Anda di halaman 1dari 5

Peran Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum

Kepala Daerah Diatur Dalam Beberapa Putaran Perndang-Undangan

Salah satu adenda yang penting dalam proses perubahan politik adalah menyelenggarakan
pemilihan umum. Maka pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang
demokratis adalah sebagai instirusi untuk melakukan perebutan kekuasaan ( pengaruh) yang
dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit politik (pengantian kekuasaan)
dapat dilakukan secara damai dan beradab. Lembaga tersebut adalah produk dari pengalaman
sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan di mana kedaulatan rakyat menjadi sumber
kekuasaan itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih popular, manajemen kekuasaan seperti itu disebut
demokrasi. System politik yang demokratis meskipun sangan kompleks, ruwet serta tidak efisien
tetap menjadi pilihan terbaik dibandingkan dengan sistem-sistem kekuasaan yang lain, seperti
sistem otoritarian, militer, oligarki, dan lain-lain.[1]
Di Indonesia, pengaturan dasar normatif mengenai Pemilu diatur dalam Bab VII B UUD
1945, yaitu Pasal 22 E yang terdiri dari 6 (enam) ayat, yaitu :
Ayat (1) : Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali.
Ayat (2) : Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Ayat (3) : Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan rakyat dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.
Ayat (4) : Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
Ayat (5) : Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Ayat (6) : Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan Undang-Undang.
Mendasarkan pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut diatas, disebutkan bahwa
penyelenggara pemilihan umum adalah suatu komisi yang bersifat nasional ,tetap, dan mandiri.
Dalam Pasal ini tidak menentukan secara eksplisit apa nama komisi tersebut, sehingga terserah
kepada DPR bersama dengan Pemerintah untuk menentukannya dalam Undang-
Undang. Misalnya Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada komisi tersebut dengan
nama Komisi Pemilihan Nasional, Komisi Pemilihan Pusat, Komisi Pemilihan Daerah Propinsi,
dan sebagainya. Namun demikian selama ini komisi tersebut diberi nama Komisi Pemilihan
Umum.[2]
Berdasarkan hal tersebut diatas, tagas dinyatakan kemandirian penyelenggara Pemilu oleh
KPU. Berati penyelenggara KPU tidak lagi bersifat ad hoc, yang secara temporer melaksanakan
tugasnya dan senantiasa terkait dengan pemerintah dalam arti dikontrol oleh pemerintah. Dalam
ketentuan ini menjadi daar bahwa pemerintah terlepas dari KPU yang bertugas menyelenggarakan
Pemilu sebagai organ yang mandiri didalam dikenerjanya.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti diamanatkan dalam UUD
1945. Sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat sebagaimana tercermin
dalam perubahan UUD 1945, Pemilu diselenggarakan bertujuan untuk memilih wakil rakyat untuk
membentuk pemeruntahan yang demikratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat. Hal ini
menjadi dasar filosofis penyelenggaraan Pemilu yang harus dijadikan sebagai dasar KPU dan
KPUD baik pada tingkat Provinsi maupun pada tingkat kabupaten/Kota.
Selanjutnya untuk melaksanakan pemilihan umum tidak dapat dilepaskan keterkaitannya
dengan aparat pelaksana pemilu itu sendiri, khususnya yang telah berlangsung pada masa sebelum
pergeseran dari rezim pemilihan kepala daerah ke rezim pemilihan umum. Untuk itu, pencermatan
yang dilakukan terhadap pelaksanaan Pemilu senantiasa diawali dan senantiasa menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari perjalanan Pemilu di tanah air beserta penyelenggara atau pelaksananya
yang untuk waktu yang lama dijalankan oleh pemerintah. Baru dalam beberapa tahun belakangan
dilaksanakan oleh lembaga yang bersifat mandiri.[3]
Mencermati pelaksanaan pemilu yang berlangsung ditanah air selama ini, menunjukkan
bahwa penyelenggara Pemilu itu berbeda-beda disetiap masa. Berbeda baik dalam hal sistemnya
maupun legitimasi formal yang dikandung dalam Undang-Undang sebagai dasar pelaksanannya.
Hal ini dapat difahami sebagai refleksi dari pergeseran dinamika dan perkembangan masa yang
terus berkembang dinamis dari waktu kewaktu dengan mengakomodasikannya dalam bentuk
hukum, khususnya Undang-Undang. Pada masa orde baru, penyelenggara Pemilu itu adalah
Pemerintah. Dari kenyataan ini menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang mendukung
pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu karena baik infra struktur maupun supra strukturnya
sudah siap. Ada yang tidak mendukung karena secara sederhana beralasan, pelaksanaan Pemilu
oleh pemerintah tidak obyektif. Ada kepentingan yang sangat kuat dari pemerintah untuk mengatur
dalam arti ikut berperan karena kepentingan dan mempengaruhi penyelenggaraan Pemilu. Intinya
adalah keinginan kuat untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara mempengaruhi pelaksanaan
Pemilu dan aturan yang menguntungkan penguasa. Didalam pelaksanaannya, penyelenggaraan
Pemilu oleh pemerintah itu secara teknis diselenggarakan oleh Kementrian Dalam Negeri yang
dengan demikian dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, yang kedudukannya adalah sebagai
pembantu Presiden. Maka netralitasnya dipertanyakan ketika peran pemerintah pada bidang politik
begitu besar karena kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan tadi. Bahkan sebelum Pemilu
dilaksanakan pun sudah dapat ditebak bahwa pemenangnya adalah Partai pemerintah dengan
kemenangan yang mutlak pula. Peran serta masyarakatpun direkayasa sedemikian rupa sehingga
mencerminkan suara yang sangat besar sebagai bagian dari upaya menanamkan kesan bahwa
pemenangnya benar-benar legitimate dan memperoleh dukungan yang sangat kuat dari rakyat.[4]
Pada perkembangan selanjutnya, setelah sekurangnya 4 (empat) kali penyelenggaraan
Pemilu, maka dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga yang pada
awal pembentukannya beranggotakan orang-orang yang non partisan dan kebanyakan dari
kalangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kewenangannya boleh
disebut cukup besar pada awal menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,
Pemilihan Anggota DPR dan DPD, serta DPRD yang diselenggarakan serempak diseluruh tanah
air. Dalam perkembangan berikutnya KPU jugamenyelenggarakan Pemilu untuk Kepala Daerah
baik pada tingkat Provinsi maupun pada tingkat Kabupaten/Kota diseluruh wilayah tanah air. Dari
perjalanan kinerja KPU, terutama dengan merunut pada perjalanan KPU, yaitu pada masa Pemilu
tahun 1999, kinerja KPU masih dikesankan menghambat proses Pemilu 1999. Dinyatakan
demikian karena pengalaman pertama kali kelembagaan Partai Politik bersama-sama Pemerintah
menyelenggarakan Pemilu Pasca Orde Baru. Terlepas dari pengalaman pertama kali atau tidak,
kehadiran tokoh-tokoh Partai Politik yang semula diyakini kredibilitasnya semestinya mampu
bekerja dan menunjukkan komitmen politiknya bagi peningkatan kualitas Pemilu itu sendiri
ternyata tidak sesuai dengan harapan. Sebenarnya dapat
dimaklumi karena ini adalah pengalaman pertama.[5]
Sejak awal pembentukan KPU untuk Pemilu tahun 1999, mengemuka berbagai
permasalahan. Pada satu sisi hal ini dapat dimaklumi karena lembaga tersebut baru saja dibentuk
dan masih mencari style kinerja yang mapan dan terukur. Masalah yang mengemuka diantaranya
adalah tentang masih rancunya prosedur untuk merefleksikan ketidaksetujuan terhadap
mekanisme yang sedang berlangsung. Prosedur dimaksud harusnya memang dibakukan sebagai
model protes dan aktualisasi ketidakmantapan sikap politik dalam menerima peran sentral
pemerintahan transisi dalam Pemilu. Kemauan pemerintah untuk berperan masih begitu besar
sehingga terjadi semacam intrusi politis terhadap kinerja KPU.
Sebenarnya hal diatas lebih mengarah kepada persoalan teknis dan
mengemukanya ego baik dari pemerintah yang ingin mempertahankan besarnya peran maupun
oleh pelaksana kinerja KPU yang trauma dengan kuatnya peran pemerintah tersebut. Penggunaan
standard ganda dalam menyikapi produk politik pemerintahan yang boleh disebut berada pada
kondisi transisi itu pada gilirannya telah mempengaruhi kinerja KPU selanjutnya. Mulai dari masa
pengambilan sumpah anggota KPU oleh Presiden sampai pertentangan soal pembagian suara
diantaranya wakil pemerintah dan wakil Partai Politik di KPU, pada dasarnya lebih mencerminkan
bahwa Pemilu 1999 seolah-olah diselenggarakan untuk memuaskan para politisi dan para
pemimpin Partai Politik.
Mencermati realitas kelahiran KPU yang menyelenggarakan Pemilu tahun 1999 memang
menimbulkan banyak permasalahan pada pra kelahiran tersebut yang mengakomodasikan
urgensinya sebuah lembaga penyelenggara KPU yang mandiri. Oleh karena penyelenggara Pemilu
dipandang sebagai kebijakan nasional strategis dan berjangka panjang maka sebagai solusi
konstitusionalnya dilakukan pada hulunya dengan melakukan amandemen UUD 1945 yang
menetapkan kinerja KPU.
Selanjutnya, seiring dengan masuknya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
kedalam rezim Pemilu, maka penyelenggaraannyapun diserahkan kepada KPU dalam hal ini
adalah KPUD, dan pada daerah Pemerintahan Aceh disebut KIP untuk memilih Gubernur dan
Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota. Dalam hubungan ini
KPUD/KIP direpresentasikan sebagai instansi yang tugasnya untuk menyelenggarakan
Pemilukada yang bebas, mandiri, dan transparansi dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
KIP yang salah satu peranannya adalah untuk melaksanakan pemilihan umum kepala
daerah dan wakil kepala daerah di Propinsi Aceh tidak terlepas kaitannya dengan penandatanganan
MoU (Memorandum of Understanding) di Helsinky antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005. Kemudian ditindaklanjuti pengesahan Undang-
Undang Pemerintahan Aceh oleh DPR RI pada tanggal 11 Juli 2006. Undang-undang ini dianggap
sebagai lex specialis terhadap UU Partai Politik yang akan dijadikan panduan utama pada
pelaksanaan pilkada di Aceh. Langkah strategis diatas memberikan peluang bagi masyarakat di
Aceh untuk membangun kembali sistem dan perangkat politik yang selama ini terpendam dan
terbelunggu oleh konflik yang menahun. Tidak hanya itu, suasana kesetaraan politik mendorong
berbagai pihak untuk membagi ideologi politik yang dimiliki agar terjadi kolaborasi guna
menyepakati bentuk dan model politik yang layak dan manusiawi di Aceh.[6]
Dalam pelaksanaan pilkada di Aceh, KIP melakukan pemantauan identifikasi dan
verifikasi yang transparans. Pemantauan pada dasarnya miliksemua orang sehingga eleminasi
alami bisa terjadi dibanding pemantauan yang terlembaga. Untuk itu, KIP maupun pemerintah
daerah di Aceh berperan untuk menjamin ruang yang pasti dan bersih dengan aturan yang
terlembaga untuk memonitor prilaku para pelaku diatas guna menciptakan pilkada Aceh yang
berkualitas dan alami.

[1] Koirudin, Profil Pemilihan Umum 2004, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 13.
[2] Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 81.
[3] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 55.
[4] Samsul Wahidin, Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 42.
[5] Ibid, hlm. 43.
[6] http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/publikasi/artikel-opini/aly-yusuf/256-
pilkada-aceh-hajatan-statis.

Anda mungkin juga menyukai