Oleh :
Ivo Trias Nugraeni 22020113120002
Sri Mangunatun Kh. 22020113120009
Efilia Intan Sari 22020113120019
Sukma Anggraeni Giajati 22020113120020
Zavelia Zuhriati Maghnina 22020113120038
Niken Wulan H. M 22020113130066
Rutlita Yessi Malau 22020113130070
Festi Fiki Niswatu R. 22020113140102
Ayu Narolita F.S 22020113140123
A. Latar Belakang
Undang – undang RI No. 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1
mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih didalam kandungan. Menurut Monks (1988)
dalam Eliasa (2008) manusia memiliki tahap perkembangan untuk
memenuhi tugas perkembangan yang perlu dipenuhi dengan tujuan agar
individu dapat berkembang dengan optimal dan siap menghadapi tugas
perkembangan selanjutnya. Dalam hal ini anak memiliki tahap tertentu
untuk mencapai perkembangan selanjutnya salah satunya adalah bermain
karena dunia anak adalah dunia bermain. Bermain menjadi bagian dari
proses belajar karena memberi kesempatan pada anak untuk
memanipulasi, mengulang – ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi,
mempraktikan, mendapatkan bermacam – macam konsep sehingga
terjadilah proses pembelajaran dan tahap perkembangan yang dilalui.
(Sudono, 2006)
Terapi bermain merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan
prinsip belajar terhadap suatu kondisi perilaku yang bermasalah atau
dianggap menyimpang dengan melakukan suatu perubahan serta
menempatkan anak dalam situasi bermain (Adriana, 2013). Setiap tahapan
usia memiliki alat permainan yang berbeda untuk memenuhi tahap
perkembangannya. Alat permainan merupakan salah satu alat untuk
menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Menstimulasi
bermaksud untuk merangsang dari lingkungan luar yang diperlukan anak-
anak untuk agar dapat lebih cepat berkembang. Pemberian stimulasi pada
anak harus disesuaikan dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan
yang sedang dijalani oleh anak. Pada awal perkembangan kemampuan
kognitif anak berada pada tahap sensor motorik. Pada tahap ini anak-anak
akan memperlihatkan kemampuan motoriknya sebagai hasil dari stimulasi
sensoriknya. (Adriana, 2013)
Anak usia toddler adalah anak usia 12-36 bulan, dan merupakan
periode untuk mencari tahu bagaimana sesuatu bekerja dan bagaimana
mengontrol orang lain malalui kemarahan, penolakan dan tindakan keras
kepala (Wong, 2004). Perkembangan pada usia toddler merupakan masa
eksplorasi lingkungan yang intensif karena anak berusaha mencari tahu
bagaimana semua terjadi dan bagaimana mengontrol orang lain melalui
perilaku tempertantum, negativisme, dan keras kepala. Motorik halus yang
dicapai meliputi aspek yang berhibungan dengan kemampuan anak
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian tubuh
tertentu, dilakukan otak kecil dan memerlukan koordinasi yang cepat,
sedangkan motorik kasar berhubungan dengan pergerakan dan sikap
tubuh.
Pemenuhan terhadap tahap perkembangan anak usia toddler
melalui permainan dapat dicapai dengan melatih imajinasi, mencari
sumber suara, melatih anak melakukan gerakan mendorong dan menarik
serta melatih melakukan kegiatan sehari – hari dalam bentuk kegiatan
yang menarik. Salah satu bentuk permainan bagi anak usia toddler adalah
arsitek menara. Tujuan dari permainan arsitek menara adalah belajar
mengembangkan imajinasi, melatih kemampuan berkomunikasi, melatih
kesabaran, secara sosial anak belajar berbagi, mengembangkan rasa
percaya diri, sebagai kekuatan dan koordinasi motorik halus dan kasar
serta mengembangkan pemikiran simbolik. (Adriana, 2013). Arsitek
menara dapat diaplikasikan kepada An. D untuk merangsang
perkembangan motorik halus. Hal ini menjadi dasar karena hasil
pengkajian KPSP pada An. D mengalami hambatan perkembangan pada
motorik halus yaitu ketidakmampuan An. D dalam menyusun satu kubus
di atas kubus lainnya.
B. Sasaran
Program bermain arsitek menara disusun sebagai anak permainan edukatif
bagi toddler untuk mengembangkan kemampuan motorik halus dan kasar.
C. Kasus
Anak. D berusia 22 bulan yang sedang masuk pada tahap tumbuh
kembang tahap toddler. Hasil pengkajian yang dilakukan pada An. D
dengan menggunakan KPSP diperoleh An. D mengalami hambatan
perkembangan pada motorik halus. Perkembangan motorik halus yang
belum tercapai An. D adalah menyusun kubus satu diatas kubus lainnya.
Oleh karena itu, untuk mendukung perkembangan motorik halus An. D
diperlukan terapi bermain “arsitek menara” dengan menyusun balok 6-7
secara vertikal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Bermain
Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada
orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan
menjadi malas bekerja dan bodoh. Anggapan ini kurang bijaksana, karena
beberapa ahli psikolog mengatakan bahwa permainan sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak.
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang secara
sukarela untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan, tanpa
mempertimbangkan hasil akhir (Suhendi, 2001). Bermain merupakan
suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktekkan
ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif,
mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Aziz A,
2005). Jadi kesimpulannya bermain adalah cara agar anak dapat kreatif
dan mengekspresikan pikiran, tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
B. Fungsi Bermain
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-
motorik, membantu perkembangan kognitif/intelektual, perkembangan
social, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri,
perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi (Soetjiningsih, 1995).
1. Perkembangan Sensorik-Motorik
Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensorik-motorik
merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain
aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot, sehingga
kemampuan penginderaan anak mulai meningkat dengan adanya
stimulasi-stimulasi yang diterima anak seperti: stimulasi visual
(penglihatan), stimulasi audio (pendengaran), stimulasi taktil
(sentuhan) dan stimulasi kinetik.
2. Perkembangan Intelektual (Kognitif)
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi
terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar, terutama
mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek.
Saat bermain, anak akan mencoba melakukan komunikasi dengan
bahasa anak, mampu memahami objek permainan seperti dunia
tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dengan kenyataan
dan berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan,
sehingga fungsi bermain pada model demikian akan meningkatkan
perkembangan kognitif selanjutnya.
3. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan anak mampu berinteraksi
dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan
belajar member dan menerima. Bermain dengan orang lain akan
membantu anak mengembangkan hubungan sosial, belajar
memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Contoh pada anak-
anak usia toddler yang bermain dengan teman sebayanya dan
bentuk permainannya adalah bermain peran seperti menjadi guru,
menjadi ayah atau ibu, menjadi anak dan lain-lain. Ini merupakan
tahap awal bagi anak usia toddler dan prasekolah untuk meluaskan
aktivitas sosialnya diluar lingkungan keluarga.
4. Perkembangan Kreativitas
Bermain dapat meningkatkan kreativitas yaitu anak mulai
menciptakan sesuatu dan mewujudkannya kedalam bentuk objek
atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak
akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya,
misalnya dengan membongkar dan memasang satu alat permainan
akan merangsang kreativitasnya untuk semakin berkembang.
D. Klasifikasi Bermain
Sifat bermain pada anak yang kita tahu ada dua yaitu bersifat aktif dan
bersifat pasif. Sifat demikian akan memberikan jenis permainan yang
berbeda, dikatakan bermain aktif jika anak berperan aktif dalamm
permainan, selalu memberikan rangsangan dan melaksanakannya,
sedangkan bermain pasif adalah anak memberikan respon secara pasif
terhadap permainan dan orang atau lingkungan yang memberikan respon
secara aktif.
Ada beberapa jenis permainan, ditinjau dari isi permainan dan karakter
sosialnya. Berdasarkan isi permainan ada Social affective play, sense
pleasure play, skill play, games, unoccupied behavior dan dramatic play.
Ditinjau dari karakter permainan, terdapat jenis social onlooker play,
solitary play dan parallel play (Aziz, 2005).
1. Berdasarkan Isi Permainan
a. Social Affective Play (Bermain Afektif Sosial)
Bermain ini menunjukkan adanya perasaan senang dalam
berhubungan dengan orang lain. Permainan yang biasa dilakukan
adalah “ciluk ba”, berbicara dan member tangan untuk digenggam
oleh bayi sambil tersenyum/tertawa.
b. Sense of Pleasure Play (Bermain Bersenang-Senang)
Bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak melalui
objek yang ada, sehingga anak merasa senang dan bergembira
tanpa adanya kehadiran orang lain, misalnya dengan menggunakan
pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau benda apa saja
yang dapat dibentuknya dengan pasir.
c. Skill Play (Bermain Keterampilan)
Permainan ini akan meningkatkan keterampilan anak khususnya
motorik kasar dan halus, misalnya bayi akan tampil memegang
benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ketempat
lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Sifat permainan ini
adalah bersifat aktif dimana anak selalu ingin mencoba
kemampuan dalam keterampilan tertentu seperti bermain dalam
bongkar pasang gambar.
d. Games atau Permainan
Games atau permainan adalah jenis permainan yang
menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan atau
skor. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari yang tradisional
maupun yang modern misalnya ular tangga, congklak, puzzle dan
lain-lain.
e. Dramatic Play (Bermain Dramatik)
Dramatic play dapat dilakukan anak dengan mencoba
melakukan berpura-pura dalam berperilaku seperti anak
memperankan sebagai seorang dewasa, seorang ibu dan guru
dalam kehidupan sehari-hari. Permainan dramatic ini dapat
dilakukan apabila anak sudah mampu berkomunikasi dan
mengenal kehidupan sosial.
f. Unoccupied Behavior
Unoccupied Behavior bukanlah permainan yang umumnya kita
pahami. Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir,
tersenyum, tertawa, memainkan kursi, meja atau apa saja yang ada
disekelilingnya, jadi sebenarnya anak tidak memainkan alat
permainan tertentu. Situasi dan objek disekelilingnya yang
digunakan sebagai alat permainan.
2. Berdasarkan Karakter Sosial
Berdasarkan karakter sosialnya, ada lima jenis permainan, yaitu
onlooker play, solitary play, parallel play, associative play dan
cooperative play.
a. Onlooker Play (Bermain Onlooker)
Jenis permainan ini adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh
anak lain yang sedang bermain tetapi tidak berusaha untuk
bermain. Anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan
terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya.
b. Solitary Play (Bermain Soliter/Mandiri)
Solitary Play merupakan jenis permainan yang dilakukan secara
mandiri dan berpusat pada permainannya sendiri tanpa
mempedulikan orang lain. Pada permainan ini anak tampak berada
dalam kelompok permainannya, tetapi anak bermain sendiri dengan
alat permainan yang dimilikinya, dan alat permainan tersebut
berada dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada
kerja sama ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya.
c. Parallel Play (Bermain Paralel)
Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat permainan yang
sama, tetapi antara satu anak dengan anak yang lain tidak terjadi
kontak satu sama lain. Sifat dari permainan ini adalah anak aktif
secara mandiri tetapi masih dalam satu kelompok.
d. Associative Play (Bermain Asosiatif)
Associative Play melibatkan interaksi sosial dengan sedikit atau
tanpa pengaturan. Tipe permainan ini adalah anak-anak kelihatan
lebih tertarik pada satu sama lain dibanding pada permainan yang
mereka mainkan. Bermain ini akan menumbuhkan kreativitas anak
karena stimulasi dari anak lain ada, akan tetapi belum dilatih dalam
mengikuti peraturan dalam kelompok. Contohnya bermain boneka-
bonekaan, hujan-hujanan, dan bermain masak-masakan.
e. Cooperative Play (Bermain Kooperatif)
Cooperative Play merupakan bermain secara bersama dengan
adanya aturan yang jelas sehingga adanya perasaan dalam
kebersamaan sehingga berbentuk hubungan pemimpin dan
pengikut. Sifat dari bermain ini adalah aktif, anak akan selalu
menumbuhkan kreativitasnya dan melatih anak pada peraturan
kelompok sehingga anak dituntut selalu mengikuti peraturan.
Contohnya pada permainan sepak bola, ada anak yang memimpin
permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka
harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu memenangkan
permainan dengan memasukkan bola ke gawang lawan mainnya.
A. Judul Program
Jenis terapi bermain yang akan diberikan pada An. D adalah permainan
arsitek menara.
B. Deskripsi Program
Terapi bermain arsitek menara dimainkan dengan cara menyusun kubus
dari kubus terbesar sampai terkecil secara vertikal sehingga membentuk
menara. Kubus yang digunakan adalah kubus dengan warna warni
sehingga dapat menarik perhatian anak. Di tahap awal care giver akan
bermain menyusun menara bersama anak, kemudian kubus akan
dirobohkan dan anak akan menyusun kubus dengan menyebutkan hitungan
kotak yang tersusun.
C. Tujuan Program
Tujuan dari program bermain arsitek menara adalah untuk meningkatkan
kreativitas dan inisiatif anak, serta mengenalkan kata angka.
Adriana, Dian. 2013. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak. Jakarta:
Salemba Medika
Eliasa, E. I. 2008. Pentingnya Bermain Bagi Anak Usia Dini. FIP Universitas
Negeri Yogyakarta
Hidayat, Alimul Aziz. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika
Suhendi. 2001. Keperawatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Supartini, Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.
Sudono, A. 2006. Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidikan Anak
Usia Dini. Jakarta: Grasindo