I. Definisi
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama
Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu
penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta
kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini(1).
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura
tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa
hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk
kejadian tersebut menjadi jelas(2,3).
Spondilitis Tuberkulosa adalah infeksi kronis berupa infeksi granulomatosis
disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium Tuberculosa yang mengenai
tulang vertebra.(3)
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan
untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini
dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami
perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena
dibandingkan anak-anak(2).
II. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun.
Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China
yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular
262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.(5) Kejadian TB
ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling
sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.(5) Tuberkulosis ekstrapulmonal
dapat terjadi pada 25%-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi
pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun
dapat juga 2-3 tahun kemudian.
III. Etiologi
Infeksi tbc vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat
di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mngalami
pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga terbentuk
“tuberculos squestra”. Sedangkan jaringan granulasi tbc akan penetrasi ke korteks
dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas / bawah lewat
ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis
oleh karena avascular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi
penyempitan oleh karena dirusak jaringan granulasi tbc. Kerusakan progresif bagian
anterior vertebra akan menimbulkan kiposis.(3)
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan
menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan
daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid
atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis,
leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk
dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping
juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo
atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap
penyakit ini.
Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai
ke diskus inter-vertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen
posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara
langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang
disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized tomography scan
(CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah me-
ningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT scan dikerjakan
untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan
vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi posterior
jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk mendiagnosis keter-
libatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut
dapat membantu memandu biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan. Pe-
meriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya meragukan.
Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas disertai
dengan adanya kalsifikasi periperal. (18) Magnetic resonance imaging (MRI)
dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan
penyeba-ran subligamentous dari debris tuberculous.(18)
Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan
tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang
baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi sel
raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering
memberikan hasil yang negatif.(19)
VIII. Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara
lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala
klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan,
MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB,
pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan
memberikan diagnosis pasti.(5)
IX. Komplikasi(4,9)
X. Manajemen terapi(2,5)
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk
tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori
dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas
tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau
hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari
pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang
kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan
biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya
relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang
primer:
Isoniazid (INH)
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena. Bekerja
untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal. Efek
samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia
lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif
(bersifat reversibel dengan pemberian suplemen
piridoksin).
Relatif aman untuk kehamilan
Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
Rifampin (RMP)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil,
baik di intra ataupun ekstraseluler.
Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti
pada nekrosis perkijuan).
Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk
sediaan oral dan intravena.
Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal,
cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
Pyrazinamide (PZA)
Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam
dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis. Efek
samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan
dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam
jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak. Arthralgia
dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler Tidak
berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta
warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
Relatif aman untuk kehamilan
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis :
15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
Bersifat bakterisidal
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan
untuk melengkapi pemberian PZA.
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama
sering mengenai pasien lanjut usia)
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis : 15
mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial.
Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinal block disamping
mengurangi oedema jaringan (Ogawa et.al 1987).
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan
klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)(3,5)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame /
plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia
keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau
bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya
dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini
ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih
lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan
yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis
ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan
berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai
bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi
dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas
diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral
dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket
atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi
berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster
shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk
mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat
gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan
regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa
bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang
menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani
kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak
didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat
tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum
penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
1. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat
tuberkulostatik.
2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase absessecara terbuka,
debrideman, dan bone graft.
3. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atauMRI ditemukan
adanya penekanan pada medula spinalis.Walaupun pengobatan kemoterapi
merupakan pengobatan utama bagipenderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi
masih memegang peranan pentingdalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold
absces (abses dingin), lesituberkulosa, paraplegia, dan kifosis.(4)
XI. Pencegahan
KESIMPULAN