Masalah Terstruktur atau terprogram adalah masalah yang rutin yang sering terjadi
berulang-ulang. Biasanya sudah ada prosedur standar untuk menyelasaikan masalah
terstruktur ini. Misalnya seorang pilot akan menerbangkan pesawat. Masalah yang
dihadapi adalah masalah terstruktur karena merupakan masalah rutin yang dihadapi
dan sudah ada prosedurnya. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pilot dalam
usaha menerbangkan pesawat juga menjadi pengambilan keputusan terstruktur sesuai
prosedur.
Masalah Semi Terstruktur adalah masalah yang berada antara tidak terstruktur dan
terstruktur, artinya bisa saja masalah yang dihadapi adalah masalah rutin tetapi
prosedur standar yang bisa digunakan tidak dapat memecahkan masalah yang ada.
Pengambilan keputusan untuk masalah semi terstruktur ini juga menjadi pengambilan
keputusan semi terstruktur artinya pertimbangan dari pengambilan keputusan ikut
mengambil peran sehingga keputusan yang di ambil menjadi berbeda dengan prosedur.
Masalah terstruktur (structured problem) adalah masalah yang dapat dipahami oleh
orang yang memecahkan masalah. Sedangkan masalah yang tidak terstruktur
(unstructured problem) adalah masalah yang tidak memiliki elemen atau hubungan
antar elemen yang dipahami oleh orang yang memecahkan masalah.
Sesungguhnya, kebanyakan masalah adalah permasalahan dimana manajer
memiliki pemahaman yang kurang sempurna akan berbagai elemen dan hubungan
diantaranya.
Masalah Semi Terstruktur (semistructured problem) adalah masalah yang terjadi atas
beberapa elemen atau hubungan yang dipahami oleh si pemecah masalah dan
beberapa yang tidak dipahami.
Sumber : Buku Bpk. Ais Zakiyudin
Keputusan Terstruktur
- Berulang-ulang
- Rutin
- Mudah dipahami
- Memiliki pemecahan yang standar berdasarkan analisa kuantitatif
- Dibuat menurut kebiasaan, aturan, prosedur; tertulis maupun tidak
- Sering diotomatisasi
Contoh : Pemberian cuti MHS, pengambilan TA, denda peminjaman buku, penutupan
rekening dan pemutusan sambungan telepon.
A. Masalah Terstruktur adalah dapat diketahui penyelesaiannya dengan jelas dan pada
umumnya terjadi berulang
B. Masalah Tidak Terstruktur adalah masalah yang tidak jelas solusinya, seperti misalnya
; masalah yang tidak pernah berulang atau masalah yang tidak dapat diprediksi.
C. Masalah Semi Terstruktur adalah masalah terstruktur dengan masalah yang tidak
terstruktur.
2. Berikan contoh kebijakan public yang dibuat karena masalah social yang
tidak terstruktur dan berikan satu atau dua kebijakan public dengan
preferensi nilai di dalam nya?
3. Jelaskan sifat-sifat masalah public dengan contoh2 yang lebih luas,
berikut kebijakan public terhadap masalah itu?
Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20% sisanya adalah bagaimana kita
mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena disini
masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu,
ancaman utama, adalah konsistensi implementasi (Nugroho, 2011).
Berbagai pendekatan dalam implementasi kebijakan, baik terkait dengan implementor, sumberdaya,
lingkungan, metoda, permasalahan dan tingkat kemajemukan yang dihadapi di
masyarakat. Sumberdaya manusia sebagai implementor mempunyai peranan yang penting dalam
pengendalian implementasi kebijakan publik.
Menurut Meter dan Horn (dalam Subarsono, 2005) terdapat enam variabel yang memberikan
pengaruh terhadap implementasi kebijakan, yakni: Pertama, standar dan sasaran kebijakan. Standar
dan sasaran kebijakan menurut kedua pakar ini harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.
Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah
menimbulkan konflik diantara agen pelaksana; Kedua, Sumber daya, implementasi kebijakan
memerlukan sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non
manusia (non-human resources); Ketiga, hubungan antar organisasi. Dalam banyak program,
implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. untuk itu,
diperlukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain agar sasaran kebijakan/ program
tercapai; Keempat, karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi dari suatu kebijakan; Kelima, kondisi sosial politik dan ekonomi yang mencakup
sumberdaya ekonomi lingkungan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, bagaimana sifat opini publik yang
ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan; dan Keenam, Disposisi
implementor yang mencakup tiga hal yang penting yaitu: 1).Respon implementor terhadap kebijakan
yang akan mempengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan; 2).Kognisi, yaitu pemahamannya
terhadap kebijakan; dan 3).Intensitas disposisi implementor.
Menurut Grindle (dalam Subarsono, 2005) implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua variabel
besar yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (conteks of policy). Variabel
isi kebijakan mencakup 1).Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat
dalam isi kebijakan; 2).Jenis manfaat yang diterima oleh target group; 3).Sejauh mana perubahan
yang diinginkan dari suatu kebijakan; 4).Apakah letak dari sebuah program sudah tepat; 5).Apakah
sebuah kebijakan telah menyebutkan impelmentornya dengan rinci; dan 6).Apakah sebuah program
di dukung oleh sumber daya manusia. Variabel lingkungan kebijakan mencakup: 1). Seberapa besar
kekuasaan, kepentingan, strategi yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
2). Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; dan 3). Tingkat kepatuhan dan
responsivitas sasaran.
Edward III (dalam Subarsono, 2005) lebih lanjut mengemukakan dua premis untuk keperluan studi
implementasi kebijakan yaitu prakondisi-prakondisi apakah yang diperlukan untuk keberhasilan
implementasi kebijakan serta hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam penerapannya. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut kemudian diidentifikasikan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi
implementasi kebijakan sebagai variabel independen yang mempengaruhi kinerja dari implementasi.
Faktor-faktor tersebut meliputi empat variabel, yaitu: 1).Komunikasi; 2).Sumber daya; 3).Disposisi;
dan 4).Struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut tidak hanya secara langsung mempengaruhi
implementasi, akan tetapi juga tidak secara langsung masing-masing faktor berpengaruh terhadap
faktor lainnya.
Menurut Mazmanian dan Sebastier (dalam Subarsono, 2005) terdapat tiga kelompok variabel yang
berpengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan yaitu: 1). Karakteristik dari masalah (tractability
of the problem); 2). Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure
implementation); 3).Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). Kelompok
variabel karakteristik masalah mencakup: a).Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan;
b).Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran; c.Proporsi kelompok sasaran terhadap total
populasi; dan d).Cakupan perubahan perilaku yang diinginkan. Kelompok variabel karakteristik
kebijakan/ undang-undang mencakup: a).Kejelasan isi kebijakan; b).Seberapa jauh kebijakan tersebut
memiliki dukungan teoritis; c).Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut;
d).Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelasana; e).Kejelasan
dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana; f).Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan
kebijakan; dan g).Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup a).Kondisi sosial
ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi; b).Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan;
3.Sikap dari kelompok pemilih; dan c).Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan
implementor.
Menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Subarsono, 2005), ada empat kelompok variabel yang
mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program yaitu: 1). Kondisi lingkungan; 2). Hubungan antar
organisasi; 3). Sumber daya organisasi untuk implementasi program; dan 4). Karakteristik dan
kemampuan agen pelaksana. Sedangkan Weimer dan Vining (dalam Subarsono, 2005) menegaskan
ada tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi implementasi suatu program yaitu: 1).
Logika kebijakan; 2). Lingkungan kebijakan; dan 3). Kemampuan implementor kebijakan.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh beberapa pakar kebijakan diatas, secara umum terlihat bahwa
para ahli kebijakan tersebut memiliki variasi pandangan dalam merumuskan faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan. Dalam variasi padangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks karena ada banyak faktor yang dapat
memberikan pengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan.
1) Standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan public harus mempunyai standard an
suatu sasaran kebijakan jelas dan terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat
terwujudkan. Dalam standard an sasaran kebijakan tidak jelas, sehingga tidak bias terjadi multi-
interpretasi dan mudah menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik di antara para agen
implementasi.
6) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana
kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik
para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
3) Disposisi. Suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh
implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan sifat
demokratis. Implementor baik harus memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat
menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat
kebijakan. Implementasi kebijakan apabila memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan
pembuat kebijakan, maka proses implementasinya menjadi tidak efektif dan efisien. Wahab (2010),
menjelaskan bahwa disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti
komitmen, keejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka
dia akan menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
1) Variabel isi kebijakan. Variabel isi kebijakan mencakup hal sebagai berikut, yaitu; (1)
sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan publik;
(2) jenis manfaat yang diterima oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh
kebijakan. Dalam suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran
relatif lebih sulit diimplementasikan daripada sekedar memberikan bantuan langsung tunai (BLT)
kepada sekelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah
sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) sumberdaya yang
disebutkan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Karakteristik masalah:
1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Di satu pihak ada beberapa masalah
sosial secara teknis mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air minum bagi penduduk
atau harga beras tiba-tiba naik. Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang sulit
dipecahkan, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu, sifat
masalah itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.
2) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran. Ini berarti bahwa suatu program relatif mudah
diimplementasikan apabila kelompok sasarannya homogen. Sebaliknya, apabila kelompok
sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit, karena tingkat
pemahaman setiap anggota kelompok sasaran program relatif berbeda.
3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan relatif sulit
diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya, sebuah program
relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya tidak terlalu besar.
4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang bertujuan memberikan
pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan daripada program yang
bertujuan mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai contoh, implementasi Undang-
Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sulit diimplementasikan karena
menyangkut perubahan perilaku masyarakat dalam berlalu lintas.
Karakteristik kebijakan:
1) Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan mudah
diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan
nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam
implementasi kebijakan.
2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. Kebijakan yang memiliki dasar
teoritis memiliki sifat yang lebih mantap karena sudah teruji, walaupun beberapa lingkungan sosial
tertentu perlu ada modifikasi.
4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana.
Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal antar instansi
yang terlibat dalam implementasi program.
6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang terjadi di negara-
negara dunia ketiga, khususnya Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen
aparat untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program
Lingkungan kebijakan:
1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah
terbuka dan terdidik relatif lebih mudah menerima program pembaruan dibanding dengan
masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi akan
membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena program-program tersebut
dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.
2) Dukungan publik terhadap suatu kebijakan. Kebijakan yang memberikan insentif biasanya
mudah mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat dis-insentif seperti
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan
publik.
3) Sikap kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat
dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain; (1) kelompok
pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana
melalui berbagai komentar dengan maksud mengubah keputusan; (2) kelompok pemilih dapat
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui
kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang
ditujukan kepada badan legislatif.
4) Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor. Pada akhirnya, komitmen
aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel
yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki ketrampilan dalam membuat prioritas
tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.
Sumber:
Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek). Penerbit
PMN. Surabaya.