Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Temporomandibular Joints (TMJ) belum banyak dikenal oleh orang awam,
padahal apabila sendi ini terganggu dapat memberi dampak yang cukup besar pada
kualitas hidup seseorang. Pada tulang tengkorak normal manusia terdapat 2 sendi
TMJ yang menghubungkan tulang tengkorak (bagian termporal) dengan tulang rahang
bawah (mandibular) sehingga dapat bergerak untuk membuka dan menutup mulut
serta mengunyah makanan (Medscape). Sendi ini terbentuk dari kondilus tulang
mandibular dan squamous portion dari tulang temporal.
Selama proses pengunyahan, sendi temporomandibula menopang tekanan yang
cukup besar. Oleh karena itu, sendi temporomandibula mempunyai diskus artikularis
untuk menjaga agar kranium dan mandibula tidak bergesekan. Sendi
tempromandibula mempunyai peranan penting dalam fungsi fisiologis dalam tubuh
manusia. Identifikasi anatomi maupun radioanatomi dari struktur persendian ini
merupakan suatu hal yang sebaiknya dapat dipahami secara baik.
Temporomandibular joint (TMJ) disorder atau yang sekarang lebih dikenal
dengan Temporomandibular Disorder (TMD) adalah suatu gangguan yang sering
ditemukan dalam praktek dokter gigi sehari-hari. Penderita dengan gangguan ini akan
merasa tidak nyaman walaupun gangguan ini jarang disertai dengan rasa sakit yang
hebat. Penyakit ini sering dijumpai pada sebagian besar orang dewasa, sepertiga orang
dewasa melaporkan adanya satu atau lebih tanda-tanda dari gangguan pada daerah
TMJ yang meliputi rasa sakit pada rahang, leher, sakit kepala dan bunyi “klick” pada
sendi mandibula.
Temporomandibular joint (TMJ) disorder ada beberapa jenis yaitu diantaranya
ankilosis, dislokasi mandibula, hiperplasia kondilus, hipoplasia kondilus, dan fraktur
kondilus. Untuk menegakan diagnosis kelainan pada Temporomandibular joint
diperluan pemeriksaan Roentgen, Computed Tomography (CT), dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pencitraan diagnostik tidak hanya penting
dalam menegakan diagnostik suatu kelainan Temporomandibular joint (TMJ), tetapi
dapat merekan proses patologi penyakit. Hal ini menjadi dasar untuk mengikuti hasil
proses pengobatan serta menentukan penatalaksanaan berikutnya pada pasien.

1
Berdasarkan hal tersebut dan banyaknya kasus TMD di Indonesia dan
pentingnya pencitraan dalam menentukan kelainan pada sendi temporomadibula
(TMJ), oleh karena itu selanjutnya akan dibahas mengenai kelainan pada TMJ atau
Temporomandibular Disorder (TMD).
1.2.Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai Temporomandibular Disorder (TMD). Adapun
tujuan secara khususnya adalah untuk mengetahui gambaran radiologi yang khas pada
TMD.

2
BAB 2
ISI

2.1. Anatomi Temporomandibular Joint (TMJ)


Temporomandibular joint (TMJ) adalah persendian yang menghubungkan
condylus dari mandibula dengan dengan bagian-bagian squamous dari tulang
temporal. Condylus berbentuk elips dengan sumbu memanjang arah mesiolateral
(gambar 2.1 dan 2.2).

Gambar 2.1 Tampak Bawah dan Tampak Atas Anatomi Condylus


Sumber: Snell S Richard.2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed.6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal 730-740

Gambar 2.2 Tampak Lateral Anatomi TMJ


Sumber: http://teachmeanatomy.info/head/joints/temporomandibular/

3
Sendi pada tulang temporal tersusun dari articular fossa yang berbentuk konkaf
dan articular eminence yang berbentuk konveks (gambar 2.3)

Gambar 2.3 Sendi Tulang Temporal


Sumber: Snell S Richard.2006.Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed.6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal 742-745

2.2. Temporomandibular Disorder (TMD)

Tengkorak normal manusia memiliki dua sendi Temporomandibular (TMJs)


yang menghubungkan tulang tengkorak (temporal) dengan tulang rahang bawah
(mandibular) yang dapat membuat mulut untuk membuka dan menutup. Pergerakan
TMJ dilakukan oleh otot-otot mastikasi (m. masseter, m. pterigoideus medial dan
lateral, dan m. temporalis). Otot-otot tersebut berasal dari arkus faringeus pertama dan
diinervasi oleh cabang ketiga nervus trigeminal, nervus mandibularis yang berperan
utama mengunyah makanan dengan menutup mulut dan menggerakkan gigi (Rios &
Berman, 2017).

 Definisi
Temporomandibular disorder(s) (TMD) atau temporomandibular joint
syndrome merupakan suatu kelainan pada sendi TMJ maupun jaringan sekitarnya.
Penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan keterbatasan fungsi pada TMJ. TMD
adalah penyebab terbanyak nyeri di bagian wajah setelah sakit gigi. Seiring dengan
perkembangan penelitian mengenai penyakit ini, istilah penyakit TMJ atau sindroma
TMJ diganti dengan Temporomandibular Disorder (TMD) (Rios & Berman, 2017).
Berdasarkan American Academy of Orofacial Pain (AAOP) mengklasifikasi TMD
secara luas menjadi 2 sindrom:
 TMD terkait otot (myogenous TMD), terkadang disebut TMD sekunder akibat
nyeri dan disfungsi miofasial.

4
 TMD terkait sendi (arthrogenous TMD), atau TMD sekunder terhadap
penyakit artrikular.
Dari beberapa kasus, kedua jenis ini sering muncul bersamaan pada satu pasien,
sehingga untuk diagnosis dan penatalaksanaan lebih rumit. Selain itu, karena anatomi
mandibular, disfungsi satu sendi dapat mempengaruhi sendi kontralateral, sehingga
gejala bilateral sering terjadi (Rios & Berman, 2017).
Myogenous TMD sering terjadi. Pada hasil radiologinya tidak memiliki
gambaran kelainan pada sendi temporomandibula. Pada TMD yang berasal dari sendi
(arthrogenous TMD) secara spesifik selanjutnya disebut diskus displacement atau
dislokasi diskus, dislokasi rekuren kronik, kondisi arthritis sistemik, ankylosis,
infeksi, dan neoplasia. Paling banyak dijumpai dari beberapa kondisi tersebut adalah
dislokasi diskus atau displacement disorder yang terbadi menjadi dua subtipe yaitu
anterior displacement with reduction dan anterior displacement without reduction
(Rios & Berman, 2017).

 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 5-10% didiagnosis dengan TMD. Dari beberapa penelitian,
wanita muda dengan usia antara 19-23 tahun dengan nyeri pada wajah dan gejala-
gejala pada TMJ berhubungan dengan angka kejadian TMD pada sebagian besar ras
kulit putih dan gejala-gejala tersebut terjadi pada onset awal. TMD paling banyak
dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 4:1 serta insiden terbanyak pada
rentang usia 20-40 tahun (Rios & Berman, 2017).

 Etiologi
 Myogenous TMD (disfungsi dan nyeri myofascial)
o Etiologinya multifaktorial termasuk maloklusi, mengepalkan rahang,
bruxism, personality disorder, sensitivitas nyeri yang meningkat,
stress, dan ansietas yang mana pada pasien dapat ditemukan lebih dari
satu faktor.
o Faktor neuropsikiatrik
o Banyak pasien disertai skala tinggi obsesif-kompulsif
 Arthrogenous TMD
o Penyebab arthrogenous TMD paling sering ialah displacement diskus

5
o Penyakit lain seperti penyakit degeneratif sendi, rheumatoid artritis,
ankilosis, dislokasi, infeksi, neoplasma, dan kelainan kongenital (Rios
& Berman, 2017).

 Patofisiologi
Pada myogenous TMD penyebab paling umum pada gejalanya (nyeri, nyeri
tekan, dan spasme otot-otot mastikasi) adalah hiperaktifias muskular dan disfungsi
lainnya seperti maloklusi berbagai derajat. Pada TMD yang berasal dari sendi
(arthrogenous TMD), adanya dislokasi diskus menjadi penyebab tersering. Dislokasi
diskus anterior dan interposisi posterior di antara kondilus dan eminens menyebabkan
nyeri, bunyi ‘pops’ dan krepitus. Jika bagian bagian posterior terdislokasi ke arah
anterior, maka akan menimbulkan sensasi nyeri ketika membuka dan menutup mulut
serta akan terdengar bunyi ‘clicks’ dan ‘pops’ dan hal tersebut dislokasi anterior
dengan reduksi. apabila hal tersebut terjadi secara terus-menerus maka akan dapat
terjadi dislokasi anterior tanpa adanya reduksi. Ketika dalam kondisi tersebut, gejala
yang ditemukan adalah pasien tidak dapat membuka mulutnya dengan sempurna dan
jaraknya kurang dari 25 mm. Rahang biasanya akan menyimpang ke sisi yang sakit.
Ketidakmampuan rahang untuk membuka lebih dari 10 mm dikenal dengan closed
lock (Rios & Berman, 2017).
Penyebab lain dari arthrogenous TMD adalah penyakit sendi degeneratif seperti
rematoid artritis, ankilosis, infeksi, dan neoplasia. Salah satu penelitian
mengemukakan bahwa pada psien dengan penyakit inflamasi jaringan ikat kronik,
nyeri pergerakan mandibular dan nyerti tekan pada palpasi di daerah posterior dari
sendi temporomandibula berhubungan dengan jumlah TNF- di cairan sinovial. Dari
studi lainnya, IL-1 antagonis dan sIL-1RII (soluble IL-1 receptor II) pada cairan sendi
dan plasma darah dari pasien dengan keterlibatan TMJ dari poliartriitis tampaknya
mempengaruhi peradangan pada TMJ (Rios & Berman, 2017).

 Penegakkan diagnosis
 Anamnesis
o Pasien kemungkinan memiliki riwayat penggunaan komputer yang
sering (Perri, Huta, Pinchuk, Pinchuk, Ostry, & Lund, 2008).
o 1/3 pasien memiliki riwayat masalah psikiatrik

6
o Pasien kemungkinan memiliki riwayat trauma fasial, perawatan gigi
yang buruk, dan atau stress emosional.
o Pasien dengan gangguan makan kronis
o Banyak pasien dengan TMD juga memiliki nyeri di bagian leher dan
atau bahu.
o Riwayat mengertakkan gigi (Rossetti, Pereira, Rossetti, & Conti, 2008)
o Adanya hubungan positif antara wanita usia muda (<30 tahun) dengan
riwayat merokok, meskipun kondisi ini mungkin berhubungan dengan
faktor lainnya (tingkat stress)
o Pasien mungkin mengeluhkan beberapa gejala antara lain (Sanders,
Maixner, Nackley, Diatchenko, By , & Miller V, 2012):
 Nyeri: biasanya nyeri periaurikular, berhubungan dengan
pengunyahan, dapat menjalar ke kepala tetapi berbeda dengan
nyeri kepala. Dapat ditemukan nyeri dan disfungsi miofasial
unilateral maupun bilateral, pada TMD yang berasal dari sendi
biasanya unilateral terkecuali pada artritis rematoid. Nyeri
biasanya di deskripsikan dengan nyeri hebat dengan nyeri
tajam yang intermiten dengan pergerakan rahang.
 Click, pop, dan snap: Bunyi ini biasanya disertai dengan nyeri
pada sendi temporomandibula. Bunyi ‘click’ yang disertai
dengan nyeri terjadi ketika adanya dislokasi diskus anterior
dengan reduksi.
 Terbatas dalam membuka rahang dan terjadi locking episodes
 Nyeri kepala: nyeri kepala tidak selalu terjadi tetapi dapat
terjadi akibat nyeri pada TMJ. TMD yang melibatkan nyeri otot
menjadi predisposisi migraine dan sakit kepala kronis (Graff-
Radford & Abbott, 2016). Beberapa pasien mungkin memiliki
riwayat sakit kepala yang resisten terhadap pengobatan, oleh
karena itu hal tersebut tidak dapat diabaikan (Smith, Mir, Bair,
Slade, Dubner, & Fillingim, 2013).
 Gejala lainnya dapat berupa nyeri pada telinga, penurunan
ketajaman pendengaran, dan tinnitus (Toledo, Stefani,
Porporatti, Mezzomo, Peres, & Flores-Mir, 2016).

7
 Pemeriksaan fisik
o Postur kepala ke depan (ini mungkin menunjukkan terjadinya dislokasi
kondilus ke posterior)
o Maloklusi rahang, keausan gigi yang abnormal, dan keadaan gigi yang
buruk
o Adanya spasme otot leher ipsilateral
o Joint range of motion: pemeriksa dapat mengevaluasi pembukaan dan
penutupan rahang serta deviasi lateral secara bilateral. Rentang gerak
normal untuk pembukaan adalah 5 cm dan gerakan mandibular lateral
biasanya 1 cm. pasien dengan TMD biasanya terjadi keterbatasan
dalam hal tersebut.
o Palpasi: TMJ paling baik dipalpasi secara lateral dengan menekan di
bawah arkus zigomatikus 1-2 cmn dari tragus.sendi harus dipalpasi
ketika membuka dan menutup mulut dan juga lateral maupun
posterior. Pada saat palpasi, pemeriksan juga memeriksa apakah
terdapat spasme otot, nyeri tekan pada otot maupun sendi, maupun
suara ketika di palpasi (Rios & Berman, 2017).
 Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium
Jika dicurigai terdapat penyakit sistemik menjadi penyebab
terjadinya TMD pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan.
Pemeriksaan darah untuk melihat adanya kecurigaan infeksi. Jika
dicurigai adanya rematoid artritis, artritis temporal, gangguan jaringan
ikat maka dapat diperiksa antibodi spesifik terhadap Rheumatoid
factor, ESR, dan antimuclear antibody (ANA). Asam urat harus
diperiksa pada kecurigaan adanya gout. Pseudogout juga ditemukan
terdapat pada TMJ. Arthrocentesis dilakkan untuk melihat adanya
Kristal spesifik (Rios & Berman, 2017).
o Pemeriksaan Imaging
Gambaran radiologi pada TMJ bergantung pada etiologi dari
temporomandibular disorder (TMD). Pada kasus artritis rheumatoid
dan spondiloartropati, foto polos menunjukkan gambaran erosi,
osteofit, sclerosis tulang subkondral, dan remodeling condylar-glenoid.
Ultrasonografi beresolusi tinggi memungkinkan untuk melihat elemen-

8
elemen morfologi, diskus artikular, kondilus mandibular, dan otot
pterigoid lateral. Hal ini berguna dalam evaluasi gangguan internal
TMJ. CT dapat melihat baik dari struktur tulang dan jaringan lunak
ataup otot. Cone beam computed tomography (CBCT) secara khusus
dapat membantu mendiagnosis osteoarthritis, rematoid artritis,
kondromatosis sinovial, dan neoplasma (Rios & Berman, 2017).
MRI harus dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang apabila
dicurigai adanya kelainan artikular atau meniscus dan prosedur
endoskopi atau pembedahan dipertimbangkan pada kasus TMD
traumatis (Rios & Berman, 2017).

Gambar 2.4 Dislokasi diskus anterior


Sumber: https://radiopaedia.org/articles/temporomandibular-joint-
dysfunction#image_list_item_21133

o Pemeriksaan lainnya
Artroskopi diagnostik adalah pendekatan diagnostik invasif dan
harus digunakan terutama pada pasien yang menderita gangguan
internal TMJ yang tidak sesuai dengan tindakan konservatif. MRI
disarankan dilakukan sebelum artroskopi (Rios & Berman, 2017).

 Penatalaksanaan
Kebanyakan temporomandibular disorder (TMD) dapat sembuh sendiri dan
tidak bertambah buruk. Terapi sederhana seperti perawatan diri, rehabilitasi pada
pasien spasme otot, dan memulihkan koordinasi dengan benar. Nonsteroidal anti-

9
inflammatory analgesics (NSAID) semestinya diberikan dalam jangka waktu pendek
(Gauer & Semidey, 2015).
Di sisi lain, pengobatan TMD kronik dapat menjadi hal yang sulit dan kondisi
terbaik dilakukan dengan kerjasama tim yang terdiri dari dokter perawatan primer,
fisioterapi, psikologis, farmakologis, dan pada kasus yang jarang juga melibatkan
dokter bedah.
 Medikamentosa
Obat yang biasa digunakan meliputi NSAID, relaksan otot, antidepresan
trisiklik. Baru-baru ini juga digunakan injeksi toksin botulinum dalam
beberapa kasus sebagai tambahan untuk antrosentesis (Borodic & Acquadro,
2002; Kurtoglu, Gur O, Kurkcu, Sertdemir, Guler-Uysal, & Uysal H, 2008).
Ibuprofen dan naproksen adalah obat golongan NSAID yang biasanya
digunakan. Obat tersebut bekerja paling baik bila diberikan secara teratur
untuk jangka waktu 2-4 minggu bertahan dengan tanpa basis prn. Obat
nakotika diberikan pada pasien nyeri akut yang parah dengan dosis yang
sedikit (Rios & Berman, 2017).
Antidepresan trisiklik dosis rendah dapat digunakan secara efektif untuk
jangkan panjang pada kondisi nyeri yang kronik. Obat tersebut bekerja
menginhibisi penjalaran nyeri dan juga mungkin mengurangi buxism pada
malam hari. Amitriptyline dan nortriptilyne dalam dosis rendah adalah
antidepresan trisiklik yang paling umum digunakan untuk kondisi nyeri kronis
(Rios & Berman, 2017).
Relaksan otot yang biasa digunakan adalah diazepam, methicarbamol,
dan cyclobenzaprine. Pada awal penggunaan dosis rendah merupakan dosis
yang efektif. Efek sampingnya ialah sedasi, depresi dan kecanduan.
Toksin botulinum digunakan baik sebagai pengobatan tunggal dan
bersamaan dengan antrosentesis. Akan tetapi studi penggunaan obat ini pada
TMD masih jarang dilakukan (Schwartz & Freund, 2002).
 Occlusal Splints
Berbagai jenis splints dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu
anterior repositional splints dan autorepositional splints. Autorepositional
splints juga dikenal sebagai muscle splints. Hal tersebut paling sering
digunakan. Beberapa pasien (sekitar 70-90%) rasa sakitnya menghilang ketika
menggunakan splints. Dalam kasus akut, splints bisa dipakai 24 jam selama

10
beberapa bulan dan apabila kondisinya memungkinkan, dapat dikenakan pada
malam hari saja (Rios & Berman, 2017).
 Injeksi asam hialuronat
Salah satu penelitian baru-baru ini meneliti efektivitas injeksi asam
hialuronat dalam berbagai bentuk osteoartritis dan mereka juga sampai pada
kesimpulan bahwa keefektifannya patut dipertanyakan dan tidak lebih unggul
dari injeksi kortikosteroid intra-artikular (Rios & Berman, 2017).
 Pembedahan
Penatalaksanaan TMD kronik sulit dilakukan dan kemungkinan besar
akan dilakukan penatalaksanaan berupa pembedahan (Rios & Berman, 2017).
o Anthrocentesis
Hal ini dilakukan dengan cara menggunakan jarum 22-G yang
dimasukkan secara perlahan pada ruang sendi superior dan sejumlah
kecil saline diinjeksikan untuk menyempitkan ruang sendi, setelah itu
cairan ditarik kembali dan dievaluasi. Sendi kemudian di distensikan
kembali dan jarum kedua ditempatkan di ruang sendi yang sama untuk
bilas sendi. Dapat diberikan steroid dan atau anastesi lokal pada akhir
prosedur. Pembilasan sederharna pada kompartemen atas TMJ
menggunakan arthrocentesis sangat efektif pada pasien inkoordinasi
kondilomeniskal yang menghasilkan hasil yang sebanding dengan
prosedur arthroskopi (Rios & Berman, 2017).
o Bedah artroskopi
Indikasi prosedur ini meliputi gangguan internal, adesi, fibrosis,
dan penyakit sendi degeneratif. Salah satu penelitian retrospektif
jangka pendek menyatakan bahwa prosedur ini merupakan metode
yang aman, minimal invasif, dan metode penatalaksanaan yang efektif
dengan 80% pasien melaporkan berkurangnya rasa sakit dan
meningkatnya ROM (range of motion) (Rigon, Pereira, & Bortoluzzi,
2011). Pada TMJ akut yang terkunci, dari 301 kasus, 5 pasien
menunjukkan komplikasi, 3 di antaranya ialah cedera saraf kranial ke
V dan 2 mengenai saraf ke VII.
o Pembedahan terbuka (Open Surgery)
Pembedahan ini adalah pilihan utama pada tahun 1970an dan
1980an dan prosedur yang paling umum ialah reposisi diskus. Pada

11
beberapa kasus dengan kerusakan diskus yang parah, prosedur yang
dilakukan ialah perbaikan dan penggantian diskus dengan bahan
buatan atau autogenous. Sebuah penelitian menemukan bahwa
menunjukkan hasil yang baik sekitar 70%. Indikasi utama meliouti
TMD tidak merespon pada seluh penatalaksanaan yang lainnya dan
subdislokasi kronik pada satu atau kedua TMJ (Rios & Berman, 2017).

12
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Tn X
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Keluhan Utama
Tidak bisa menutup kembali mulutnya setelah membuka mulut lebar ketika
menguap
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan seorang pria hispanik 24 tahun, dibawa ke IGD
dengan keluhan tidak bisa menutup kembali mulutnya setelah membuka mulut
lebar ketika menguap dan disertai nyeri pada rahang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, pasien
memiliki gangguan kejiwaan dan tidak ada perubahan dalam mengkonsumsi
dosis haloperidol, tidak ada riwayat trauma wajah, bunyi “klik” pada rahang,
dislokasi dan kelainan TMJ lainnya.

2.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan, mulut pasien ketika terbuka lebar secara simetris
dengan mandibula bawahnya menonjol ke depan. Pada palpasi, ada nyeri
tekan ringan pada ramus mandibula kiri dan temporomandibular joint (TMJ)
tanpa depresi periaurikular yang signifikan. Pasien bisa berkomunikasi dengan
ucapan yang kurang jelas dan meneteskan air liur dengan rahangnya tetap
terbuka.

13
2.3 Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi :
o Foto Polos mandibula (left lateral view). Tanda panah menunjukkan
kondilus mandibula.

o CT Scan menunjukkan bagian kodilus bilateral (anak panah) anterior


terhadap fossa glenoid.

2.4 Diagnosis Kerja


dislokasi TMJ anterior bilateral
2.5 Penataklasanaan
Diphenhidramine 25 mg iv
Midazolam 2 mg iv

14
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Temporomandibular disorder(s) (TMD) atau temporomandibular joint
syndrome merupakan suatu kelainan pada sendi TMJ maupun jaringan
sekitarnya. Penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan keterbatasan
fungsi pada TMJ
2. Berdasarkan American Academy of Orofacial Pain (AAOP)
mengklasifikasi TMD secara luas menjadi 2 sindrom yaitu myogenous
TMD dan arthrogenous TMD.
3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah salah satunya
pemeriksaan radiologis yaitu foto polos, CT Scan, dan MRI.
4. Penatalaksanaan TMD dapat berupa obat-obatan maupun pembedahan.

4.2 Saran
Bagi klinisi penting untuk mengenal dan mengajukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan radiologis apabila menemukan tanda dan
gejala TMD terutama pada keadaan akut agar tidak terjadi perjalanan
penyakit yang kronik sehingga perlu penatalaksanaan yang lebih rumit
berupa pembedahan.

15
BAB 5
DAFTAR PUSTAKA

1. Rios, J., & Berman, S. A. (2017, Februari 22). Temporomandibular Disorder.


Retrieved Oktober 17, 2017, from Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/1143410-overview

Perri, R., Huta, V., Pinchuk, L., Pinchuk, C., Ostry, D. J., & Lund, J. P. (2008,
September). Initial Investigation of the relation between extended computer
use and temporomandibular joint disorders. Journal Canadian Dental
Association , 74(7):643.

Rossetti, L. M., Pereira, A. C., Rossetti, P. H., & Conti, P. C. (2008).


Association between rhythmic masticatory muscle activity during sleep and
masticatory myofascial pain: a polysomnographic study. Journal Orofacial
Pain , 22(3):190-200.

Sanders, A. E., Maixner, W., Nackley, A. G., Diatchenko, L., By , K., &
Miller V, E. (2012, Januari). Excess risk of temporomandibular disorder
associated with cigarette smoking in young adults. Journal of Pain , 13(1):21-
31.

Graff-Radford, S. B., & Abbott, J. (2016, Agustus). Temporomandibular


Disorders and Headache. Oral Maxillofac Surg Clin North Am. Oral
Maxillofacial Surgery Cliinical North America , 28 (3):335-49.

Smith, S. B., Mir, E., Bair, E., Slade, G. D., Dubner, R., & Fillingim, R. B.
(2013, Desember). Genetic Variants Associated With Development of TMD
and Its Intermediate Phenotypes: The Genetic Architecture of TMD in the
OPPERA Prospective Cohort Study. Journal of Pain , 14(12 Suppl):T91-
T101.e3.

Toledo, P., Stefani, F. M., Porporatti, A. L., Mezzomo, L. A., Peres, M. A., &
Flores-Mir, C. (2016, Agustus 10). Prevalence of otologic signs and symptoms
in adult patients with temporomandibular disorders: a systematic review and
meta-analysis. Clinical Oral Invastigation .

Gauer, R. L., & Semidey, M. J. (2015, Maret 15). Diagnosis and treatment of
temporomandibular disorders. Am Fam Physician , 91 (6):378-86.

Borodic, G. E., & Acquadro, M. A. (2002, Februari). The use of botulinum


toxin for the treatment of chronic facial pain. Journal of Pain , 3(1):21-7.

Kurtoglu, C., Gur O, H., Kurkcu, M., Sertdemir, Y., Guler-Uysal, F., & Uysal
H. (2008, Agustus). Effect of botulinum toxin-A in myofascial pain patients

16
with or without functional disc displacement. Journal of Oral Maxillofacialis
Surgery .

Schwartz, M., & Freund, B. (2002). Treatment of temporomandibular


disorders with botulinum toxin. Clinical Journal of Pain , 18(6 Suppl):S198-
203.

Rigon, M., Pereira, L. M., & Bortoluzzi, M. C. (2011, Mei 11). Arthroscopy
for temporomandibular disorders. Cochrane Database Syst Rev.

17

Anda mungkin juga menyukai