Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMASI

KOLITIS

Oleh :

Indra Mukti Pratama

12700348

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

SURABAYA

2016

1
KATA PENGANTAR

Rasa puji syukur kami sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena

atas berkat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan

yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas penyakit yang berjudul

“KOLITIS”.

Dalam mengerjakan makalah ini, untuk itu saya ucapkan rasa terima kasih

yang sedalam-dalamnya. Saya sampaikan kepada :

Lusiani Tjandra, SSI,Apt,M.Kes yang telah bersedia memberikan

bimbingan, arahan, tugas, koreksi, dan saran

Demikian makalah ini saya susun dan semoga dapat bermanfaat bagi para

pembaca. Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini banyak ditemukan

kesalahan dan kekurangan, untuk itu saya mohon kritik dan saran guna membangun

dan menyempurnakan makalah ini. Terimakasih.

Surabaya, Juni 2016

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

Judul……………………………………………………………………… 1

Kata Pengantar ……………………………………………………...…… 2

Daftar Isi ………………………………………………………………… 3

Bab I : Pendahuluan……………………………………………………... 4

Bab II : Tentang Penyakit………………………………………………... 6

2.1 Definisi .................……….……………….………………… 6

2.2 Patogenesis ……………………………………….................. 8

2.3 Gejala Klinis…………………………………………………. 9

2.4 Diagnosis…………………………………………………….. 10

2.5 Penatalaksanaan……………………………………………… 11

Bab III : Obat yang Digunakan............................................................... 12

3.1 Sulfasalazine.......................................................................... 12

3.2 Prednison................................................................................ 19

Bab IV : Kesimpulan............................................................................... 24

Daftar Pustaka............................................................................................... 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon.

Berdasarkan penyebab, kolitis dapat dibagi menjadi kolitis infeksi dan noninfeksi.

Kolitis infeksi disebabkan oleh berbagai macam kuman. Kolitis adalah peradangan akut

atau kronik yang mengenai kolon. Kolitis berhubungan dengan enteritis (peradangan

pada intestinal) dan proktitis (peradangan pada rektum). (Oesman, 2007)

Berdasarkan penyebab, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut

(Oesman, 2007) :

1. Kolitis infeksi

1) Kolitis amebik

2) Shigelosis

3) Kolitis tuberkulosa

4) Kolitis pseudomembran

5) Kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli

2. Kolitis non-infeksi

- Inflamatory bowel disease (IBD)

1) Kolitis ulseratif

4
2) penyakit Crohn’s

3) Indeterminate Colitis

Inflammantorry Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan

saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis

besar terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan

kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam katagori Indeterminate Colitis. (Djojoningrat,

2006) Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan

remisinya gejala klinik. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per

100.000 penduduk. (Judge, 2003) Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut

adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini teah dilaporkan terjadi pada setiap

dekade kehidupan. (Glickman, 2000)

Untuk pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi

gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Pengobatan utama untuk kolitis

ulseratif adalah sulfasalazine. Obat ini efektif dalam menginduksi remisi,

mempertahankan remisi pada kolitis ulseratif, dan menghambat inflamasi. (Friedman,

2010)

5
BAB II

TENTANG PENYAKIT KOLITIS ULSERATIF

2.1 Definisi

Kolitis ulseratif merupakan suatu penyakit inflamasi menahun yang mengenai

kolon dan rektum dengan karakteristik eksaserbasi intermiten dan remisi.

(Djojoningrat, 2006) Ulkus terbentuk dari inflamasi yang menyebabkan kematian

jaringan, kemudian menghasilkan darah dan pus. Jika inflamasi mengenai rektum dan

kolon bagian bawah disebut proktitis ulseratif. (Judge, 2003)

Kolitis ulseratif bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya dimulai

antara umur 15-30 tahun. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid

(ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus

besar. Keadaan ini disebut pankolitis. (Judge, 2003)

Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu

penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting Hal ini meliputi

factor familial atau genetic, infeksi imunologik dan psikologik. (Glickman, 2000)

6
1. Faktor familial / genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam.

Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetic terhadap perkembangan

penyakit ini.

2. Faktor infeksi

Sifat radang kronik ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk

kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk menemukan agen

bakteri, jamur atau virus, belum ada yang sedimikian jauh diisolasi.

3. Faktor imunologik

Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep manifestasi

ekstraintestinal yang dapat meyertai kelainan ini (misalnya arthritis, perikolangitis)

dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat tersebut, seperti glukokortikoid

dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.

4. Faktor psikologik

Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim

bahwa penyakit ini pada mulai terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan

adanya stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya.

Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus meiliki kepribadian yang khas

membuat mereka menjadi rentan terhadap stress emosi yang sebaliknya merangsang

gejalanya.

7
5. Faktor lingkungan

Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif

berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara

signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke – 3.

2.2 Patogenesis

Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon

sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam terjadinya

kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif merupakan proses peradangan pada lapisan mukosa

dan submukosa kolon. Atropi mukosa dan abses pada kripta sering ditemukan. Kolitis

ulseratif dapat mengenai rektum, kolon sigmoid, dan seluruh bagian kolon, namun

tidak mengenai intestinal. Pada stadium ringan ditemukan mukosa eritem, edem dan

mengalami granulasi. Pada stadium sedang dan berat kolon tampak mengalami

ulserasi, erosi, friability dan perdarahan spontan. (Djojoningrat, 2006)

Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh

limfosit, makrofag, dan sel – lai, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus

dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung

adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah

bahwa dietary antigen atau gen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi

respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal.

8
Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang

dihasilkan oleh epitel intestinal.

Imun respon cell – mediated juga terlibat dalam pathogenesis kolitis ulseratif.

Ada peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan

IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan

meningkatnya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon

terhadap protein dan antigen T – Cell – dependent. Ada juga peningkatan produksi

sitokin proinflamasi terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Defek sitokin

ini menghasilkan infamasi yang kronis. Sitokin jugaa terlibat dalam penyembuhan

luka dan proses fibrosis. (Yamada, 2005)

2.3 Gejala Klinis

Gejala klinis tergantung derajat inflamasi mukosa dan perluasan kolitis.

Gejala yang sering ditemukan berupa diare berdarah dan kram perut. Proktitis biasa

menyebabkan tenesmus. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid,

tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang

air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel

darah putih. Namun, suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare

hebat, demam tinggi, takikardi, sakit perut, peritonitis dengan lekositosis. Selama

serangan, penderita tampak sangat sakit. Jika ditemukan keadaan ini dipertimbangkan

kolitis fulminan dan toksik megakolon. (Djojoningrat, 2006)

9
2.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan tinja.

Pada stadium ringan biasanya hasil laboratorium yang ditemukan normal. Pada

stadium sedang dan berat, pemeriksaan darah menunjukan adanya :

1) Anemia

2) Peningkatan jumlah sel darah putih

3) Peningkatan laju endap darah

4) Hipoalbuminemia.

Pemeriksaan tinja untuk melihat apakah terdapat sel darah putih pada tinja.

Selain itu, juga dapat mendeteksi perdarahan atau infeksi kolon karena bakteri, virus

dan parasit.

Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) atau kolonoskopi merupakan metode

paling akurat untuk menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Namun untuk keadaaan

akut digunakan sigmoidoskopi untuk mencegah resiko perforasi kolon. Hal ini

memungkinkan dokter untuk secara langsung mengamati beratnya peradangan.

Bahkan selama masa bebas gejalapun, usus jarang terlihat normal.

Sampel jaringan yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukan suatu

peradangan menahun. (Makmun, 2007)

Barium enema dan kolonoskopi bertujuan untuk mengetahui penyebaran

penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker. Peradangan usus besar

10
memiliki banyak penyebab selain kolitis ulseratif. Karena itu, dokter menentukan

apakah peradangan disebabkan oleh infeksi bakteri atau parasit. Sampel tinja yang

diperoleh selama pemeriksaan sigmoidoskopi diperiksa dibawah mikroskop dan

dibiakkan. Sampel darah dianalisa untuk menentukan apakah terdapat infeksi parasit.

Sampel jaringan diambil dari lapisan rektum dan diperiksa dibawah mikroskop.

Diperiksa apakah terdapat penyakit menular seksual pada rektum (seperti gonore,

virus herpes atau infeksi klamidia), terutama pada pria homoseksual. Pada orang tua

dengan aterosklerosis, peradangan bisa disebabkan oleh aliran darah yang buruk ke

usus besar. Kanker usus besar jarang menyebabkan demam atau keluarnya nanah dari

rektum, namun harus difikirkan kanker sebagai kemungkinan penyebab diare

berdarah. (Makmun, 2007)

2.5 Penatalaksanaan

Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi gejala

dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Obat-obatan yang digunakan untuk

kolitis ulseratif, yaitu: (Geboes, 2011)

1) 5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazine digunakan untuk

mengontrol inflamasi.

2) Kortikosteroid, seperti prednison untuk mengurangi inflamasi.

3) Obat-obat untuk mengurangi rasa sakit, diare atau infeksi dapat juga diberikan.

11
BAB III

OBAT YANG DIGUNAKAN

3.1 Sulfasalazine

Sifat Fisiko Kimia

Sulfasalazin merupakan pro-drug, dari proses diazotasi dari sulfapiridin dan

melalui proses penggabungan garam diazonium dengan asam salisilat.

Sulfasalazin berwarna kuning terang atau kuning kecoklatan,praktis tidak

berbau, berupa serbuk mengkilat dengan tingkat kelarutan tidak kurang dari

0.1 mg/mL hingga sekitar 0.34 mg/mL dalam alkohol pada suhu 250C. (Dirjen

POM, 1995)

Rumus Kimia Obat

12
Farmakologi Umum

Sulfasalazine adalah prodrug, yang, tidak aktif dalam bentuk tertelan.

Hal ini diuraikan oleh bakteri dalam usus menjadi asam 5-Aminosalisilat (5-

ASA), dan sulfapyridine. (5-ASA juga dipasarkan sebagai mesalamine

(Lialda, Rowasa, Pentasa, Canasa Apriso, dan Asacol.)

Ketika diberikan secara oral, absorpsinya sangat terbatas disaluran

pencernaan bagian atas karena sifatnya yang polar. Sehingga presentase

sulfasalazine yang mencapai colon cukup besar. Reduksi azo dipengaruhi

karena adanya koloni bakteri anaerob yang mengkonversi sulfasalazine

menjadi 5- ASA.(Graham, 1995)

Farmakodinamik

Sulfasalazine digunakan untuk mengobati beberapa jenis penyakit

radang usus yang disebut kolitis ulseratif. Obat ini tidak menyembuhkan

kondisi ini, tapi membantu gejala penurunan seperti demam, nyeri perut,

diare, dan perdarahan rektum. Setelah serangan diobati, sulfasalazine juga

digunakan untuk meningkatkan jumlah waktu antara serangan. Obat ini

bekerja dengan mengurangi iritasi dan pembengkakan pada penambahan

intestines. Sebagian besar, tablet sulfasalazine digunakan untuk mengobati

rheumatoid arthritis dan digunakan di jenis-jenis arthritis inflamasi (misalnya

psoriasis arthritis), dimana obat ini memiliki efek yang menguntungkan.

13
Sulfasalazine membantu mengurangi nyeri sendi, bengkak, dan kekakuan.

Pengobatan awal dari rheumatoid arthritis dengan sulfasalazine membantu

untuk mengurangi / mencegah kerusakan sendi lebih lanjut sehingga dapat

melakukan lebih dari aktivitas normal sehari-hari. Obat ini digunakan dengan

obat lain, istirahat, dan terapi fisik pada pasien yang tidak menanggapi obat

lain (salisilat, obat anti-inflammatory drugs-NSAIDs). Bagian ini berisi

penggunaan obat ini yang tidak tercantum dalam profesional disetujui.

pelabelan untuk obat tetapi yang mungkin diresepkan oleh dokter. Gunakan

obat ini untuk suatu kondisi yang tercantum dalam bagian ini hanya jika sudah

begitu diresepkan oleh obat perawatan kesehatan professional. Ini juga dapat

digunakan untuk mengobati jenis lain dari penyakit usus yang disebut

penyakit Crohn. Sulfasalazine juga telah berhasil digunakan untuk mengobati

kasus urtikaria idiopatik yang tidak menanggapi antihistamin.

Sulfasalazine dapat menyebabkan penyerapan mengurangi asam folat

dan digoxin (Lanoxin). Penyerapan asam folat dapat menyebabkan

kekurangan asam folat dan mengakibatkan anemia. Obat ini tidak boleh

digunakan dengan obat berikut karena interaksi yang sangat serius mungkin

terjadi: methenamine. Apabila sedang menggunakan obat yang tercantum di

atas, beritahu dokter atau apoteker sebelum memulai dengan sulfasalazine.

Sebelum menggunakan obat ini, beritahu dokter atau apoteker dari semua

resep dan nonprescription / produk herbal dapat menggunakan, khususnya

14
dari: siklosporin, digoksin, asam folat, obat-obatan tertentu yang digunakan

untuk mengobati diabetes (sulfonilurea seperti Glipizide , glyburide,

tolbutamid), PABA diminum, fenitoin, warfarin. Obat ini dapat menurunkan

efektivitas kombinasi-jenis pil KB. Hal ini dapat mengakibatkan kehamilan.

Anda mungkin perlu menggunakan tambahan berupa pengendalian kelahiran

handal saat menggunakan obat ini. Konsultasikan dengan dokter atau apoteker

untuk rincian dokumen. Ini tidak mengandung semua interaksi yang mungkin.

Oleh karena itu, sebelum menggunakan produk ini, beritahu dokter atau

apoteker dari semua produk yang digunakan. Menyimpan daftar semua obat,

dan berbagi daftar dengan dokter dan apoteker. Jika overdosis dicurigai,

hubungi ruang darurat segera. Gejala overdosis mungkin termasuk: perut yang

parah / sakit perut, muntah terus menerus, mengantuk ekstrim, kejang.

Untuk dosis pengobatan kolitis ulseratif, dewasa : dosis awal: 1 g 3-4

kali/hari, dosis pemeliharaan: 2 g/hari dalam dosis terbagi. Dosis awal juga

dapat dimulai dengan 0.5-1 g/hari. (Dirjen POM, 1995)

Kontra Indikasi (Dirjen POM, 1995) :

1) Hipersensitivitas untuk sulfonamide dan salisilat

2) Porfiria intermiten akut

3) Bayi di bawah 2 tahun

4) Obstruksi usus dan saluran kencing

15
5) Wanita hamil

Farmakokinetik

Modus aksi Sulfasalazine (SSZ) atau metabolitnya,5-Aminosalisilat

asam (5-ASA) dan sulfapyridine (SP), masih dalam penyelidikan, tetapi

mungkin terkait dengan sifat anti-inflamasi dan / atau imunomodulator yang

telah diamati pada hewan dan dalam model in vitro, untuk afinitas untuk

jaringan ikat, dan / atau dengan konsentrasi yang relatif tinggi mencapai

dalam cairan serosa, dinding hati dan usus, seperti yang ditunjukkan dalam

studi autoradiographic pada hewan. Dalam kolitis ulseratif, studi klinis

memanfaatkan administrasi rektal SSZ, SP, dan 5-ASA telah menunjukkan

bahwa tindakan terapi utama bisa berada dalam bagian 5-ASA.

In vivo studi telah menunjukkan bahwa ketersediaan hayati absolut

oral SSZ kurang dari 15% untuk obat induk. Dalam usus, SSZ dimetabolisme

oleh bakteri usus untuk SP dan 5-ASA. Dari dua spesies, SP relatif baik

diserap dari usus dan sangat dimetabolisme, sedangkan 5-ASA jauh kurang

diserap dengan baik.

Setelah pemberian oral 1 g SSZ sampai 9 laki-laki sehat, kurang dari

15% dari dosis SSZ diserap sebagai obat induk. Konsentrasi serum terdeteksi

SSZ telah ditemukan pada orang sehat dalam waktu 90 menit setelah

konsumsi tersebut. Konsentrasi maksimum dari SSZ terjadi antara 3 dan 12

16
jam pasca-konsumsi, dengan konsentrasi puncak rata-rata (6 mcg / ml) terjadi

pada 6 jam.

Sebagai perbandingan, kadar plasma puncak dari kedua SP dan 5-ASA

terjadi sekitar 10 jam setelah pemberian. Kali ini lebih lama untuk puncak

merupakan indikasi transit pencernaan ke usus dimana bakteri metabolisme

yang lebih rendah dimediasi terjadi. SP ternyata baik diserap dari usus besar

dengan bioavailabilitas diperkirakan 60%. Dalam studi yang sama, 5-ASA

jauh kurang diserap dari saluran pencernaan dengan bioavailabilitas

diperkirakan dari 10% menjadi 30%.

Setelah injeksi intravena, volume dihitung distribusi (Vdss) untuk SSZ

adalah 7,5 ± 1,6 L. SSZ sangat terikat pada albumin (> 99,3%), sedangkan SP

hanya sekitar 70% terikat pada albumin. Acetylsulfapyridine (AcSP), kepala

metabolit SP, adalah sekitar 90% terikat pada protein plasma.

Sebagaimana disebutkan di atas, SSZ dimetabolisme oleh bakteri usus

untuk SP dan 5-ASA. Sekitar 15% dari dosis SSZ diserap sebagai orangtua

dan dimetabolisme sampai batas tertentu di hati ke dua spesies yang sama.

Plasma diamati paruh untuk Sulfasalazine intravena adalah 7,6 ± 3,4 jam.

Rute utama metabolisme SP adalah melalui asetilasi untuk membentuk AcSP.

Tingkat metabolisme SP untuk AcSP tergantung pada fenotipe acetylator.

Pada asetilator cepat, plasma rata-rata paruh SP adalah 10,4 jam, sedangkan

17
pada asetilator lambat, itu adalah 14,8 jam. SP juga dapat dimetabolisme

menjadi 5-hidroksi-sulfapyridine (SPOH) dan N-asetil-5-hidroksi-

sulfapyridine. 5-ASA terutama dimetabolisme di kedua hati dan usus untuk

N-asetil-5-Aminosalisilat asam melalui rute fenotipe non-asetilasi tergantung.

Karena kadar plasma rendah yang dihasilkan oleh 5-ASA setelah

pemberian oral, perkiraan yang dapat diandalkan paruh plasma tidak

mungkin. Diserap SP dan 5-ASA dan metabolitnya terutama dieliminasi

dalam urin sebagai metabolit baik gratis atau sebagai konjugat glukuronat.

Mayoritas 5-ASA tetap dalam lumen usus dan diekskresikan sebagai 5-ASA

dan asetil-5-ASA dengan feses. Jarak dihitung administrasi SSZ intravena

berikut adalah 1 L / jam. Klirens ginjal diperkirakan mencapai 37% dari

pembersihan total. (Dirjen POM, 1995)

18
3.2 Prednison

Sifat Fisiko Kimia

Prednison adalah serbuk kristalin berwarna putih, tak berbau. Sangat

sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam etanol, methanol, kloroform, dan

dioksan. BM 358,428 g/mol. (Dirjen POM, 1995)

Rumus Kimia Obat

19
Farmakologi Umum

Prednison adalah glukokortikoid prodrug yang diubah oleh 11 beta-

hidroksisteroid dehidrogenase dalam hati ke dalam bentuk aktif, prednisolon.

Hal ini digunakan untuk mengobati penyakit radang tertentu (seperti reaksi

alergi yang parah) dan (pada dosis tinggi) beberapa jenis kanker, tetapi

memiliki banyak efek samping yang signifikan. Hal ini biasanya diambil

secara lisan namun dapat disampaikan oleh suntikan

intramuskular atau injeksi intravena .

Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki

stuktur kimia tertentu yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin

siklopentana. Suatu molekul steroid yang dihasilkan secara alami oleh korteks

adrenal tubuh dikenal dengan nama senyawa kortikosteroid. Kortikosteroid

sendiri digolongkan menjadi dua berdasarkan aktifitasnya, yaitu

glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki peranan pada

metabolisme glukosa, sedangkan mineralokortikosteroid memiliki retensi

garam. (Ikawati, 2006)

Farmakodinamik

Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid adalah hormon

yang muncul secara alamiah yang mencegah atau menekan proses radang dan

respons imun ketika diberikan dengan dosis farmakologi. Pada tingkat

20
molekuler, glukokortikoid yang tidak terikat dapat melintasi membran sel dan

yang terikat dengan reseptor sitoplasma yang spesifik, mempunyai ikatan

yang afinitas tinggi. Ikatan ini menginduksi respons berupa perubahan

transkripsi dan akhirnya terjadi sintesis protein, untuk mencapai kerja steroid

yang sesuai dengan harapan. Prednison adalah bentuk sintetik dari steroid

dimana obat ini merupakan prodrug yang akan diubah oleh hati menjadi

prednisolon yang merupakan bentuk aktif dan steroid. Steroid bekerja dengan

cara seperti: inhibisi infiltrasi leukosit pada tempat terjadinya peradangan, ikut

bekerja pada fungsi mediator respons radang, dan penekanan pada respons

imun humoral. Beberapa efek lainnya seperti reduksi edema atau jaringan

parut, juga penekanan secara umum pada respons imun. Kerja anti-inflamasi

dari kortikosteroid diperkirakan karena kortikosteroid ikut melibatkan protein

inhibitor Fosfolipase A2, yang disebut dengan lipocortins. Lipocortins

mengontrol biosintesis mediator radang yang poten seperti prostaglandin dan

leukotriene dengan cara menghambat pembentukan asam arakidonat secara

tidak langsung melaui mekanisme penghambatan Fosfolipase A2. (Katzung ,

2001).

Kontra Indikasi (Katzung , 2001) :

21
1) Infeksi jamur sistemik.

2) Peptik ulcer.

3) Osteoporosis.

4) Pankreatitis (kecuali pankreatitis oleh karena sarkoidosis).

5) Psikosis.

6) Psikoneurosa yang parah.

7) Pasien yang baru saja diberi vaksin virus hidup termasuk

smallpox.

8) Viral hepatitis tidak terkomplikasi.

Farmakokinetik

Prednison diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis sebesar 50%-90%.

Efek puncak sistemik didapat setelah 1-2 jam konsumsi obat. Obat yang

bersirkulasi terikat erat pada protein plasma albumin dan transcortin, dan

hanya bagian tidak terikat dari dosis aktif. Sistemik prednison didistribusi

secara cepat menuju ginjal, usus, kulit, liver, dan otot. Kortikosteroid

terdistribusi pada air susu ibu dan mampu melintasi plasenta.

Prednison dimetabolisme secara aktif di liver menjadi prednisolon

oleh hidrogenisasi grup keton pada posisi 11 di hati, kemudian prednisolon

dimetabolisme lagi lebih lanjut menjadi metabolit biologis inaktif (seperti

glukonoride dan sulfat).

22
Prednison diekskresi melalui traktus urinarius sebesar 3 ± 2% tanpa

berubah bentuk menjadi prednisolon. Diekskresi dalam bentuk prednisolon

sebesar 15 ± 5% bersama dengan beberapa bagian prednisolon yang tidak

berubah menjadi metabolit inaktif.

Prednison mempunyai waktu paruh biologis sekitar 18-36 jam dan

waktu paruh eliminasi plasmanya adalah 3,5 jam. Sedangkan prednisolon

sebagai metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh plasma sekitar 2-4 jam.

Dalam distribusinya prednison terikat dengan protein plasma albumin dan

transcortin sebesar 65%-91%. Prednison mempunyai bioavalibilitas sebesar

80 ± 11% ( Rang, 2007).

23
BAB IV

KESIMPULAN

Kolitis dapat diklasifikasikan menjadi kolitis infeksi dan non infeksi.

Kolitis infektif terdiri dari kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis

pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain seperti E. coli

Kolitis noninfektif antara lain berupa kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis

radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, maupun kolitis nonspesifik.Penyebab

penyakit kolitis ulseratif diantaranya meliputi:genetic, racun pada lingkungan,

rokok, faktor psikologis dan imunologik.Kebanyakan gejala kolitis ulserativa

pada awalnya adalahberupa buang air besar yang lebih sering. Gejala yang

paling umum dari kolitis ulseratif adalah sakit perut dan diare

berdarah.Penatalaksaan kolitis tergantung penyebab Penatalaksaan kolitis

ulseratif dengan 5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazine

digunakan untuk mengontrol inflamasi, kortikosteroid, seperti prednison

untuk mengurangi inflamasi, obat-obat untuk mengurangi rasa sakit, diare

atau infeksi dapat juga diberikan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope

Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal.

1083, 1084.

2. Djojoningrat D. 2006. Inflamatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan

Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk,

editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 389 – 90

3. Friedman S, Blumberg RS. 2010. Inflammatory Bowel Disease. Dalam:

Longo DL, Fauci AS penyunting. Harrison’s Gastroenterology and

Hepatology. 17th edition. United states: The Mcgraw-Hill Companies. 174 –

95

4. Geboes K, Jouret A. 2011. Macroscopy and Microscopy the Inflamatory

Bowel Disease (IBD); http://documents.irevues.inist.fr/bitstream [Diakses

tanggal 28 Desember 2014]

5. Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan Penyakit

Crohn). Dalam: Asdie AH, editor, Harrison Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit

Dalam. Volume 4. Edisi ke – 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

1577 – 91

25
6. Graham L Patrick. 1995. An introduction to Medicinal Chemistry, Vol.no.3.

236

7. Ikawati, Z. 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. UGM Press.

Yogyakarta.

8. Judge TA, Lichentenstein. 2003. Inflamatory Bowel Disease. In: Friedman

SL, McQuaid KR, Grendell JH (ed). Current Diagnosis & Treatment in

Gastroenterology. 2nd Edition. Singapore: McGraw Hill. 108 - 30

9. Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8. Penerbit

Salemba Medika : Jakarta.

10. Makmun D. 2007. Kolitis radiasi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 379

11. Oesman N. 2007. Kolitis Infeksi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 368 - 72

12. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ. 2007. Rand And Dale’s

Pharmacology, 6th edition. Elsevier-Churchill Livingstone. 427-435

13. Yamada T. 2005. Inflamantorry Bowel Disease. Handbook of

Gastroenterology. 2nd ed Philadelphia: Lippincott William & Wiklins. 357 –

72

26
27

Anda mungkin juga menyukai