Bahasa Indonesia IPTEK di Perguruan Tinggi

Untuk mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek, sedikitnya


terdapat tiga modal dasar yang secara politis dapat dipergunakan sebagai landasan
pengembangan.
Pertama, Sumpah Pemuda 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia
adalah bahasa nasional, merupakan langkah pertama yang menentukan dalam
menentukan garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional Indonesia. Kedua,
UUD 1945 Bab VI Pasal 36 yang menyatakan “Bahasa negara ialah bahasa
Indonesia.” Hal ini memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa
Indonesia bukan saja sebagai bahasa perhubungan pada tingkat nasional, tetapi juga
sebagai bahasa kenegaraan. Ketiga, perwujudan Politik Bahasa Nasional yang
menyatakan mengenai dua fungsi bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa nasional
dan sebagai bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang kebulatan
semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-
beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu
masyarakat nasional Indonesia. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di
dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta sebagai alat
pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi (Amran Halim,
1989:15-17).
Salah satu dasar tersebut memberikan kerangka yang kuat bagi
pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui jalur pendidikan.
Menurut S. Effendi (dalam Amran Halim, 1984:17), dalam proses
pengembangan bahasa Indonesia terdapat beberapa komponen yang saling
berinteraksi, yaitu: (1) komponen bahasa yang akan dikembangkan, yang di
dalamnya meliputi segi fonologi, tatabahasa, dan leksikon; (2) komponen proses
pengembangan, yang menyangkut sasaran pengarahan proses; (3) komponen hasil
pengembangan, yang mengacu pada hasil proses pengembangan yang dilakukan;
(4) komponen instrumen pengembangan, yang meliputi tenaga pengembangan,
rencana induk pengembangan, manajemen pengembangan, fasilitas dana, dan
peralatan; dan (5) komponen lingkungan pengembangan, yang meliputi lingkungan
sosial budaya, politik, dan pendidikan. Ancangan program tersebut dapat
digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
Bagan tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan dipilih sebagai lingkungan
pengembangan bahasa Indonesia iptek yang sejajar dengan lingkungan yang lain
(seni budaya, ekonomi, politik). Dalam perspektif ini, lingkungan pendidikan tinggi
dipandang sebagai ujung tombak bagi pengembangan program yang dimaksud,
sebab jenjang pendidikan tinggi dipandang memiliki porsi yang lebih luas bagi
pengembangan, penerapan, dan rekayasa iptek.
Pola yang dipandang tepat untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek yaitu
dengan menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu. Prinsip integral
mengacu pada pengertian bahwa semua disiplin ilmu yang dikaji di perguruan
tinggi, termasuk jajaran sivitas akademikanya, harus secara integral dapat
menyatukan langkah dalam mendukung program pengembangan bahasa Indonesia
iptek.
Program pengembangan bahasa Indonesia iptek bukanlah program yang
berdiri sendiri. Program ini harus merupakan satu kesatuan yang padu dengan
program-program akademik lainnya dan merupakan bagian yang takterpisahkan
dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi dalam bidang nonfisik. Inilah
yang dimaksud dengan prinsip terpadu.
Sedangkan prinsip kontinu berhubungan dengan masalah kontinuitas
pelaksanaan program yang telah direncanakan. Meskipun terikat oleh alokasi
waktu, program yang disusun diusahakan selalu berkesinambungan dan selalu
ditingkatkan dalam hal kuantitas dan kualitasnya.
Perwujudan ketiga prinsip tersebut akan terlaksana dengan baik apabila
didukung oleh tiga hal, yaitu: perencanaan program yang baik, pelaksanaan
program yang mantap, dan pelaksana program yang berintegritas dan berkualitas.
Sudah barang tentu faktor lingkungan dan fasilitas (termasuk fasilitas dana) juga
sangat menentukan. Lingkungan yang kurang kondusif bagi pengembangan bahasa
Indonesia iptek dan terbatasnya sarana yang tersedia akan menjadi penghambat
pencapaian hasil yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi umum yang ada pada sebagian besar perguruan tinggi di
Indonesia, program pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat dilakukan melalui
berbagai sarana, di antaranya melalui proses belajar mengajar, penerjemahan dan
pembentukan istilah bidang keilmuan (iptek), media penerbitan kampus seperti
jurnal dan bulletin ilmiah, kegiatan-kegiatan ilmiah semacam seminar, lokakarya,
penataran, melalui lomba penulisan iptek, dan kegiatan-kegiatan khusus lainnya.
Mengenai pelaksana program, dapat dibentuk sebuah panitia pelaksana atau
sebuah tim yang terdiri atas para dosen, karyawan, mungkin pula mahasiswa, dan
pihak-pihak terkait lainnya. Penentuan anggota tim semata-mata didasarkan pada
aspek kualitas, integritas, dan komitmennya terhadap program pengembangan
bahasa Indonesia iptek.
Seluruh program tersebut akan dievaluasi secara periodic dalam kurun
waktu tertentu. Evaluasi program ini dimaksudkan untuk menilai sejauh mana
program yang direncanakan telah dilaksanakan, dan dapat pula dipergunakan untuk
mendiagnosis hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaannya.
Berikut ini akan penulis uraikan sarana-sarana penting yang dapat
dipergunakan sebagai perwujudan strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek
di perguruan tinggi.
1. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi
Kecuali dalam pengajaran bahasa asing dan bahasa daerah pada program studi
program studi tertentu, bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar
dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Hal ini berarti bahwa semua
materi mata kuliah, apapun jenisnya, harus disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Ini satu fakta yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang paling penting dalam
pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi.
Dalam menyampaikan materi keilmuan kepada para mahasiswa, para dosen
sering menggunakan istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan khusus bidang
keilmuannya. Dalam konteks ini, para dosen harus mampu dan bersedia
mengungkapkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, jika istilah-istilah itu
telah dibakukan penggunaannya.
Para dosen ini adalah pelaksana program yang penting. Sebagai pihak yang berada
pada jajaran paling depan, tidaklah berlebihan jika keberhasilan pelaksanaan
program lebih banyak ditumpukan pada kerja dan komitmen mereka. Untuk itu,
pemantapan kualitas penguasaan bahasa Indonesia keilmuan dan sikap yang positif
terhadap pengembangan bahasa Indonesia iptek harus ditanamkan sejak dini kepada
para dosen tersebut.
Hubungan antara bahasa Indonesia keilmuan dan mata kuliah yang
diberikan kepada mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi
sangatlah erat. Mata kuliah apapun disampaikan oleh dosen dalam bahasa
Indonesia. Mahasiswa dapat menangkap isi mata kuliah yang diberikan dosen
karena mereka mengerti bahasa Indonesia. Buku-buku yang dipakai untuk semua
mata kuliah itu sebagian besar ditulis pula dalam bahasa Indonesia keilmuan.
Walaupun semua mata kuliah itu dapat menyumbang secara nyata kepada
pengembangan bahasa Indonesia para mahasiswa, harus diingat bahwa fungsi
utama berbagai mata kuliah nonbahasa itu adalah menyampaikan materi (isi) setiap
mata kuliah. Akan tetapi, isi mata kuliah itu tidak dapat disampaikan dan tidak dapat
diterima tanpa bahasa. Dengan demikian, setiap mata kuliah masih memberikan
tekanan pada bidangnya masing-masing sebagaimana mestinya, tetapi kerja sama
antara keduanya membuat para mahasiswa menjadi yakin terhadap pentingnya
fungsi bahasa Indonesia keilmuan bagi kelangsungan studi mereka. Kondisi ini
secara langsung maupun tidak langsung, akan memotivasi mereka untuk
mengembangkan bahasa Indonesia keilmuannya menjadi lebih baik. Penemuan
psikolinguistik menunjukkan bahwa motivasi dan perhatian merupakan faktor-
faktor yang amat penting bagi keberhasilan pengembangan bahasa Indonesia.
Sebab itu, motivasi dan minat ini perlu dibina terus-menerus.
Dalam proporsi yang lebih khusus, program pengembangan bahasa Indonesia
iptek juga dapat dilaksanakan melalui pengajaran mata kuliah Bahasa Indonesia
sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di perguruan tinggi. Meskipun dalam
praktik tidak semua perguruan tinggi memberikan mata kuliah Bahasa Indonesia,
mata kuliah ini dipandang sangat baik sebagai sarana pengembangan dan
pengkajian bahasa Indonesia iptek. Dalam pelaksanaannya, materi yang
disampaikan hendaknya disesuaikan dengan bidang keilmuan yang sedang ditekuni
para mahasiswa. Untuk mahasiswa teknik diajarkan bahasa Indonesia teknik,
mahasiswa ekonomi diajarkan bahasa Indonesia ekonomi, begitu pula untuk
mahasiswa matematika, pertanian, kedokteran, dan sebagainya. Jadi ada spesifikasi
khusus yang mengacu pada bidang keilmuan tertentu, tanpa mengesampingkan
konvensi-konvensi kebahasaan secara umum.
Materi MKDU Bahasa Indonesia yang monoton dan membosankan harus
secepatnya ditinggalkan dan diganti dengan materi-materi yang relevan.
Kecenderungan para pengajar MKDU Bahasa Indonesia yang hanya menekankan
pada masalah penguasaan ejaan, tatabahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya
harus segera ditinjau ulang dan disempurnakan.
Satu hal yang harus diperhatikan, terlepas dari pola dan materi apa yang dipakai
oleh dosen di perguruan tinggi, rencana/program mata kuliah Bahasa Indonesia
tidak boleh menyimpang dari aspek pokok pengajaran bahasa Indonesia secara
umum. Menurut Jazir Burhan (1981:7-9), pengajaran bahasa Indonesia, kepada
siapapun dan dilaksanakan pada jenjang apapun, harus meliputi 3 aspek pokok,
yaitu (1) aspek humanistik, (2) aspek politik, dan (3) aspek kultural.
Aspek humanistik adalah aspek yang berhubungan dengan masalah manusia
pada umumnya. Dalam hubungan ini, masalahnya adalah masalah fungsi bahasa
pada umumnya bagi manusia. Fungsi bahasa pada manusia adalah sebagai alat
untuk menyatakan pikiran dan perasaan, alat untuk memahami peradaban dan
kebudayaan bangsa, dan alat berpikir dan berbuat dalam usaha manusia
mempertinggi taraf kebudayaannya.
Aspek politik adalah aspek yang berhubungan dengan cita-cita politik bangsa
Indonesia. Aspek ini digambarkan sebagai keinsyafan setiap warga negara untuk
memelihara, mengembangkan, dan menghargai dengan setinggi-tingginya akan
keberadaan bahasa nasionalnya.
Sedangkan aspek kultural adalah aspek yang berhubungan dengan kebudayaan,
dalam hal ini adalah kebudayaan nasional Indonesia. Dalam konteks ini, aspek itu
terwujud dalam keyakinan para mahasiswa akan pentingnya penguasaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa ilmu pengetahuan.
Pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat pula dilaksanakan melalui
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP/FKIP atau Fakultas
Sastra di universitas. Meskipun tidak semua perguruan tinggi memiliki program
studi atau fakultas itu, pemanfaatan program studi atau fakultas tersebut dipandang
sangat efektif. Sesuai dengan bidang ilmunya yang relevan, program studi atau
fakultas ini harus dapat menjadi pelopor pengembangan bahasa Indonesia iptek.
Selain melalui proses belajar mengajar yang rutin, program yang dilaksanakan
dapat pula dilakukan melalui penelitian, ceramah/seminar, penerbitan istilah
keilmuan, jurnal-jurnal kebahasaan yang diterbitkan program studi, dan
sebagainya.
Anton M. Moeliono (1989:80) menyatakan bahwa masalah pembinaan bahasa
Indonesia di universitas baru dapat ditangani dan diatasi jika pengajaran bahasa
Indonesia pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia sudah disempurnakan.
Pengajaran yang dimaksud juga harus didukung adanya kurikulum yang menarik
dan relevan dengan kebutuhan masyarakat/pembangunan.

2. Penerjemahan dan Pembentukan Istilah Keilmuan.


Kosa kata keilmuan bahasa Indonesia nyatanya masih kurang memadai. Karena
itu, masih terus-menerus diusahakan pemekaran kosa kata dalam berbagai disiplin
ilmu, dan pemekaran kosa kata ini harus selalu berpijak pada kaidah-kaidah
keilmuan secara internasional. Karena ilmu bersifat universal, maka kosa kata yang
digunakan tidak boleh melanggar konvensi internasional dalam bidang keilmuan
yang bersifat universal tersebut.
Kosa kata (istilah) fisika, kimia, biologi, matematika, teknik, kedokteran,
kosmetika, dan sebagainya, sebagian besar masih dikemukakan dalam bahasa
asing. Usaha pengindonesiaan istilah-istilah tersebut terus dilakukan, meskipun
hambatannya tidak kecil. Misalnya, betapa sulitnya menerjemahkan istilah-istilah
keilmuan berikut ini:absorbsi, pendaflor, polarisasi, magnetoresistance,
relativitas, kinematis, ionosfir, helisitas (fisika); oksiser, ornitofili, nanofil, klon,
hapaksantik, diasitik, stonium (biologi); nuklida, ekstrusi, alastomer, difraksi,
diazotisasi, bromin, bitumen (kimia); liabilitas, liposstatik, defoliasi, disinfestan,
diostikia, mulsa (peternakan); dan sebagainya.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam bidang-bidang keilmuanj
tertentu, penerjemahan tidak selalu mudah dan sederhana. Menurut Anton M.
Moeliono (1989:195), usaha penerjemahan itu pada hakikatnya mengandung
makna memproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber dengan padanan
yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa penerima, baik dari aspek arti
maupun dari aspek langgam atau gaya.
Penerjemahan itu pertama-tama harus bertujuan membahasakan kembali isi amanat
atau pesan. Idealnya, terjemahan tidak akan atau sebaiknya tidak dirasakan sebagai
terjemahan. Namun untuk memproduksi amanat itu janganlah berakibat timbulnya
berbagai struktur yang tidak lazim di dalam bahasa penerima.
Wonderly (1968:50) membedakan dua macam penerjemahan, yaitu
penerjemahan formal dan penerjemahan dinamis. Penerjemahan dinamis pertama-
tama berusaha untuk menyampaikan isi amanat dalam bahasa sumber dengan
ungkapan-ungkapan yang lazim dalam bahasa terjemahan. Penerjemahan dinamis
ini dipandang lebih baik dibandingkan dengan penerjemahan formal.
Terjemahan karya iptek dalam bahasa Indonesia banyak yang tidak
memuaskan, karena para penerjemah tidak terlaltih dalam ilmu penerjemahan. Hal
ini yang harus diantisipasi sejak dini oleh kalangan perguruan tinggi. Memang tidak
ada terjemahan yang dapat mengalihkan secara menyeluruh isi dan bentuk suatu
teks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Terjemahan 100% itu tidak
mungkin.
Walaupun jauh dari ideal, menyadari pentingnya penyediaan terjemahan
bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek, para pakar dapat menerima padanan
yang cukup mendekati teks aslinya sebagai terjemahan yang memadai. Tekanannya
adalah pada “padanan yang wajar dan terdekat” (closest natural
equivalent). Penerjemahan harus berusaha mengalihkan makna, bukan bentuk
leksikogramatikal bahasa sumbernya (Daud H. Soesilo, 1990:186).
Selama ini pembentukan istilah di negeri ini dilakukan oleh Komisi
Pembentukan Istilah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dalam rangka
pembentukan istilah keilmuan, perguruan tinggi seharusnya mengambil peran yang
lebih besar dibandingkan kondisi yang ada sekarang ini. Hal ini dimungkinkan
karena di perguruan tinggi istilah-istilah keilmuan lebih banyak ditemukan dan
dipergunakan. Kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya bertindak sebagai
konsumen harus secepatnya ditinggalkan. Perguruan tinggi harus mampu
menyumbangkan perannya sebagai “produsen” istilah-istilah keilmuan dari disiplin
ilmu yang beragam.
Bentuk yang lebih konkret, baik melalui penerjemahan maupun melalui
pemekaran kosa kata, dapat dilakukan kalangan perguruan tinggi dengan jalan
menyusun daftar (senarai) istilah-istilah keilmuan dalam berbagai bidang, misalnya
istilah khusus matematika, biologi, fifika, kedokteran, pertanian, teknik, ekonomi,
kebudayaan, dan sebagainya. Sudah barang tentu langkah kerja yang demikian itu
harus tetap dalam koordinasi dengan Komisi Pembentukan Istilah.
Anton M. Moeliono (1993:6) menyatakan bahwa pengembangan
peristilahan bahasa Indonesia iptek sepatutnya dilaksanakan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut: (1) klasifikasi ilmu, (2) taksonomi cabang ilmu,
(3) penentuan kelompok sasaran’ (4) penentuan cakupan kumpulan istilah, (5)
perumusan definisi dan penetapan istilah padanan, (6) penyelarasan definisi dan
istilah padanan, dan (7) penerbitan daftar istilah dan kamus cabang ilmu. Langkah-
langkah semacam itu kiranya tepat dilaksanakan oleh perguruan tinggi dalam
rangka pengembangan bahasa Indonesia iptek.

3. Kegiatan-Kegiatan lain.
Strategi lain yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan bahasa Indonesia
iptek di perguruan tinggi adalah dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan dan
sarana yang beraneka ragam. Sarana yang mungkin dapat dipergunakan misalnya
melalui penataran/ ceramah/ seminar, lomba penulisan karya ilmiah, penerbitan
artikel-artikel tentang bahasa Indonesia iptek pada jurnal-jurnal atau buletin-buletin
yang ada, dan sebagainya. Meskipun tidak dikhususkan sebagai sarana
pengembangan bahasa Indonesia iptek, sarana-sarana tersebut dipandang sangat
efektif dan efisien dalam mengemban misi itu.

4. Kendala-Kendala Pengembangan Bahasa Indonesia IPTEK di Peguruan Tinggi.


Menurut Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1991:91), sikap positif terhadap
bahasa ditandai dengan: (1) bangga akan bahasa yang dipergunakan, (2) setia
kepada bahasa, dan (3) sadar akan penggunaan kaidah bahasa. Kenyataannya,
sikap-sikap positif tersebut sampai sekarang belum tertanam dengan baik pada
sivitas akademika di perguruan tinggi. Kendala semacam ini merupakan faktor
penghambat yang besar bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan
tinggi. Tidak jarang di antara mereka yang cenderung bersikap negatif terhadap
bahasa Indonesia, misalnya: (1) menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
tidak perlu dipelajari, (2) menganggap bahasa Inggris lebih bagus dan lebih ilmiah
dibandingkan bahasa Indonesia, (3) menganggap bahasa Indonesia tidak mungkin
menjadi bahasa murni dan modern (Sri Hastuti, 1993:1-4).
Tantangan lain yang muncul adalah masalah rendahnya kualitas pelaksana
program. Sering ditemukan betapa sangat memprihatinkannya penggunaan bahasa
Indonesia para dosen, karyawan, dan pihak-pihak terkait lainnya, terlebih lagi
penguasaan bahasa Indonesia keilmuannya. Ini hambatan yang memerlukan waktu
cukup lama untuk membenahinya. Dalam diri mereka masih tertanam sikap yang
menganggap bahwa penguasaan terhadap bahasa Indonesia iptek bukan merupakan
kebutuhan pokok yang mendesak. Sikap apatis semacam ini melanda hampir
sebagian besar sivitas akademika perguruan tinggi.
Apabila program pengembangan bahasa Indonesia iptek tersebut dapat
direkayasa dalam bentuk program yang terencana oleh suatu lembaga pendidikan
tinggi, masalah yang mungkin dihadapi paling awal adalah masalah dana
operasionalnya. Hal ini mengingat kondisi objektif perguruan tinggi di Indonesia
akhir-akhir ini, yang untuk melaksanakan program-program intinya saja masih
kekurangan dana. Alokasi dana yang tersedia sebagian besar masih diprioritaskan
bagi pengadaan dan perbaikan sarana-sarana fisik, seperti perbaikan gedung,
pengadaan peralatan laboratorium, komputer, dan sebagainya. Dengan demikian,
harus disadari jika program pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan
tinggi (jika ada) tidak mendapatkan prioritas yang utama dibandingkan program-
program akademik lainnya.

BAB 3
PENUTUP

1. Kesimpulan
Untuk menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat, bahasa Indonesia harus dikembangkan agar relevan
dengan perkembangan iptek tersebut. Dalam rangka itu, lembaga pendidikan tinggi
dipandang sebagai tempat yang strategis untuk mengembangkan bahasa Indonesia
iptek itu. Hal ini dimungkinkan karena perguruan tinggi memiliki kesempatan yang
lebih besar dalam mengkaji, merekayasa, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dibandingkan dengan lingkungan yang lain.
Pada satu sisi, program pengembangan bahasa Indonesia iptek akan sangat
menguntungkan bagi kalangan perguruan tinggii, karena berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan akan media ekspresi keilmuan yang beraneka ragam
macamnya. Pada sisi yang lain, pelaksanaan program ini dipandang sebagai salah
satu bentuk kepedulian dan partisipasi perguruan tinggi dalam ikut serta
memikirkan masalah-masalah nasional.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu disusun strategi yang cocok, sistematis,
dan diusahakan tidak memerlukan biaya yang besar. Keberhasilan pelaksanaan
strategi yang dimaksud ditentukan oleh 3 hal, yaitu faktor perencanaan program,
pelaksana program, dan faktor pelaksanaannya.
Program yang disusun hendaknya dirancang secara sistematis dengan
mempertimbangkan faktor kemungkinannya untuk diterapkan serta memanfaatkan
fasilitas-fasilitas yang sudah tersedia. Program itu juga harus merupakan bagian
yang takterpisahkan dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi secara
keseluruhan.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat
mempergunakan sarana-sarana pengembangan yang tersedia, yaitu melalui proses
belajar mengajar, penerjemahan dan pembentukan istilah keilmuan, lomba
penulisan karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel yang relevan, seminar, penataran,
dan kegiatan-kegiatan khusus lainnya. Khusus dalam proses belajar mengajar,
pelaksanaan program ini dapat diimplementasikan melalui proses perkuliahan
secara rutin pada semua fakultas/program studi, melalui MKDU Bahasa Indonesia,
dan melalui proses belajar mengajar pada Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia (jika ada). Pelaksana program yang dibutuhkan dapat berasal dari unsur
dosen, karyawan, maupun dari unsur mahasiswa, yang pemilihannya ditentukan
berdasarkan sikap dan komitmen mereka terhadap program pengembangan bahasa
Indonesia iptek. Program-program tersebut harus dilaksanakan dengan
menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, faktor-faktor yang dimungkinkan dapat
menghambat pelaksanaan program harus diantisipasi dan dikendalikan sejak diini.
Kendala-kendala yang muncul, misalnya dapat berbentuk lingkungan yang tidak
mendukung, sikap objek sasaran program yang kurang posisitf, fasilitas yang tidak
memadai, kualitas pelaksana program yang rendah, dan sebagainya.
2. Saran
Bahasa Indonesia IPTEK merupakan suatu jalan untuk membuat Indonesia
maju dalam hal sumberdaya manusia dan IPTEK. Dalam hal ini perguruan tinggi
merupakan sarana yang baik karena perguruan tinggi merupakan pendidikan yang
paling tinggi dimana para mahasiswa telah memiliki pemikiran-pemikiran yang
lebih dalam karya-karyanya untuk memajukan bangsa Indonesia. Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai bahasa bangsanya. Maka, kita harus
menggunakan bahsa Indonesia yang baik dan benar serta mengembangkannya
menjadi bahasa IPTEK agar lebih mudah dalam menyebarkan pendidikan IPTEK
di Indonesia.

Daftar Pustaka
Amran Halim (ed). 1989. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusbinbangsa.

Anton M. Moeliono. 1991. Ancangan Alternatif dalam Pembinaan dan


Pengembangan

Bahasa. Jakarta: jambatan.

Burhan, Jazir. 1981. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia.

Bandung: Ganaco.

Hartuti, Sri. 1993. Permasalahan dalam Bahasa Indonesia. Yogjakarta: Intan.

Anda mungkin juga menyukai