Pendahuluan
Dalam bukunya Nomoi, Plato menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur
oleh hukum. Kemudian dikembangkan oleh Aristoteles, yang menyatakan bahwa suatu Negara yang baik
adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum[1]. Menurut Aristoteles, bahwa
yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia tetapi pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang
Berdasarkan hal tersebut, maka esensi dari Negara hukum menurut Sjahran Basah[3] adalah, kekuasaan
tertinggi didalam suatu negara terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan
hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum.
Terkait dengan hal tersebut, maka Negara Kesatuan Republic Indonesia sebagai Negara hukum juga harus
menempatkan hukum sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan Indonesia
sebagai Negara Hukum dapat ditemukan dalam Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen
disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), yang berarti Indonesia
berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan pada kekuasaan semata (machtsstaat). Hal tersebut, kembali
dipertegas pada amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan Konstitusi tersebut, maka negara Indonesia
diperintah berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk penguasa pun harus tunduk pada hukum yang
berlaku[4].
Akan tetapi, bekerjanya hukum di Indonesia saat ini menggambarkan bahwa implementasi konsep negara
hukum hanya sebatas formalistas belaka. Dimana, pada satu sisi, muncul berbagai kecendrungan perilaku
anggota masyarakat yang sering menyimpang dari berbagai aturan yang dihasilkan oleh Negara. Hal tersebut
ditandai dengan meningkatnya kriminalitas, dan yang mencemaskan ialah bahwa meningkatnya
kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas atau volume saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas.
Kejahatan-kejahatan lebih terorganisir, lebih sadis serta di luar peri kemanusiaan: perampokan-
perampokan yang dilakukan secara kejam terrhadap korban-korbannya tanpa membedakan apakah
korban.
Selain itu, banyaknya kasus korupsi yang kata orang sudah ”membudaya” di Indonesia, serta praktek
suap tidak terbilang banyaknya, sehingga sudah dikatakan”membudaya” juga, sehingga orang
mengikuti saja apa yang dilakukan oleh orang lain asal tercapai tujuannya.
Sementara itu, pada sisi yang lain praktek penegakan hukum yang terjadi di negeri ini juga mengalami
penyakit yang serius. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya issue-issue yang dialamatkan kepada aparat
penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. misalnya, tentang banyaknya para koruptor yang
dibebaskan oleh pengadilan, dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam[5].
Kenyataan yang berbeda terjadi pada masyarakat biasa, dimana orang miskin akan sangat kesulitan mencari
keadilan diruang pengadilan. Dengan demikian, dapat dihasilkan kesimpulan bahwa praktek hukum di
Indonesia berjalan dengan diskriminatif dan seakan-akan hanya memihak golongan tertentu saja. Orang
berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan sedangkan sebaliknya masyarakat biasa begitu jauh dari
keadilan. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat diukur dengan uang, karena yang menjadi
parameter untuk keringanan hukuman dalam peradilan lebih pada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu
Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Keterpurukan hukum di suatu negara, akan
berdampak negatif yang mempengaruhi sektor kehidupan lain misalnya kehidupan ekonomi, politik dan
budaya. Bagaimanapun upaya para pakar ekonomi maupun politik dalam mengatasi masalah dan
ketimpangan ekonomi dan politik, akan sia-sia belaka jika keterpurukan hukum masih terjadi. Untuk itu,
Berbagai uraian tersebut menimbulkan berbagai isu didalam masyarakat adalah adanya perlindungan hukum
dan HAM hanya berlaku bagi masyarakat tertentu saja, yaitu yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki
banyak uang, selain itu dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat adagium yang menyatakan bahwa
kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat? Bahkan hubungan penguasa dengan masyarakat sering
melekat dengan berbagai pernyataan yang menyatakan bahwa: Pasal 1. Penguasa tidak pernah salah, Pasal
Berbagai hal tersebut kemudian menimbulkan Persoalan bagaimana implementasi penegakan hukum dan
HAM di Indonesia, mengingat NKRI adalah Negara hukum yang wajib memberikan perlindungan terhadap
B. Pembahasan
Pemikiran mengenai Negara hukum dimulai sejak abad XIX s/d abad XX, pada hakekatnya Negara hukum
berakar dari konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
didalam suatu Negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan Negara apapun namanya
termasuk warganegara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali[7]
Dalam teori Negara hukum terdapat dua sistem hukum yaitu rechtstaat dan rule of law. Burkens, et.al.,
mengemukakan pengertian Rechtsstaat secara sederhana seperti yang dikutip A. Hamid S. Attamimi,[8] yaitu
negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam Rechtsstaat, menurutnya
adalah ikatan antara negara dan hukum tidaklah berlangsung dalam ikatan yang lepas atau pun bersifat
kebetulan, melainkan ikatan yang hakiki. Dari pandangan tersebut, mengandung arti bahwa kekuasaan
pemerintahan dalam suatu negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam
Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, et.al., yang dikutip oleh Philipus M.
Hadjon,[9] adalah:
a. Asas legalitas; setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan
(wetterlijke grondslag). Dengan landasan ini, Undang-undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan
tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hal ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting
negara hukum;
b. Pembagian kekuasaan; syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu
c. Hak-hak dasar (grondrechten); hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan
d. Pengawasan pengadilan Administrasi; bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk
Sementara itu, The rule of law dalam pengertian ini pada intinya adalah common law sebagai dasar
perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa atau dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur
warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa dan menolak kehadiran peradilan administrasi.
E.C.S. Wade dan Godfrey Philips mengidentifikasi lima aspek the rule of law sebagai berikut:
b. Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan perundang-
e. Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan menurut
undang-undang.[10]
Dengan demikia, sebuah Negara dikatakan sebagai Negara hukum adalah Negara yang mendasarkan
berbagai kebijakan dan tindakannya harus berdasarkan hukum tanpa ada pembatasan berdasarkan golongan,
Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dan bergaul dengan
orang yang ada disekitarnya. Manusia yang satu (individu) dengan manusia yang lain jika bergaul dan
berkelompok akan membentuk komunitas masyarakat. Dalam masyarakat, manusia selalu berhubungan satu
dengan yang lainnya sehingga menimbulkan interaksi atau kontak. Akibat adanya kontak atau interaksi
tersebut dapat menimbulkan konflik[11]. Untuk itu, dalam proses interaksi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, perlu semacam norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan tersebut. Kaidah-kaidah
itulah yang menentukan hal yang boleh dilaksanakan dan hal yang tidak boleh dilakukan[12].
Kaedah sosial pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang
seyogyanya dilakukan atau yang seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan
dijalankan[13]. Kaedah-kaedah sosial yang berlaku didalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang
berbeda-beda, ada kaedah yang lemah, yang sedang sampai yang kuat daya mengikatnya yang membuat
Lebih lanjut menurut Soedikno Mertokusumo, kaedah-kaedah sosial sanksinya tidak dirasakan secara
langsung dan cukup memuaskan, sehingga dirasakan kurang cukup dalam memberikan jaminan perlindungan
bagi kepentingan manusia. Oleh karena itu di butuhkan kaedah hukum dalam memberikan perlindungan yang
Kaedah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu pelaku pelanggaran yang nyata-
nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar
masyarakat lebih tertib, agar jangan jatuh korban kejahatan, serta agar tidak terjadi kejahatan[16].
b. Suatu kaedah hukum dengan tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat
lahiriah
c. Kaedah hukum pada umumnya mengandung sanksi hukum yang teratur, rapi, pasti dan
Pertanyaan selanjutnya, adalah apa itu hukum? Menurut Sudikno Mertokusumo hukum pada umumnya
adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi[18].Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu
dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja, di mana saja dan dalam wilayah Negara tertentu, tanpa membeda-
bedakan.
Berbicara mengenai hukum maka terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan untuk melihat
hukum. Menurut Soekarno Aburaera dkk, bahwa hukum dapat dilihat sebagai hukum positif yaitu hukum yang
berlaku didalam sebuah negara. Dalam konteks tersebut, hukum merupakan penetapan oleh pemimpin yang
sah dalam suatu negara sebagaimana juga yang dimaknai oleh para ahli hukum[19]. Hal ini sejalan dengan
pandangan Austin yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah dari yang berdaulat[20].
Sementara itu, dalam pandangan masyarakat biasa, hukum dikonstruksikan sebagai suatu kehidupan bersama
dalam masyarakat yang diatur secara adil. Jadi, nilai-nilai keadilan dalam hukum yang dipandang sebagai
norma yang lebih tinggi dibandingkan dengan norma hukum dalam suatu undang-undang[21].
Hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan Satjipto Rahardjo, maka titik temunya adalah bagaimana
membuat hukum dapat memberikan kebahagiaan (keadilan) bagi rakyat dalam suatu konsep hukum untuk
manusia. Dimana, hukum tidak hanya dilihat sebagai bangunan peraturan perundang-undangan sebagai
produk atau perintah penguasa semata, tetapi hukum harus dibuat ibarat suatu organis yang mampu berpikir,
merencanakan dan sekaligus bertindak sesuai dengan hati nuraninya[22] yang dilandasi pada nilai-nilai
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah[23]:
a. Hukum dalam arti ketentuan penguasa: hukum diartikan sebagai perangkt peraturan yang dibuat oleh
b. Hukum dalam arti petugas: hukum dideskripsikan dlam wujud petugas yang berseragam yang bertugas
menegakan hukum
c. Hukum dalam arti sikap tindak: hukum di gambarkan sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur.
Misalnya: A sewa kamar dari B, dengan kewajiban setiap bulan A membayar uang sewa. Maka secara teratur
d. Hukum dalam arti system kaedah: hukum digambarkan sebagai perilaku masyarakat yang menuruti norma
atau kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Apabila tidak menaatinya maka dianggap sebagai perilaku yang
menyimpang.
Menurut Jack Donelly[24], hak asasi manusia itu melakat pada kodrat manusia sendiri. Oleh karena itu
2) landasan yang kedua dan yang lebih dalam : Tuhan menciptakan manusia, yang menghendakinya
Hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada kodrat manusia, yang berarti hak-hak yang lahir bersama
dengan eksistensi manusia dan merupakan konsekuensi hakiki kodratnya, maka sifatnya universal. Hak asasi
manusia secara umum dapat diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tampil dengannya,
Sementara itu, pengertian hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah
“ Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia “.
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang
berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti
menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan
lain sebagainya.
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini
masing-masing
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata
hukum.
f. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
2. Fakta Empiris
3. Demokrasi
a. Hukum dalam arti ketentuan penguasa: hukum diartikan sebagai perangkt peraturan yang dibuat oleh
b. Hukum dalam arti petugas: hukum dideskripsikan dlam wujud petugas yang berseragam
c. Hukum dalam arti sikap tindak: hukum di gambarkan sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur.
Misalnya: A sewa kamar dari B, dengan kewajiban setiap bulan A membayar uang sewa. Maka secara teratur
d. Hukum dalam arti system kaedah: hukum digambarkan sebagai perilaku masyarakat yang menuruti norma
atau kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Apabila tidak menaatinya maka dianggap sebagai perilaku yang
menyimpang.
Maka dapat diketahui bahwa hukum merupakan suatu system yang terdiri dari:
a. Struktur, yang terkait dengan sarana penegak hukum, dalam hal ini institusi hukum
b. Substansi, yang terkait dengan apa saja yang dihassilkan oleh institusi hukum, serta
c. Kultur, yang terkait dengan perilaku masyarakat maupun aparatur penegak hukumnya.
Dengan demikian, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, materi yang diatur oleh
penyakit hukum, yaitu penyakit yang diderita oleh hukum sehingga hukum tidak dapat melaksanakan
fungsinya. Penyakit hukum dapat menyerang struktur, substansi atau kultur hukumnya, yang merupakan suatu
a. Struktur hukum
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti
Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
b. Substansi hukum
Terkait dengan substansi hukum, maka persoalan yang berhubungan dengan substansi hukum adalah
mengenai norma, peraturan maupun undang-undang yang tidak bisa mengakomodasi berbagai kepentingan
masyarakat.
c. Kultur hukum
Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran
nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah
iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Sementara itu, Soerjono Soekanto menterjemahkan budaya hukum sebagai nilai-nilai dasar bagi berlakunya
hukum, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, biasanya merupakan pasangan nila-nilai yang mencerminkan dua keadaan
semua boleh diatur karena yang mengatur bukan lagi hukum itu sendiri tetapi kekuasaan dan harta. Ini akibat
frustasinya para pencari keadilan di meja hijau yang harus kandas dan kalah akibat putusan pengadilan yang
Hal tersebut membuat secara individu, seseorang gampang mencurigai seorang yang lain, gampang
berperilaku seenaknya seolah-olah tidak ada aturan yang dapat dijadikan pegangan dan kebenaran sudah
dianggap mati. Secara komunal, prinsip kehidupan komunal yang bersifat anarkisme semakin berkembang.
Hal ini ditandai dengan persoalan individu dianggap sebagai persoalan kelompok yang melahirkan konflik antar
kelompok. Sementara itu, pada tataran institusional terlihat dari lemahnya lembaga-lembaga hukum dalam
Berbagai perilaku tersebut, tidak hanya menimbulkan kecendrungan terhadap terjadinya pelanggaran hukum,
akan tetapi juga dapat berdampak terhadap pelanggaran HAM. Dimana, akibat sentimen kelompok, maka
persoalan pribadi bisa berkembang menjadi persoalan kelompok yang pada akhirnya dapat melanggar HAM
kelompok yang lain. Misalnya; adanya intimidasi dari kelompok-kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas.
dan hukum masih menjadi persoalan yang serius. Dimana, proses penegakan hukum dan penyelenggaraan
pemerintahan masih kental dengan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Artinya bagi masyarakat
yang tidak memiliki kenalan atau uang dalam proses penegakan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan,
maka pelayanan yang dirasakan masih jauh dari harapan. Sementara itu, bagi yang memiliki kenalan atau
Perilaku tersebut bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
Lebih lanjut dalam Terkait dengan diskriminasi, maka didalam Pasal 1 angka 3 UU No 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
Dengan demikian, Negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan
menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Perilaku tidak adil dan
diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal
(dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya), maupun yang dilakukan secara
Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan
hukum. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi
dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi
wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum
menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa di atas moralitas dan kepribadian masyarakat.
Keterpurukan hukum di Indonesia di sebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai
disorientasi gerakan dan tujuan. Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi
1) Struktur
Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi pembuat dan penegakan
hukum[30], seperti DPR, Eksekutif, Legislatif, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Terkait dengan ini, maka
perlu dilakukan seleksi yang objektif dan transparan terhadap aparatur penegakan hukum.
Selain itu, keanggotaan lembaga pembuat produk peraturan perundang-undangan juga perlu mendapat
perhatian dalam proses pemilihannya, sehingga kualitasnya dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas
2) Substansi
Substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan,
aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang
Selain itu, substansi suatu peraturan perundang-undangan juga dipengaruhi sejauh mana peran serta atau
partisispasi masyarakat dalam merumuskan berbagai kepentingannya untuk dapat diatur lebuh lanjut dalam
Partisipasi berarti ada peran serta atau keikutsertaan (mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi)
masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi
memungkinkan substansi dari suatu undang-undang berasal dari pemikiran atau ide yang berkembang didalam
masyarakat yang akan digulirkan masuk kedalam lembaga atau badan legislatif, dan didalam lembaga inilah
pemikiran atau ide tersebut kemudian dirumuskan untuk dijadikan sebagai undang-undang[33].
3) Kultur
Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan
mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana
pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalahgunakan[34].
Untuk itu diperlukan membentuk suatu karakter masyarakat yang baik agar dapat melaksanakan prinsip-prinsip
maupun nilai-nilai yang terkandung didalam suatu peraturan perundang-undangan (norma hukum). Terkait
dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-norma lain diluar norma hukum menjadi salah satu alternatif
untuk menunjang imeplementasinya norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya,
pemanfaatan norma agama dan norma moral dalam melakukan seleksi terhadap para penegak hukum, agar
dapat melahirkan aparatur penegak hukum yang melindungi kepentingan rakyat, maupun sebagai norma
Secara umum, jika ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum perlu diperbaiki secara
keseluruhan dan diisi oleh komponen yang benar-benar ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari
Selain persoalan system hokum yang harus diperbaiki, maka kesadaran hokum juga memiliki peranan dalam
proses penegakan hokum dan HAM. Menurut Krabe hukum tidak bergantung pada kehendak manusia, tapi
telah ada pada kesadaran hukum setiap orang. Kesadaran hukum tidak datang, apalagi dipaksakan dari luar,
melainkan dirasakan setiap orang dalam dirinya. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya hukum dan
HAM dari setiap masyarakat diperlukan untuk mendukung efektifitas hukum dan HAM.
6. Kesimpulan
Sebagai suatu Negara hukum maka sudah selayaknya Indonesia menghormati dan menerapkan prinsip-prinsip
Negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah banyak
terjadi diskriminasi dalam penerapan prinsip-prinsip Negara hukum yang dilakukan oleh para aparat
penegakkan hukum, hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum,
dan dari tumpukan kekecewaan tersebut, memunculkan sikap main hakim sendiri di dalam masyarakat dalam
mewujudkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum memegang
peranan yang penting dalam menumbuhkan kesadaran berhukum dalam masyarakat sekaligus menegakkan
prinsip-prinsip Negara hukum. Untuk itu, salah satu factor yang perlu mendapat perhatian serius dalam
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum melalui kinerja aparat penegak hukum
adalah, perlu adanya pembaharuan perilaku dan moral para petugas penegak hukum dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya dalam menegakkan hukum tanpa adanya diskriminasi, selain itu, peningkatan
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi, 25 April 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato
Agussalim Andi Adjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence):
Achmad Ali, Rangkuman Karya Pilihan dalam rangka 50 Tahun Usia, tidak dipublikasikan
Anthonius Cahyadi dan fernando Manullang, 2010, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta
Aswanto, Penegakan Hak asasi Manusia sebagai Perwujudan Demokrasi, makalah, disampaikan
pada Seminar/Sosialisasi Demokrasi, Hukum dan Ham bagi Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat,
Pengurus Parpol, Ormas dan LSM Provinsi Sulawesi Selatan, diselenggarakan oleh Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan, pada tgl 31 Oktober 2007, di Hotel Grand Palace Makassar,
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan HAM, 2003, Universitas
Atmajaya, Yogyakarta
Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi
Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial review, UII Press, Yogyakarta
Philipus M. Hadjon, 1994, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Makalah,
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing,
Yogyakarta
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Malang http://cahwatuaji.blogspot.com/2009/01/keterpurukan-hukum-di-indonesia.html
Ruslan H. Husen, Masyarakat dan Sistem Hukum
Indonesia, <http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-
indonesia-oleh-ruslan-h-husen-sh/>
http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-
ruslan-h-husen-sh/
http://organisasi.org/pengertian_macam_dan_jenis_hak_asasi_manusia_ham_yang_berlaku_umum_g
lobalpelajaran_ilmu_ppkn_pmp_indonesia
[1] Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial review, UII Press, Yogyakarta, hl. 1
[2] Ibid
[3] Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,Alumni,
Bandung,
[4] Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta,
hl. 1-2
[5]http://cahwatuaji.blogspot.com/2009/01/keterpurukan-hukum-di-indonesia.html
[6] Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, hl. 1
[7]B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan HAM, 2003, Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, hlm 12
[8] A. Hamid S. Attamimi, 25 April 1992, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan
[9] Philipus M. Hadjon, 1994, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah,
, hl. 4.
[10] Agussalim Andi Adjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, hl. 25
[11] Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum-Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hl. 3
[12]http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-ruslan-h-
husen-sh/
[13]Sudikno Mertokusumo,Op.cit, hl. 5
[16]Ibid, hl. 12
[19] Sukarno Aburaera dkk, 2009, Filsafat Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hl. 32
[20] Dalam Anthonius Cahyadi dan fernando Manullang, 2010, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana,
Jakarta, hl. 35
[22] Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing,
Yogyakarta, hl. 73
[23] Soedjono Dirdjosisworo, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hl. 25-36
[24] Dalam Aswanto, Penegakan Hak asasi Manusia sebagai Perwujudan Demokrasi, makalah, disampaikan
pada Seminar/Sosialisasi Demokrasi, Hukum dan Ham bagi Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pengurus
Parpol, Ormas dan LSM Provinsi Sulawesi Selatan, diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, pada tgl 31 Oktober 2007, di Hotel Grand Palace Makassar, hl. 3
[25]http://organisasi.org/pengertian_macam_dan_jenis_hak_asasi_manusia_ham_yang_berlaku_umum_global
pelajaran_ilmu_ppkn_pmp_indonesia
[26] Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk
[27] Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Indonesia, <http://septysabrina.student.umm.ac.id/2010/01/30/masyarakat-dan-sistem-hukum-indonesia-oleh-
ruslan-h-husen-sh/>
[29] Achmad Ali, Rangkuman Karya Pilihan dalam rangka 50 Tahun Usia, tidak dipublikasikan, hl. 39
[31] Ibid
[32] Jazim Hamidi dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka
[33] Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hl. 62