Anda di halaman 1dari 14

KEBIJAKAN PUBLIK GLOBAL

FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL (FCTC)

NAMA KELOMPOK :

Ulfa Ramadani Nasution 15115009

Hutami Safina Nur Adriani 151150118

A. Asmara Eka Cahyanto 151150054

Anisa Junikasari 151150074


WHO FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL (FCTC)

KEBIJAKAN PUBLIK GLOBAL UNTUK MELINDUNGI

GENERASI KINI DAN NANTI

Sejarah Terbentuknya

Sejak tahun 1990, epidemi tembakau menjadi suatu masalah kesehatan publik yang
mengakibatkan hampir 5 juta orang yang meninggal setiap tahunnya.1 Jika kondisi ini
menetap, diperkirakan 10 juta orang meninggal pada tahun 2030 dimana 70%nya terjadi di
negara berkembang.2 Penyebaran epidemi tembakau ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
lintas batas negara termasuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Selain itu, faktor
lain seperti pemasaran global, pengiklanan lintas negara dan penyelundupan rokok ilegal juga
ikut berkonstribusi terhadap peningkatan konsumsi tembakau (rokok).3 Semua faktor itu kini
tengah berlangsung di negara-negara berkembang karena aturan pengendalian tembakau
masih sangat longgar.

Atas keprihatinan tersebut kemudian WHO membentuk suatu Konvensi Pengendalian


Tembakau yaitu Framework Convention On Tobacco Control dalam menanggapi epidemi
tembakau di dunia.4 FCTC menyediakan suatu kerangka bagi upaya pengendalian tembakau
untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak baik dalam tingkat nasional, regional dan internasional .
Pada bagian pembukaan FCTC diawali dengan pernyataan :

“ Negara para pihak dari Konvensi ini, memutuskan untuk


memberikan pririoritas pada hak mereka untuk melindungi
kesehatan”.

1
Dampak rokok akan terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan. Paparan asap rokok yang terus
menerus pada orang dewasa yang sehat dapat menambah resiko terkena penyakit jantung dan paru paru sebesar
20 – 30 persen. Selain itu lingkungan asap rokok dapat memperburuk kondisi seseorang yang mengidap
penyakit asma, menyebabkan bronkitis dan pneumonia.
2
World Health Organiation, WHO report on the Global Tobacco Epidemic, (The MPOWER package:
Geneva, 2008), hlm. 2
3
Kementrian Keesehatan RI, Pentingnya Aksesi Kovensi Kerangka Kerja Pengendaliaan Tembakaau
(FCTC) bagi Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia), hlm. 1
4
Adanya kesadaran yang timbul di tiap negara khususnya negara-negara maju untuk menyadari efek
yang terjadi dari konsumsi tembakau terhadap kesehatan, belanja kesehatan, serta investasi sumber daya
manusia di masa yang akan datang dan pada akhirnya memang telah terbukti bahwa dengan upaya kebijakan
negara-negara maju yang komprehensif berhasil menurunkan prevalensi perokoknya.
Dalam pasal ini diartikan bahwa para pihak konvensi memberlakukan konvensi FCTC
sebagai payung hukum untuk melidungi dari penyebab rusaknnya kesehatan warga negaranya
di masa sekarang maupun yang akan datang. Penyusunan FCTC dilakukan selama 4 (empat)
tahun sejak tahun 1999 melalui proses negosiasi yang intensif dari negara-negara anggota
WHO, dan disepakati dalam sidang Kesehatan Sedunia ke-56 pada tanggal 21 Mei 2003 di
Jenewa. FCTC memasuki fase tanda tangan di Jenewa mulai tanggal 16-22 Juni 2004.
Sampai batas waktu yang telah ditentukan, pada tanggal 27 Februari 2005 sudah terdapat 177
negara yang menandatangani konvensi tersebut.

Negara yang menandatangani FCTC dapat meratifikasi dan menjadi party (negara
para pihak) dari konvensi. Negara-negara yang tidak menandatangani sampai tanggal 29 Juni
2004, hanya membutuhkan satu langkah untuk menjadi party yaitu dengan aksesi atau
meratifikasi. FCTC menjadi instrumen hukum internasional yang diprakarsai oleh Badan
Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sejak tanggal 27 Februari 2005 yaitu 90
hari setelah 40 negara menandatangani dan kemudian meratifikasinya.

Deskripsi FCTC

Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau World Health Organization


Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) adalah perjanjian internasional
yang diadopsi pada Majelis Kesehatan Dunia pada tanggal 21 Mei 2003.5 Perjanjian
internasional ini menjadi perjanjian internasional pertama WHO yang diadopsi di bawah
artikel 19 konstitusi WHO. Perjanjian ini mulai berlaku pada 27 Februari 2005. Perjanjian ini
telah ditanda tangani oleh 168 negara dan secara legal mengikat 177 negara yang
meratifikasinya dan yang menandatangani Vienna Convention on the Law of Treaties.6
Terdapat 19 negara anggota PBB yang tidak meratifikasi perjanjian internasional, di mana 10
negara tidak menandatangani dan 9 telah menandatangani namun tidak meratifikasi.7 FCTC
merupakan salah satu perjanjian internasional yang paling cepat diratifikasi dalam sejarah
PBB.8 Perjanjian ini merupakan perjanjian supranasional yang bertujuan melindungi generasi

5
“WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC)”, daikses pada 25 Februari 2018
melalui http://www.who.int/tobacco/framework/WHO_FCTC_english.pdf,
6
“Parties to the WHO Frame Work Convention on Tobacco Control”, diakses pada 25 Februari 2018
melalui http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/
7
“WHO Member States that are NOT parties to the WHO Fraamework Convention on Tobacco
Control”, diakses pada 25 Februari 2018 melalui http://www.who.int/tobacco/framework/non_parties/en/
8
FCTC merupakan suatu produk hukum internasional yang bersifat mengikat (intetnationally legally
binding instrument) bagi negara-negara yang meratifikasinya.
saat ini dan yang akan datang dari efek merusak konsumsi tembakau pada kesehatan, sosial,
lingkungan, dan ekonomi dan membatasi penggunaannya dalam bentuk apapun di seluruh
dunia. Perjanjian ini mengikat pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan
perpajakan tembakau

FCTC merupakan suatu konvensi yang berbeda dengan traktat pengendalian obat
masa lalu, baik dalam hal mengembangkan strategi maupun mengendalikan dan mengatasi
zat adiktif. Pasal-pasal dalam FCTC menegaskan pentingnya strategi pengurangan
permintaan terhadap produk tembakau. Hal itu karena fokus FCTC adalah mencegah orang
merokok daripada mengobati kecanduan. FCTC diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada
21 Mei 2003, konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama yang dinegosiasikan
oleh 192 negara. FCTC berada di bawah naungan WHO mengatur hak setiap orang untuk
mendapatkan standar yang tinggi terhadap kesehatan. FCTC ini mulai berlaku secara
internasional pada 27 Februari 2005, yaitu 90 hari setelah disetujui, ratifikasi, diterima, atau
disetujui oleh 40 negara.1 Saat ini FCTC sudah menjadi hukum internasional karena sudah
diratifikasi oleh lebih dari 40 negara. Dari data terakhir yang di keluarkan oleh FCTC (pada
28 Januari 2014), dari 193 negara yang menjadi anggota WHO, terdapat 185 (seratus delapan
puluh lima) negara yang telah melakukan ratifikasi (merepresentasikan 95,6 % dari total
negara di dunia) yang menjadi anggota WHO dan terdapat 8 (delapan) negara yang tidak
melakukan ratifikasi FCTC.
FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control merupakan perjanjian

internasional tentang kesehatan masyarakat yang dibahas dan disepakati oleh Negara-

negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bertujuan untuk melindungi generasi

masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi rokok dan paparan asap rokok. FCTC

diinisiasi oleh Negara-negara berkembang, seperti Amerika Latin, India, Thailand hingga

Indonesia. Karena konsumsi rokok menjadi masalah global dan jika tidak diatasi,

diperkirakan 1 Milyar penduduk dunia akan meninggal pada akhir abad 21 dengan 70% di

antaranya terjadi di negara berkembang Setelah 4 tahun dibahas intensif oleh seluruh Negara-

negara anggota WHO, akhirnya FCTC disepakati dalam sidang kesehatan sedunia pada

tanggal 21 Mei 2003.

FCTC terdiri dari 11 bab dan 38 pasal yang mengatur tentang pengendalian permintaan

konsumsi rokok dan pengendalian pasokan rokok. Di dalamnya juga mengatur tentang

paparan asap rokok orang lain, iklan promosi dan sponsor rokok, harga dan cukai rokok,

kemasan dan pelabelan, kandungan produk tembakau, edukasi dan kesadaran publik, berhenti

merokok, perdagangan illegal rokok hingga penjualan rokok pada anak di bawah umur.

Sampai Januari 2015, sudah 187 negara yag menandatangani FCTC dan menyisakan 9 negara

yang belum, yaitu Andora, Eriteria, Liechtenstein, Malawi, Monako, Somalia, Republik

Dominika, Sudan Selatan dan satu-satunya negara dari Asia yaitu Indonesia.

Thailand sebagai salah satu negara yang meratifikasi FCTC pada 8 November 2004 telah

berhasil mengimplementasikan FCTC di negaranya. Adapun latar belakang Thailand

meratifikasi FCTC adalah angka kematian penduduk akibat tembakau yang tidak sedikit.

Data pada Agustus 2017, sekitar 106.000 orang meninggal di Thailand setiap tahun akibat

penyakit terkait rokok dan hampir 24% kematian laki-laki dan 10% kematian perempuan

disebabkan oleh merokok. Sebanyak 20,7% populasi orang dewasa (usia 15+) merokok
tembakau (laki-laki 40,5%; perempuan 2,2%). 3.3% populasi orang dewasa menggunakan

tembakau tanpa asap (laki-laki 2,5%; perempuan 3,9%). Di antara pemuda (usia 13-15):

15,0% saat ini menggunakan produk tembakau (anak laki-laki 21,8%; perempuan 8,1%).

14% merokok (anak laki-laki 20,7%; anak perempuan 7,1%). 2,7% menggunakan tembakau

tanpa asap (anak laki-laki 4.1%; anak perempuan 1.3%).

India sebagai salah satu pemrakarsa FCTC pun memiliki permasalahan terhadap industri

tembakau dalam negeri. Menurut Dr. Rajiv Chopra, yang mengkhususkan diri dalam merawat

pasien kanker mulut, sekitar 2.000 orang meninggal setiap hari di India akibat penyakit

terkait tembakau. Penyakit tidak menular atau Non-Communicable Diseases (NCD) seperti

penyakit jantung iskemik, kanker, diabetes, penyakit pernafasan kronis adalah penyebab

utama kematian secara global dan terkait dengan penggunaan tembakau. Menurut statistik

WHO untuk tahun 2010 di India, jumlah kematian akibat NCD diperkirakan mencapai 53%

dari total angka kematian. Angka yang sangat besar ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya

penggunaan tembakau. Tembakau merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah penyakit

yang mempengaruhi semua kelompok usia. Data WHO menunjukkan bahwa penggunaan

tembakau membunuh hampir enam juta orang dalam setahun. Sekitar lima juta dari kematian

tersebut adalah hasil penggunaan tembakau langsung sementara lebih dari 600.000 adalah

hasil dari perokok non-perokok yang terpapar asap rokok bekas. Satu orang meninggal setiap

enam detik karena tembakau. Sampai setengah dari pengguna saat ini akhirnya akan

meninggal akibat penyakit terkait tembakau.

Situasinya sama buruknya di India dengan perkiraan jumlah pengguna tembakau menjadi

274,9 juta di mana 163,7 merupakan pengguna tembakau tanpa asap, 68,9 juta adalah

perokok dan 42,3 juta lainnya menggunakan rokok dan tembakau tanpa asap sesuai dengan

Global Adult Tobacco Survey India (GATS). Ini berarti sekitar 35% orang dewasa (47,9%

laki-laki dan 20,3% perempuan) di India menggunakan tembakau dalam beberapa bentuk
atau yang lain. Penggunaan tembakau tanpa asap lebih banyak terjadi di India (21%) Harga

produk tembakau yang sangat rendah di India membuat penyebaran tembakau semakin luas

untuk konsumen di umur dan pendapatan berapapun.

Dengan harapan untuk menangani masalah ini, pada 12 September, sebuah konferensi

internasional tentang tembakau diadakan di New Delhi yang disebut Konferensi Internasional

mengenai Prioritas Kesehatan Masyarakat di abad ke-21: Endgame untuk Tembakau. Panelis

dari berbagai organisasi dan advokasi yang menentang penggunaan tembakau

mempresentasikan karyanya di acara tersebut. Diantaranya adalah Proyek Evaluasi Kebijakan

Pengendalian Tembakau Internasional, yang merilis temuan yang menunjukkan bahwa

larangan merokok di tempat umum di India tidak komprehensif dan tidak diberlakukan secara

rutin.

FCTC adalah salah satu instrumen internasional yang disusun oleh negara-negara
anggota WHO dalam upaya mengendalikan tembakau, yang berisi kesepahaman bersama
oleh negara -negara di dunia apabila tidak ada aturan yang mengendalikan tembakau maka,
akan menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat dunia.indonesia termasuk negara
yang belum meratifikasi peraturan ini.
Namun di sisi lain, pemerintah Indonesia terus menerus mendapat tekanan dan
desakan dari WHO untuk segera meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco
Protocol). Padahal dengan diratifikasinya aturan oleh pemeritah tersebut akan beakibat secara
luas terhadap industri rokok dan tembakau Indonesia.

Rokok merupakan salah satu budaya asli nusantara. secara historis sejak masa
kolonial sudah menjadi simbol produk pengusaha bumiputera, hingga saat ini, keadaan
industri rokok di Indonesia terus mengalami dinamika pasang surut. Dari posisi terjatuh
hingga bangkit dan menjadi salah satu sektor bisnis idola para pengusaha. Rokok kretek
adalah salah satu jenis rokok khas indonesia yang terdiri dari campuran tembakau dan cukai.
Setelah sempat berjaya, kini perusahaan nasional yang memproduksi rokok kretek telah jatuh
ke tangan pemodal asing, seperti Sampoerna yang diambil alih Philip Morris dan Bentoel
yang diakuisisi British American Tobacco

Kontribusi cukai rokok terhadap perekonomian Indonesia tidak pernah turun hingga
saat ini. Tahun 2013 mencapai Rp. 95,7 triliun. Tahun 2014 pendapatan negara dari cukai
rokok 116,28 triliun. Tahun 2015 pemerintah menargetkan sekurang-kurangnya Rp. 120
triliun. Bahkan setelah ada perubahan APBN 2015, target dinaikkan menjadi Rp. 145 triliun.
Disisi lain produksi rokok tidak berdiri sendiri tetapi bertalian dengan beberapa jaringan
masyarakat, seperti petani tembakau, cengkeh, distributor, mediator, pekerja di bidang
perekonomian, dan buruh rokok yang berjumlah Rp. 30,5 juta orang se-Indonesia. Terdapat
ketergantungan ekonomi lebih dari 6 juta penduduk keluarga petani cengkeh dan tembakau di
eks Karesidenan Kedu, Banyumas, Temanggung, bahkan luar jawa

keberlangsungan industri rokok indonesia justru terancam oleh kebijakan pemerintah


sendiri. Langkah Pemerintah untuk melindungi tembakau dan industri rokok terbilang
kurang. AS misalnya membantu proteksi atas industri rokok dan tembakau tersebut secara
maksimal, termasuk melalui Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act yang
secara cukup eksplisit menunjukan hambatan non-tarif terhadap produk tembakau impor. Di
China dan Rusia memberlakukan kebijakan yang tidak lazim, yakni menyarankan
masyarakatnya untuk merokok sebagai solusi menghadapi krisis. Pemerintah Indonesia justru
memberi perlakuan yang memojokkan keadaan industri rokok dan tembakau nasional dengan
upaya-upaya memasukkan prinsip-prinsip FCTC dalam hukum nasional. Kebijakan ini
dilakukan dengan kebijakan pengalihan tanaman, pengurangan subsidi pertanian tembakau,
menaikkan cukai, dan larangan merokok di tempat umum.

Di sisi lain pemerintah juga terus didesak agar segera meratifikasi FCTC, selain alasan
komitmen atas kesehatan masyarakatnya, Indonesia juga adalah satu-satunya negara di Asia
yang belum meratifikasi konvensi tersebut.

Segaimana tertulis dalam pembukaannya, tujuan FCTC adalah untuk "melindungi


generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, dan konsekuensi ekonomi
dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau”.

FCTC yang menciptakan standarisasi atas kesehatan manusia terkait dampak dari
tembakau. Namun, dalam praktiknya FCTC bukan hanya digunakan untuk standarisasi
kesehatan, tetapi juga dipergunakan oleh negara-negara maju sebagai hambatan perdagangan
terkait impor rokok dari luar dengan alasan kesehatan.

Beberapa pasal dalam FCTC juga membawa implikasi yang sangat luas bagi industri
rokok nasional, utamanya rokok kretek. Pasal 6-7 FCTC yang mengatur tentang kebijakan
pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan
berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga
rokok.Kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau tentu akan berimplikasi langsung
terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar
dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi.

Pasal 17 FCTC tentang pengendalikan sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi
alternatif.akibat dari pasal ini maka otomatis para petani akan kehilangan sumber utama
pendapatannya. Tidak adanya pasokan tembakau dari petani dalam menghasilkan kretek
maka jelas akan membuka keran impor.

Petani tembakau Indonesia telah secara tegas menolak usulan Badan Kesehatan Dunia
(WHO) tentang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC). Penolakan ini dibuktikan dalam peluncuran Kampanye “Save Our
Farm” dalam Forum Tembakau Asia ke-3 di Manila. Para petani tembakau di Asia
mendukung peluncuran “Save Our Farm”, sebuah kampanye untuk menentang pedoman baru
yang akan menghancurkan mata pencaharian jutaan petani tembakau di Asia.

Kampanye ini menyerukan kepada pemerintah di wilayah Asia untuk bersama-sama


dengan petani tembakau menentang traktat FCTC. Penolakan petani tembakau di Asia ini
karena acuan dalam traktat FCTC tersebut antara lain bermaksud mengatur:

Menentukan kapan boleh menanam tembakau Memutus semua dukungan pemerintah


dan sektor swasta untuk petani tembakau Membatasi bahkan mengurangi luas lahan
tembakau Mendesak negara-negara tersebut mengurangi produksi tembakau secara bertahap

Petani tembakau akan menentang upaya-upaya pelarangan menanam tembakau. Terlebih


karena di dalam Kesepakatan Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), yang
awalnya bertujuan mengamankan petani tembakau, ternyata justru malah bermaksud
mematikan pertanian tembakau. Dalam pasal 17 dan 18 FCTC jelas disebut bahwa tembakau
dimasukkan dalam golongan zat adiktif dan petani didorong untuk mengonversi tanaman
tembakau dengan tanaman lain.

untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali untuk meratifikasi aturan ini.
karena akan merugikan petani indoanesia sendiri.karena masih banyak petani yang
bergantung dengan tanaman tembakau. disisi lain cukai tembakau juga sebagai pendapatan
negara juga dapat berkurang yang berakibat berkurangnya sumber APBN negara.
Kesimpulan

Luasnya ruang lingkup masalah yang diatur dalam FCTC memang membuka peluang
terjadi overlapping pengaturan dan berpotensi berbenturan dengan masalah-masalah
perdagangan internasional serta perekonomian Negara dan rakyat.

Pengaturan yang sangat ketat ke dalam khususnya yang berkaitan dengan pertanian
dan industri akan memberatkan pelaku ekonomi nasional pada satu sisi, sementara pada sisi
lain akan menguntungkan modal asing yang memang menaruh minat yang besar terhadap
pasar tembakau dan pasar rokok Indonesia.
Untuk itu, dalam rangka merespon masalah kesehatan publik dan tuntutan sebagian
kalangan masyarakat, maka pemerintah dapat membatasi diri dengan fokus menciptakan
aturan yang baik dalam bidang kesehatan berkaitan dengan kebiasaan atau kegemaran
merokok, tanpa mengganggu ekonomi tembakau.

Pengaturan mengenai larangan merokok di dalam ruangan publik diikuti kewajiban


menyediakan ruang merokok agar tidak menggangu orang lain sebagaimana putusan
Mahkamah Konstoitusi (MK) mestinya ditegakkan. Demikian pula dengan kampanye dan
penegakan aturan larangan merokok pada anak di bawah umur mesti menjadi prioritas
pemerintah. Upaya ini juga harus disertai dengan pendidikan dalam lingkungan keluarga
sebagai pondasi utama pendidikan anak.

Sementara keberadaan rezim internasional FCTC dapat dijadikan sebagai acuan yang
bersifat umum semata, sebagai bagian dari keikutsertaan kita dalam pergaulan internasional.
Sementara dalam praktek bernegara dan berbangsa, seluruh peraturan perundangan mutlak
harus mengacu pada konstitusi, kepentingan nasional dan rakyat Indonesia.

Rencana ratifikasi FCTC mesti dipertimbangkan dengan matang, mengingat luasnya


ruang lingkup masalah yang diatur dalam rezim internasional ini. FCTC mengatur masalah
masalah yang berkaitan langsung pertanian (agriculture) tembakau, perdagangan (trade and
investment) tembakau dan Intelectual Proverty Right (IPR), serta masalah-masalah
perdagangan internasional lainnya.

Sikap hati-hati tersebut sangat diperlukan mengingat FCTC mengandung konsekuensi


terhadap ekonomi nasional, seperti pertanian tembakau rakyat, industri kecil menengah dan
keuangan negara. Beberapa pasal dalam FCTC berkaitan langsung dengan ekonomi, seperti;
aturan tentang harga dan non harga yang dapat berbentuk aturan kenaikan pajak dan cukai
(pasal 6-7), aturan tentang standarisasi seperti tar, nicotin dan content lainnya (pasal 9-10),
aturan tentang label dan kemasan kaitannya dengan rezim paten, haki dan merek (pasal 11),
aturan tentang iklan dan sponsorship (pasal 13), aturan tentang pengawasan peningkatan
perdagangan tembakau ilegal (pasal 15), aturan tentang pengalihan tanaman tembakau ke
tanaman lain (pasal 17). Keseluruhan pasal-pasal dalam FCTC yang disebutkan di atas erat
kaitannya dengan hidup matinya pertanian, industri nasional dan perdagangan tembakau
Indonesia.

Pengesahan FCTC melalui UU ratifikasi perjanjian internasional akan membawa


konsekuensi terhadap peraturan turunannya. Menyangkut hal ini terdapat dua kemungkinan
yakni ; pertama, ratifikasi ini akan banyak berbenturan dengan UU dan peraturan yang
berkaitan dengan investasi, pertania, perdagangan dan IPR dan kedua, ratifikasi akan
berbenturan dengan berbagai perjanjian internasional yang ditandatangani Indonesia dalam
bidang investasi dan perdagangan.

Mengingat Indonesia saat ini termasuk salah satu negara yang paling aktif dalam
melakukan gugatan kepada negara lain yang melakukan pembatasan perdagangan tembakau
dan produk tembakau. Sisi lain Indonesia juga termasuk negara yang cukup banyak digugat
dalam kaitan dengan perdagangan bebas

Pasal 26 menyatakan bahwa “MASYARAKAT TERMASUK INDUSTRI ROKOK


MEMPUNYAI KESEMPATAN BERPERAN” seluas-luasnya untuk meningkatkan derajat
kesehatan MELALUI terbentuknya KAWASAN TANPA ROKOK. Beberapa aspek dalam
pasal ini adalah:
1) tidak ada kewajiban, tetapi diberikan kesempatan seluas-luasnya;
2) bersama industri rokok meningkatkan derajat kesehatan dengan (satu) cara yaitu melalui
terbentuknya kawasan tanpa rokok.

Cakupan Kegiatan Edukasi, Informasi dan Kesadaran masyarakat terbatas pada kawasan
tanpa rokok serta penyebar luasan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan
penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan.

FCTC mengharapkan Pemerintah setiap negara anggota bertanggung jawab


mempromosikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penanggulangan masalah
tembakau dengan menggunakan semua perangkat komunikasi yang ada.

Bahkan pasal 15 FCTC menekankan pentingnya menghapus perdagangan ilegal produk


tembakau dalam semua bentuk termasuk penyelundupan, pengolahan ilegal dan pemalsuan,
tidak saja menyangkut kepentingan negara bersangkutan tetapi berkaitan pula dengan
kepentingan negara lain. Karena itu, disamping perlunya melakukan upaya legislatif,
eksekutif dan administratif yang efektif sesuai undang-undang nasional dan persetujuan
bilateral serta multilateral, mutlak dibutuhkan kerjasama regional, subregional dan global
sebagaimana tercantum dalam pasal 15 ayat 1 FCTC, serta melakukan pengawasan dan
memberikan sanksi.

FCTC secara jelas mendorong langkah-langkah mobilisasi semua sumber daya


potensial untuk mencapai tujuan Konvensi. Pihak-pihak terlibat diwajibkan menyediakan
dukungan finansial untuk program-program pengendalian tembakau. Sejumlah negara dan
badan yang bergerak di bidang pembangunan, telah membuat komitment untuk memasukkan
usaha pengendalian tembakau sebagai prioritas pembangunan.

Negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi, atas permintaan Sekretariat
dapat memberikan saran sumber dana yang dapat dimobilisasi setelah terlebih dahulu
melakukan telaah dan mengajukannya ke COP (Konperensi Negara Anggota yang telah
Meratifikasi). COP akan menentukan apakah akan menambah anggaran dengan
meningkatkan mekanisme yang sudah ada atau merintis “voluntary global funds” atau
mekanisme penyaluran dana lain.

Menurut FCTC, negara-negara anggota dalam Konvensi didorong untuk menerapkan


tindakan legislatif dalam bilamana perlu “to deal with criminal and civil liability, including
compensation where appropriate”.
Daftar Pustaka

Website :

1. https://www.kompasiana.com/dicoretpebri.blogspot.com/kajian-atas-framework-
convention-on-tobacco-control-dalam-persepektif-studi-hukum-
kritis_559a93a6e422bd8b0db7374a&ei=cCtfc0cp&lc=id-
ID&s=1&m=528&host=www.google.co.id&ts=1519549961&sig=AOyes_TsOF7Xs0
jM DJ4j9PmKuVbS4VjLfQ

2. https://membunuhindonesia.net/2013/08/aksesi-fctc-sama-saja-bunuh-
diri/&ei=mX1xY94Y&lc=id-
ID&s=1&m=528&host=www.google.co.id&ts=1519549961&sig=AOyes_QHzTPGz
5ZB w9PL4KSTshkEE07H-Q

3.2009 www.fctc.orghttp://www.who.int/fctc/reporting/Thailand_annex2_tobacco_co

ntrol_in_Thailand.pdf?ua=1http://www.fctcuntukindonesia.org/master_content/detail/

apaifctchttp://www.who.int/fctc/reporting/Thailand_annex2_tobacco_control_in_Thai

land.pdf?ua=1https://thediplomat.com/2013/09/india-needs-to-get-serious-about-its-

tobacco-problem/https://www.tobaccofreekids.org/problem/toll-global/asia/thailand

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan

Rokok Bagi Kesehatan, 10 Maret 2003

http://www.kominfo.go.id/kebijakan_file/UU_PENYIARAN.pdf

http://www.asil.org/insights/insigh100.htm

Anda mungkin juga menyukai