Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

SKIZOFRENIA YTT (F20.9)

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Toli-toli, 03 Februari 1986 (umur 32 tahun)
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan / Sekolah : Sarjana
Alamat / No. Telp. : BTN Taman Ria Estate
Tanggal masuk RS : 05 - 09 - 2018
Gejala-gejala Utama : Rasa cemas
LAPORAN PSIKIATRIK

I. RIWAYAT PENYAKIT

Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis


dilakukan di RSD Madani tanggal 5 September 2018

A. Keluhan utama dan alasan MRSJ / Terapi :


Rasa cemas
B. Riwayat gangguan sekarang, perhatikan :
 Keluhan dan gejala :
Seorang pasien perempuan anak ke 6 dari 6 bersaudara berusia
32 tahun masuk di rumah sakit karena merasa cemas. Gejala ini
dirasakan sudah lebih dari 1 minggu. Akan tetapi, pasien tidak
mengetahui apa penyebabnya. Pasien merasa cemas karena
memikirkan anaknya di rumah, anak pasien selalu sakit sakitan dan
membuat pasien cemas dan khawatir akan keadaan anaknya. Rasa

1
cemas ini juga menimbulkan nyeri ulu hati dan rasa berdebar debar di
dada pasien sehingga membuat pasien merasa tidak nyaman.
Selain perasaan cemas pasien juga merasakan takut. Takut
akan terjadi sesuatu pada anaknya, pasien juga merasa takut apabila
mendegar bunyi suara ambulance, dan juga merasa takut apabila
mendengarkan pengumuman orang meninggal dari masjid. Selain itu
karena keadaan seperti ini pasien menjadi sulit tidur. Pasien juga
merasa cepat lelah. Pada anamnesis pasien mengakatakan bahwa tidak
pernah menggunakan NAPZA.
Menurut pasien dan keluarga pasien bahwa sewatku remaja
pasien ini orangnya penyendiri, jarang bicara kepada saudara
saudaranya. Dan juga sebelum menikah pasien merupakan orang yang
tidak perm]nah berbagi masalahnya. Apabila ada masalah pasien
selalu menyimpan masalahnya sendiri.

 Hendaya / Disfungsi :
Hendaya fungsi sosial : (-)
Hendaya pekerjaan : (+)
Hendaya penggunaan waktu senggang : (+)
 Faktor stressor psikososial :
- Tidak diketahui
 Hubungan gangguan, sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan
psisikis sebelumnya :
- Medis
Tidak ada riwayat kejang, infeksi berat, trauma dan stroke
- Psikiatri
Pasien sudah mengalami gangguan seperti ini sejak2 minggu yang
lalu

2
- Riwayat penggunaan NAPZA
Tidak pernah menggunakan NAPZA

C. Riwayat kehidupan pribadi :


a. Riwayat prenatal dan perinatal
Pasien lahir normal, dengan persalinan normal. Pada saat ibu
mengandung tidak memiliki riwayat infeksi
b. Riwayat masa kanak-kanak awal (1-3 tahun)
Pasien mengaku pada masa ini pasien baik-baik saja. Pasien tidak
memiliki riwayat kejang. Pasien mendapat kasih sayang dari orangtua.
c. Riwayat masa kanak-kanak pertengahan (4-11 tahun)
Pasien mengaku dapat menyelesaikan SD, dapat menulis, membaca
dan menghitung dengan baik. Pasien tumbuh dan berkembang seperti
anak anak seusianya, bermain dengan saudaranya dan teman
temannya.
d. Riwayat masa kanak-kanak akhir/pubertas/remaja (12-18 tahun)
Pada masa ini pasien seperti remaja lainnya dan mempunyai
beberapa teman. Tetapi pasien merupakan orang yang penyendiri.
e. Riwayat Masa Dewasa (>18 tahun)
- Sebelum menikah pasien termasuk orang yang pendiam dan tidak
pernah menceritakan masalahnya kepada orang lain, pasien
menyimpan masalahnya sendiri
- Pasien telah menikah dan memiliki 2 orang anak
- Setelah menikah pasien tidak bekerja, pasien hanya menjadi URT
- Pasien kurang aktif dalam mengikuti kegiatan social di
lingkungannya
- Pasien menyukai lawan jenis

3
D. Situasi sekarang
Pasien merasa takut tiba-tiba dan pasien merasa cemas, sehingga
menimbilkan rasa berdebar debar di dada dan resa nyeri pada uluhati.
Pasien merasa takut mendengarkan bunyi ambulance dan pengumuman
orang meninggal di masjid. Pasien masih sulit tidur.

E. Persepsi tentang diri dan kehidupannya :


Pasien merasa bingung dengan apa yang dialami sekarang.

II. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
a. Penampilan: pasien perempuan berusia 32 tahun dengan memakai
jilbab. Pasien berpenampilan sesuai umur, memakai baju merah dan
celana jeans. Kebersihan diri baik.
b. Kesadaran: compos mentis, GCS 15
c. Perilaku dan aktivitas psikomotor: tenang
d. Pembicaraan: bicara spontan, artikulasi jelas, intonasi jelas.
e. Sikap terhadap pemeriksa: pada umumnya sikap pasien selama
wawancara koperatif. Pasien menjawab pertanyaan.
B. Keadaan Afektif
a. Mood : Depresi
b. Afek : appropriate
c. Empati : tidak dapat dirabarasakan
C. Fungsi Intelektual
a. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan : sesuai dengan
pendidikannya
b. Daya konsentrasi : baik

4
c. Orientasi :
- Waktu : Baik.
- Tempat : Baik.
- Orang : Baik.
d. Daya ingat:
- Segera : Baik
- Jangka pendek : Baik
- Jangka panjang : Baik
e. Pikiran abstrak : baik
f. Bakat kreatif : tidak ada
g. Kemampuan menolong diri sendiri : baik
D. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi : Tidak ada
b. Ilusi : Tidak ada
c. Depersonalisasi : Tidak ada
d. Derealisasi : Tidak ada
E. Proses Berpikir
a. Arus pikiran
- Produktivitas : Cukup ide
- Kontinuitas : Relevam
- Hendaya berbahasa : Tidak ada
b. Isi pikiran
- Preokupasi : Tidak ada
- Gangguan isi pikir : Tidak ada
F. Pengendalian Impuls : Baik
G. Daya Nilai
a. Normo sosial : Tidak terganggu
b. Uji daya nilai : Tidak terganggu

5
c. Penilaian realitas : Tidak terganggu
H. Tilikan
Derajat IV : Menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namun
tidak memahami penyebab sakitnya

I. Taraf Dapat Dipercaya


Dapat dipercaya

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS


A. Status Internus
Keadaan umum : Composmentis
Tanda-tanda vital : TD = 120/70 Mmhg
N = 86X/MENIT
R = 20X/MENIT
S = 37ºC

Konjungtiva : anemis (-)/(-)


Sklera : ikterus (-)/(-)
Pem.jantung-paru : dalam batas normal

B. Status Neurologis
GCS : E4M6V5
Pemeriksaan motorik dan sensorik : fungsi kortikal luhur dalam batas
normal
Reflex cahaya : (+)/(+)
Pemeriksaan kaku kuduk &meningeal’s sign :(-)
Refleks fisiologis : (++)
Reflex patologis : (-)
Pemeriksaan n. Cranialis & perifer : tidak dilakukan pemeriksaan

6
Pemeriksaan tekanan intrakranial : tidak dilakukan pemeriksaan

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


a. Pasien kerumah sakit karena merasa takut dan cemas
b. Pasien sulit tidur
c. Pasien mudah lelah
d. Saat wawancara pasien tenang dengan pembicaraan baik
e. Pasien tidak ada halusinasi dan ilusi
f. Mood depresi, afek approriate, dan taraf pengetahuan sesuai dengan
pendidikan
g. Orienstasi baik, sikap pasien kooperatif, pengendalian impuls baik,
dan tilikan IV
h. Status internus dan neurologis baik

V. EVALUASI MULTIAKSIAL
A. Axis I
- Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis yang
bermakna berupa adanya rasa takut dan rasa cemas. Gejala-gejala klinis
tersebut menyebabkan timbulnya gejala distress dan disability berupa,
hendaya pekerjaan sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami Gangguan Jiwa.
- Dari anamnesis pasien mengatakan bahwa tidak ada halusinasimaupun
ilusi, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan jiwa non
psikotik
- Dari pemeriksaan pasa pemeriksaan status internus dan neurologi tidak
ditemukan kelainan bermakna. Dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami gangguan jiwa non organic
- Ditemukan Afek depresi, mudah merasa lelah, dan khawatir akan
sesuatu hal dan sudah berlangsung sekitar 1 minggu lebih, maka

7
menurut PPDGJ III pasien ini dapat di kategorikan pada gangguan
mood dan perasaan episode derpesif (F32).
B. Axis II
Diagnosis tertunda
C. Axis III
Tidak ada diagnosis
D. Axis IV
Tidak jelas masalah
E. Axis V
GAF 60 – 51 gejala sedang (moderate, disabilitas sedang)

VI. DAFTAR PROB LEM


A. Organobiologik
Tidak ada kelainan fisik yang bermakna. Tetapi diduga karena terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter, maka diperlukan farmakoterapi.
B. Psikologi
Tidak ditemukan stressor. Pasien merasa cemas dan takut. Pasien mudah
lelah dan sulit tidur.

VIII. DIAGNOSIS BANDING


- Gangguan cemas campur depresi

IX. RENCANA TERAPI :


A. Farmakologi
- Kalxetin 10mg
- Valisanbe 2mg
B. Non-Farmakologi
1. Edukasi terhadap pasien jika kondisi sudah membaik :

8
- Pengenalan terhadap penyakit, manfaat pengobatan, cara
pengobatan, dan efek samping pengobatan
- Memotivasi agar minum obat secara teraturdan rajin control setelah
pulang dari perawatan
- Membantu agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari
secara bertahap
2. Edukasi terhadap keluarga
- Memberikan penjelasan mengenai gangguan yang dialami pasien
agar keluarga lebih memaklumi kondisi pasien
- Menyarankan agar lebih telaten dalam pengobatan pasien dengan
membawa control secara teratur, memperhatikan agar minum obat
secara teratur, dan memberi dukungan agar mempunyai akivitas
positif

9
PEMBAHASAN

A. Definisi

Mood didefinisikan sebagai suasana perasaan yang bersifat pervasif dan bertahan
lama, yang mewarnai persepsi seseorang terhadap kehidupannya. Gangguan
mood merupakan kelompok gangguan psikiatri dimana mood yang patologis akan
mempengaruhi fungsi vegetatif dan psikomotor yang merupakan gambaran klinis
utama dari gangguan tersebut. Dahulu, gangguan mood dikenal dengan gangguan
afektif namun sekarang istilah gangguan mood lebih disukai karena mood lebih
merujuk pada status emosional yang meresap dari seseorang sedangkan afektif
merupakan ekspresi eksternal dari emosi saat itu. Gangguan mood merupakan
suatu sindrom yang terdiri dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang berlangsung
dalam hitungan minggu hingga bulan yang mempengaruhi fungsi dan pola
kehidupan sehari-hari.1 Pemeriksa dapat menilai suasana perasaan pasien dari
pernyataan yang disampaikan oleh pasien, dari ekspresi wajah, perilaku motorik,
atau bila perlu dapat ditanyakan kepada pasien tentang suasana perasaan yang
dialaminya.3

Menurut PPDGJ III, gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) merupakan


sekelompok penyakit yang bervariasi bentuknya. Kelainan fundamental dari
kelompok gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek,
biasanya kearah depresi, atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat).3

Mood dapat digambarkan dengan mood yang depresi, berputus asa, iritabel,
cemas, marah, ekspansif, euforia, kosong, bersalah, perasaan terpesona, sia-sia,
merendahkan diri, ketakutan, kebingungan. Mood dapat labil, ber-flukmasi, atau
berubah-ubah dengan cepat dan ekstrim (misalnya tertawa keras pada saat tertentu

10
kemudian berubah menangis dan berputus asa). Berikut uraian beberapa mood
yang dikenal:
1. Mood disforik: mood yang tidak menyenangkan
2. Mood eutimik: mood dalam rentang normal, menyatakan tidak adanya mood
yang tertekan atau melambung.
3. Mood yang meluap-luap (expansive mood): ekspresi perasaan seseorang tanpa
pembatasan, seringkali dengan penilaian yang berlebihan terhadap
kepentingan atau makna seseorang.
4. Mood yang iritabel (irritable mood): ekspresi perasaan akibat mudah
diganggu atau dibuat marah.
5. Pergeseran mood (labile mood): osilasi antara euforia dan depresi atau dibuat
marah.
6. Mood yang meninggi (elevated mood): suasana keyakinan dan kesenangan;
suatu mood yang lebih ceria dari biasanya.
7. Euforia: elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
8. Kegembiraan yang luar biasa (ecstasy): perasaan kegairahan yang kuat.
9. Depresi: perasaan kesedihan yang psikopatologis.
10. Anhedonia: hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas
rutin dan menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi.
11. Duka cita (berkabung): kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata.
12. Aleksitimia: ketidakmampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau
menyadari emosi atau mood seseorang.

Gangguan mood didefinisikan dalam jangka kejadian-terpisah periode waktu di


mana perilaku seseorang didominasi oleh baik mood depresi atau manic.
Sayangnya, kebanyakan orang dengan pengalaman gangguan mood
mengalaminya lebih dari satu peristiwa/episode.

Dua tipe utama gangguan mood, yaitu :

11
Unipolar disorder adalah gangguan psikologis dimana seseorang hanya
mengalami kejadian depresi, tidak terdapat episode manic.
Bipolar disorder adalah gangguan psikologi, ditandai dengan perubahan mood
atau perasaan yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania.Pengambilan
istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat
berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu
kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim.

Afek merupakan respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat
ekspresi wajah, pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuh pasien (bahasa tubuh).
Afek mencerminkan situasi emosi sesaat, dapat bersesuaian dengan mood
maupun tidak. Penilaian terhadap afek dapat berupa afek normal, terbatas,
tumpul, atau mendatar.2 Gambaran afek normal dapat terlihat dari variasi ekspresi
wajah, intonasi suara, serta penggunaan tangan dan pergerakan tubuh. Ketika afek
menjadi terbatas, maka luas dan intensitas ekspresi pasien berkurang. Pada
gambaran afek vang menumpul, terlihal intensitas ekspresi emosi berkurang lebih
jauh. Afek mendatar ditandai dengan tidak adanya ekspresi aktif, intonasi bicara
monoton, dan ekspresi wajah datar. Tumpul, datar, dan terbatas digunakan untuk
menggambarkan kedalaman emosi, sedangkan depresi, bangga, marah, ketakutan,
cemas, rasa bersalah, euforia, dan ekspansif digunakan untuk menunjukkan suatu
gambaran afek tertentu. Berikut uraian afek:
1. Afek yang sesuai (appropriate affect): kondisi irama emosional yang
harmonis (sesuai, sinkron) dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan yang
menyertai; digambarkan lebih lanjut sebagai yang afek yang luas atau penuh,
di mana rentang emosional yang lengkap diekspresikan secara sesuai.
2. Afek yang tidak sesuai (inappropriate affect): ketidakharmonisan antara irama
perasaan emosional dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan.

12
3. Afek yang tumpul (blunted affect): gangguan pada afek yang dimanifestasikan
oleh penurunan yang berat pada intensitas irama perasaan yang diungkapkan
keluar.
4. Afek yang terbatas (restricted or constricted affect): penurunan intensitas
irama perasaan yang kurang parah dari pada efek yang tumpul tetapi jelas
menurun.
5. Afek yang datar (fIat affect): tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda
ekspresi afek; suara yang monoton, wajah yang tidak bergerak.
6. Afek yang labil (labile affect): perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-
tiba, yang tidak berhubungan dengan stimulasi ekstemal.

B. Etiologi

1. Faktor Biologis
Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memiliki peranan yang penting
dalam mengendalikan emosi kita. Dalam otak terdapat substansi biokimiawi yaitu
neurotransmitter yang berfungsi sebagai pembawa pesan komunikasi antar neuron
di otak. Jika neurotransmiter ini berada pada tingkat yang normal, otak akan
bekerja secara harmonis. Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter
serotonin, norepinefrin dan dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika
neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi penyebab gangguan manik. Selain itu
antidepresan trisiklik dapat memicu mania.4

Serotonin adalah neurotransmiter aminergic yang paling sering dihubungkan


dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi. Pada beberapa
pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di
cairan serebrospinalnya. Pada penggunaan antidepresan jangka panjang terjadi
penurunan jumlah tempat ambilan kembali serotonin. Dopamin juga diperkirakan
memiliki peranan dalam menyebabkan depresi. Data menunjukkan aktivitas

13
dopamin yang menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Obat yang
menurunkan kadar dopamin seperti reserpine dan pada penyakit yang mengalami
penurunan dopamin seperti parkinson disertai juga dengan gejala depresi. Obat-
obat yang meningkatkan kadar dopamin seperti tyrosine, amphetamine dan
bupropion menurunkan gejala depresi. Disfungsi jalur dopamin mesolimbik dan
hipoaktivitas reseptor dopamin tipe 1 (D1) terjadi pada depresi.1

Obat-obatan yang mempengaruhi sistem neurotransmiter seperti kokain akan


memperparah mania. Agen lain yang dapat memperburuk mania termasuk L-
dopa, yang berpengaruh pada reuptake dopamin dan serotonin. Calsium channel
blocker yang digunakan untuk mengobati mania dapat mengganggu regulasi
kalsium di neuron. Gangguan regulasi kalsium ini dapat menyebabkan transmisi
glutaminergik yang berlebihan dan iskemia pembuluh darah.5

Neurotransmiter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif seperti vasopresin dan
opiat endogen juga berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second messenger) seperti
adenylate cyclase, phosphatidylinositol dan regulasi kalsium mungkin memiliki
relevansi dengan penyebab gangguan mood.1

Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin dikarenakan fungsi


abnormal neuron yang mengandung amine biogenik. Secara teoritis, disregulasi
pada sumbu neuroendokrin seperti sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam
gangguan mood. Pasien dengan gangguan mood mengalami penurunan sekresi
melatonin nokturnal, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan
LH serta penurunan kadar testosteron pada laki-laki.1

Gangguan tiroid seringkali disertai dengan gejala afektif. Penelitian telah


mengambarkan adanya regulasi tiroid yang abnormal pada pasien dengan

14
gangguan mood. Sepertiga dari pasien dengan gangguan depresif berat memiliki
pelepasan tirotropin yang tumpul. Penelitian terakhir melaporkan kira-kira 10%
pasien dengan gangguan mood khususnya gangguan bipolar I memiliki antibodi
antitiroid yang dapat dideteksi.1

Pada pencitraan otak pasien dengan gangguan mood terdapat sekumpulan pasien
dengan gangguan bipolar I terutama pasien laki-laki memiliki ventrikel serebral
yang membesar. Pembesaran ventrikel lebih jarang pada pasien dengan gangguan
depresif berat. Pencitraan dengan MRI juga menyatakan bahwa pasien dengan
gangguan depresif berat memiliki nukleus kaudatus yang lebih kecil dan lobus
frontalis yang lebih kecil. Banyak literatur menjelaskan penurunan aliran darah
pada korteks serebral dan area korteks frontalis pada pasien depresi berat.1

Hipotesis menyatakan gangguan mood melibatkan patologis pada sistem limbik,


ganglia basalis, dan hipotalamus. Gangguan pada ganglia basalis dan sistem
limbik terutama pada hemisfer yang dominan dapat ditemukan bersamaan dengan
gejala depresif. Disfungsi pada hipotalamus dihubungkan dengan perubahan pola
tidur, nafsu makan, dan perilaku seksual pada pasien dengan depresi.1

2. Faktor Genetik
Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood memiliki resiko lebih
besar menderita gangguan mood daripada masyarakat pada umumnya. Tidak
semua orang yang dalam keluarganya terdapat anggota keluarga yang menderita
depresi secara otomatis akan terkena depresi, namun diperlukan suatu kejadian
atau peristiwa yang dapat memicu terjadinya depresi. Pengaruh gen lebih besar
pada depresi berat dibandingkan depresi ringan dan lebih berpengaruh pada
individu muda dibanding individu yang lebih tua. Penelitian oleh Kendler (1992)
dari Departemen Psikiatri Virginia Commonwealth University menunjukkan

15
bahwa resiko depresi sebesar 70% karena faktor genetik, 20% karena faktor
lingkungan dan 10% karena akibat langsung dari depresi berat.4

Hubungan antara gangguan mood khususnya gangguan bipolar I dengan petanda


genetik telah dilaporkan pada kromosom 5, 11 dan X. Gen reseptor D1 terletak
pada kromosom 5 dan gen untuk tiroksin hidroksilase yaitu enzim yang
membatasi kecepatan sintesis katekolamin berlokasi di kromosom 11.1 Sekitar
25% dari kasus penyakit bipolar dalam keluarga terkait lokus dekat sentromer
pada kromosom 18 dan sekitar 20% terkait lokus pada kromosom 21q22.3. Tidak
ada penyebab tunggal untuk gangguan bipolar namun gangguan ini biasanya
merupakan hasil dari kombinasi faktor keluarga, biologis, psikologis dan faktor
sosial.7

3. Faktor Psikososial
Dalam mengulas kontribusi genetik terhadap penyebab depresi dapat dinyatakan
bahwa 60%-80% penyebab depresi dapat diatribusikan pada pengalaman-
penagalaman psikologis. Selain itu pengalaman itu bersifat unik untuk masing-
masing individu.
a. Peristiwa Kehidupan yang Stressful
Peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan orang-orang yang
dimintai, putusnuya hubungan romantic, lamanya hidup menganggur, sakit fisik,
masalah dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, dan lain
sebagainya ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood atau
kambuhnya sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor. Dan pada orang-
orang dengan depresi mayor ini sering kali kurang memiliki keterampilan yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah interpersonal dengan teman, teman kerja
atau supervisor.
b. Teori Humanistic

16
Menurut teori ini, seseorang menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi
keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan
autentik yang menghasilkan self-fulfillment. Kemudian dunia dianggap sebagai
tempat yang menjemukan (Nevid, 2003: 240-243).
c. Learned Helplessness
Learned helplessness merupakan kedaan diri yang selalu membuat atribusi
bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupannya (baik
sesuai kenyataan maupun tidak).
d. Negative Cognitive Styles
Negative cognitive styles adalah kesalahan berfikir yang difokuskan secara
negative pada tiga hal, yaitu dirinya sendiri, dunian terdekatnya, dan masa
depannya. Di mana menurut Beck, penderita depresi memandang yang terburuk
dari segala hal. Bagi mereka, kemunduran terkevil sekalipun merupakan bencana
besar.

C. Gangguan Suasana Perasaan


a. Episode Depresif
 Definisi

Depresi merupakan kelompok gangguan suasana perasaan (mood) yang


ditandai dengan tiga gejala khas, yaitu kehilangan minat, tidak berenergi, dan
perasaan depresi (tertekan). Depresi dapat dijumpai pada segala golongan usia, mulai
dari kanak, remaja, dewasa, sampai lanjut usia. Tetapi, gambaran gejala depresi yang
ditampilkan dapat berbeda. Hal tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor usia
dari individu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa depresi merupakan gangguan
suasana perasaan (mood) yang tampilannya memiliki banyak muka.
 Gejala
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
 Efek depresif,

17
 Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.4

Gejala lainnya :
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Gangguan tidur
 Nafsu makan berkurang.4
Depresi pada kelompok usia dewasa dapat muncul dalam bentuk tiga gejala
khas yang disebutkan di atas, seperti hilang minat, rasa malas, dan perasaan sedih
yang berkepanjangan. Perasaan sedih dapat berkembang kepada rasa bersalah atau
berdosa. Gambaran ini disebut dengan istilah gejala psikologis sebagai bentuk depresi
eksternalisasi. Selain gejala utama tadi, depresi juga dapat menampilkan gejala lain
yang berbentuk somatik, vegetatif, dan kognitif. Gejala somatik dapat berupa jantung
berdebar, nyeri fisik pada bagian tubuh (nyeri dada, kepala seperti terasa berat, nyeri
otot belakang kepala, nyeri anggota gerak, dan ketegangan otot), dan rasa mual.
Gejala vegetatif dapat berupa gangguan pola tidur, pola makan dan aktifitas seksual
(disfungsi seksual atau gangguan dalam dorongan atau hasrat seksual). Sedangkan
gejala kognitif dapat berupa kehilangan konsentrasi dan mudah lupa.
Apabila gejala yang tampak pada individu dewasa lebih bernuansa pada
gambaran somatik, vegetatif, atau kognitif maka dokter harus menyingkirkan dahulu
penyebab organik atau fisik yang mungkin mendasarinya seperti penyakit pada organ
dalam atau saraf. Apabila telah dinyatakan tidak terdapat gangguan fisik, baru di
pikirkan suatu gangguan suasana perasaan (mood). Kondisi yang demikian dikenal

18
dengan istilah depresi terselubung (masked depression) karena tampilan gejalanya
tidak khas tertuju pada tiga gejala utama depresi. Kondisi yang seperti ini dapat
dijumpai pula pada individu di usia kanak akhir dan remaja yang muatan gejala
psikologisnya hanya berupa mudah marah (tersinggung) atau sikap menentang.
Bentuk ini di kenal sebagai depresi internalisasi yang banyak dijumpai pada usia
kanak akhir dan remaja.
Depresi internalisasi pada individu dapat mempengaruhi organ di dalam tubuh
sehingga mencetuskan suatu penyakit yang sebelumnya pernah dialami oleh individu
dan kemudian menjadi kambuh. Beberapa penyakit yang dapat kembali kambuh oleh
cetusan depresi internalisasi adalah sakit maag (gangguan pada asam lambung),
dermatitis pada kulit, penyakit asma (gangguan pernafasan), vertigo (nyeri kepala
berputar), hipertensi (tekanan darah tinggi), stroke (penyakit serebro vaskuler),
gangguan irama jantung, dan sindrom metabolik (ketidakseimbangan gula darah).
Klinisi menyebutnya sebagai suatu gangguan psikosomatik.
Pada individu remaja, manifestasi depresinya dapat mengarah pada suatu
gangguan penyalahgunaan zat atau alkohol. Kondisi ini perlu dipertimbangkan,
mengingat kelompok remaja sedang berada pada usia krisis identitas dan lebih
melakukan indetifikasi kepada peer group (kelompok sebaya)-nya. Sedangkan pada
individu lanjut usia, depresi biasanya tampil dalam tampilan gejal seperti: banyak
diam, tidak konsentrasi, dan mudah lupa. Pada kelompok lanjut usia harus dipastikan
apakah depresi yang dialami berdiri sendiri atau merupakan bagian dari suatu
perkembangan dari penyakit kepikunan (demensia). Klinisi mengenalnya dengan
sebutan Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD).
Sebagai tambahan, depresi merupakan gangguan suasana perasaan (mood)
yang dapat berujung kepada suatu percobaan bunuh diri (tentament suicide). Perilaku
bunuh diri tersebut dapat dicetuskan oleh suatu halusinasi pendengaran yang berupa
suara bisikan yang sifatnya mengomentari atau menyuruh. Apabila terdapat gejala
tersebut, tentunya tidak hanya sekedar depresi semata melainkan terdapat pula warna
gejala kejiwaan lain yang dinamakan psikotik (mendengar bisikan atau bicara

19
sendiri). Tentunya hal tersebut memerlukan penanganan yang cepat, sehingga apabila
terdapat hal itu maka masyarakat yang mengetahui dapat merujuk ke puskesmas
terdekat untuk rujukan ke rumah sakit jiwa atau penanganan awal terkait gejala
kejiwaan. Risiko kemunculan bunuh diri pada individu depresi di segala usia
berdasarkan beberapa penelitian adalah sebagai berikut: anak & remaja (20,8%),
dewasa (46,4%), dan lanjut usia (14,6-25%). Hal ini tentu harus menjadi suatu
perhatian terkait dengan program promosi kesehatan jiwa, khususnya upaya
pencegahan depresi dan bunuh diri.
Depresi berdasarakan PPDGJ III :

F32 Episode Depresif


 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1. afek depresif,
2. kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas

 Gejala lainnya :
(a) konsentrasi dan perhatian berkurang;
(b) harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
(c) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
(d) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
(e) gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
(f) tidur terganggu;
(g) nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan, biasanya diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi

20
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu
diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).
F32.0 Episode Depresif Ringan
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya (a) sampai dengan (g).
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
Karakter kelima :
F32.00 = Tanpa gejala somatik
F32.01 = Dengan gejala somatik
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang
gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan kegiatan
sosial, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama sekali.

F32.1 Episode Depresif Sedang


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan (F30.0);
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga.

21
Karakter kelima :
F32.10 = Tanpa gejala somatik
F32.11 = Dengan gejala somatik

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


 Semua 3 gejala utama dari depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan diantaranya harus
berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangnya 2 minggu, akan
tetapi jika gejala sangat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin bagi pasien meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


 Episode Depresi Berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut di atas.
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan, atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggung jawab akan hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Reteardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada
stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).

22
Diagnosis banding : Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia katatonik,
stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini hendaknya
hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan gejala psikotik;
untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan depresif
berulang.

F32.8 Episode Depresif lainnya


Episode yang termasuk disini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran yang
diberikan untuk episode depresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan diagnostik
menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya termasuk
campuran gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan
gejala non diagnostik seperti ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan
campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan menetap yang
bukan akibat penyebab organik (seperti yang kadang-kadang terlihat pada
pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode Depresif YTT


D. Gangguan Mood Menurut DSM-IV-TR

Gangguan Depresi
296.xx Gangguan Depresi Mayor
300.4 Gangguan Distimia
311 Gangguan Depresi yang Tidak dapat Dispesifikasi
Gangguan Bipolar
296.xx Gangguan Bipolar I (GB-I)
296.89 Gangguan Bipolar II (GB-II)
301.13 Gangguan Siklotimia
296.80 Gangguan Bipolar yang Tidak Dapat Dispesifikasi

23
Gangguan Mood Lainnya
293.83 Gangguan Mood disebabkan…. (tunjukkan kondisi medik umumnya)
29.x.xx Gangguan Mood Akibat Zat
296.90 Gangguan Mood yang Tidak dapat Dispesifikasi

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.
2. Elvira, Silvia D. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta. FKUI.
3. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III:
Pedoman Diagnostik: F 30-39: Gangguan Suasana Perasaan (Mood [Afektif]).
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran jiwa FK Unika Atmajaya. 2007.
4. Lubis NL. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2009.
5. Soreff S, McInnes LA. Bipolar Affective Disorder. [Online]. 2010 Feb 9 [cited
2010 June 4]; Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/286342-overview
6. Baldwin DS, Birtwistle J. An Atlas of Depression. New York: The Parthenon
Publishing Group. 2002.
7. Pedoman Tatalaksana GB PDSKJI 2010 diakses dari http://pdskji.org tanggal 02
April 2015.
8. Bipolar disorder. National Institute of Mental Health.
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/bipolar-disorder/index.shtmldiakses
tanggal 02 April 2015.
9. Appendix D—DSM-IV-TR Mood Disorders-Managing Depressive Symptoms in
Substance Abuse Clients During Early Recovery diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK64063/ diakses tanggal 02 April 2015 .
10. Neal, Michael J. Depresi dalam At a Glance Farmakologi Medis edisi 4. Penerbit
Erlangga. Jakarta. 2008.
11. Neal, Michael J. Gangguan Afektif Bipolar dalam At a Glance Farmakologi
Medis edisi 4. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2008.

25

Anda mungkin juga menyukai