LANDASAN TEORI
5
5
2.1.2 Klasifikasi Jalan
A. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan terdiri dari :
1. Jalan Arteri
Yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor
Yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
3. Jalan Lokal
Yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan
Jarak pendek, dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jalan masuk tidak dibatasi.
1. Jalan Nasiona
a. Jalan arteri primer
b. Jalan kolektor primer, yang menghubungkan antara ibukota propinsi
c. Jalan selain dari yang termasuk arteri/kolektor primer, yang mempunyai nilai
strategis terhadap kepentingan nasional, melayan daerah-daera yang rawan dan
lain-lain.
2. Jalan Propinsi
a. Jalan kolektor primer, yang menghubungkan ibukota propinsi denga ibu kota
kabupaten/kota.
b. Jalan kolektor primer, yang menghubungkan antar ibukota kabupaten
6
c. Jalan selain yang disebut di atas, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan propinsi, yakni jalan yang biarpun tidak dominan terhadap
perkembangan ekonomi, tetapi mempunyai perananan tertentu dalam menjamin
terselenggaranya pemerintah yang baik dalam perintahan daerah tingkt I dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya.
d. Jalan dalam daerah khusus ibukota Jakarta, kecuali yang termasuk jalan
nasional.
3. Jalan Kabupaten
a. Jalan kolektor primer, yang tidak termasuk dalam kelompok jala nasional dan
kelompok jalan propinsi.
b. Jalan lokal primer.
c. Jalan sekunder lain, selain sebagaimana dimaksud sebagai jalan nasional dan
jalan propinsi.
d. Jalan selain dari yang disebut di atas, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan kabupaten, yakni jalan yang walaupun tidak dominan terhadap
pengembangan ekonomi, tapi mempunyai peranan tertentu dalam menjamin
terselenggaranya pemerintahan dalam pemerintahan daerah tingkat II.
4. Jalan Kota
Jaringan jalan sekunder di dalam kota.
5. Jalan Desa
Jaringan jalan sekunder di dalam desa, yang merupahkan hasil swadaya
masyarakat, baik yang ada di desa maupun kelurahan.
6. Jalan Khusus
Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan/hukum/perorangan untuk
melayani kepentingan masing-masing.
7
Tabel 2.1 Klasifikasi, Fungsi Klas dan Type Medan Jalan
Fungsi jalan Arteri Kolektor Lokal
Type medan D B G D B G D B G
Kelandaian <3 3-25 >25 <3 3-25 >25 <3 3-25 >25
medan
SMP/hari Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
< 3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000- 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5
10000
8
10001- 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 Mengacu pada Tidak Ditentukan
25000 Persyaratan Ideal
> 25000 2x3,5 2,5 2x7,0 2,0 2x3,5 2,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
9
A. Bentuk Lengkung Horisontal
Untuk mempertahankan kecepatan rencana dan menyesuaikan dengan
kondisi existing jalan serta perubahan arah tikungan jalan, dalam perencanaan
geometrik jalan terdapat 3 (tiga) bentuk lengkung horisontal, yaitu:
adalah 3%.
Rumus :
1
Tc Rc tan 2 ………………………………(1)
1
Ec Tc tan 4 ………………………………(2)
10
2 Rc ………………………………
Lc ...(3)
360
O
Rc
TC
Lc
Tc
CT Ec
PI
Δ : Sudut luar PI
D : Derajat Kelengkungan
emaks: Kemiringan Maksimum Tikungan
11
Gambar 2.2 : Tipikal tikungan S-C-S
Ls2
Xs Ls1 2 …………………………………..
(4) 40Rc
Ls2
Ys ………………..……………………..………(5)
6Rc
90 Ls
s …………………………………………...(6)
Rc
1
Ts Rc p tan 2 k
…………………………….(9)
Es Rc
p 1
1 Rc ………………………….(10)
cos2
2s
Lc Rc ………………………………..(11)
180
13
menghasilkan landai relatif minimum yang disyaratkan. Rumus-rumus yang
digunakan sama dengan pada perhitungan untuk Lengkung S-C-S, kecuali :
Lc0
s Rc
Ls ……………………………………..(13)
90
Ltot 2Ls
Rumus :
Ls meen B …………………………………..(14)
Ls ≥ 3 x 60 x 1000 / 3600 = 50 m
Gambar tipikal lengkung S-S dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.
14
Gambar 2.3 : Tipikal tikungan S-S
Rmin
Vr 2
……………………………………………………..(15)
127emax f
dimana :
Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)
Vr = kecepatan rencana (km/jam) emax = superellevasi maksimum (%) f
= koefisien gesekan melintang, untuk perkerasan aspal f = 0.08 – 0.20
Panjang jari-jari minimum berdasarkan kecepatan rencana dan emaks = 10% adalah
sebagai berikut :
15
VR
120 100 90 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Rmin 600 370 280 210 115 80 50 27 15
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
16
Dengan ketetapan ini maka dapat disusun beberapa pendekatan untuk menghitung
panjang lengkung peralihan, yaitu sebagai berikut:
b. Berdasarkan waktu tempuh di lengkung peralihan :
Vrencana
Ls T……………………………………(16) 3,6
- Untuk Vrencana 70 km
/jam, re-maks = 0,35
m/m/detik
- Untuk Vrencana 80 km
/jam, re-maks = 0,25
m/detik2.
17
superelevasi dan konstruksi. Selain menggunakan rumus-rumus diatas, untuk
tujuan praktis Ls dapat ditetapkan dengan menggunakan tabel berikut.
20
30
40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40
50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50
60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60
70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70
80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120
90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130
100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145
110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -
120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak diperlukan
sehingga tipe tikungan menjadi FC.
Panjang lengkung transisi dapat juga ditentukan dengan panjang yang dibutuhkan
untuk mencapai kemiringan. Harga kemiringan tepi jalur lalulintas atau
kelandaian relatif dapat digunakan untuk hal tersebut.
D. Superelevasi (e)
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat
berjalan melalui tikungan pada kecepatan Vr. Nilai superelevasi maksimum
ditetapkan 10%. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi)
pada bagian lengkung. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan
secara linear lihat (Gambar 2.5), diawali dari bentuk normal sampai awal
lengkung peralihan (TS) pada bagian lurus jalan, lalu ditunjukkan sampai
19
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC). Pada tikungan FC,
pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar 2.6), diawali dari
bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang
1/3 bagian panjang Ls. Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya
dilakukan pada bagian spiral.
20
Sedangkan penentuan kemiringan melintang di Indonesia umumnya
menggunakan empat nilai e-maks, yaitu: 6%, 8%, 10% dan 12%. Nilai ini
diadobsi dari hasil pendekatan yang dilakukan oleh AASHTO. Untuk jalan dalam
kota (urban) digunakan nilai e-maks sebesar 6% atau 8% (saat ini e-maks 6%
lebih sering digunakan). Sedangkan untuk jalan luar kota (rural) digunakan nilai
e-maks sebesar 10% atau 12% (saat ini e-maks 10% lebih sering digunakan).
E.Tikungan Gabungan
Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut :
Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda (lihat Gambar 2.8).
21
Gambar 2. 7 Tikungan gabungan searah
R 2
,tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoid paling
1
R2 3
tidak sepanjang 20 meter (lihat Gambar 2.9)
Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus di
antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 meter (lihat Gambar
2.10).
22
Gambar 2.9 Tikungan gabungan searah dengan sisipan bagian lurus minimum
sepanjang 20 meter
Pada dasarnya tidak ada ketentuan baku tentang pemilihan jenis tikungan
yang akan digunakan. Untuk keseragman perancangan, Bina Marga menyarankan
menggunakan tikungan Spiral-Circle-Spiral sebagai dasar perancangan.
23
100 80 60 50 40 30 20
Jari-jari minimum, Rmin. (m) 380 230 120 80 - - -
Panjang Lengkung Minimum, (m) 170 140 100 80 70 50 40
Rmin Superelevasi Normal, (m) 5000 3500 2000 1300 800 500 200
Alinyemen vertikal adalah profil elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang
ditinjau dalam bentuk profil memanjang yang menggambarkan tinggi rendahnya
jalan terhadap muka tanah asli sehingga dalam perencanaanya perlu
memperhatikan banyaknya volume galian dan timbunan tanah serta tingginya
harus memperhatikan kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan
penuh. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa
landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar),
dimana kelandaian dinyatakan dalam persen. Bagian lengkung vertikal dapat
berupa lengkung cekung atau lengkung cembung. Landai jalan diberi tanda positif
untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan dari kiri.
Pendakian dan penurunan memberi efek yang berarti terhadap gerak kendaraan.
Pada setiap perubahan kelandaian harus diberikan lengkung vertikal yang
memenuhi standar keamanan, kenyamanan dan drainase yang baik. Oleh sebab
itu, lengkung vertikal yang digunakan hendaknya merupakan lengkung parabola
yang sederhana.
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian
lengkung vertikal. Kontrol yang umum digunakan dalam perencanaan lengkung
vertikal adalah sebagai berikut :
24
1. Kelandaian diusahakan sebanyak mengikuti bentuk permukaan tanah asli
sehingga volume galian dan timbunan dapat dikurangi;
2. Perencanaan harus dilakukan sebaik mungkin karena perbaikan kelandaian
jalan yang dilakukan kemudian hari adalah sutau pekerjaan yang sulit dan
mahal;
3. Penggunaan landai maksimum sebaiknya dihindari dan bila terpaksa harus
menggunakan landai maksimum maka jalur pendakian khusus (jalur siput)
harus dibuat;
4. Perencanaan alinyemen vertikal harus sinkron dengan alinyemen horizontal.
A. Landai Maksimum
Landai maksimum adalah landai vertikal maksimum yang
memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
Kelandaian maksimun didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh
yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Nilai kelandaian
maksimum sehubungan dengan kecepatan rencana (Vr) diberikan pada Tabel 2.
12.
B. Panjang Kritis
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan rencana (Vr). Lamanya
25
perjalanan dalam panjang kritis tidak boleh lebih dari satu menit. Nilai panjang
kritis sehubungan dengan kecepatan rencana (Vr) adalah sebagai berikut.
Namun harga tersebut tidak mutlak, tergantung kepada biaya pembangunan yang
ada dengan ketentuan bahwa bagian jalan di atas landai kritis, di sampingnya
harus ditambahkan suatu lajur pendakian khusus untuk kendaraan-kendaraan yang
berat
C. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal merupakan tempat peralihan dari 2 (dua) kelandaian
yang berbentuk lengkung parabola sederhana. Lengkung vertikal direncanakan
untuk merubah secara bertahap perubahan dari dua macam kelandaian arah
memanjang jalan pada setiap lokasi yang diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak
pandang henti yang cukup untuk keamanan dan kenyamanan.
26
Gambar 2. 11 Tipikal lengkung vertikal parabola
Bagian-bagian lengkung vertikal dihitung dengan rumus-rumus pendekatan, yang
merupakan persamaan parabola.
Rumus :
g1 g2
Y xX ……………………………………………….(19)
2
2Lv
Ev g1 g2xLv ………………………………………………(20)
800
Dimana :
g1 : kelandaian tangen dari titik P (%), g2
: kelandaian tangen dari titik Q (%),
Y : Perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada
Sta. (m),
X : Jarak dari titik P ke titik yang ditinjau Sta. (m)
Lv: Panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan
jarak proyeksi dari titik A dan titik Q (Sta.)
Ev: Pergerseran vertikal dari titik Pusat Perpotongan
Vertikal (PPV) ke bagian lengkung
Ada dua bentuk lengkung vertikal, yaitu cembung dan cekung. Untuk
bentuk lengkung cembung, panjang lengkung vertikalnya didasarkan pada
keamanan, kenyamanan, drainase dan estetika dengan mempertimbangkan jarak
27
panjang yang dapat dicapai. Sedangkan untuk lengkung vertikal cekung perlu
diperhatikan jangkauan lampu sorot dan drainase.
AJh2
Lv …………………………………………………(21)
399
Sh > Lv, maka :
28
399
Lv 2Jh ………………………………………………(22)
A
Lv A Jd2………………………………………………..(23)
840
840
Lv 2Jd ……………………………………………….(24)
A
AJh2
Lv ………………………………………………….(25)
1203.5Jh
Sh > Lv, maka :
120 3.5Jh
Lv 2Jh
……………………………………………(26) A
AJd2 …………………………………………………..(27)
29
Lv
3480
Sd > Lv, maka :
3480
Lv 2Jd ……………………………………………….(28)
A
Adapun panjang lengkung vertikal cekung minimum yang digunakan untuk
kenyamanan pengemudi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
AV 2
Rumus :Lv …………………………………………..…(29)
380
Dimana :
Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.16, yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya
lihat
Gambar 2. 12 dan Gambar 2. 13.
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
30
Gambar 2. 12 Lengkung vertikal cembun
D.Lajur Pendakian
Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk- truk bermuatan
berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan lain pada
umumnya, agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa
harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian
yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat. Penempatan lajur
pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
31
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar 2. 14). Jarak minimum antara 2 lajur
pendakian adalah 1,5 km (lihat Gambar 2. 15).
E. Koordinasi Alinyemen
Alinyemen vertikal, Alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen-elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
32
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
•Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan
•Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan
•Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan
33
Gambar 2.17 Koordinasi yang harus dihindarkan (alinyemen vertikal
menghalangi pandangan pengemudi saat mulai memasuki tikungan pertama)
Gambar 2.18 Koordinasi yang harus dihindarkan (pada bagian yang lurus
pandangan pengemudi sulit memperkirakan arah alinyemen di balik puncak
tersebut
Gambar 2.19 Tipikal tampak potongan jalan arteri/kolektor 2 lajur tanpa median
dan trotoar
34
Gambar potongan melintang dibuat menurut peta topografi sesuai keadaan
pada lokasi yang ditrntukan diatas standar sheet dengan skala horizontal 1 :
100 dan skala vertikal 1:50, dengan stationing pada setiap interval 25 – 50 m.
35
B = n (b’ + c) + (n + 1) Td + Z ……………………………………..(30) b’
= b + b” ……………………………………………………………(31) b”
2
Td = √Rr A2p A R ………………………………………….……(33)
V
Z=
R
0,105
= B – W …………………………………………………………..(35)
Keterangan :
B = Lebar perkerasan pada tikungan n = Jumlah
jalur lalu lintas b = Lebar Lintasan truk pada jalur
lurus b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan p =
Jarak As roda depan dengan roda belakang truk
A= Tonjolan depan sampai bumper
W= Lebar perkerasan
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan Z =
Lebar tambahan akibat kelelahan pengamudi c =
Kebebasan samping
= Pelebaran perkerasan
Rr = Jari-jari rencana
V = Kecepatan rencana
36
Vr = 120 km/jam = 33,333 m/det.
37
Gambar 2.1 Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen
Untuk dapat memenuhi fungsi perkerasan jalan dalam memikul beban lalu lintas,
maka suatu perkerasan kaku harus memiliki kondisi berikut:
a) Mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar ( sebagai akibat
beban lalu lintas) sampai batas-batas yang mampu dipikul tanah dasar
tersebut, tanpa menimbulkan perbedaan lendutan/penurunan yang dapat
merusak perkesan itu sendiri.
b) Direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga mampu mengatasi
pengaruh kembang susut dan penurunan kekuatan tanah dasar, serta
pengaruh cuaca dan kondisi lingkungan.
38
2.2.1 Faktor Untuk Menentukan Ketebalan
2.2.1 Kekuatan Tanah Dasar
Parameter yang umum digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah
dasar pada perkerasan kaku adalah modulus reaksi tanah dasar (K). Walaupun
sebagian besar beban pada perkerasan kaku dipikul oleh plat beton, namun
keawetan dan kekuatan plat tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat daya dukung
tanah dasar. Oleh karena itu, tanah dasar perlu dipersiapkan secara baik, antara
dengan memadatkan, membentuk serta melengkapi dengan fasilitas drainase.
Dalam hal ini jika kondisi tanah dasar jelek (K<2 kg/cm 3), maka tanah dasar perlu
diperbaiki atau diganti, atau diberikan lapisan pondasi bawah sedemikian rupa
sehingga diperoleh peningkatan nilai K. Bila tanah dasar lebih rendah dari elevasi
rencana, maka dilakukan penimbunan terlebih dahulu dengan menggunakan tanah
yang memenuhi syarat.
Bila dalam perencanaan nilai K belum dapat diukur maka nilai K
ditentukan berdasarkan korelasi antara nila K dengan CBR. Sifat daya dukung dan
keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan dan kekuatan
perkerasan beton semen. Syarat dalam Bina Marga Modulus reaksi Tanah dasar k
≥ 2 kg/cm2.
Modulus Reaksi Tanah Dasar
100
80
60
40
California Bearing Ratio (%)
20
10
8
6
1
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
Modulus Reaksi Tanah Dasar, k (kPa/mm)
39
2.2.2 Lapis Pondasi Bawah
Lapisan pondasi bawah pada perkerasan beton semen bukan merupakan
bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi
sebagai berikut:
1. Menambah daya dukung lapisan tanah dasar.
2. Menyediakan lantai kerja yang stabil untuk peralatan kostruksi.
3. Mengurangi lendutan pada sambungan sehingga menjamin penyaluran
beban melali sambungan muai dalam jangka waktu yang lama.
4. Menjaga perubahan volume lapisan tanah dasar.
5. Mencegah keluarnya air pada sambungan atau tepi-tepi plat.
a. Agrerat Halus
Agrerat halus harus memnuhi standart SNI 1966:2008. Agrerat halus harus
dari bahan yang bersih, keras butiran yang tak dilapisi apapun dengan mutu
yang seragam dan harus:
1. Mempunyai ukuran yang lebih kecil dari ayakan no.4 (4,75 mm).
2. Sekurang-kurangnya terdiri dari 50% (terhadap berat)pasir alam.
3. Jika 2 jenis agrerat halus atau lebih dicampur, maka memenuhi
ketentuan-ketentuan.
Tabel 2.1 sifat-sifat agrerat halus
Sifat Ketentuan Metoda pengujian
b. Agrerat kasar
Tabel 2.2 sifat-sifat agrerat kasar
Sifat Ketentuan Metoda pengujian
Kehilangan akibat abrasi Los Tidak melampau 25% untuk SNI 2417 : 2008
Angeles 500 putaran
41
Berat jenis Minimum 2.100 kg/m3 SNI 1970 : 2008
Bentuk partikel dengan rasio ampas besi: maks 6% SNI 1970 : 2008
3:1 dan 5:1 lainnya: maks. 2,5%
42
Tabel 2.3 Faktor pertumbuhan lalu-lintas ( R)
Umur Rencana Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
(Tahun)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
Sumber: metode binamarga 2013
Apabila setelah waktu tertentu (URm tahun) pertumbuhan lalu-lintas tidak terjadi
lagi, maka
R dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
R
UR URm 1i URm
1 ……………………………………(37) 1i UR
i
Dengan pengertian :
R :Faktor Pertumbuhan Lalu
lintas i : Laju pertumbuhan lalulintas
URm : Waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai
43
golongan 5a. Sedangkan bus besar 30-50 kursi,golongan 5b.truk 2
sumbu dengan beban sumbu belakang antara 5-10 ton, golongan 6.
Rumus:
JSKN=365xJSKNHxR ………………………………………..(38)
Dimana:
JSKNH = Jumlah sumbu kendaraan niaga harian pada saat jalan dibuka
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas yang tergantung pada I dan n. i
adalah faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan, n adalah umur
rencana.
44
R=
R= …………………………(40) R = ………………..(41)
i’≠0
Jumlah Repetisi komulatif tiap kombinasi konfigurasi/ beban sumbu pada lajur
rencana menggunakan rumus:
Jumlah Repetisi = JSKN x %JSKNH x Cd ……………………………. (42)
45
Sebagai besaran rencana beban sumbu untuk setiap konfigurasi harus dikalikan
dengan factor keamanan (FK) seperti terlihat pada table:
Bila total fatique melebihi 100%, selanjutnya diambil tebal plat yang
lebih besar dan pemeriksaan total fatique diulangi lagi. Tebal rencana adalah tebal
yang memberikan total fatique mendekati atau sam dengan 100%.
46
4. Presentase fatique untuk tiap-tiap kombinasi/ beban sumbu ditentukan
dengan membagi jumlah pengulangan beban rencana dengan jumlah
pengulangan beban ijin.
c. Cari total fatique untuk tiap-tiap kombinasi/ beban sumbu ditentukan dengan
konfigurasi beban sumbu.
d. Ulangi langkah-langkah tersebut diatas hingga didapat tebal plat terkecil
dengan total fatique lebih kecil 100%.
•Hindari bentuk panel yang tidak teratur. Usahakan bentuk panel sepersegi
mungkin.
47
•Jarak maksimum sambungan memanjang 3 - 4 meter.
•Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari dengan
mengatur 0,5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi perkerasan.
•Apabila sambungan berada dalam area 1,5 meter dengan manhole atau bangunan
yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga antara
sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut membentuk
sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang berbentuk
bundar. Untuk bangunan berbentuk segi empat, sambungan harus berada pada
sudutnya atau di antara dua sudut.
•Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan dengan
sambungan muai selebar 12 mm yang meliputi keseluruhan tebal
pelat.
•Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi
tulangan berbentuk anyaman sebesar 0,15% terhadap penampang beton semen
48
dan dipasang 5 cm di bawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7,5
cm dari sambungan.
49
Gambar 2.4 Tata letak Sambungan pada perkerasan Kaku
Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang di pasang dengan
separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk
memberikan kebebasan bergeser.
50
Gambar 2.5 Sambungan Susut Melintang dengan Dowel
51
Gambar 2.7 Angker Panel dan Angker Blok
52