Anda di halaman 1dari 72

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika

jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk

menghilangkan rangsangan nyeri (Arthur (1983) dalam Hidayat (2014). Nyeri

setelah pembedahan merupakan hal yang normal, namun meskipun demikian

nyeri merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh pasien post

operasi (Eriawan, 2013). Nyeri yang dialami oleh pasien post operasi adalah

nyeri akut yang terjadi karena adanya luka insisi bekas pembedahan. Nyeri

akut yang dirasakan oleh pasien post operasi merupakan penyebab stress,

frustasi dan gelisah yang mengakibatkan pasien mengalami gangguan tidur,

cemas, tidak nafsu makan dan ekspresi tegang (Perry & Potter, 2009).

Nyeri pasca bedah merupakan satu dari masalah-masalah keluhan

pasien paling sering di rumah sakit. Sebanyak 77% pasien pasca bedah

mendapatkan pengobatan nyeri yang tidak adekuat dengan 71% masih

mengalami nyeri setelah diberikan obat dan sebagian besar mengatakan masih

mengalami nyeri tingkat sedang hingga berat (Yuliawati, 2008)

Data dari Word Health Organization (WHO) (2014), jumlah pasien

nyeri pembedahan meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2011 tercatat

terdapat 140 juta pasien atau sekitar 1,9% di seluruh dunia, pada tahun 2012

terjadi peningkatan sebesar 148 juta pasien atau sekitar 2,1%, Sedangkan

menurut Fabbian, Giorgi, Palam, Menegatti, Gallerani & Manfredini (2014),

1
2

prevalensi nyeri di Italia di alami oleh 21% pasien penyakit kanker, 33%

pasien penyakit cardiovaskuler, 23% pasien penyakit Pulmo, 24% pasien

dengan penyakit pembuluh darah, 16% pasien dengan gangguan

musculoskeletal, 18% pasien dengan penyakit saraf, 4% pasien penyakit kulit,

15% pasien penyakit ginjal, 16% pasien dengan penyakit gangguan metabolik,

10% pasien penyakit hepatik, 9% pasien dengan penyakit dan gangguan

pankreas, 12% pasien dengan penyakit dan gangguan lambung dan 11% pasien

dengan penyakit dan gangguan pada usus.

Jumlah prevalensi nyeri secara keseluruhan belum pernah diteliti di

Indonesia (WHO, 2014). Penelitian Nurhafizah & Erniyati (2012), setelah

dilakukan pengkajian nyeri di sebuah bangsal RSUP H. Adam Malik Medan

didapatkan pasien post operasi dengan intensitas nyeri ringan sebanyak 22,2 %

pasien dengan nyeri sedang sebanyak 57,4% dan sisanya adalah pasien dengan

intensitas nyeri berat 20,4%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Sandika et al, (2015) yang menyatakan bahwa 50% pasien post operasi

mengalami nyeri berat dan 10% pasien mengalami nyeri sedang sampai berat.

Pasien dalam merespon terhadap nyeri yang dialaminya dengan cara

berbeda-beda misalnya berteriak, meringis, menangis dan sebagainya, maka

perawat harus peka terhadap sensasi nyeri yang dialami oleh pasien (Asmadi

dalam Saifullah, 2015). Namun sayangnya belum banyak yang diketahui dan

belum dikelola dengan baik, padahal perawat memiliki lebih banyak

kesempatan dibandingkan tenaga kesehatan lain untuk membantu

menghilangkan nyeri dan efeknya yang membahayakan. Perawat harus


3

mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam semua aspek

keperawatan mencakup pemeliharaan suhu tubuh normal, pernafasan yang

optimal, bebas dari cidera, terutama meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan

(Saifullah, 2015).

Ketika pasien merasakan nyeri, pasien tidak dapat menikmati

kehidupan dengan nyaman, pada kondisi ini perawat sebagai tenaga

professional yang paling banyak berinteraksi dengan pasien bertanggung jawab

melakukan manajemen nyeri yang tepat (Karendehi, 2015). Manajemen nyeri

yang tidak adekuat dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pasien dan

anggota keluarga. Pasien dan keluarga akan merasakan ketidaknyamanan yang

meningkatkan respon stress sehingga mempengaruhi kondisi psikologi, emosi,

dan kualitas hidup (Purwandari, 2014).

Perawat dengan menggunakan pengetahuannya dapat dapat

menentukan sikap dan tindakan dalam mengatasi masalah nyeri baik secara

mandiri maupun kolaboratif dengan menggunakan dua pendekatan yaitu

pendekatan farmakologi dan pendekatan non farmakologi (Saifullah, 2015).

Namun, berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa dalam tindakan

mengurangi nyeri, sebagian besar perawat menggunakan pendekatan

farmakologi yaitu tindakan kolaborasi pemberian analgesik (Sandika et al,

2015). Menurut Saifullah (2015) menyatakan bahwa perawat yang bertugas di

bangsal bedah didapatkan fenomena bahwa perawat jaga ketika dihadapkan

dengan keluhan nyeri selama ini kebanyakan langkah awal yang diambil adalah

kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obatan analgesik.


4

Banyak teknik meminimalkan nyeri pada pasien post, salah satunya

adalah teknik relaksasi nafas dalam (Eriawan, 2013). Teknik relaksasi nafas

dalam merupakan metode yang dapat dilakukan oleh perawat terutama pada

pasien yang mengalami nyeri, merupakan latihan pernafasan yang menurunkan

komsumsi oksigen, frekuensi pernafasan,frekuensi jantung dan ketegangan

otot. Teknik relaksasi perlu di ajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang

oiptimal dan perlunya instruksi mengunakan teknik relaksasi untuk

menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri (Nurhafizah & Erniyati.

2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin, Kiling dan Rottie (2013)

tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Post

Operasi Fraktur Di Ruang Irnina A BLU RSUP Prof Dr. R.D Kandou Manado

menunjukkan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi terhadap intensitas nyeri

pada pasien post operasi fraktur di ruang Irina A BLU RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado. Hasil analisi diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05). Hal serupa

juga didapatkan melalui penelitian oleh Widiatie (2015) tentang Pengaruh

Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Ibu

Postseksio Sesarea di Rumah Sakit Unipdu Medika Jombang menunjukkan

hasil bahwa ada pengaruh antara teknik relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan intensitas nyeri pada ibu post seksio sesarea di Rumah Sakit Unipdu

Medika Jombang dengan nilai ρ = 0,003. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa teknik relaksasi yang diberikan kepada pasien post operasi sangat

efektif untuk meredakan nyeri karena insisi.


5

Perawat harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang

memadai dalam semua aspek perawatan perioperatif mencakup fungsi

pernapasan yang optimal, meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan pasca-

operasi (Baradero et al, 2008). Selain itu, sikap yang positif terhadap

penanganan nyeri pasien post operatif sangat penting. Pengetahuan dan sikap

perawat dapat mendorong tindakan perawat dalam menangani nyeri yang

dirasakan oleh pasien. Tingkat pengetahuan perawat yang kurang dapat

menyebabkan komplikasi dan keluhan yang membahayakan bagi pasien

sehingga dapat menyebabkan kematian (Nashrulloh, 2009).

Data Rumah Sakit Bhayangkara Kendari diketahui bahwa jumlah

operasi pada tahun 2015 sebanyak 856 pasien, pada tahun 2016 sebanyak 821

pasien dan tahun 2017 sebanyak 892 pasien. Sementara pada Januari-Maret

2018 tercatat data operasi pembedahan sebanyak 229 pasien. Jumlah pasien

post operasi yang sementara dirawat di ruang rawat inap pada bulan Maret

2018 sebanyak 39 pasien. Peneliti juga mendapatkan data jumlah tenaga

perawat di Rumah Sakit Bhayangkara sebanyak 67 orang, dan yang bertugas di

ruang rawat inap sebanyak 43 orang (RS Bhayangkara, 2018).

Hasil observasi peneliti pada 4-8 April 2018 kepada 10 orang perawat

yang bertugas di ruang rawat inap didapatkan data bahwa 5 orang perawat atau

ketika dihadapkan dengan keluhan nyeri pasien post op, tindakan keperawatan

yang segera dilakukan adalah tindakan kolaboratif yakni dengan pemberian

obat-obatan analgetik. Bila waktu pemberian terapi analgetik masih lama,

maka perawat baru memberikan terapi relaksasi napas dalam atau terapi
6

distraksi lainnya untuk membantu meringankan nyeri pasien. Jika nyeri tidak

tertahankan oleh pasien maka perawat segera konsultasi dengan dokter jaga

maupun dokter penanggung jawab tentang pertimbangan pemberian ekstra obat

analgetik. Sementara 3 orang perawat lainnya, berdasarkan hasil pengamatan

bahwa mereka memberikan terapi analgetik sekaligus mengajarkan cara

melakukan relaksasi napas dalam. Jika pasien mengeluh nyeri segera mereka

mendatangi pasien dan mengingatkan untk melakukan relaksasi napas dalam.

Sementara 2 orang perawat lainnya sudah melakukan terapi relaksasi napas

dalam pada pasien post op pada saat mengeluh nyeri dan bila sudah waktunya

pemberian terapi analgetik maka pasien baru diberikan terapi analgetik.

Hasil wawancara tentang pemberian relaksasi napas dalam kepada 6

orang perawat pada 10 April 2018 diketahui bahwa 4 orang perawat

mengatakan bahwa pemberian relaksasi napas dalam maupun teknik distraksi

nyeri yang lainnya tidak berjalan efektif pada pasien, hal ini dikarenakan

kondisi pasien yang cemas terhadap kondisinya, sehingga tidak fokus terhadap

metode relaksasi yang diberikan. Oleh karena itu mereka menggunakan terapi

analgetik untuk membantu meringankan rasa nyeri hebat yang dirasakan pasien

pasca operasi. Sementara 2 orang perawat lainnya mengatakan bahwa tetap

memberikan teknik relaksasi napas dalam kepada pasien sebagai terapi untuk

mengurangi nyeri yang dirasakan dan tetap mengkombinasikan dengan

pmberian terapi analgetik sesuai dengan jadwalnya.

Berdasarkan beberapa fenomena diatas maka peneliti merasa tertarik

untuk mengadakan penelitian tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan


7

Sikap dengan Tindakan Perawat dalam Penatalaksanaan Nyeri dengan Teknik

Relaksasi Napas dalam pada Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Bhayangkara

Kendari Tahun 2018”.

B. Rumusan Masalah

Fenomena yang terjadi di bangsal bedah ketika perawat jaga

dihadapkan dengan keluhan nyeri, kebanyakan langkah awal yang diambil

adalah kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obatan analgetik.

Perawat dapat menggunakan teknik relaksasi napas dalam untuk mengatasi

masalah nyeri tersebut. Berdasarkan hal diatas maka rumusan masalah dari

penelitian ini adalah “Apakah Ada Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan

Tindakan Perawat Tindakan Perawat dalam Penatalaksanaan Nyeri dengan

Teknik Relaksasi Napas dalam pada Pasien Post Operasi di Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari Tahun 2018?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap dengan tindakan

perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam

pada pasien post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengetahuan perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan

teknik relaksasi napas dalam pada pasien post operasi di Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

b. Mengetahui sikap perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik


8

relaksasi napas dalam pada pasien post operasi di Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

c. Mengetahui tindakan perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan

teknik relaksasi napas dalam pada pasien post operasi di Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

d. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien

post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

e. Mengetahui hubungan sikap dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien

post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Rumah Sakit Bhayangkara

dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan kepada pasien

terutama pelaksanaan manajemen nyeri pada pasien post operasi.

b. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam

rangka perbaikan pelayanan keperawatan pada pasien post operasi.

2. Manfaat Teoritis

a. Sebagai sumbangan ilmiah dan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan

b. Dapat menjadi bahan rujukan dan sumbangan pemikiran bagi para

peneliti selanjutnya.
9

c. Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan bagi peneliti mengenai

pelaksanaan manajemen nyeri pada pasien post operasi.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo,

2010). Menurut Taufik (2010), pengetahuan merupakan penginderaan

manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang

dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya).

Pengetahuan adalah merupaskan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman

dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan

lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan

(Notoatmodjo, 2010).

2. Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan mempunyai enam

tingkat, yakni :

a. Tahu (know)

Tahu artinya sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

9
11

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kompuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan dan

menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.


12

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

a. Faktor Internal

1) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang

menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk

mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan

untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang

kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

Menurut IB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2010), pendidikan

dapat mempengaruhi seseorang termasuk perilaku seseorang akan

pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta

dalam pembangunan (Nursalam, 2010) pada umumnya makin

tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.

2) Pekerjaan

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2010), pekerjaan

adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber

kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah

yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan

bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu.

Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap

kehidupan keluarga.
13

Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2010), usia adalah

umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai

berulang tahun. Sedangkan menurut Hurlock (1998) dalam

Nursalam (2010) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa

dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini

akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh adalah :

1) Faktor lingkungan

Menurut Ann. Mariner yang dikutip dari Nursalam (2010)

lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia

dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan

perilaku orang atau kelompok.

2) Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.

4. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui


14

atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas

(Notoatmodjo, 2010).

B. Tinjauan Tentang Sikap

1. Pengertian Sikap

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan reaksi tertutup, bukan

reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk

bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan

terhadap obyek (Notoatmodjo, 2010).

2. Komponen Sikap

Allport (dalam Notoatmodjo, 2010) menjelaskan bahwa sikap itu

mempunyai 3 komponen pokok, yakni:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

3. Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2010), sikap terdiri dari berbagai tingkatan

yakni:

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan

memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek).


15

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apakah ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan

suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

4. Fungsi-Fungsi Sikap

Pendekatan fungsional terhadap sikap berusaha menerangkan

mengapa kita mempertahankan sikap-sikap tertentu. Hal ini dilakukan

dengan meneliti dasar motivasi, yaitu kebutuhan apa yang terpenuhi bila

sikap itu dipertahankan. Katz (1960) dikutip oleh Maramis (2011)

mengemukakan empat fungsi dasar sikap, yaitu sebagai berikut :

a. Fungsi penyesuaian. Suatu sikap dapat dipertahankan karena

mempunyai nilai menolong yang berguna; memungkinkan individu

untuk mengurangi hukuman dan menambah ganjaran bila berhadapan

dengan orang-orang disekitarnya. Fungsi ini berhubungan dengan teori

proses belajar.

b. Fungsi pembelaan ego. Fungsi ini berhubungan dengan teori freud.

Disini sikap itu “membela” individu terhadap informasi yang tidak

menyenangkan atau yang mengancam, kalau tidak ia harus


16

menghadapinya. Lain dari pada sikap dengan fungsi penyesuaian, sikap

dengan fungsi pembelaan ego keluar dari konflik internal individu dan

bukan dari pengalaman dengan objek sikap yang sebenarnya.

c. Fungsi ekspresi nilai. Beberapa sikap dipegang seseorang karena

mewujudkan nilai-nilai pokok dan konsep dirinya. Kita semua

menganggap diri kita sebagai orang yang seperti ini atau itu (apakah

sesungguhnya demikian atau tidak adalah soal lain); dengan

mempunyai sikap tertentu anggapan itu ditunjang. “ganjaran” yang

diterima dari itu bukan datang dari lingkungan atau respons dari orang-

orang lain, tetapi dari dalam diri kita sendiri.

d. Fungsi pengetahuan: kita harus dapat memahami dan mengatur dunia

sekitar kita. Suatu sikap yang dapat membantu fungsi ini

memungkinkan individu untuk mengatur dan membentuk beberapa

aspek pengalamannya.

5. Pembentukan Sikap

Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

adalah pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting,

media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta

faktor emosi dalam diri individu (Azwar, 1995 dalam Maramis, 2011).

Berikut ini akan diuraikan peranan masing-masing faktor-faktor tersebut

dalam ikut membentuk sikap manusia.

a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami ikut membentuk dan
17

mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus. Tanggapan akan

menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai

tanggapan dan penghayatan seseorang harus mempunyai pengalaman

yang berkaitan dengan obyek psikoligis. Apakah penghayatan itu

kemudian akan membetuk sikap positif atau negatif tergantung dari

berbagai faktor.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara

komponen yang ikut mempengaruhi sikap. Pada umumnya individu

cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan

sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain

dimotivasi oleh keinginan berafiliasi dan keinginan untuk menghindari

konflik dengan orang lain yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang.

Seseorang mempunyai pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan

mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk

sikap dan perilaku tersebut. Wujud kebudayaan menurut

Koentjaraningrat (1990) ada tiga, diantaranya yaitu (1) suatu kompleks

dari ide-ide, gagasan, nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,

dan (2) suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari

manusia dalam masyarakat. Kebudayaan mempunyai pengaruh yang


18

sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan harus

dihadapi oleh masyarakat dan anggota-anggotanya. Untuk menghadapi

kekuatan yang buruk terpaksa manusia melindungi diri dengan cara

mencepatkan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk-

petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berlaku dalam

pergaulan hidup (Notoatmodjo, 2010).

d. Media massa

Sarana komunikasi berbagai bentuk media massa mempunyai

pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

Dalam menyampaikan informasi sebagai tugas pokoknya, media massa

membawa pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini

seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan

landasan berpikir kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal

tersebut. Apabila cukup kuat, akan memberi dasar efektif dalam menilai

sesuatu hal, sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya

meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.

Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang

boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari

pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.


19

f. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk ditentukan situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang sesuatu bentuk sikap

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai

pengalaman frustasi atau peralihan bentuk mekanisme pertahan ego,

sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera

berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan

sikap yang lebih persistem dan lebih lama.

6. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya sikap

a. Faktor intern

Merupakan faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan

sendiri, seperti selektivitas. Kita tidak dapat menangkap seluruh

rangsangan dari luar melalui persepsi, oleh karena itu kita harus

memilih rangsangan-rangsangan mana yang akan kita dekati, dan mana

yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan

kecenderungan-kecenderungan dalam diri kita.

b. Faktor ekstern

Merupakan faktor diluar manusia itu sendiri, yaitu sifat obyek yang

dijadikan sasaran sikap, kewibawaan orang yang menggunakan suatu

sikap, sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap, media

komunikasi yang digunakan dalam penyampaian sikap, dan situasi

pada saat sikap dibentuk.


20

C. Tinjauan Tentang Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk

terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung

atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Di samping

faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain,

misalnya: orang tua, saudara, suami, isteri, dan lain-lain, yang sangat penting

untuk mendukung tindakan yang akan dilakukan.

Tingkatan tindakan (practice) yaitu:

1. Persepsi (Perception). Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tindakan tingkat

pertama.

2. Respon terpimpin (Guide responce). Dapat melakukan sesuatu sesuai

dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator

tindakan tingkat kedua.

3. Mekanisme (Mechanism). Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu

dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan

maka ia sudah mencapai tindakan tingkat ketiga.

4. Adaptasi (Adaptation). Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah

berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri

tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2010).

D. Tinjauan Tentang Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah suatu mekanisme pertahanan bagi tubuh yang timbul


21

bilamana jaringan sedang di rusak yang menyebabkan individu tersebut

bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton and Hall, 2008).

Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang

menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada

kapanpun individu mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien

dengan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien bahwa itu ada

(Brunner & Suddarth, 2013).

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya

(Tamsuri, 2012). Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan

sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain (Kozier & Erb,

2009).

2. Penyebab Nyeri

Penyebab nyeri menurut Asmadi (2008) dapat diklasifikasikan

menjadi dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan

berhubungan dengan psikis.

a. Penyebab yang berhubungan dengan fisik. Penyebab fisik misalnya

trauma (mekanik, termis, kimiawi maupun elektrik), neoplasma,

peradangan, dan gangguan sirkulasi darah.

b. Penyebab yang berhubungan dengan psikis. Merupakan nyeri yang

dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma

psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik.


22

3. Stimulus Nyeri

Seseorang dapat menoleransinya, menahan nyeri (pain tolerance),

atau dapat mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum merasakan nyeri (pain

threshold). Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri menurut Hidayat (2014),

di antaranya :

a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya

kerusakan jarigan dan iritasi secara langsung pada reseptor.

b. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat

terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.

c. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.

d. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteria koronaria

yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.

e. Spasme otot, dapat mestimulus mekanik.

4. Klasifikasi Nyeri

Mubarak dan Chayatin (2010) ada tiga klasifikasi nyeri

berdasarkan sumbernya yaitu :

a. Nyeri Perifer

Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :

1) Nyeri superfisial, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat rangsangan

pada kulit dan mukosa.

2) Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari

reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks.

3) Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari
23

penyebab nyeri.

b. Nyeri Sentral

Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak

dan talamus.

c. Nyeri Psikogenik

Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain, nyeri ini

timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.

Sedangkan klasifikasi nyeri menurut bentuknya menurut Mubarak

dan Chayatin (2010) meliputi :

a. Nyeri Akut

Nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari enam bulan. Awitan

gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri sudah

diketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan

kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi nyeri.

b. Nyeri Kronis

Nyeri ini berlangsung lebih dari enam bulan. Sumber nyerinya bisa

diketahui bisa juga tidak diketahui.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Potter & Perry (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi

nyeri adalah sebagai berikut:

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus

mengkaji respons nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang


24

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.

Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka

mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka

takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

diperiksakan.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon

nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (tidak pantas kalau laki-laki

mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

c. Kebudayaan

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon

terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan

bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan

kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

d. Makna Nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri

dan dan bagaimana mengatasinya.

e. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

f. Keletihan

Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan

menurunkan kemampuan koping.


25

g. Pengalaman Sebelumnya

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat

ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi

nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung

pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

h. Gaya Koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan

sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang

mengatasi nyeri.

i. Dukungan Sosial dan Keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan.

6. Tingkat Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan

sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,

pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti

tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2012).

Skala intensitas nyeri menurut Smeltzer dan Bare (2010) adalah


26

sebagai berikut :

a. Skala intensitas nyeri deskritif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri
nyeri terkontrol berat tidak
terkontrol
Gambar 1. Skala Nyeri Deskritif

b. Skala identitas nyeri numerik

Skala numerik adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai

rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral

dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti no pain dan 10 atau 100 berarti

severe pain (nyeri hebat).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri sedang Nyeri
nyeri berat

Gambar 2. Skala Nyeri Numeric

c. Skala analog visual atau VAS (Visual Analog Scale)

VAS (Visual Analog Scale) adalah suatu garis lurus yang mewakili

intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsian

verbal pada setiap ujung. Skala ini memberikan kebebasan penuh

untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.

Gambar 3. Skala Nyeri VAS


27

7. Penatalaksanaan nyeri

Menurut Price & Wilson (2006), menghilangkan nyeri merupakan

tujuan dari penatalaksanaan nyeri yang dapat dicapai dengan dua

pendekatan yaitu: pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan

ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan klien secara individu.

a. Pendekatan farmakologis

Pendekatan farmakologi merupakan suatu pendekatan yang digunakan

untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan obat-obatan. Terdapat

4 kelompok obat nyeri yaitu:

1) Analgetik Nonopioid (Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAISN)

Efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai dengan sedang

terutama asetaminofen (Tylenol) dan OAISN dengan efek anti piretik,

analgetik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat (Aspirin) dan

ibuprofin (Morfin, Advil) merupakan OIANS yang sering digunakan

untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan.

2) Analgetik Opioid

Merupakan analgetik yang kuat yang tersedia dan digunakan dalam

penatalaksanaan nyeri dengan skala sedang sampai dengan berat.

Obat- obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca

operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin merupakan salah satu jenis

obat ini yang digunakan untuk mengobati nyeri berat.

3) Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid

Merupakan obat yang melawan obat opioid dan menghambat


28

pengaktifannya. Nalakson merupakan salah satu contoh obat jenis ini

yang efektif jika diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya

menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dibandingkan

dengan opioid murni.

4) Adjuvan atau Koanalgetik

Merupakan obat yang memiliki efek analgetik atau efek

komplementer dalam penatalaksanaan nyeri yang semula

dikembangkan untuk kepentingan lain. Contoh obat ini adalah

Karbamazopin (Tegretol) atau Fenitoin (Dilantin).

b. Penatalaksanaan non farmakologis

Menurut Price & Wilson (2006), bentuk-bentuk penatalaksanaan non

farmakologi meliputi:

1) Stimulasi dan Massage Kutaneus

Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering

dipusatkan pada pinggang dan bahu. Massage menstimulasi reseptor

tidak nyeri. Massage juga membuat pasien lebih nyaman karena

membuat relaksasi otot.

2) Terapi Es dan Panas

Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat

sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area

sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran

darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri.

3) Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (TENS)


29

TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan

elektrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi

kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai

dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup

transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat

untuk menurunkan intensitas nyeri.

4) Distraksi

Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain

pada nyeri. Keefektifan transmisi tergantung pada kemampuan pasien

untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri.

5) Teknik Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan

stress yang mampu memberikan individu kontrol ketika terjadi rasa

tidak nyaman atau nyeri/stress fisik dan emosi pada nyeri.

6) Imajinasi Terbimbing

Individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap

napas yang diekhalasikan (dihembuskan) secara lambat akan

menurunkan ketegangan otot dan ketidak nyamanan dikeluarkan.

7) Hipnosis

Efektif untuk menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin

membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit.

8. Skor tindakan perawat dalam manajemen nyeri

Menurut Nursalam (2013) skor yang digunakan untuk mempermudah dalam


30

mengkategorikan peringkat dalam penelitian dalam bentuk prosentase.

Misalnya :

a. Baik : Hasil presentase 76%-100%.

b. Cukup : Hasil presentase 56% - 75%.

c. Kurang : Hasil presentase ≤55%.

9. Nyeri Post Operasi

a. Pengertian Nyeri Post Operasi

Nyeri post operasi merupakan nyeri akut yang berlangsung

kurang dari 6 bulan dengan serangan yang muncul mendadak dengan

sebab dan daerah nyerinya yang dapat diketahui (Brunner & Suddart,

2013). Nyeri post operasi adalah nyeri akut yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan (Nuraini, 2011).

Pengertian lain mengatakan nyeri post operasi merupakan nyeri

menetap selagi luka dalam masa penyembuhan yang ditandai dengan

nyeri yang berlebihan bila daerah luka tersebut terkena rangsangan yang

biasanya hanya sebabkan nyeri ringan (Guyton and Hall, 2008).

1) Bentuk nyeri post operasi

Menurut Brunner & Suddart (2013), bentuk nyeri pada post operasi

merupakan nyeri akut yang disebabkan oleh kerusakan jaringan

karena adanya insisi pada saat pembedahan yang memiliki

karakteristik nyeri sebagai berikut :

a) Awitannya mendadak

b) Intensitas ringan sampai berat.


31

c) Durasinya singkat (dari beberapa detik sampai 6 bulan).

d) Meningkatkan respon otonum seperti : konsisten dengan stress

simpatis, frekuensi jantung meningkat, volume sekuncup

meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil meningkat,

tegangan otot meningkat, motilitas gastrointestinal dan prodoksi

saliva menurun.

e) Komponen psikologis yang berperan adalah ansietas.

f) Berhubungan dengan kerusakan jaringan.

2) Mekanisme nyeri post operasi

Mekanisme nyeri berawal dari reseptor nyeri (nosiseptor). Reseptor

nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang hanya berespon pada

stimulus yang kuat yang secara potensial merusak jaringan (Brunner

& Suddart, 2013).

Pada nyeri post operasi rangsangan nyeri disebabkan oleh rangsangan

mekanik yaitu luka (insisi) dimana insisi ini akan merangsang

mediator-mediator kimia dari nyeri seperti histamin, bradikinin,

asetilkolin dan subtansi prostaglandin dimana zat-zat ini diduga dapat

meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri yang akan menimbulkan

sensasi nyeri. Selain zat yang mampu merangsang kepekaan nyeri,

tubuh juga memiliki zat yang mampu menghambat (inhibitor) nyeri

yaitu endorfin dan enkefalin yang mampu meredakan nyeri (Brunner

& Suddart, 2013).


32

E. Tinjauan Tentang Teknik Relaksasi Nafas Dalam

1. Definisi

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien

bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi

secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan.

Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga

dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Smeltzer dan Bare, 2010).

Menurut Andarmoyo (2013) relaksasi adalah suatu tindakan untuk

membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat

meningkatkan toleransi. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas

napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat

memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama

yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan

lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekhalasi

(“hembuskan, dua, tiga”).

Pada saat perawat mengajarkan ini, akan sangat membantu bila

menghitung dengan keras bersama pasien pada awalnya. Napas yang

lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi. Hampir

semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode-

metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk

melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis
33

dan yang meningkatkan nyeri

2. Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Menurut National Safety Council (2004), bahwa teknik relaksasi

nafas dalam saat ini masih menjadi metode relaksasi yang termudah.

Metode ini mudah dilakukan karena pernafasan itu sendiri merupakan

tindakan yang dapat dilakukan secara normal tanpa perlu berfikir atau

merasa ragu.

Sementara Smeltzer dan Bare (2010) menyatakan bahwa tujuan dari

teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan

efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu

menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. Sedangkan

manfaat yang dapat dirasakan oleh klien setelah melakukan teknik relaksasi

nafas dalam adalah dapat menghilangkan nyeri, ketenteraman hati, dan

berkurangnya rasa cemas.

3. Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam

Menurut Potter & Perry (2009) dalam Andarmoyo (2013)

mengatakan bahwa ada efek relaksasi yaitu:

a. Menurunkan nadi, tekanan darah, dan pernafasan

b. Penurunan konsumsi oksigen

c. Penurunan ketegangan otot

d. Penurunan kecepatan metabolisme

e. Peningkatan kesadaran global


34

f. Kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan

g. Tidak ada perubahan posisi yang vounter

h. Perasaan damai dan sejahtera

i. Periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam

Menurut Andarmoyo (2013) penting bagi perawat untuk

memberikan posisi yang nyaman dalam pelaksanaan relaksasi ini. Posisi

yang tidak nyaman akan membuat pasien tidak focus pada tindakan dan

membuat pasien menjadi kelelahan. Relaksasi dapat dilakukan dengan

posisi duduk maupun berbaring, yaitu dengan cara:

a. Duduk

1) Duduk dengan seluruh punggung bersandar pada kursi

2) Letakkan kaki datar pada lantai

3) Letakkan kaki terpisah satu sama lain

4) Gantungkan lengan pada sisi atau letakkan pada lengan kursi

5) Pertahankan kepala sejajar dengan tulang belakang

b. Berbaring

1) Letakkan kaki terpisah satu sama lain dengan jari-jari kaki agak

meregang lurus kearah luar

2) Letakkan lengan pada sisi tanpa menyentuh sisi tubuh

3) Pertahankan kepala sejajar dengan tulang belakang

4) Gunakan bantal yang tipis dan kecil dibawah kepala.

4. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Menurut Nurdin dkk (2013), prosedur teknik relaksasi nafas


35

dalam adalah sebagai berikut: ciptakan lingkungan yang tenang, jaga

privasi pasien, usahakan pasien dalam keadaan rileks, minta pasien

memejamkan mata dan usahakan agar konsentrasi, menarik nafas dari

dalam hidung secara pelahan-lahan sambil menghitung dalam hati,

“hirup, dua, tiga” , hembuskan udara melalui mulut sambil menghitung

dalam hati “hembuskan, dua, tiga”, menarik nafas lagi dari dalam hidung

dan hembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan seperti prosedur

sebelumnya ulangi lagi dengan selingi istirahat yang singkat.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap

Penurunan Nyeri.

Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas

nyeri melalui mekanisme yaitu (Smeltzer dan Bare, 2010) :

a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang

disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi

pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

mengalami spasme dan iskemik.

b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk

melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik

relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan relaksasi

nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan

meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini

menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin


36

dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat

meningkatkan konsentrasi dan membuat klien merasa tenang untuk

mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini akan mendorong

terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan akan menurunkan kadar pH

sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah (Handerson,

2005).

6. Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Post Op

Relaksasi napas dalam merupakan kebebasan mental dan fisik dari

ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri

ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada saat

nyeri. Teknik relaksasi dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat

maupun sakit. Klien post operasi yang menggunakan teknik relaksasi

dengan berhasil mengalami beberapa perubahan fisiologis seperti :

penurunan nadi, tekanan darah dan pernafasan, penurunan konsumsi

oksigen, penurunan ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme,

peningkatan kesadaran global, kurang perhatian terhadap stimulus

lingkungan (Potter & Perry, 2009).

Nyeri yang dirasakan pasien post op meningkat seiring dengan

berkurangnya pengaruh anastesi. Pasien lebih menyadari lingkungannya dan

lebih sensitif terhadap rasa nyaman. Area insisi mungkin menjadi satu-

satunya sumber nyeri. Secara signifikan, nyeri dapat memperlambat

pemulihan. Nyeri akut dapat menyebabkan denyut jantung, tekanan darah

dan frekuensi pernafasan meningkat (Potter & Perry, 2009).


37

Relaksasi nafas dalam dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan

dimana saja. Caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri

oleh pasien (Smeltzer dan Bare, 2010). Relaksasi nafas dalam pada pasien

post op bertujuan meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran

gas, mencegah atelektasi paru, mengurangi stress baik stress fisik maupun

emosional sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan

kecemasan (Solehati, 2015).

Tidak terdapat perbedaan prosedur teknik relaksasi napas dalam

untuk pasien post op maupun pasien lain. Tahap pertama untuk belajar rileks

adalah menyadari bagaimana rasanya tubuh dan pikiran pasien post operasi

ketika istirahat atau tidur karena tubuh dan pikiran saling memengaruhi satu

sama lain. Keadaaan pikiran pasien post op mempunyai pengaruh yang

besar terhadap seberapa rileks atau tegangnya tubuh pasien. Jika pasien

cemas atau takut, tubuh akan merefleksikan perasaan ini dengan cara

menegang, jika pasien merasa percaya diri dan positif, tubuh akan tetap

rileks. Prosedur teknik relaksasi napas dalam untuk pasien adalah sebagai

berikut :

a. Atur posisi pasien yang nyaman

b. Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut.

c. Minta pasien untuk menarik napas melalui hidung secara pelan, dalam

dan merasakan kembang kempisnya perut.

d. Minta pasien untuk menahan napas beberapa detik kemudian keluarkan

napas secara perlahan melalui mulut.


38

e. Beritahukan pada pasien bahwa pada saat mengeluarkan napas, mulut

pada posisi mencucu.

f. Minta pasien untuk mengeluarkan napas sampai perut mengempis.

g. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali

(Potter dan Perry, 2009).


39

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pikir Penelitian

Pengetahuan adalah merupaskan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Sikap merupakan kesiapan

atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif

tertentu. Tindakan adalah wujud dari suatu sikap yang dibantu faktor

pendukung.

Salah satu manajemen nyeri non famakologis adalah teknik relaksasi

nafas dalam. Penurunan nyeri oleh teknik relaksasi nafas dalam disebabkan

ketika seseorang melakukan relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri

yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan komponen saraf parasimpatik

secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon

kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stress

seseorang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan membuat klien

merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur

Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan pengetahuan dan

sikap perawat dengan tindakan perawat dalam pelaksanaan manajemen nyeri

pada pasien post operasi. Dimana pasien post operasi akan merasakan nyeri

yang berat karena adanya insisi, sehingga pelaksanaan manajemen nyeri yang

tepat harus diberikan kepada pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman

pasien.

38
40

B. Bagan Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan Tindakan Perawat Dalam


Penatalaksanaan Nyeri
Dengan Teknik Relaksasi
Sikap
Napas Dalam

Keterangan :

: Variabel bebas (Independent) yang diteliti

: Variabel terikat (Dependent) yang diteliti

: Garis variabel yang diteliti

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

C. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan

sikap perawat

2. Variabel terikat (dependen) dalam penelitian ini adalah tindakan perawat

dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Pengetahuan

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala

sesuatu yang diketahui perawat terkait dengan penatalaksanaan nyeri

dengan teknik relaksasi napas dalam kepada pasien post op di Rumah

Sakit Bhayangkara Kendari. Kriteria penilaian menggunakan skala

Gutmann yang didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu


41

sebanyak 10 (sepuluh) pertanyaan dengan dimana skor tertinggi diberi

nilai 1 dan yang terendah diberi nilai 0, Dimana :

Skor tertinggi : 10 x 1 = 10 (100 %)

Skor terendah : 10 x 0 = 0 ( 0 % )

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus interval :

R
Rumus : i 
K

Dimana :

i = Interval kelas

R = Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi – nilai terendah

= 100% - 0% = 100 %

K = Kategori. Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang

100%
i = 50 %
2

Maka, kriteria penilaian = skor tertinggi - interval = 100% - 50% = 50%

Dengan demikian kriteria objektifnya adalah :

Cukup : Bila responden memperoleh skor > 50% dari total skor

pernyataan yang diberikan

Kurang : Bila responden memperoleh skor ≤ 50% dari total skor

pernyataan yang diberikan

2. Sikap

Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap perawat

dalam manajemenn penatalaksanaan nyeri pada pasien operasi. Kriteria

penilaian menggunakan skala Likert didasarkan atas jumlah pertanyaan


42

keseluruhan yaitu sebanyak 10 (sepuluh) pertanyaan dengan perhitungan

menggunakan sebagai berikut yaitu :

Sangat Setuju (SS) : Skor 5

Setuju (S) : Skor 4

Ragu-Ragu (RR) : Skor 3

Tidak Setuju (TS) : Skor 2

Sangat tidak Setuju : Skor 1

Dimana :

Skor tertinggi : 10 x 5 = 50 (100 %)

Skor terendah : 10 x 1 = 10 ( 20 % )

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus interval :

R
Rumus : i 
K

Dimana :

i = Interval kelas

R = Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi – nilai terendah

= 100% - 20% = 80 %

K = Kategori. Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang

80%
i = = 40 %
2

Maka, kriteria penilaian = skor tertinggi - interval = 100% - 40% = 60%

Dengan demikian kriteria objektifnya adalah :

Cukup : Bila responden memperoleh skor > 60% dari total skor

pernyataan yang diberikan


43

Kurang : Bila responden memperoleh skor ≤ 60% dari total skor

pernyataan yang diberikan

3. Tindakan Perawat Dalam Penatalaksanaan Nyeri Dengan Teknik

Relaksasi Napas Dalam

Tindakan perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik

relaksasi napas dalam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala

tindakan keperawatan yang dilakukan untuk meringankan rasa nyeri pada

pasien post operasi dengan menggunaan teknik relaksasi nafas dalam yang

dilakukan pada pasien dihari pertama setelah operasi dilakukan. Kriteria

penilaian dilakukan oleh peneliti secara observasi dengan menggunakan

skala Gutmann yang didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu

sebanyak 22 pertanyaan dengan dimana skor tertinggi diberi nilai 1 dan

yang terendah diberi nilai 0 pertanyaan dengan perhitungan menggunakan

sebagai berikut yaitu :

Skor tertinggi : 22 x 1 = 22 (100%)

Skor terendah : 22 x 0 = 0 (0%)

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus interval :

R
Rumus : i 
K

Dimana :

i = Interval kelas

R = Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi – nilai terendah

= 100% - 0% = 100 %

K = Kategori. Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang


44

100%
i = 50 %
2

Maka, kriteria penilaian = skor tertinggi - interval = 100% - 50% = 50%

Dengan demikian kriteria objektifnya adalah :

Cukup : Bila responden memperoleh skor > 50% dari total skor

pernyataan yang diberikan

Kurang : Bila responden memperoleh skor ≤ 50% dari total skor

pernyataan yang diberikan

E. Hipotesis Penelitian

1. Pengetahuan

H0 : Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan perawat

dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam

pada pasien post operasi di rumah sakit Bhayangkara Kendari.

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada

pasien post operasi di rumah sakit Bhayangkara Kendari.

2. Sikap

H0 : Tidak hubungan antara sikap dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada

pasien post operasi di rumah sakit Bhayangkara Kendari.

Ha : Ada hubungan antara sikap dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada

pasien post operasi di rumah sakit Bhayangkara Kendari.


45

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey dengan

pendekatan korelasi yaitu cross sectional study yaitu suatu jenis penelitian di

mana antara variabel bebas dan variabel terikat di lakukan secara bersamaan

pada satu saat dengan kriteria data nominal atau ordinal, satu sampel dan

jumlah sampel lebih dari 40 (Azwar, 2011).

Dibawah ini adalah deseain cross sectional sebagai berikut :

Populasi/sampel

Hubungan (+) Hubungan (-)

efek (+) efek (-) efek (+) efek (-)

Gambar 5. Desain Cross Sectional

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan 18 Juni – 7 Juli 2018.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari.

44
46

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh

perawat yang bertugas di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhyangkara

Kendari yang berjumlah 43 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan cara

tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2012).

Sampel dalam penelitian ini yaitu sebagian perawat bertugas yang di

Rumah Sakit Bhayangkara.

a. Jumlah Sampel

Dalam penentuan sampel apabila populasi sudah di ketahui

maka menurut (Arikunto, 2013) digunakan rumus sampel sebagai

berikut:

N
𝑛 = N.𝑑2 +1

Keterangan :

N : Besar populasi

n : Besar sampel

d2 : presisi yang di tetapkan 10% (d=0,1)

Berdasarkan hal tersebut, maka jumlah sampel yaitu :

43
n= 2
43.(0.1) +1
47

43
n=
1,43

n = 30,0699 dibulatkan menjadi 30, berdasarkan hal tersebut maka di

ambil sampel sebanyak 30 perawat

b. Teknik Pengambilan Sampel

Penarikan sampel dilakukan dengan cara Simple Random

Sampling yakni pengambilan sampel yang dilakukan pada secara acak

dan sederhana (Nursalam, 2013).

Dalam pelaksanaan pada penelitian ini pengambilan sampil

dilakukan secara acak, dimana masing-masing anggota populasi

memiliki kesempatan yang sama untuk diambil menjadi sampel sampai

diperoleh 30 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

c. Kriteria Sampel

1) Kriteria Inklusi

a) Perawat yang sedang bertugas di Rumah Sakit Bahyangkara

b) Perawat yang bersedia menjadi responden

2) Kriteria Eksklusi

a) Perawat yang tidak sedang bertugas karena izin, cuti, libur atau

sakit

b) Perawat yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.


48

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis Data

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan observasi

dan wawancara langsung kepada responden yaitu perawat yang

bertugas di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari dengan menggunakan

kuesioner dan lembar observasi.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari bagian-bagian yang berhubungan

dengan obyek penelitian di Rumah Sakit Bahyangkara seperti bagian

pencatatan (status pasien, buku pelaporan dan Profil Rumah Sakit

serta hal yang terkait yang berhubungan dengan data yang

diperlukan).

2. Cara Pengumpulan Data

a. Izin Penelitian

Penelitian dimulai setelah mendapat izin dari institusi tempat

penelitian.

b. Pelaksanan Penelitian

Pelaksana penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri.

c. Informed Concent

Setiap responden diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari

penelitian, dan diberikan kesempatan bertanya tentang penelitian ini.


49

Responden yang setuju diminta untuk menandatangani surat bersedia

menjadi reponden.

d. Prosedur Pelaksanaan

Setelah responden ditetapkan sesuai dengan kriteria sampel, peneliti

melakukan pengumpulan data.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan data-

data penelitian yang terdiri dari lembar kuisioner untuk mengukur

pengetahuan dan sikap perawat dan lembar observasi untuk mengukur

pelaksanaan relaksasi nafas dalam oleh perawat kepada pasien dengan nyeri

post op.

F. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data primer yang di kumpulkan dalam penelitian di olah adalah

sebagai berikut :

a. Coding

Memberikan kode jawaban dengan angka atau simbol tertentu untuk

memudahkan perhitungan dan menganalisanya.

b. Editing

Editing dilakukan untuk meneliti kembali setiap daftar pertanyaan

yang sudah diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan

pengisian dan konsistensi dari setiap jawaban.


50

c. Skoring

Skoring adalah perhitungan secara manual dengan menggunakan

kalkulator untuk mengetahui persentase setiap variabel yang diteliti.

d. Tabulating

Tabulasi data merupakan kelanjutan dari pengkodean pada proses

pengolahan dalam hal ini setelah data tersebut di coding kemudian

ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk

distribusi frekuensi. Pengolahan data dilakukan secara elektronik

dengan menggunakan komputer program SPSS versi 16.0 for

Windows.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui frekuensi,

distribusi dan proporsi variabel bebas dan variabel terikat dengan

menggunakan nilai mean dan presentase.


𝐹
X =𝑛𝑥 𝑘

Keterangan :

X = presentase variabel teliti

F =jumlah sampel berdasrkan kriteria penelitian

n = jumlah sampel

k = konstanta (100%) (Candra, 2008).


51

b. Analisis Bivariat

Dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan rumus

Chi Square berdasarkan tabel kontingensi. Adapun rumus Chi square

adalah sebagai berikut :

(𝐹𝑂−𝐹ℎ)2
X2 = ∑ 𝑓ℎ

Dimana : X2 = Tes Chi Square

Fo = frekuensi observasi

Fh = frekuensi harapan

∑ = Jumlah kategori

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 𝑥𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑖𝑠


Fh = (Arikunto, 2013)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Kemudian nilai X2 hitung di bandingkan dengan X2 tabel pada

taraf signifikan 95% ( α = 0,05). Pengambilan keputusan di lakukan

sebagai berikut :

a. Jika X2 hitung > X2 tabel,maka Ho di tolak dan Ha di terima

b. Jika X2 hitung < X2 tabel maka Ho di terima dan Ha di tolak

Untuk lebih jelas, dapat diuraikan tabel kontingensi 2x2 di

bawah ini :
52

Tabel 1. Tabel Kontingensi 2 x 2

Varibel Dependen
Varibel Independen Jumlah
Taraf 1 Taraf 2

Kriteria Objektif 1 a b a+b

Kriteria Objektif 2 c d c+d

Jumlah a+c c+d a+b+c+d

Jika Ha diterima kemudian dilanjutkan uji keeratan hubungan

dilakukan dengan kontingensi phi :

𝑿𝟐
φ=√ 𝒏

Syarat penggunaan uji hubungan jika Ha diterima :

0,801 - 1,000 = hubungan sangat kuat

0,601 - 0,800 = hubungan kuat

0,401 - 0,600 = hubungan cukup kuat

0,201 - 0,400 = hubungan lemah

0,001 - 0,200 = hubungan sangat lemah (Sugiyono, 2010)

G. Penyajian Data

Penyajian data di lakukan, setelah data diolah dan disajikan dalam

bentuk tabel distribusi serta tabel analisis pengaruh antara variabel, yang di

sertai dengan narasi.


53

H. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Kendari dengan memperhatikan

masalah etika sebagai berikut:

1. Lembar Persetujuan menjadi responden (Informed consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan

diteliti, agar responden memahami maksud dan tujuan penelitian.

Apabila responden penelitian setuju maka harus menandatangani lembar

persetujuan sebagai responden penelitian.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti

tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (kuesioner)

yang di isi oleh responden tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.

3. Kerahasiaan (Confidientialy)

Kerahasiaan informasi yang diberikan, dijamin oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan

sebagai hasil riset.


54

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Letak Gegografis

Rumah Sakit Bhayangkara Kendari merupakan suatu rumah sakit

yang terletak sangat strategis yaitu di bagian Timur Kota Kendari dan

sangat mudah dicapai oleh alat transportasi dari seluruh penjuru Kota

Kendari. Rumah Sakit Bhayangkara Kendari adalah Rumah Sakit tingkat

IV Kepolisian dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : Jl. Made Sabara 3

2) Sebelah Barat : Jl. Meluhu

3) Sebelah Selatan : Jl. Balai Kota 3

4) Sebelah Timur : Jl. Syech Yusuf

b. Visi RS Bhayangkara Kendari

Rumah Sakit Bhayangkara Kendari mempunyai visi yaitu

“Terciptanya pelayanan kesehatan Rumah Sakit Bhayangkara yang

profesional dan dipercaya”.

c. Misi Rumah Sakit Bhayangkara Kendari

Misi RS Bhayangkara Kendari yaitu :

1) Memberikan pelayanan kesehatan pada anggota Polri dan masyarakat

Umum secara paripurna.

2) Memberikan dukungan kesehatan pada kegiatan operasional fungsi


55

kepolisian

3) Membangun insan kesehatan Polri yang handal melalui pelatihan

teknis kesehatan

4) Mewujudkan akreditasi Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun

2010

d. Motto

Motto Rumah Sakit Bhayangkara Kendari yaitu: “Profesional,

Responsif, Kemitraan, Dipercaya”.

e. Jenis Pelayanan

Pelayanan yang diberikan didasari atas pelayanan sub spesialis

yang meliputi:

1) Pelayanan Spesialis Bedah umum

2) Pelayanan Spesialis penyakit Dalam

3) Penyakit Spesialis Obgyn

4) Pelayanan Spesialis Anak

5) Pelayanan Spesials THT

6) Pelayanan Spesialis Kulit Kelamin

7) Pelayanan Spesialis Anasthesi

8) Pelayanan Spesialis Radiologi


56

2. Hasil Penelitian

a. Karakteristik Responden

1) Umur

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur


Responden di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari
Tahun 2018

No. Umur Jumlah (n) Persentase(%)


1. 22-24 2 6.7
2. 25-27 5 16.6
3. 28-30 12 40.0
4. 31-33 6 20.0
5. 34-36 3 10.0
6. 37-39 2 6.7
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018

Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi kelompok umur

responden berdasarkan perhitungan rumus Sturges terdiri dari

kelompok umur 28-30 tahun sebanyak 12 orang (40.0%), kelompok

umur 31-33 tahun sebanyak 6 orang (20.0%), kelompok umur 25-27

tahun sebanyak 5 orang (16.6%), kelompok umur 34-36 tahun

sebanyak 3 orang (10.0%) dan kelompok umur 22-24 dan 37-39 tahun

masing-masing sebanyak 2 orang (6.7%).


57

2) Jenis Kelamin

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis


Kelamin di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari
Tahun 2018

No. Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase(%)


1. Laki-Laki 13 43.3
2. Perempuan 17 56.7
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018
Tabel 3 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi jenis kelamin

responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini terdiri atas

responden jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 17 orang (56.7%),

responden jenis kelamin laki-laki sebanyak 13 orang (43.3%).

3) Pendidikan

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Pendidikan di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun
2018

No. Pendidikan Jumlah (n) Persentase(%)


1. D3 11 36.7
2. S1 15 50.0
3. Ners 4 13.3
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018
Tabel 4 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden

berdasarkan tingkat pendidikan responden di Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari terdiri atas responden berpendidikan S1

sebanyak 15 orang (50.0%), responden berpendidikan D3


58

Keperawatan sebanyak 11 orang (36.7%) dan responden

berpendidikan Ners sebanyak 4 orang (13.3%).

4) Masa Kerja

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa


Kerja di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun
2018

No. Masa Kerja Jumlah (n) Persentase(%)


1. >5 13 43.3
2. <5 17 56.7
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018
Tabel 5 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden

berdasarkan lama masa kerja di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari

terdiri atas responden dengan masa kerja < 5 yaitu sebanyak 17 orang

(56.7%), sedangkan frekuensi terendah adalah responden dengan masa

kerja > 5 tahun sebanyak 4 orang (43.3%).

b. Analisis Univariat

1) Pengetahuan

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Pengetahuan Responden di Rumah Sakit Bhayangkara
Kendari Tahun 2018

No. Pengetahuan Jumlah (n) Persentase(%)


1. Cukup 20 66.7
2. Kurang 10 33.3
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018
Tabel 6 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan

pengetahuan responden di Rumah Sakit Bhyangkaran kendari terdiri


59

atas responden dengan pengetahuan cukup yaitu sebanyak 20 orang

(66.7%) dan responden dengan pengetahuan kurang sebanyak 10

orang (33.3%).

2) Sikap

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Sikap Responden di Rumah Sakit Bhayangkara
Kendari Tahun 2018

No. Sikap Jumlah (n) Persentase(%)


1. Cukup 12 40.0
2. Kurang 18 60.0
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018
Tabel 7 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan

sikap responden di Rumah Sakit Bhyangkaran kendari terdiri atas

responden dengan sikap kurang yaitu sebanyak 18 orang (60.0%), dan

responden dengan sikap cukup sebanyak 12 orang (40.0%).

3) Tindakan

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Tindakan Responden di Rumah Sakit Bhayangkara
Kendari Tahun 2018

No. Tindakan Jumlah (n) Persentase(%)


1. Cukup 14 46.7
2. Kurang 16 53.3
Total 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018
Tabel 8 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan

pengetahuan responden di Rumah Sakit Bhyangkaran kendari terdiri

atas responden dengan tindakan kurang yaitu sebanyak 16 orang


60

(53.3%), dan responden dengan tindakan cukup sebanyak 14 orang

(46.7%).

c. Analisis Bivariat

1) Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Perawat

Tabel 9. Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Perawat


Dalam Penatalaksanaan Nyeri Dengan Teknik Relaksasi
Napas Dalam Pada Pasien Post Operasi Di Rumah Sakit
Bhayangkara Kendari Tahun 2018
Tindakan Perawat

Nilai X2hit
Nilai X2tab
Nilai φ
Pengetahuan Cukup Kurang Jumlah

n % n % n %

Cukup 13 43.3 7 23.3 20 66.7

0.520
8.103
3.841
Kurang 1 3.3 9 30.0 10 33.3
Total 14 46.7 16 53.3 30 100
Sumber : Data Primer Juli 2018

Tabel 9 menunjukkan hasil uji statistik hubungan pengetahuan

dengan tindakan perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik

relaksasi napas dalam bahwa responden yang memiliki pengetahuan

cukup dan memiliki tindakan yang cukup sebanyak 13 responden

(43.3%), sedangkan responden yang memiliki pengetahuan cukup

namun tindakan kurang sebanyak 7 responden (23.3%). Responden

yang memiliki pengetahuan kurang dan tindakan perawat cukup

sebanyak 1 responden (3.3%), sedangkan responden yang memiliki

pengetahuan kurang dan tindakan perawat kurang sebanyak 9

responden (30.0%).
61

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai X2hitung = 8.103

> X2tabel = 3.841, maka Ha diterima Ho ditolak, koefisien phi (φ)

sebesar 0.520 yang berarti hubungan cukup kuat dengan demikian

terdapat hubungan cukup kuat antara pengetahuan dengan tindakan

perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas

dalam pada pasien post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari

Tahun 2018.

2) Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Perawat

Tabel 10. Hubungan Sikap dengan Tindakan Perawat Dalam


Penatalaksanaan Nyeri Dengan Teknik Relaksasi Napas
Dalam Pada Pasien Post Operasi Di Rumah Sakit
Bhayangkara Kendari Tahun 2018
Tindakan Perawat

Nilai X2hit
Nilai X2tab
Nilai φ
Sikap Cukup Kurang Jumlah

n % n % n %

Cukup 9 30.0 3 10.0 12 40.0


6.451
3.841
0.464
Kurang 5 16.7 13 43.3 18 60.0
Total 14 46.7 16 53.3 30 100
Sumber : Data Primer Diolah Pada Juli 2018

Tabel diatas menunjukkan hasil uji statistik hubungan sikap

dengan tindakan perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik

relaksasi napas dalam bahwa responden yang memiliki sikap cukup

dan memiliki tindakan yang cukup sebanyak 9 responden (30.0%),

sedangkan responden yang memiliki sikap cukup namun tindakan

kurang sebanyak 3 responden (10.0%). Responden yang memiliki


62

sikap kurang dan tindakan perawat cukup sebanyak 5 responden

(16.7%), sedangkan responden yang memiliki sikap kurang dan

tindakan perawat kurang sebanyak 13 responden (43.3%).

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai X2hitung = 6.451

> X2tabel = 3.841, maka Ha diterima Ho ditolak, koefisien phi (φ)

sebesar 0.464 yang berarti hubungan cukup kuat dengan demikian

terdapat hubungan cukup kuat antara sikap dengan tindakan perawat

dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam

pada pasien post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun

2018.

B. Pembahasan

1. Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Perawat

Pengetahuan adalah merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan

penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo,

2010).

Hasil uji statistik terhadap hubungan pengetahuan dengan tindakan

perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam

menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup dan

memiliki tindakan yang cukup sebanyak 13 responden (43.3%) dan

responden yang memiliki pengetahuan kurang dan tindakan perawat kurang

sebanyak 9 responden (30.0%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


63

pengetahuan dan tindakan berbanding lurus dimana semakin baik

pengetahuan responden maka tindakan yang ditunjukkan dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam semakin baik

pula, demikian pula sebaliknya semakin kurang pengetahuan responden

maka tindakan yang ditunjukkan dalam penatalaksanaan nyeri dengan

teknik relaksasi napas dalam semakin kurang pula.

Terdapat responden yang memiliki pengetahuan cukup namun

tindakan kurang sebanyak 7 responden (23.3%). Dari hasil penelitian

diketahui bahwa responden lebih banyak melakukan tindakan kolaborasi

dengan menggunakan obat analgetik untuk meringankan nyeri pasien post

op. Menurut responden teknik relaksasi napas dalam kurang efektif untuk

meringankan nyeri terutama untuk pasien dengan post operasi besar, maka

dengan menggunakan obat analgetik merupakan langkah yang tepat untuk

membantu meringakan nyeri pasien. Selain itu, terdapat pula responden

yang memiliki pengetahuan kurang dan tindakan perawat cukup sebanyak 1

responden (3.3%). Hal ini disebabkan karena responden sering melakukan

terapi relaksasi napas dalam kepada pasien. Secara teori, responden tahu

tentang relaksasi napas dalam namun dari kuisioner yang diajukan jawaban

responden mendapatkan kategori kurang, namun dalam pelaksanaannya

responden mendapatkan kategori cukup dan pasien yang diberikan teknik

relaksasi napas dalam ini mengatakan nyerinya berkurang.

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai X2hitung = 8.103 >

X2tabel = 3.841, maka Ha diterima Ho ditolak, koefisien phi (φ) sebesar 0.520
64

yang berarti hubungan cukup kuat dengan demikian terdapat hubungan

cukup kuat antara pengetahuan dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien post

operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018.

Adanya hubungan antara pengetahuan perawat dengan tindakan

perawat dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam

disebabkan karena sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang

cukup yakni sebanyak 20 orang (66.7%) tentang teknik relaksasi napas

dalam. Teknik relaksasi napas dalam merupakan salah satu teknik relaksasi

yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pada pasien dan merupakan

teknik relaksasi yang tidak asing terdengar bagi responden di Rumah Sakit

Bhayangkara Kendari. Saat peneliti mengemukakan tema penelitian tentang

relaksasi napas dalam, rata-rata responden mengetahui dengan teknik

tersebut.

Keseluruhan responden penelitian mengetahui teknik relaksasi napas

dalam. Hal ini diperoleh pada saat kuliah atau selama bekerja di Rumah

Sakit Bhayangkara Kendari. Notoatmodjo (2010) menyatakan pengetahuan

merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang dari

pengalaman, juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang

lain, didapat dari buku, atau media massa dan elektronik. Menurut Mubarak

& Chayatin (2009) Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia

sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan adalah hasil


65

mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah

dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah

orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu obyek tertentu.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Muhammad (2009) dengan judul penelitian hubungan antara tingkat

pengetahuan perawat dengan tindakan keperawatan dalam penanganan

pasien pasca bedah dengan general anestesi di Ruang Al-Fajr Dan Al-Hajji

Rumah Sakit Islam Surakarta. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

ada hubungan faktor pengetahuan dengan pelaksanaan manajemen nyeri

non-farmakologi pada pasien pasca operasi dengan nilai X2hit = 9.472 > X2tab

= 3.841. Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian

yang dilaksanakan oleh Arif (2015) tentang hubungan tingkat pengetahuan

perawat dengan tindakan perawat dalam manajemen nyeri pasien post

operasi di Bangsal Bedah Rsud Dr Soehadi Prijonegoro Sragen dimana hasil

penelitiannya menunjukkan tingkat pengetahuan perawat di Bangsal Bedah

sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan baik yaitu

sebanyak 20 responden (56%), dilihat dari nilai signivikansi yang kurang

dari 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat pengetahuan

perawat secara bermakna mempengaruhi tindakan perawat dalam

manajemen nyeri dengan p-value sebesar 0,000.

Dari penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa semakin baik

pengetahuan responden tentang teknik relaksasi napas dalam, maka akan

membuat responden membentuk sikap dan tindakan yang baik pula dalam
66

hal ini adalah timbulnya kesadaran untuk melakukan improvisasi dalam

menangani nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi napas dalam

tersebut. Demikian pula sebaliknya semakin kurang pengetahuan responden

tentang tentang teknik relaksasi napas dalam akan mempengaruhi sikap dan

tindakan yang kurang pula. Sehingga peningkatan pengetahuan responden

sangat diperlukan untuk peningkatan upaya penatalaksanaan nyeri dengan

menggunakan teknik relaksasi napas dalam.

2. Hubungan Sikap dengan Tindakan Perawat

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi

terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap

obyek (Notoatmodjo, 2010).

Hasil uji statistik terhadap hubungan sikap dengan tindakan perawat

dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam

menunjukkan bahwa responden yang memiliki sikap cukup dan memiliki

tindakan yang cukup sebanyak 9 responden (30.0%) dan responden yang

memiliki sikap kurang dan tindakan perawat kurang sebanyak 13 responden

(43.3%). Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan tindakan tentang

penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi napas dalam

berbanding lurus. Dimana semakin cukup sikap responden maka tindakan

penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan tenik relaksasi napas dalam


67

akan semakin baik, demikian juga sebaliknya semakin kurang sikap

responden maka tindakan penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan tenik

relaksasi napas dalam akan semakin kurang juga.

Responden yang memiliki sikap cukup namun tindakan kurang

sebanyak 3 responden (10.0%). Dari hasil penelitian diketahui bahwa

responden mengatakan pemberian tindakan relaksasi napas dalam kurang

efektif. Hal ini dikarenakan jenis operasi yang besar seperti prostat,

laparatomi, atau faktor pasien yang kurang kooperatif yang membuat hasil

pemberian tindakan relaksasi napas dalam tidak sesuai dengan hasil yang

diharapkan. Selain itu, responden yang memiliki sikap kurang dan tindakan

perawat cukup sebanyak 5 responden (16.7%) yang dikarenakan responden

biasa melakukan terapi tersebut kepada pasien, terutama pada saat pasien

masih merasakan nyeri sementara waktu pemberian analgetik masih lama.

Responden memberikan pelayanan tersebut dengan harapan dapat

meringankan nyeri meskipun responden merasa pemberian teknik ini kurang

efektif.

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai X2hitung = 6.451 >

X2tabel = 3.841, maka Ha diterima Ho ditolak, koefisien phi (φ) sebesar 0.464

yang berarti hubungan cukup kuat dengan demikian terdapat hubungan

cukup kuat antara sikap dengan tindakan perawat dalam penatalaksanaan

nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien post operasi di

Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018.


68

Adanya hubungan sikap dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi napas dalam

disebabkan karena sebagian besar responden yakni 18 orang (60.0%)

memiliki sikap yang kurang terhadap tindakan penatalaksanaan nyeri

dengan menggunakan teknik relasksasi napas dalam. Bahkan dari 18 orang

(60.0%) tersebut terdapat 13 responden (43.3%) yang memiliki tindakan

kurang dalam penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi

napas dalam. Responden mengatakan lebih baik menggunakan langkah

kolaborasi dengan memberikan obat analgetik baik pemberian sesuai jadwa

ataupun bersifat ekstra (diluar jadwal pemberian obat). Sikap responden

yang terbentuk ini merupakan proyeksi dari seberapa baik responden

mampu mengelola informasi yang diperolehnya. Artinya sikap responden

ini merupakan respon tertutup yang bersifat emosional yang dirasakan

pasien yang masih dapat berubah bila pemahaman responden diperbaiki.

Menurut Notoatmodjo (2010) sikap merupakan kesiapan atau

kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi

merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek.

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih

tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. Sikap tidak dapat langsung

dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
69

tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi

terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap

merupakan refleksi dari pengolahan informasi yang diterima oleh seseorang.

Kemampuan mengolah informasi yang diterima oleh seseorang berbeda-

beda dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikannya.

Individu yang memiliki pendidikan yang tinggi lebih mudah menerima

informasi, memiliki wawasan meskipun tidak mutlak (Notoatmodjo, 2010).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Mudiah, Supriadi, Sureskiarti (2013) tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi perawat dalam pelaksanaan manajemen nyeri non-

farmakologi pada pasien pasca operasi di Ruang Cempaka RSUD Abdul

Wahab Sjahranie Samarinda. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada

hubungan sikap dengan pelaksanaan manajemen nyeri non-farmakologi

pada pasien pasca operasi dengan nilai ρ = 0.00013 < α = 0.05.

Saekhatun (2008) dengan judul penelitian hubungan sikap perawat dengan

tindakan perawat dalam manajemen nyeri(teknik distraksi) pada pasien post

op di Ruang Bedah Orthopedi RSUI Kustati Surakarta hasil uji hubungan

dengan menggunakan Chi-Square diketahui bahwa nilai χ2 hitung = 5,578

dengan nilai ρ = 0,018 pada taraf signifikan 0,05, karena nilai ρ < 0,05 maka

HO ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan

yang bermakna (signifikan) antara sikap perawat dengan tindakan perawat


70

dalam manajemen nyeri (teknik distraksi) pada pasien post op di ruang

bedah Orthopedi RSUI Kustati Surakarta.

.
71

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan cukup kuat antara pengetahuan dengan tindakan perawat

dalam penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada

pasien post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018

dengan nialai X2hitung = 8.103 > X2tabel = 3.841 dan koefisien phi (φ) sebesar

0.520

2. Ada hubungan cukup kuat antara sikap dengan tindakan perawat dalam

penatalaksanaan nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien

post operasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Tahun 2018 dengan

nilai X2hitung = 6.451 > X2tabel = 3.841 dan koefisien phi (φ) sebesar 0.464

B. Saran

Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi pihak Rumah Sakit Bhayangkara Kendari, terutama perawat sebagai

pemberi pelayanan keperawatan untuk senantiasa meningkatkan

pengetahuan dan memandang bahwa semua teknik pengurangan nyeri

bersifat efektif. Sehingga dapat dilakukan improvisasi dalam

pemberiannya kepada pasien dan dikolaborasikan dengan terapi medika

dengan tujuan untuk meringankan nyeri pasien post operasi.


72

2. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan referensi dan mengembangkan variabel penelitian yang

terkait dengan penatalaksanaan nyeri pada pasien post operasi.

3. Bagi profesi, diharapkan penelitian dapat dijadikan bahan informasi

kepada perawat tentang hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan

penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi napas dalam.

Anda mungkin juga menyukai