Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

KOLESISTITIS

Oleh :
MUHAMMIDA FAHRIANA SYAHHAQ
201410330311024
Kelompok 1
ETLS 27.1

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan
kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens
kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya
perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk,
hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita.6
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat
serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan,
nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti
kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula
kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup pasien.6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis
dapat dibagi menjadi: a) Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan
batu kandung empedu yang berada di duktus sistikus. b) Kolesistitis akalkulus,
yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada
kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1

2.2 Etiologi
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak
di duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian
kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus).
Bagaimana statis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih
belum jelas.4
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Kolesistitis
akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat
nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu
di saluran empedu, atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti
demam tifoid dan diabetes melitus.2,3
2.3 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak
di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian
kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus
akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang
menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase
limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan
banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1,2
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau
keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan
dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu,
melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi
mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi
penyebab terbentuknya batu empedu.4 Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis
akalkulus belum jelas, beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme
terjadinya penyakit ini.
Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan
peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih
mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat
demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam
jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya
rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan
pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat,
suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang
berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen.
Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat lambatnya aliran
empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.5 Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al
memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam menyebabkan nekrosis,
perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif,
sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan
respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis
kandung empedu.5

2.4 Manifestasi Klinis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung
empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.6
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis,
kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat
sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar.
Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya
menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).6
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering
ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik,
tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya
tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda
dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.6
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan
keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya
tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke
dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas
sebelumnya.8

2.5 Diagnosis
 Pemeriksaan Fisik
Teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis
lokal (tanda Murphy).
 Laboratorium
 Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu
ekstrahepatik.  Leukositosis
 Peningkatan enzim-enzim hati (SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan
bilirubin)
 Peninggian transaminase dan fosfatase alkali
 Radiologi
 Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat
batu tidak tembus pandang (radioopak) oleh karena mengandung
kalsium cukup banyak.
 Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung
empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak
bermanfaat untuk kolesistitis akut.
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin
dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk,
penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu
ekstrahepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-
95%.
 Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA
atau 99nTc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih
rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran
duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong
kolesistitis akut.
 CT Scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang
mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.
 Kolangiografi transhepatik perkutaneous: Pembedahan gambaran
dengan fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker
pankreas (bila ikterik ada).
 MRI
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil dari pemeriksaan
tertentu. Pemeriksaan USG bisa membantu memperkuat adanya batu empedu
dalam kandung empedu dan bisa menunjukkan penebalan pada dinding kandung
empedu, dan cairan peradangan disekitar empedu. ERCP (endoscopic retrograd
cholangiopancreatography) juga dapat dilakukan untuk melihat anatomi saluran
empedu, sekaligus untuk mengangkat batu apabila memungkinkan.
Diagnosis yang paling akurat diperoleh dari pemeriksaan skintigrafi
hepatobilier, yang memberikan gambaran dari hati, saluran empedu, kandung
empedu dan bagian atas usus halus.
2.6 Penatalaksanaan
Penderita dengan kolesistitis akut pada umumnya dirawat di rumah sakit,
diberikan cairan dan elektrolit intravena dan tidak diperbolehkan makan maupun
minum. Mungkin akan dipasang pipa nasogastrik untuk menjaga agar lambung
tetap kosong sehingga mengurangi rangsangan terhadap kandung empedu.
Antibiotik diberikan sesegera mungkin jika dicurigai kolesistitis akut.
Jika diagnosis sudah pasti dan resikonya kecil, biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengangkat kandung empedu pada hari pertama atau kedua.
Jika penderita memiliki penyakit lainnya yang meningkatkan resiko pembedahan,
operasi ditunda dan dilakukan pengobatan terhadap penyakitnya. Jika serangannya
mereda, kandung empedu bisa diangkat 6 minggu kemudian atau lebih. Jika
terdapat komplikasi (misalnya abses, gangren atau perforasi kandung empedu),
diperlukan pembedahan segera. Sebagian kecil penderita akan merasakan episode
nyeri yang baru atau berulang, yang menyerupai serangan kandung empedu,
meskipun sudah tidak memiliki kandung empedu.
Penyebab terjadinya episode ini tidak diketahui, tetapi mungkin merupakan
akibat dari fungsi sfingter Oddi yang abnormal. Sfingter Oddi adalah lubang yang
mengatur pengaliran empedu ke dalam usus halus. Rasa nyeri ini mungkin terjadi
akibat peningkatan tekanan di dalam saluran yang disebabkan oleh penahanan
aliran empedu atau sekresi pankreas. Untuk melebarkan sfingter Oddi bisa
digunakan endoskopi. Hal ini biasanya akan mengurangi gejala pada penderita yang
memiliki kelainan sfingter, tetapi tidak akan membantu penderita yang hanya
memiliki nyeri tanpa disertai kelainan pada sfingter.

2.7 Diagnosis banding


Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
 Aneurisma aorta abdominal
 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut

2.8 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan 85% kasus, sekalipun kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara
cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati
atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien tua (>75th)
mempunyai prognosis jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi
pasca bedah.
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan penyebabnya,
kolesistitis terbagi menjadi kolesititis kalkulus dan akalkulus. Berdasarkan
onsetnya, terbagi menjadi kolesistitis akut dan kronik. Diagnosis kriteria untuk
kolesititis dapat digunakan berdasarkan Tokyo guidelines. Terapi kolesistitis
meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak, pemberian 10mpyema1010,
pemberian 10mpyema1010c profilaksis, dan terapi pembedahan berupa
kolesistektomi. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah
terjadinya komplikasi kolesistitis seperti 10mpyema10, 10mpyema, emfisema,
perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chiu H, Chen C, Mo L, 2009, Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep ;188(3):325-
6.
2. Kumar V, Cotran R, Robbins S, 2009, Buku Ajar Patologi , Edisi 7. Jakarta : EGC.
3. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al, 2009, Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun 2009;41(6):539-46.
4. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
2009, Buku ajar ilmu penyakit dalam , jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
5. Roe J, 2009, Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute
cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.
6. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi
IV. EGC. Jakarta.
7. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, et al, 2007, Background: Tokyo guidelines for the
management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14;
2007. p. 1-10.
8. Isselbacher K, Braunwald E, Martin J, Fauci A, Kasper D, 2009, Prinsip – Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Editor Bahasa Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC.
Jakarta.
1. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.

Anda mungkin juga menyukai