Anda di halaman 1dari 48

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 KRITERIA PERENCANAAN GEOMETRIK


2.1.2 Analisis Geometrik Jalan
Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan route dari suatu ruas
jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan
kelengkapan data dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survei lapangan
dan telah dianalisis, serta mengacu pada ketentuan yang berlaku (Shirley L.
Hendarsin, 2000)
Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas
dari suatu tempat ke tempat lain. Lintasan tersebut menyangkut jalur tanah yang
diperkuat (diperkeras) dan jalur tanah tanpa perkerasan. Sedangkan maksud lalu
lintas diatas menyangkut semua benda atau makhluk hidup yang melewati jalan
tersebut baik kendaraan bermotor, gerobak, hewan ataupun manusia (Edy
Setyawan, 2003)
Perencanaan geometrik secara umum menyangkut aspek-aspek
perencanaan bagian-bagian jalan tersebut baik untuk jalan sendiri maupun untu
pertemuan yangbersangkutan agar tercipta keserasian sehingga dapat
memperlancar lalu lintas (Edy Setyawan).
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah
dasar (subgrade) yang berfungsi untuk menopang beban lalu
lintas (Metode Bina Marga 2013)
Pada dasarnya jalan beton direncanakan menopan beban kendaraan lalu
lintas yang relatif berat dan padat, seperti pada perberhentian pintu masuk jalan
tol, perberhentian lampu merah, tempat parker, dan tikungan – tikungan tajam.
Dalam perencanaannya, pelaksanaan jalan beton mengacu pada petunjuk
perencanaan jalan Beton Semen diterbitkan oleh Depertamen Permukiman dan
prasarana Wilayah Pd T-14-2003 (Metode Bina Marga 2013)

5
5
2.1.2 Klasifikasi Jalan
A. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan terdiri dari :
1. Jalan Arteri
Yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

2. Jalan Kolektor
Yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk
dibatasi.

3. Jalan Lokal
Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan
Jarak pendek, dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jalan masuk tidak dibatasi.

B. Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaannya

Jaringan jalan dikelompokkan menurut wewenang pembinaannya, yang terdiri


dari:

1. Jalan Nasiona
a. Jalan arteri primer
b. Jalan kolektor primer, yang menghubungkan antara ibukota propinsi
c. Jalan selain dari yang termasuk arteri/kolektor primer, yang mempunyai nilai
strategis terhadap kepentingan nasional, melayan daerah-daera yang rawan dan
lain-lain.

2. Jalan Propinsi
a. Jalan kolektor primer, yang menghubungkan ibukota propinsi denga ibu kota
kabupaten/kota.
b. Jalan kolektor primer, yang menghubungkan antar ibukota kabupaten

6
c. Jalan selain yang disebut di atas, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan propinsi, yakni jalan yang biarpun tidak dominan terhadap
perkembangan ekonomi, tetapi mempunyai perananan tertentu dalam menjamin
terselenggaranya pemerintah yang baik dalam perintahan daerah tingkt I dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya.
d. Jalan dalam daerah khusus ibukota Jakarta, kecuali yang termasuk jalan
nasional.

3. Jalan Kabupaten
a. Jalan kolektor primer, yang tidak termasuk dalam kelompok jala nasional dan
kelompok jalan propinsi.
b. Jalan lokal primer.
c. Jalan sekunder lain, selain sebagaimana dimaksud sebagai jalan nasional dan
jalan propinsi.
d. Jalan selain dari yang disebut di atas, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan kabupaten, yakni jalan yang walaupun tidak dominan terhadap
pengembangan ekonomi, tapi mempunyai peranan tertentu dalam menjamin
terselenggaranya pemerintahan dalam pemerintahan daerah tingkat II.

4. Jalan Kota
Jaringan jalan sekunder di dalam kota.

5. Jalan Desa
Jaringan jalan sekunder di dalam desa, yang merupahkan hasil swadaya
masyarakat, baik yang ada di desa maupun kelurahan.

6. Jalan Khusus
Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan/hukum/perorangan untuk
melayani kepentingan masing-masing.

Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tata Cara


Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota. disusun pada tabel berikut:

7
Tabel 2.1 Klasifikasi, Fungsi Klas dan Type Medan Jalan
Fungsi jalan Arteri Kolektor Lokal

Klas jalan I II III A III B III C

Mts (ton) > 10 10 8 tidak ditentukan

Type medan D B G D B G D B G
Kelandaian <3 3-25 >25 <3 3-25 >25 <3 3-25 >25
medan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Tabel 2.2 Klasifikasi Medan


Jenis Medan Kemiringan Melintang Rata-rata
Datar (D) 0 – 9,9 %
Perbukitan (B) 10 – 24,5 %
Pergunungan (G) > 25 %
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Tabel 2.3 Kecepatan Rencana


FUNGSI Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
JALAN Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Tabel 2.4 Lebar Lajur Lalulintas dan Bahu Jalan


Arteri Kolektor Lokal
VLHR
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum

SMP/hari Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
< 3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000- 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5
10000

8
10001- 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 Mengacu pada Tidak Ditentukan
25000 Persyaratan Ideal
> 25000 2x3,5 2,5 2x7,0 2,0 2x3,5 2,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

2.1.3. Perencanaan Alinyemen Horisontal


Alinyemen Horizontal atau trase jalan adalah proyeksi dari sumbu jalan
pada bidang horizontal (denah). Pada perencanaan alinyemen horisontal umumnya
akan ditemui dua jenis bagian jalan, yaitu : bagian jalan lurus dan bagian lengkung
atau biasa disebut tikungan. Alinyemen horizontal yang direncanakan harus diatur
sedemikian rupa supaya tidak saja memenuhi teknik dasar semata tetapi juga dapat
mempertimbangkandan mengalokasikan ruang yang cukup bagi perkembangan
lalulintas dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan alinyemen horizontal,
halhal berikut ini harus diperhatikan untuk dijadikan pertimbangan, yaitu:
a. Bahwa alinyemen horizontal harus direncanakan sesuai dengan keadaan
topografi, geografi dan geomorfologi di sekitar koridor;
b. Kemantapan alinyemen;
c. Keselarasan antara alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal;
d. Keamanan dan kenyamanan pemakai jalan;
e. Keterbatasan keterbatasan pada pelaksanaan pembangunan.
Alinyemen horizontal ini terdiri dari bagian garis lurus (tangen) dan
bagian garis lengkung (tikungan). Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan
dan kelelahan pengemudi maka panjang bagian lurus dari alinyemen horizontal
harus bisa ditempuh tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai Vr).

Tabel 2.5 Panjang Bagian Lurus Maksimum


Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Fungsi
Datar Bukit Gunung
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

9
A. Bentuk Lengkung Horisontal
Untuk mempertahankan kecepatan rencana dan menyesuaikan dengan
kondisi existing jalan serta perubahan arah tikungan jalan, dalam perencanaan
geometrik jalan terdapat 3 (tiga) bentuk lengkung horisontal, yaitu:

• Lengkung Lingkaran Penuh ( Full Circle / F-C )


• Lengkung Spiral – Lingkaran – Spiral ( S–C–S )

• Lengkung Spiral – Spiral ( S–S )

1. Lengkung Busur Lingkaran Penuh ( F-C )


Full circle merupakan jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja, dan hanya digunakan untuk jari-jari ( R ) yang besar agar tidak
terjadi patahan, karena dengan R yang kecil memerlukan superelevasi (e) yang
besar. Superelevasi yang dibutuhkan untuk lengkung busur lingkaran sederhana

adalah  3%.
Rumus :

 1
Tc Rc tan  2  ………………………………(1)

 1 
Ec Tc tan  4  ………………………………(2)

10

2  Rc ………………………………
Lc  ...(3)
360
O

Rc
TC

Lc
Tc
CT Ec

PI

Gambar 2.1 : Tipikal tikungan F-C

Bagian-bagian dari busur lingkaran penuh (full circle), yaitu :


PI : Titik perpotongan tangen ( Point of Intersection )
TC : Titik awal lingkaran ( Tangent Circle )
CC : Titik tengah busur lingkaran ( Circle Circle )
CT : Titik akhir lingkaran ( Circle Tangent )
O : Titik pusat lingkaran
Tc : Panjang tangen ( jarak TC ke PI atau PI ke CT )
Rc : Jari-jari lingkaran
Lc : Panjang busur lingkaran
Ec : Jarak Eksternal ( Jarak PI ke CC )

Δ : Sudut luar PI
D : Derajat Kelengkungan
emaks: Kemiringan Maksimum Tikungan

2. Lengkung Spiral – Lingkaran – Spiral ( S–C–S )

11
Gambar 2.2 : Tipikal tikungan S-C-S

Bagian-bagian dari lengkung Spiral – Lingkaran – Spiral adalah :


PI : Titik perpotongan tangen ( Point of Intersection )
TS : Titik dari tangen ke spiral
SC : Titik dari spiral ke lingkaran
ST : Titik perubahan spiral ke tangen
Xs : Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke
SC (jarak lurus lengkung peralihan)
Ys : Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen,
jarak tegak luruske titik SC pada lengkung)
Ls : Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke
SC atau CS ke ST)
Lc : Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts : Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
Es : Jarak dari PI ke busur lingkaran

Θs : Sudut lengkung spiral Rc :


jari-jari lingkaran emaks : Kemiringan
maksimum tikungan p : pergeseran
tangen terhadap spiral k : absis dari p
pada garis tangen spiral
12
Rumus yang digunakan adalah :

 Ls2 
Xs  Ls1 2 …………………………………..

(4)  40Rc 

Ls2
Ys  ………………..……………………..………(5)
6Rc

90 Ls
s   …………………………………………...(6) 
Rc

p  Ys Rc1coss ………………………………..(7)

k  Xs Rc Sins……………………………………….(8)

 1
Ts  Rc p tan  2  k

…………………………….(9)

Es  Rc 
p 1
 1  Rc ………………………….(10)

cos2

2s
Lc  Rc ………………………………..(11)
180

Ltot  Lc2Ls …………………………………………(12)

Jika dari hasil perhitungan didapatkan harga Lc  25 m, maka sebaiknya tidak


digunakan bentuk S-C-S, tetapi digunakan lengkung S-S.

3. Lengkung Spiral – Spiral ( S–S )


Adalah lengkung yang terdiri dari 2 (dua) lengkung peralihan, tanpa
busur lingkaran sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Rc yang dipilih harus
sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang

13
menghasilkan landai relatif minimum yang disyaratkan. Rumus-rumus yang
digunakan sama dengan pada perhitungan untuk Lengkung S-C-S, kecuali :

Lc0
s  Rc
Ls   ……………………………………..(13)
90
Ltot  2Ls

Kontrol yang digunakan terhadap lengkung peralihan adalah :

• Berdasarkan landai relatif menurut metoda Bina Marga, dengan nilai


kelandaian adalah :
Tabel 2.6 Panjang Kelandaian Menurut Kecepatan
VR
20 30 40 50 60 80
(km/jam)
M 50 75 100 115 125 150
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Rumus :

Ls  meen B …………………………………..(14)

• Berdasarkan panjang perjalanan selama 3 detik, yaitu :

Ls ≥ 3 x 60 x 1000 / 3600 = 50 m
Gambar tipikal lengkung S-S dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.

14
Gambar 2.3 : Tipikal tikungan S-S

B. Jari-jari Lengkung Minimum (Rmin)


Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecepatan rencana ditentukan
berdasarkan miring tikungan maksimum dan koefisien gesekan melintang
maksimum, yang dinyatakan dengan rumus :

Rmin 
Vr 2
……………………………………………………..(15)
127emax  f

dimana :
Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)
Vr = kecepatan rencana (km/jam) emax = superellevasi maksimum (%) f
= koefisien gesekan melintang, untuk perkerasan aspal f = 0.08 – 0.20

Panjang jari-jari minimum berdasarkan kecepatan rencana dan emaks = 10% adalah
sebagai berikut :

Tabel 2. 7 Jari-jari Minimum

15
VR
120 100 90 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Rmin 600 370 280 210 115 80 50 27 15
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

C. Lengkung Peralihan (Ls)


Menurut Tata Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga
1997 atau RSNI No. T-14-2004, lengkung peralihan adalah lengkung yang
disisipkan di antara bagian lurus dengan bagian lengkung yang berjari-jari tetap
atau sebaliknya. Lengkung ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perubahan
alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan
berjari-jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat
berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur baik ketika kendaraan
mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan.
Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid).
Tetapi bentuk lengkung peralihan yang umumnya digunakan adalah yang
berbentuk spiral. Panjang minimum lengkung peralihan (Ls), ditetapkan atas
pertimbangan bahwa:

• Jarak yang diperlukan untuk perubahan miring tikungan yang tergantung


pada besarnya landai relatif maksimum antara kedua sisi perkerasan.

• Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk


menghindarkan kesan perubahan Alinyemen yang mendadak, ditetapkan
3 detik (pada kecepatan Vr)

• Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi


berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan aman

• Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk


kelandaian normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh
melampaui re-max yang ditetapkan sebagai berikut :

- untuk Vr  70 km/jam, re-max = 0,035 m/m/detik.

- untuk Vr  80 km/jam, re-max = 0,025 m/m/detik.

16
Dengan ketetapan ini maka dapat disusun beberapa pendekatan untuk menghitung
panjang lengkung peralihan, yaitu sebagai berikut:
b. Berdasarkan waktu tempuh di lengkung peralihan :

Vrencana
Ls  T……………………………………(16) 3,6

c. Berdasarkan antipasi gaya sentrifugal :

Ls  0,022 Vrencana  2,727 Vrencana * e


R *C C
d. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian :

Ls  (em en )Vrencana ……………………………..(17)


3,6*re
Dimana :
Vrencana = Kecepatan rencana (km/jam)
Ls = Panjang lengkung peralihan (m)
T = waktu tempuh di Ls, diambil 3 detik em = Superelevasi
maksimum en = Superelevasi normal (umumnya 2%) re = Tingkat
pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan :

- Untuk Vrencana  70 km
/jam, re-maks = 0,35
m/m/detik

- Untuk Vrencana  80 km
/jam, re-maks = 0,25

m/m/detik C = Perubahan kecepatan, diambil 1 – 3

m/detik2.

R = Jari-jari busur lingkaran (m)

Pada tikungan Full Circle (FC), pencapaian superelevasi dilakukan secara


linier, yang diawali pada bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai pada bagian
lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls. Nilai lengkung peralihan (Ls) kadang
disimbolkan Ls’, yang artinya lengkung peralihan fiktif. Hal ini untuk
menandakan bahwa dalam perhitungan lengkung full circle tidak dibutuhkan data
Ls. Panjang peralihan fiktif ini hanya diberikan pada saat pembuatan diagram

17
superelevasi dan konstruksi. Selain menggunakan rumus-rumus diatas, untuk
tujuan praktis Ls dapat ditetapkan dengan menggunakan tabel berikut.

Tabel 2.8 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan PanjangPencapaian


Superelevasi, e (%)
VR
2 4 6 8 10
(km/jam)
Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le

20
30
40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40
50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50
60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60
70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70
80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120
90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130
100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145
110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -
120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Batas besarnya jari-jari lengkung dimana suatu tikungan tidak memerlukan


lengkung peralihan dapat dilihat pada Table 2.9 di bawah.

Tabel 2.9 Jari-jari Tikungan yang tidak Memerlukan Lengkung Peralihan


VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser dari


bagian jalan yang lurus ke arah sebelah dalam (lihat Gambar 2.4] sebesar p. Nilai
p (m) dihitung berdasarkan rumus berikut :
Ls2
18
p ………………………………...............................(18)
24Rc
Keterangan :
p = Jarak pergeseran (m)
Ls = Panjang lengkung
(m)
R = Jari-jari lengkung (m)

Gambar 2.4 : Pergeseran lengkung peralihan

Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak diperlukan
sehingga tipe tikungan menjadi FC.

Panjang lengkung transisi dapat juga ditentukan dengan panjang yang dibutuhkan
untuk mencapai kemiringan. Harga kemiringan tepi jalur lalulintas atau
kelandaian relatif dapat digunakan untuk hal tersebut.

D. Superelevasi (e)
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat
berjalan melalui tikungan pada kecepatan Vr. Nilai superelevasi maksimum
ditetapkan 10%. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi)
pada bagian lengkung. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan
secara linear lihat (Gambar 2.5), diawali dari bentuk normal sampai awal
lengkung peralihan (TS) pada bagian lurus jalan, lalu ditunjukkan sampai

19
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC). Pada tikungan FC,
pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar 2.6), diawali dari
bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang
1/3 bagian panjang Ls. Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya
dilakukan pada bagian spiral.

Gambar 2. 5 Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS

Gambar 2. 6 Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe FC


Penentuan kemiringan melintang (e) tergantung pada kondisi yang ada
dan pertimbangan praktis lainnya (misalnya untuk kemudahan pelaksanaan).
Penentuan nilai e ini didasarkan pada:

a. Kondisi iklim : Frekuensi curah hujan

b. Kondisi terain/topografi : Datar, bukit atau gunung

c. Kondisi daerah : Urban atau rural


d. Kondisi lalulintas : Frekuensi lalulintas dan kecepatan

20
Sedangkan penentuan kemiringan melintang di Indonesia umumnya
menggunakan empat nilai e-maks, yaitu: 6%, 8%, 10% dan 12%. Nilai ini
diadobsi dari hasil pendekatan yang dilakukan oleh AASHTO. Untuk jalan dalam
kota (urban) digunakan nilai e-maks sebesar 6% atau 8% (saat ini e-maks 6%
lebih sering digunakan). Sedangkan untuk jalan luar kota (rural) digunakan nilai
e-maks sebesar 10% atau 12% (saat ini e-maks 10% lebih sering digunakan).

Penentuan jari-jari minimum dimana tidak diperlukan superelevasi atau


kondisi Normal Crown (NC) didasarkan atas en = 2% dan faktor gesekan
samping, f = 0,035. Desain dengan menggunakan jari-jari yang lebih rendah dari
harga tersebut memerlukan pemberian superelevasi yang lebih besar dari
superelevasi normal. Suatu tikungan dengan jari-jari lengkung yang cukup besar
sampai batasbatas tertentu tidak memerlukan miring tikungan/ superelevasi (e).
Jari-jari lengkung minimum dimana superelevasi (e) tidak diperlukan dapat dilihat
pada Tabel 2. 10.

Tabel 2. 10 Jari-jari Tikungan yang tidak Memerlukan Superelevasi


Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin Tanpa
5000 2000 1250 700 - - - -
Superelevasi
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

E.Tikungan Gabungan
Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut :

 Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua arau lebih tikungan


dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda (lihat
Gambar 2.7)

 Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda (lihat Gambar 2.8).

21
Gambar 2. 7 Tikungan gabungan searah

Gambar 2. 8 Tikungan gabungan balik

Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2 :


R1 2
 ,tikungan gabungan searah harusdihindarkan,
R2 3

R 2
 ,tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoid paling
1

R2 3
tidak sepanjang 20 meter (lihat Gambar 2.9)

Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus di
antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 meter (lihat Gambar
2.10).

22
Gambar 2.9 Tikungan gabungan searah dengan sisipan bagian lurus minimum
sepanjang 20 meter

Gambar 2. 10 Tikungan gabungan balik dengan sisipan bagian lurus minimum


sepanjang 20 meter

Pada dasarnya tidak ada ketentuan baku tentang pemilihan jenis tikungan
yang akan digunakan. Untuk keseragman perancangan, Bina Marga menyarankan
menggunakan tikungan Spiral-Circle-Spiral sebagai dasar perancangan.

Dalam perancangan geometrik juga harus diperhitungkan jarak pandang henti


minimum, yaitu jarak yang harus tersedia bagi pengguna jalan/pengemudi untuk
memberhentikan kendaraannya ketika menemukan suatu penghalang. Selain itu
jarak pandang menyiap total, yaitu jarak yang diperlukan untuk melakukan
penyiapan dengan baik dan aman.

Semua hal-hal tersebut di atas, sudah dimuat dalam standar perencanaan


alinyemen horizontal seperti yang diberikan pada Tabel 2. 11.

Tabel 2. 11 Standar Perencanaan Alinyemen Horizontal


Parameter Kecepatan rencana (km/jam)

23
100 80 60 50 40 30 20
Jari-jari minimum, Rmin. (m) 380 230 120 80 - - -
Panjang Lengkung Minimum, (m) 170 140 100 80 70 50 40

Rmin Superelevasi Normal, (m) 5000 3500 2000 1300 800 500 200

Panjang Minimum Lenkung 170 140 100 80 70 50 40


Peralihan, (m)
Jarak Pandang Henti minimum, (m) 160 110 75 55 40 30 20

Jarak pandang Menyiap, (m) - 350 250 200 150 100 70


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

2.1.3. Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah profil elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang
ditinjau dalam bentuk profil memanjang yang menggambarkan tinggi rendahnya
jalan terhadap muka tanah asli sehingga dalam perencanaanya perlu
memperhatikan banyaknya volume galian dan timbunan tanah serta tingginya
harus memperhatikan kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan
penuh. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa
landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar),
dimana kelandaian dinyatakan dalam persen. Bagian lengkung vertikal dapat
berupa lengkung cekung atau lengkung cembung. Landai jalan diberi tanda positif
untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan dari kiri.
Pendakian dan penurunan memberi efek yang berarti terhadap gerak kendaraan.
Pada setiap perubahan kelandaian harus diberikan lengkung vertikal yang
memenuhi standar keamanan, kenyamanan dan drainase yang baik. Oleh sebab
itu, lengkung vertikal yang digunakan hendaknya merupakan lengkung parabola
yang sederhana.
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian
lengkung vertikal. Kontrol yang umum digunakan dalam perencanaan lengkung
vertikal adalah sebagai berikut :

24
1. Kelandaian diusahakan sebanyak mengikuti bentuk permukaan tanah asli
sehingga volume galian dan timbunan dapat dikurangi;
2. Perencanaan harus dilakukan sebaik mungkin karena perbaikan kelandaian
jalan yang dilakukan kemudian hari adalah sutau pekerjaan yang sulit dan
mahal;
3. Penggunaan landai maksimum sebaiknya dihindari dan bila terpaksa harus
menggunakan landai maksimum maka jalur pendakian khusus (jalur siput)
harus dibuat;
4. Perencanaan alinyemen vertikal harus sinkron dengan alinyemen horizontal.

Batas kriteria perencanaan alinyemen vertikal adalah kelandaian maksimum dan


panjang kritis landai yang diizinkan.

A. Landai Maksimum
Landai maksimum adalah landai vertikal maksimum yang
memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
Kelandaian maksimun didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh
yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Nilai kelandaian
maksimum sehubungan dengan kecepatan rencana (Vr) diberikan pada Tabel 2.
12.

Tabel 2. 12 Kelandaian Maksimum Alinyemen Vertikal


Kecepatan Rencana 120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Kelandaian Maksimum (%) 3 4 5 8 9 10 10 10
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

B. Panjang Kritis
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan rencana (Vr). Lamanya

25
perjalanan dalam panjang kritis tidak boleh lebih dari satu menit. Nilai panjang
kritis sehubungan dengan kecepatan rencana (Vr) adalah sebagai berikut.

Tabel 2. 13 Panjang Kritis Alinyemen Vertikal


Kecepatan pada Kelandaian (%)
Awal Tanjakkan 4 5 6 7 8 9 10
(km/jam)

80 630 460 360 270 230 230 200


60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Namun harga tersebut tidak mutlak, tergantung kepada biaya pembangunan yang
ada dengan ketentuan bahwa bagian jalan di atas landai kritis, di sampingnya
harus ditambahkan suatu lajur pendakian khusus untuk kendaraan-kendaraan yang
berat

C. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal merupakan tempat peralihan dari 2 (dua) kelandaian
yang berbentuk lengkung parabola sederhana. Lengkung vertikal direncanakan
untuk merubah secara bertahap perubahan dari dua macam kelandaian arah
memanjang jalan pada setiap lokasi yang diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak
pandang henti yang cukup untuk keamanan dan kenyamanan.

Dalam perancangan lengkung vetikal, perhitungannya mengikuti persamaan


parabola sederhana. Iluistrasi bentuk lengkung vertikal seperti yang diberikan
pada
Gambar 2.11. Pada gambar ini, panjang e atau Ev adalah

26
Gambar 2. 11 Tipikal lengkung vertikal parabola
Bagian-bagian lengkung vertikal dihitung dengan rumus-rumus pendekatan, yang
merupakan persamaan parabola.

Rumus :

g1 g2
Y xX ……………………………………………….(19)
2

2Lv


Ev g1 g2xLv ………………………………………………(20)
800
Dimana :
g1 : kelandaian tangen dari titik P (%), g2
: kelandaian tangen dari titik Q (%),
Y : Perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada
Sta. (m),
X : Jarak dari titik P ke titik yang ditinjau Sta. (m)
Lv: Panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan
jarak proyeksi dari titik A dan titik Q (Sta.)
Ev: Pergerseran vertikal dari titik Pusat Perpotongan
Vertikal (PPV) ke bagian lengkung
Ada dua bentuk lengkung vertikal, yaitu cembung dan cekung. Untuk
bentuk lengkung cembung, panjang lengkung vertikalnya didasarkan pada
keamanan, kenyamanan, drainase dan estetika dengan mempertimbangkan jarak

27
panjang yang dapat dicapai. Sedangkan untuk lengkung vertikal cekung perlu
diperhatikan jangkauan lampu sorot dan drainase.

1) Lengkung Vertikal Cembung


Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan
antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan. Pemilihan
panjang lengkung vertikal cembung haruslah merupakan panjang terpanjang yang
dibutuhkan setelah mempertimbangkan jarak pandangan baik jarak pandang henti
maupun jarak pandang menyiap, persyaratan drainase dan bentuk visual. Pada
lengkung vertikal cembung, ada batasan yang didasarkan pada jarak pandang baik
jarak pandang henti maupun jarak pandang menyiap. Adapun batasan tersebut
dapat dibedakan menjadi 2 keadaan, yaitu :

• Jarak pandang berada seluruhnya dalam daerah lengkung ( S  Lv


)

• Jarak pandang berada di luar dan di dalam daerah lengkung ( S 


Lv ) Jarak pandang henti dan mendahului menurut RSNI No. T-14-2004 seperti
terlihat di bawah ini:

Tabel 2. 14 Jarak Pandang Henti dan Mendahului


Untuk Jarak h1 (m) h2 (m)
Pandang Tinggi Mata Tinggi Obyek
Henti ( Sh ) 1.05 0.15
Mendahului ( Sd ) 1.05 1.05
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

Rumus-rumus yang digunakan adalah :

• Panjang Lv berdasarkan jarak pandang henti (Sh), yaitu :


Sh < Lv, maka :

AJh2
Lv …………………………………………………(21)
399
Sh > Lv, maka :

28
 399
Lv 2Jh ………………………………………………(22)
A

• Panjang Lv berdasarkan jarak pandang mendahului (Sd), yaitu :


Sd < Lv, maka :

Lv  A Jd2………………………………………………..(23)
840

Sd > Lv, maka :

840
Lv 2Jd  ……………………………………………….(24)
A

2) Lengkung Vertikal Cekung


Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan
antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.

Pemilihan panjang lengkung vertikal cekung harus merupakan panjang terpanjang


yang dibutuhkan setelah mempertimbangkan jarak penyinaran lampu depan
kendaraan di malam hari, penampilan secara umum dan kenyamanan pengemudi.

Rumus-rumus yang digunakan adalah :

•Panjang Lv berdasarkan jarak pandangan akibat penyinaran lampu


depan Sh < Lv, maka :

AJh2
Lv ………………………………………………….(25)
1203.5Jh
Sh > Lv, maka :

120 3.5Jh
Lv 2Jh 
……………………………………………(26) A

•Panjang Lv berdasarkan jarak pandangan bebas di bawah bangunan Sd


< Lv, maka :

AJd2 …………………………………………………..(27)
29
Lv
3480
Sd > Lv, maka :

3480
Lv 2Jd  ……………………………………………….(28)
A
Adapun panjang lengkung vertikal cekung minimum yang digunakan untuk
kenyamanan pengemudi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

AV 2
Rumus :Lv  …………………………………………..…(29)
380

Dimana :

A: Perbedaan aljabar landai (%) = g1 – g2


V: Kecepatan Rencana (km/jam)

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.16, yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya
lihat
Gambar 2. 12 dan Gambar 2. 13.

Tabel 2.15 Panjang Minimum Lengkung Vertikal

Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkung


(km/jam) Memanjang (%) (m)

< 40 1 20 – 30

40 – 60 0,6 40 – 80

> 60 0,4 80 – 150


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

30
Gambar 2. 12 Lengkung vertikal cembun

Gambar 2. 13 Lengkung vertikal cekung

D.Lajur Pendakian
Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk- truk bermuatan
berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan lain pada
umumnya, agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa
harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.

Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian
yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat. Penempatan lajur
pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

• Disediakan pada jalan arteri atau kolektor,

• Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000


smp/hari, dan persentase truk > 15%.

Tabel 2.16 Lajur Pendakian pada Kelandaian Khusus


Ambang Arus Lalu Lintas (Kend./jam)
tahun 1, jam Puncak
Panjang
Kelandaian
3% 5% 7%
0,5 km 500 400 300
> 1 km 325 300 300
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

31
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar 2. 14). Jarak minimum antara 2 lajur
pendakian adalah 1,5 km (lihat Gambar 2. 15).

Gambar 2. 14 Lajur pendakian tipikal

Gambar 2. 15 Jarak antara dua lajur pendakian

E. Koordinasi Alinyemen
Alinyemen vertikal, Alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen-elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
32
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.

Koordinasi Alinyemen vertikal dan Alinyemen horizontal harus memenuhi


ketentuan sebagai berikut :

•Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan Alinyemen vertikal, dan secara


ideal Alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi Alinyemen
vertical

•Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan

•Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan

•Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus

dihindarkan  Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan

panjang harus dihindarkan

Sebagai ilustrasi, berikut gambar-gambar yang menampilkan contoh-contoh


koordinasi Alinyemen yang ideal dan yang harus dihindarkan

Gambar 2. 16 Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan alinyemen


vertikal yang berimpit

33
Gambar 2.17 Koordinasi yang harus dihindarkan (alinyemen vertikal
menghalangi pandangan pengemudi saat mulai memasuki tikungan pertama)

Gambar 2.18 Koordinasi yang harus dihindarkan (pada bagian yang lurus
pandangan pengemudi sulit memperkirakan arah alinyemen di balik puncak
tersebut

2.1.4. Penampang Melintang Jalan


Penampang melintang jalan adalah tampak melintang geometrik jalan
yang menggambarkan lebar jalan (berdasarkan lebar lajur yang telah ditentukan),
beserta kemiringan melintang jalan. Pada desain penampang melintang jalan, juga
ditentukan lebar median, bahu, rumija (ROW) dan ruwasja.

Bentuk penampang melintang jalan akan menentukan kapasitas volume


lalulintas jalan tersebut sehingga dalam perencanaannya harus disesuaikan dengan
volume lalulintas rencana yang diperkirakan akan melalui jalan tersebut sesuai
dengan tahapan kebijaksanaan rencana pembangunan. Gambar 2.18
memperlihatkan tipikal potongan melintang jalan.

Bahu Jalur Lalu lintas Bahu


(2 lajur )
CL

Gambar 2.19 Tipikal tampak potongan jalan arteri/kolektor 2 lajur tanpa median
dan trotoar

a. Potongan Melintang (Cross Section)

34
Gambar potongan melintang dibuat menurut peta topografi sesuai keadaan
pada lokasi yang ditrntukan diatas standar sheet dengan skala horizontal 1 :
100 dan skala vertikal 1:50, dengan stationing pada setiap interval 25 – 50 m.

b. Potongan Melintang Standard (Typical Cross Section)


Gambar diibuat dengan skala yang pantas dengan memuat semua detail yang
diperlukan antara lain penampang pada daerah galian dan daerah timbunan
pada ketinggian yang berbeda-beda.

c. Bangunaan Standard Pelengkap dan Drainase


Gambar ini mencakup semua detail dari bangunan-bangunan pelengkap dan
bangunan-banguan drainase seperti turap pelindung talud, gorong-gorong,
saluran pasangan batu dan lain-lain.

2.1.5 Pelebaran Perkerasan


Pelebaran perkerasan dilakukan pada tikungan-tikungan yang tajam,
agar kendaraan tetap dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang telah
disediakan. Gambar dari pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dilihat pada
gambar berikut ini.

Gambar 2.20 pelebaran perkerasan pada Tikungan

Rumus yang digunakan :

35
B = n (b’ + c) + (n + 1) Td + Z ……………………………………..(30) b’

= b + b” ……………………………………………………………(31) b”

= Rr2 - √Rr2  p2 ………………………………………….……(32)

2
Td = √Rr  A2p  A R ………………………………………….……(33)

V
Z=
R
0,105 


 = B – W …………………………………………………………..(35)
Keterangan :
B = Lebar perkerasan pada tikungan n = Jumlah
jalur lalu lintas b = Lebar Lintasan truk pada jalur
lurus b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan p =
Jarak As roda depan dengan roda belakang truk
A= Tonjolan depan sampai bumper
W= Lebar perkerasan
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan Z =
Lebar tambahan akibat kelelahan pengamudi c =
Kebebasan samping

 = Pelebaran perkerasan
Rr = Jari-jari rencana

2.1.6 Kontrol Overlapping


Pada setiap tikungan yang sudah direncanakan, maka jangan sampai terjadi Over
Lapping. Karena kalau hal ini terjadi maka tikungan tersebut menjadi tidak aman
untuk digunakan sesuai kecepatan rencana. Syarat supaya tidak terjadi Over
Lapping : aI > 3V

Dimana : aI = Daerah tangen (meter)

V = Kecepatan rencana
36
Vr = 120 km/jam = 33,333 m/det.

Syarat over lapping a’  a, dimana a = 3 x V detik = 3 x 33,33 = 100 m


bila aI d1 – Tc  100 maman aII d2 – Tc

– Tt1  100 m aman aIII d3 –

Tt1 – Tt2  100 m aman

aIV d4 – Tt2  100 maman


2.1.7 Perhitungan Stationing
Stationing adalah dimulai dari awal proyek dengan nomor station
angka sebelah kiri tanda (+) menunjukkan (meter). Angka stasioning
bergerak kekanan dari titik awal proyek menuju titik akhir proyek.

2. 2 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku (Rigit Pavemend) dengan


Metode Binamarga 2013

Perkerasan kaku atau Rigid Pavemend ini memiliki modulus elastisitas


yang tinggi, sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan didapat
dari pelat beton itu sendiri. Metode perencanaan perkerasan kaku diambil dari
Metode Bina Marga 2013.

Adapun jenis perkerasan Kaku Metode Bina Marga 2013 adalah:


1. Perkerasan Beton Semen bersambung tanpa tulangan (Jointed Unreinforced
Concrete Pavement).
2. Perkerasan Beton Semen bersambung dengan Tulangan (Jointed Reinforced
concrete pavement).
3. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan (Continuosly Reinforced
concrete pavement)
4. Perkerasan Beton Semen dengan Tulangan serat baja (Fibre Reinforced
concrete pavement).
5. Perkerasan Beton Semen Pratekan (Prestressed concrete pavement).

37
Gambar 2.1 Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen
Untuk dapat memenuhi fungsi perkerasan jalan dalam memikul beban lalu lintas,
maka suatu perkerasan kaku harus memiliki kondisi berikut:
a) Mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar ( sebagai akibat
beban lalu lintas) sampai batas-batas yang mampu dipikul tanah dasar
tersebut, tanpa menimbulkan perbedaan lendutan/penurunan yang dapat
merusak perkesan itu sendiri.
b) Direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga mampu mengatasi
pengaruh kembang susut dan penurunan kekuatan tanah dasar, serta
pengaruh cuaca dan kondisi lingkungan.

Sifat pembebanan lalu lintas adalah pengulangan (repetisi), sehingga


keruntuhan struktur perkerasan didasarkan pada kelelahan (fatique). Dengan
demikian, jika perbandingan antara tegangan kuat lentur tarik beton rendah, maka
beton mampu menahan beban repetisi yang tinggi. Sebaliknya jika perbandingan
tinggi, maka kemampuan menahan repetisi akan sangat terbatas.

Tegangan lentur beton merupakan fungsi dari beban sumbu kendaraan


dan kondisi tanah dasar, yang dinyatakan dengan Modulus Reaksi tanah dasar (K).
sedangkan kuat lentur beton (MR) adalah besaran yang tergantung dari kualitas
beton.

Dalam perencanaan perkerasan kaku, diperlukan 3 masukan utama yaitu:

1. Modulus reaksi tanah dasar.


2. Kuat desak beton
3. Janis konfigurasi beban sumbu.

38
2.2.1 Faktor Untuk Menentukan Ketebalan
2.2.1 Kekuatan Tanah Dasar
Parameter yang umum digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah
dasar pada perkerasan kaku adalah modulus reaksi tanah dasar (K). Walaupun
sebagian besar beban pada perkerasan kaku dipikul oleh plat beton, namun
keawetan dan kekuatan plat tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat daya dukung
tanah dasar. Oleh karena itu, tanah dasar perlu dipersiapkan secara baik, antara
dengan memadatkan, membentuk serta melengkapi dengan fasilitas drainase.
Dalam hal ini jika kondisi tanah dasar jelek (K<2 kg/cm 3), maka tanah dasar perlu
diperbaiki atau diganti, atau diberikan lapisan pondasi bawah sedemikian rupa
sehingga diperoleh peningkatan nilai K. Bila tanah dasar lebih rendah dari elevasi
rencana, maka dilakukan penimbunan terlebih dahulu dengan menggunakan tanah
yang memenuhi syarat.
Bila dalam perencanaan nilai K belum dapat diukur maka nilai K
ditentukan berdasarkan korelasi antara nila K dengan CBR. Sifat daya dukung dan
keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan dan kekuatan
perkerasan beton semen. Syarat dalam Bina Marga Modulus reaksi Tanah dasar k
≥ 2 kg/cm2.
Modulus Reaksi Tanah Dasar
100
80
60
40
California Bearing Ratio (%)

20

10
8
6

1
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
Modulus Reaksi Tanah Dasar, k (kPa/mm)

Gambar 2.2 Korelasi Hubungan antara nilai (K) dan CBR

39
2.2.2 Lapis Pondasi Bawah
Lapisan pondasi bawah pada perkerasan beton semen bukan merupakan
bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi
sebagai berikut:
1. Menambah daya dukung lapisan tanah dasar.
2. Menyediakan lantai kerja yang stabil untuk peralatan kostruksi.
3. Mengurangi lendutan pada sambungan sehingga menjamin penyaluran
beban melali sambungan muai dalam jangka waktu yang lama.
4. Menjaga perubahan volume lapisan tanah dasar.
5. Mencegah keluarnya air pada sambungan atau tepi-tepi plat.

Jenis-jenis lapisan pondasi bawah dalam perkerasan kaku adalah:


a. Lapisan Pondasi Bawah Agrerat Lepas
Lapis pondasi bawah agrerat lepas sudah cukup untuk menahan
pumping, dengan syarat agrerat tersebut bergradsai baik, dari bahan
berplastisitas yang rendah yang sangat stabil.
b. Lapisan Pondasi bawah Terikat
Bahan pengikat yang sering digunakan adalah semen, kapur atau aspal
yang digunakan pada jalan dengan beban lalu lintas tinggi. Keuntungan
adalah untuk memperoleh lapisan pendukung dengan daya dukung
tinggi dan seragam sehingga dapatmencegah lendutan yang besar pada
ujung/tepi perkerasan kaku.

c. Lapisan Pondasi Bawah beton


Lapisan pondasi bawah terbuat dari plat beton atau yang setara untuk
meningkatkan daya dukung da menambah ketahanan terhadap erosi.
Lapisan pondasi beton dengan campuran abu batu atau sejenisnya harus
mempunyai kuat tekan minimum untuk 28 hari sebesar 5 MPA untuk
meminimalkan penyusutan.

2.2.3 Kekuatan Beton


Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tekan beton pada
umur 28 hari. Dari pengujian Modulus Of Repture (MR) pada umur 28 hari
40
minimum 40 kg/cm2 Dalam keadaan terpaksa boleh menggunakan beton dengan
MR minimum 30 kg/cm2 (3,0 Mpa).
Untuk mendapatkan MR, biasa menggunakan persamaan berikut:

MR = 0,62 ( Menurut ACI 318-83) ………………………………(36)


Dimana σbk adalah kuat tekan beton pada usia 28 hari ( f’c).

2.2.4 Mutu Perkerasan Beton


Bahan pokok untuk mutu perkerasan beton semen seperti agrerat kasar
dan agrerat halus sesuai dengan spesifikasi 2010. Untuk menentukan agrerat halus
dan agrerat kasar, proporsi agrerat halus harus dipertahankan seminimum
mungkin, akan tetapi sekurang-kurangnya 40% agrerat dalam capuran beton.

a. Agrerat Halus
Agrerat halus harus memnuhi standart SNI 1966:2008. Agrerat halus harus
dari bahan yang bersih, keras butiran yang tak dilapisi apapun dengan mutu
yang seragam dan harus:

1. Mempunyai ukuran yang lebih kecil dari ayakan no.4 (4,75 mm).
2. Sekurang-kurangnya terdiri dari 50% (terhadap berat)pasir alam.
3. Jika 2 jenis agrerat halus atau lebih dicampur, maka memenuhi
ketentuan-ketentuan.
Tabel 2.1 sifat-sifat agrerat halus
Sifat Ketentuan Metoda pengujian

Berat isi lepas Minimum 1200 kg/cm3 SNI 03-4804-1998

Penyerapan oleh air Maksimum 5% SNI 1969:2008

Sumber: spesifikasi 2010

b. Agrerat kasar
Tabel 2.2 sifat-sifat agrerat kasar
Sifat Ketentuan Metoda pengujian

Kehilangan akibat abrasi Los Tidak melampau 25% untuk SNI 2417 : 2008
Angeles 500 putaran

Berat isi lepas Minimum 1.200 kg/m3 SNI 03-4804-1998

41
Berat jenis Minimum 2.100 kg/m3 SNI 1970 : 2008

Bentuk partikel dengan rasio ampas besi: maks 6% SNI 1970 : 2008
3:1 dan 5:1 lainnya: maks. 2,5%

Bidang pecah 2 atau lebih Masing-masing maks 25% ASTM D-4791


dan
10%
Bidang pecah (2 atau lebih) Minimum 80% ASTM D-5821
Sumber : spesifikasi 2010

2.2.2 Lalu Lintas Rencana Untuk Perkerasan Kaku


Metode penentuan beban lalu lintas rencana untuk perencanaan tebal
perkerasan kaku dilakukan dengan cara mengakumulasikan jumlah beban sumbu
(dalam rencana lajur selama usia rencana) untuk masing-masing jenis kelompok
sumbu, termasuk distribusi beban. Tahap yang dilakukan sebagai berikut:

Tabel 2.4 Distribusi Beban Sumbu dan Berbagai Jenis Kendaraan

Distribusi Beban Sumbu dari Berbagai Jenis Kendaraan

42
Tabel 2.3 Faktor pertumbuhan lalu-lintas ( R)
Umur Rencana Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
(Tahun)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
Sumber: metode binamarga 2013

Apabila setelah waktu tertentu (URm tahun) pertumbuhan lalu-lintas tidak terjadi
lagi, maka
R dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

R

  UR URm 1i URm

1 ……………………………………(37) 1i UR
i
Dengan pengertian :
R :Faktor Pertumbuhan Lalu
lintas i : Laju pertumbuhan lalulintas
URm : Waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai

2.2.1 Karakteristik Kendaraan

Jenis kendaraan yang diperhitungkn hanya kendaraan niaga dengan berat


total minimum 5 ton. Konfigurasi sumbu yang diperitungkan ada 3 macam, yaitu:
1. Sumbu Tunggal Roda Tunggal (STRT).
Umumnya sebagai kendaraan barang,maksimal beban sumbu belakang
3,5 ton.

2. Sumbu Tunggal Roda Ganda (STRG).


Contoh STRG bus kecil sebagai kendaraan penumpang umumnya
dengan tempat duduk antara 16-26 kursi denganbus sebutan ¾

43
golongan 5a. Sedangkan bus besar 30-50 kursi,golongan 5b.truk 2
sumbu dengan beban sumbu belakang antara 5-10 ton, golongan 6.

3. Sumbu Tandem/ganda Roda Ganda (STRG).


Truk 3 sumbu sebagai kendaraan barang dengan 3 sumbu yang
letaknya STRT dan SGRG golongan 7a.

2.2.2 Lalu Lintas Rencana


Untuk lalu lintas harus dianalisis berdasarkan atas hasil perhitungan
volume lalu lintas dan konfigurasi sumbu. Untuk masing-masing jenis kelompok
sumbu kendaraan niaga, diestimasi angka LHR awal dari kelompok sumbu dengan
beban masing kelipatan 0,5 ton (5-5,5),(5,5-6) dan seterusnya. Untuk menghitung
Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga (JSKN) selama usia rencana menggunakan

Rumus:

JSKN=365xJSKNHxR ………………………………………..(38)

Dimana:

JSKNH = Jumlah sumbu kendaraan niaga harian pada saat jalan dibuka
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas yang tergantung pada I dan n. i
adalah faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan, n adalah umur
rencana.

44
R=

R= …………………………(40) R = ………………..(41)

Dimana: n tahunan pertama →i≠0 m waktu tertentu dalam tahun →

i’≠0

Jumlah repetisi komulatif tiap-tiap kombinasi konfigurasi sumbu pada lajur


rencana dengan cara mengalikan JSKN dengan presentase tiap-tiap kombinasi
terhadap JSKN dan koefisien distribusi lajur rencana seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.5Koefisien Distribusi Lajur Rencana (Cd)


Jumlah Lajur Kendaraan Niaga
1 arah 2 arah
1 lajur 1 1
2 lajur 0,70 0,500
3 lajur 0,50 0,475
4 lajur - 1,45
5 lajur - 0,425
6 lajur - 0,400
Sumber: Shirley L.Hendarsin 2000

Jumlah Repetisi komulatif tiap kombinasi konfigurasi/ beban sumbu pada lajur
rencana menggunakan rumus:
Jumlah Repetisi = JSKN x %JSKNH x Cd ……………………………. (42)

45
Sebagai besaran rencana beban sumbu untuk setiap konfigurasi harus dikalikan
dengan factor keamanan (FK) seperti terlihat pada table:

Table 2.6 Faktor keamanan


Peranan Jalan Faktor keamanan
Jalan tol 1,2
Jalan arteri 1,1
Jalan kolektor/ Lokal 1,0
Sumber: Shirley L.Hendarsin 2000

2.2.3 Prosedur Perencanaan Tebal Plat


Dalam hal ini kebutuhan tebal perkerasan ditentukan dari jumlah
kendaraan niaga selama usia rencana. Sesudah repetisi dari masing-masing
konfigurasi dan kombinasi sumbu/beban, kekuatan beton, modulus reaksi tanah
dasar/ modulus reaksi gabungan diketahui, maka perhitungan tebal plat dapat
dilakukan dengan mula-mula mencoba memilih suatu tebal plat tertentu.
Kemudian dihitung total fatique untuk seluruh volume lalu lintas pada lajur
rencana berdasarkan konfigurasi dan beban sumbu selam umur rencana.

Bila total fatique melebihi 100%, selanjutnya diambil tebal plat yang
lebih besar dan pemeriksaan total fatique diulangi lagi. Tebal rencana adalah tebal
yang memberikan total fatique mendekati atau sam dengan 100%.

Perencanaan tebal plat menurut metode Bina Marga adalah:


a. Pilih suatu tebal Plat
b. Untuk setiap kombinasi konfigurasi dan beban sumbu suatu harga K tertentu,
maka:
1. Tegangan lentur yang terjadi pada plat beton ditentukan dengan
menggunakan grafik korelasi beban sumbu dan harga K, yaitu sumbu
tunggal roda tunggal (STRT).
2. Perbandingan tegangan dihitung dengan membagi tegangan lentur yang
terjadi pada plat dengan kuat tarik lentur (MR) beton.
3. Jumlah pengulangan beban yang diijinkan ditentukan berdasarkan harga
perbandingan tegangan.

46
4. Presentase fatique untuk tiap-tiap kombinasi/ beban sumbu ditentukan
dengan membagi jumlah pengulangan beban rencana dengan jumlah
pengulangan beban ijin.
c. Cari total fatique untuk tiap-tiap kombinasi/ beban sumbu ditentukan dengan
konfigurasi beban sumbu.
d. Ulangi langkah-langkah tersebut diatas hingga didapat tebal plat terkecil
dengan total fatique lebih kecil 100%.

Tabel 2.7 Perbandingan Tegangan dan Jumlah Pengulangan Beban Yang


Diijinkan
Perbandingan Jumlah Pengulangan Perbandingan Jumlah Pengulangan
Tegangan Beban Yang diijinkan Tegangan Beban Yang
diijinkan
0.51 400.000 0.69 2.500
0.52 300.000 0.70 2.000
0.53 240.000 0.71 1.500
0.54 180.000 0.72 1.000
0.55 130.000 0.73 850
0.56 100.000 0.74 650
0.56 0.75 490
75.000
0.58 0.76 360
57.000
0.59 0.77 270
42.000
0.60 0.78
32.000 210
0.61 0.79
24.000 160
0.62 0.80
18.000 120
0.63 0.81
14.000 90
0.64 0.82
11.000 70
0.65 0.83
8.000 50
0.66 0.84
0.67 6.000 40
0.85
4.500
0.68 30
3.500
Sumber: Shirley L.Hendarsin 2000

2.3.1 Pola Sambungan (metode bina marga 2013)


Pola sambungan pada perkerasan beton semen harus mengikuti batasan-batasan
sebagai berikut :

•Hindari bentuk panel yang tidak teratur. Usahakan bentuk panel sepersegi
mungkin.

•Perbandingan maksimum panjang panel terhadap lebar adalah 1,25.

47
•Jarak maksimum sambungan memanjang 3 - 4 meter.

•Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal pelat, maksimum 5,0


meter.

•Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan mempunyai


kedalaman seperempat dan sepertiga dari tebal perkerasan masing-masing
untuk lapis pondasi berbutir dan lapis stabilisasi semen.

•Antara sambungan harus bertemu pada satu titik untuk menghindari


terjadinya retak refleksi pada lajur yang bersebelahan.

•Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari dengan
mengatur 0,5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi perkerasan.

•Apabila sambungan berada dalam area 1,5 meter dengan manhole atau bangunan
yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga antara
sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut membentuk
sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang berbentuk
bundar. Untuk bangunan berbentuk segi empat, sambungan harus berada pada
sudutnya atau di antara dua sudut.

•Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan dengan
sambungan muai selebar 12 mm yang meliputi keseluruhan tebal
pelat.

•Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole harus


ditebalkan

20% dari ketebalan normal dan berangsur-angsur berkurang sampai ketebalan


normal sepanjang 1,5 meter

•Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi
tulangan berbentuk anyaman sebesar 0,15% terhadap penampang beton semen

48
dan dipasang 5 cm di bawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7,5
cm dari sambungan.

Gambar 2.3 Potongan Melintang Perkerasan dan Lokasi Sambungan

2.3.2 Sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars)


Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan
terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3 - 4 m.
Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu
minimum BJTU - 24 dan berdiameter 16 mm.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
At = 204 x b x h dan ………………………………………(43) l =
(38,3 x φ) + 75 .………………………………………..(44)
Dengan pengertian :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm²) b =
Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan tepi perkerasan (m)
h = Tebal pelat (m). l = Panjang
batang pengikat (mm).

φ= Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).

Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm.


Tipikal sambungan memanjang diperlihatkan pada Gambar 2.5 dan 2.6

49
Gambar 2.4 Tata letak Sambungan pada perkerasan Kaku

2.3.3 Dowel (Ruji)


Dowel berupa batang baja tulangan polos maupun profil, yang digunakan
sebagai sarana penyambung/pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat beton
perkerasan jalan.
Tabel 2.8 Ukuran dan Jarak batang dowel (ruji) yang disarankan

Sumber: Shirley L.Hendarsin

Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang di pasang dengan
separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk
memberikan kebebasan bergeser.

50
Gambar 2.5 Sambungan Susut Melintang dengan Dowel

Gambar 2.6 Sambungan Muai dengan Dowel

2.3.4 Penutup Sambungan penutup sambungan di maksud untuk mencegah


masuknya air atau benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda – benda
lain yang masuk ke dalam sambungan dapat menyebabkankerusakan berupa
gompal yang saling menekan ke atas (blow up)

2.3.5 Perkerasan beton semen untuk kelandaian yang curam


Untuk jalan dengan kemiringan memanjang yang lebih besar dari 3%,
perencanaan serta prosedur mengacu, ditambah dengan angker panel (panel
anchored) dan angker blok (anchor block). Jalan dengan kondisi ini harus
dilengkapi dengan angker yang melintang untuk keseluruhan lebar pelat
sebagaimana diuraikan pada pada Gambar 16 dan 17.

51
Gambar 2.7 Angker Panel dan Angker Blok

52

Anda mungkin juga menyukai