Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
CUPPING THERAPY
Disusun Oleh :
KELOMPOK 15
M. SYIKIR C012171064
KASMAWATI C012171001
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi komplementer saat ini berkembang sangat pesat dan banyak
diminati oleh masyarakat. Di Amerika Serikat pengguna terapi alternatif
berjumlah 627 juta orang dan terapi konvensional 386 juta orang. Data lain
didapatkan bahwa terjadi peningkatan pengguna terapi komplementer dari
33% pada tahun 1991 dan 42% ditahun 1997 (Lindquist, Snyder, & Tracy,
2014). Peningkatan penggunaan terapi komplementer ini didasarkan pada
efek samping yang minim yang dirasakan oleh klien dan klien ingin terlibat
langsung dalam peningkatan kesehatannya.
Di Indonesia, minat masyarakat dalam penggunaan terapi alternatif atau
terapi komplementer juga meningkat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat pengobatan alternatif
(Widyatuti, 2008).
Kebutuhan masyarakat yang meningkat dan berkembangnya penelitian
terhadap terapi komplementer menjadi peluang perawat untuk berpartisipasi
sesuai kebutuhan masyarakat. Perawat dapat berperan sebagai konsultan
untuk klien dalam memilih alternatif yang sesuai ataupun membantu
memberikan terapi langsung. Namun, hal ini perlu dikembangkan lebih lanjut
melalui penelitian (evidence-based practice) agar dapat dimanfaatkan sebagai
terapi keperawatan yang lebih baik.
Terapi komplementer ini terdiri dari berbagai jenis terapi diantaranya
yaitu manipulative and body-based therapy seperti cupping therapy. Cupping
therapy adalah metode pengobatan yang banyak digunakan dan
diklasifikasikan mendapatkan popularitas di seluruh dunia. Beberapa negara
yang sudah mempraktikkan cupping therapy diantaranya Mesir, India, China,
Arab Saudi, Jerman, Norwegia, dan Denmark. Orang-orang Jerman, dan
Denmark dan Norwegia sudah akrab dengan cupping therapy. Hal ini terjadi
karena adanya perubahan pandangan terhadap sistem perawatan kesehatan
konvensional dan pengobatan kontemporer. Terapi ini diklaim berhasil
mengobati berbagai gangguan, penyakit pada sistem musculoskeletal seperti
fibromyalgia dan fibrositis, nyeri pada tulang belakang, nyeri pada leher dan
bahu, penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi, atherosclerosis, hipotensi,
penyakit gastrointestinal seperti diare, irritable bowel syndrome, intoksikasi
obat dan makanan, penyakit auto imun seperti theumatoid artritis, dan
vilitigo (Lowe, 2017).
Cupping therapy atau lebih dikenal di Indonesia dengan terapi bekam,
menempati kedudukan populer di jajaran berbagai metode terapi lain yang
ada di berbagai negara, karena banyak ahli pengobatan yang mengetahui
khasiat cupping therapy dalam mengobati berbagai macam penyakit, selain
itu cupping therapy merupakan terapi yang disunnahkan oleh Rasulullah
SAW. Oleh sebab itu, berdasarkan dari latar belakang tersebut maka penulis
akan menjelaskan tentang cupping therapy.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah cupping therapy.
2. Untuk mengetahui definisi cupping therapy.
3. Untuk mengetahui manfaat dari cupping therapy.
4. Untuk mengetahui dasar ilmiah cupping therapy.
5. Untuk mengetahui penelitian-penelitian terkait cupping therapy.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEJARAH
Cupping therapy sudah dikenal bangsa-bangsa purba sejak kerajaan
Sumeria berdiri, sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi. Lalu cupping therapy
berkembang di Babilonia, Mesir, Saba’, dan Persia. Sumeria adalah daerah
yang masuk wilayah Irak, yaitu negeri yang dialiri Sungai Eufrat dan Sungai
Tigris. Pada saat itu para tabib menggunakan cupping therapy untuk
pengobatan para raja. Tabib-tabib termasyhur hanya menurunkan ilmu
pengobatannya kepada murid-murid terpilih. Cupping therapy di Cina
berkembang sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi, sebelum berkuasanya Kaisar
Yao dan berkembang dengan berdasarkan titik-titik akupunktur (Qureshi et al.,
2017).
Terdapat banyak relief yang mengilustrasikan cupping therapy di
bangunan-bangunan ibadah Dinasti Pharaoh (Fir’aun). Setiap bangsa memiliki
metode cupping therapy yang berbeda-beda. Sejak dahulu hingga sekarang,
beberapa suku menggunakan tanduk hewan sebagai alat menghisap darah,
dengan cara melubangi ujung tanduk, menghisap udara dari dalam dan
menyumbatnya dengan pasta. Mereka menyebutnya horn therapy (terapi
tanduk) (Qureshi et al., 2017).
Bangsa Romawi dan Yunani menggunakan gelas kaca untuk praktik
cupping therapy. Mereka menyalakan api di dalam gelas yang telah diisi
dengan secarik kain guna melakukan penghisapan. Banyak masyarakat awam
yang masih menggunakan metode ini sampai sekarang. Sebagian orang
menggunakan peralatan tertentu yang terhubung dengan tabung berisi air dan
pipa kaca. Mereka memanasi air tersebut sehingga mengeluarkan uap air dan
udara dari dalam gelas (Ziyin, S. & Zelin, 2014).
Sejak tahun 1550 sebelum Masehi, bekam sudah dikenal sebagai
pengobatan tradisional yang sangat populer dan vital oleh masyarakat Mesir.
Hal ini dibuktikan oleh adanya dokumentasi teknik bekam pada lembar
papyrus yang ditemukan di dekat Sungai Nil. Terapi bekam berkembang dan
menyebar secara tradisi sampai ke Yunani dan Roma. Bahkan pengelompok
bekam menjadi bekam basah dan kering telah dilakukan oleh Hippocrates yang
dikenal sebagai bapak kedokteran modern (Ziyin, S. & Zelin, 2014).
Di wilayah Asia, metode pengobatan Bekam juga dikenal dalam tradisi
kesehatan. Bekam sudah digunakan sejak tahun 2 sebelum Masehi di China. Di
dalam sebuah buku tua tulisan Bo Shu yang hidup pada zaman Dinasti Han
pada 1973 tercantum juga tulisan mengenai metode pengobatan Bekam. Sekitar
abad 18-19 Masehi, bekam kemudian berkembang sampai ke Barat dan benua
Amerika. Bekam digunakan oleh dokter untuk mengobati berbagai kondisi
pasien sampai dengan tahun 1860. Popularitas bekam mulai menurun setelah
tahun 1860 tetapi tidak menghilang sama sekali. Bekam menyebar sampai ke
daerah Timur Tengah dan kemudian disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Risalah bekam kemudian menyebar ke seluruh dunia seiring dengan
menyebarnya ajaran Islam. Beberapa hadits yang berkaitan dengan bekam
antara lain: “Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya pada bekam itu
terkandung kesembuhan." (HR. Muslim). “Dari Jabir bin Abdillah ra bahwa dia
berkata kepada orang sakit yang dijenguknya,”Tidak akan sembuh kecuali
dengan berbekam. Sungguh aku mendengar Rasulullah SAW berkata bahwa
pada berbekam itu ada kesembuhan. (HR Bukhari dan Muslim). “Kesembuhan
bisa diperoleh dengan 3 cara yaitu: sayatan pisau bekam, tegukan madu,
sundutan api. Namun aku tidak menyukai berobat dengan sundutan api” (HR.
Muslim).
Asal mula cupping therapy masih menjadi kontroversi. Ilmuwan China
melaporkan dalam literatur mereka bahwa cupping therapy adalah bagian dari
pengobatan tradisional Cina sejak 2000 tahun yang lalu. Di Timur Tengah,
penulis Arab melaporkan bahwa cupping therapy sudah ada sejak 3500 SM,
dimana orang-orang Asyur adalah populasi Arab pertama yang menggunakan
alat dari tanduk binatang atau batang bambu untuk cupping therapy di mana
dokter China, Jee Hong (381-281 SM) merupakan tokoh dalam seni
pengobatan tersebut.
Peradaban Arab menyebut cupping therapy dengan al-hijâmah (dalam
bahasa Arab berarti mengembalikan ke ukuran semula), yang digunakan dalam
mengobati hipertensi, polisitemia, sakit kepala, migrein dan keracunan obat.
Masyarakat Mesir kuno dilaporkan mempraktikkan cupping therapy lebih dulu
dari peradaban tua mana pun, di mana cupping therapy merupakan salah satu
terapi kedokteran yang diketahui paling tua di Mesir kuno. Laporan pertama
penggunaaan cupping therapy di Mesir kuno pada tahun 1550 SM, ditemukan
pada gambar-gambar di lembaran papyrus Mesir dan candi Mesir kuno. Hal ini
menunjukkan bahwa bangsa Mesir telah maju dalam pengobatan menggunakan
cupping therapy. Cupping therapy juga digunakan dalam pengobatan kuno
bangsa Yunani.
Pada tahun 400 SM, Herodotus menemukan bahwa dokter-dokter Mesir
kuno yang merekomendasikan penggunaan dari mangkok hisap di tubuh sudah
menggunakan baik cupping therapy basah maupun kering. Penyakit-penyakit
yang diobati adalah nyeri kepala, kurang nafsu makan, gangguan penyerapan
makanan, pingsan, evakuasi abses, dan narcolepsy (keinginan tidur yang
berulang). Pada tahun 3300 SM, di Macedonia, cupping therapy telah
digunakan sejak masa prasejarah untuk mengobati penyakit-penyakit dan
gangguan kesehatan.
D. TITIK-TITIK BEKAM
Beberapa pendapat ahli bekam menyatakan bahwa penentuan titik bekam
dapat dilakukan berdasarkan titik sunah Rasululllah, titik anatomi tubuh, titik
meridian dan area nyeri.
Gambar. Peta titik titik bekam tampak depan
Gambar. Peta titik titik bekam tampak belakang
E. DASAR ILMIAH CUPPING THERAPY
Menurut Yasin (2011), dalam bukunya tentang bekam Sunnah Nabi dan
Mukjizat Medis, dalam kedokteran tradisional dijelaskan bahwa di bawah kulit,
otot, maupun fascia terdapat suatu poin atau titik yang mempunyai sifat
istimewa. Antara poin satu dengan poin lainnya saling berhubungan membujur
dan melintang membentuk jaring-jaring atau jala. Jaring ini dapat dapat
disamakan dengan meridian atau habl. Dengan adanya jala ini, akan
memberikan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Sebagian dari titik-titik ini berada di atas saraf, sebagian di atas
pembuluh darah, sebagian berada di atas titik akupuntur, sebagian di titik-titik
refleksi (refleksiologi) di atas punggung, sebagian di tempat-tempat kelenjar
limpa, sebagian untuk mengumpulkan darah, sebagian lagi untuk
meningkatkan aktivitas produksi kelenjar-kelenjar, sebagian untuk menguatkan
imunitas (daya tahan tubuh), dan sebagian untuk mengaktifkan pusat-pusat
saraf, dan sebagainya.
Sedangkan dalam kedokteran modern telah melakukan penelitian
tentang kebenaran pengobatan diatas. Poin istimewa yang dimaksudkan di atas
merupakan “motor points” pada perlekatan neuromuskuler (neuromuscular
attachements) yang mengandung banyak mitokondria, kaya pembuluh darah,
mengandung tinggi mioglobin, sebagian besar selnya menggunakan
metabolisme oksidatif dan lebih banyak mengandung cell mast, kelenjar limfe,
kapiler, venula, bundle dan pleksus saraf serta ujung saraf akhir.
Dalam kedokteran modern telah dibuktikan bahwa apabila dilakukan
pembekaman pada satu poin, maka kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub
kutis), fascia dan ototnya akan terjadi kekusakan dari mast cell dan lain-lain.
Akibat kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin, histamin,
bradikinin, slow reacting substance (SRS), serta zat-zat lain yang belum
diketahui. Zat –zat ini menyebabkan terjadinya dilatasi kapiler dan arteriol,
serta flare reaction pada daerah yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat
terjadi ditempat yang jauh dari pembekaman. Ini menyebabkan terjadinya
perbaikan mikrosirkualsi pembuluh darah. Akibatnya timbul efek relaksasi
(pelemasan) otot-otot yang kaku serta akibat vasodilatasi umum akan
menurunkan tekanan darah secara stabil. Yang terpenting adalah dilepaskannya
corticotropin releasing factor (CRF), serta releasing factors lainnya oleh
adenohipofise. CRF selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya ACTH,
cortocotrophin, dan corticosteroid. Corticosteroid ini mempunyai efek
menyembuhkan peradangan serta menstabilkan permeabilitas sel.
Golongan histamin yang ditimbulkannya mempunyai manfaat dalam
proses reparasi (perbaikan) sel dan jaringan yang rusak, serta memacu
pembentukkan reticulo endothelial cell, yang akan meninggikan daya
reisistensi (daya tahan) dan imunitas (kekebalan) tubuh. Sistem imun ini terjadi
melalui pembentukkan interleukin dari cell karena faktor neural, peningkatan
jumlah sel T karena peningkatan sel-enkephalin, enkhepalin dan endorphin
yang merupakan mediator antara susunan saraf pusat dan sistem imun,
substansi P yang mempunyai fungsi parasimpatis dan sistem imun, serta
peranan kelenjar pituitary dan hyphothalamus anterior yang memproduksi
CRF.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pembekaman dikulit akan
menstimulasi kuat syaraf permukaan kulit yang akan dilanjutkan pada cornu
posterior medulla spinalis melalui syaraf A delta dan C, serta traktus spino
thalamicus kearah thalamus yang akan menghasilkan endorphin.Sedangkan
sebagian rangsangan lainnya akan diteruskan melalui serabut aferen simpatik
menuju ke motor neuron dan menimbulkan reflek intubasi nyeri.
Pada sistem endokrin terjadi pengaruh pada sistem sentral melalui
hypothalamus dan pituitary sehingga menghasilkan ACTH, TSH, FSH-LH,
ADH. Sedang melalui sistem perifer langsung berefek pada organ untuk
menghasilkan hormon-hormon insulin, thyroxin, adrenalin, cortricotrophin,
estrogen, progesteron, testosteron. Hormon-hormon inilah yang bekerja jauh
dari yang dibekam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Cupping therapy adalah proses penghisapan kulit, penyayatan, dan
mengeluarkan darah dari permukaan kulit yang kemudian ditampung
dalam gelas yang berguna mengeluarkan zat beracun (detoksifikasi) dari
tubuh dengan menciptakan tekanan negatif dalam cangkir
2. Cupping Therapy sangat bermanfaat untuk digunakan dalam berbagai
penyakit diantaranya hiperkolesterol, hipertensi, nyeri tengkuk dan nyeri
pada bahu.
B. Saran
Melakukan penelitian lanjut terkait cupping therapy dan dapat menerapkan
cupping therapy pada berbagai kasus mengingat manfaat yang dapat
ditimbulkan oleh cupping therapy
DAFTAR PUSTAKA
Chi, L.-M., Lin, L.-M., Chen, C.-L., Wang, S.-F., Lai, H.-L., & Peng, T.-C.
(2016). The Effectiveness of Cupping Therapy on Relieving Chronic Neck
and Shoulder Pain: A Randomized Controlled Trial. Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine : eCAM, 2016(1), 7358918.
https://doi.org/10.1155/2016/7358918
El Sayed SM, Al-quliti, A.-S., Salah Mahmoud, H., Baghdadi, H., A. Maria, R.,
Mohamed Helmy Nabo, M., & Hefny, A. (2014). Therapeutic Benefits of Al-
hijamah: in Light of Modern Medicine and Prophetic Medicine. American
Journal of Medical and Biological Research, 2(2), 46–71.
https://doi.org/10.12691/ajmbr-2-2-3
Lestari, Y. A., Hartono, A., & Susanti, U. (2017). Pengaruh terapi bekam terhadap
perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi di dusun tambak rejo desa
gayaman mojokerto, 6(2), 14–20.
Lindquist, R., Snyder, M., & Tracy, M. F. (2014). Complementary And Alternative
Therapies In Nursing (7th ed.). New York: Spiringer Publishing Company.
Lowe, D. T. (2017). Cupping therapy: An analysis of the effects of suction on skin
and the possible influence on human health. Complementary Therapies in
Clinical Practice, 29, 162–168. https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2017.09.008
Qureshi, N. A., Ali, G. I., Abushanab, T. S., El-Olemy, A. T., Alqaed, M. S., El-
Subai, I. S., & Al-Bedah, A. M. N. (2017). History of cupping (Hijama): a
narrative review of literature. Journal of Integrative Medicine, 15(3), 172–
181. https://doi.org/10.1016/S2095-4964(17)60339-X
Wong, M. (2010). 9 Terapi Pengobatan Terdahsyat. Jakarta: Penebar Plus.
Yasin, A. B. (2011). Bekam Sunnah Nabi & Mukjizat Medis. Jakarta: Al.Qowam.
Ziyin, S. & Zelin, C. (2014). Traditional Chinese Medicine Cupping Therapy (3rd
ed.). Elsevier Ltd.