Anda di halaman 1dari 4

http://imaginativecenda.blogspot.co.

id/2011/06/pendidikan-kewarganegaraan-konflik-
sara.html

1. Kasus Temanggung

Kasus ini terjadi karena adanya sikap tidak terima dari pihak ormas yang beratas namakan agama
islam kepada keputusan hakim yang memvonis Antonius Richmond Bawengan. kasus ini bermula
ketika Antonius Richmond Bawengan menyebarkan selebaran yang menyindir agama islam, si
Antonius sendiri merupakan pemuka agama kristiani. Sidang sebetulnya telah berlangsung selama 3
kali dan selama 3 kali persidangan selalu ada bumbu kericuhan yang ditabur oleh orang-orang yang
mengaku berasal dari ormas islam tersebut. Sidang kali pertama dan kedua berjalan lancer tetapi
setelah siding berlangsung, orang-orang yang berasal ormas islam tersebut berusaha untuk menyerang
Antonius Richmond Bawengan akan tetapi tindakan itu di halau oleh pihak yang berwenang sehingga
tidak ada serangan berkelanjutan dari ormas islam tersebut.
Sidang kali ketiga yang juga puncak dari sidang-sidang sebelumnya yang didalamnya ada
pembacaan vonis dari hakim kepada terdakwa. Sidang ini berlangsung ricuh setelah pembacaan vonis
dimulai, karena di dalam ruang sidang ada orang-orang yang mengaku dari ormas islam yang ikut
mendengarkan putusan hakim dari dalam ruang pengadilan. Karena berlangsung ricuh maka orang –
orang yang berasal dari ormas islam tersebut dihimbau untuk keluar dari ruang sidang karena
mengganggu proses sidang saat itu. Setelah keluar bukannya bertambah kondusif namun suasana
menjadi semakin panas karena para anggota ormas – ormas tersebut malah menyerang kantor
pengadilan dengan melempari batu dan bermacam benda keras. Walaupun telah ada penjagaan dari
pihak aparat polisi tetapi serangan tak dihentikan malah bertambah menjadi, hingga pada akhirnya
polisi memita bantuan dari satuan brimob. Setelah ada bantuan dari pihak brimob massa
membubarkan diri dan pulang bersamaan denga berjalan kaki. Akan tetapi aksi ternyata aksi tak
selesai sampai disitu tanpa penjagaan, massa ormas islam tersebut merusak dan membakar tiga gereja
dan satu sekolah Kristen di temanggung. Tak hanya greja dan sekolah Kristen yang dirusak, beberapa
mobil yang di parker berdekatan dengan gerejapun dibakar hingga tinggal rongoknya saja. Dalam aksi
yang brutal ini tak ada korban jiwa yang melayang tetapi kerugian dinilai hingga ratusan juta rupiah.
Dalam kasus ini massa yang menamakan ormas islam tersebut menunjukan tindakan yang sangat
tidak patut untuk dilakukan manusia. Tindakan-tindakan tersebut secara langsung menyakiti hati
agama lain yaitu umat kristiani sendiri. Pemikiran yang sempit dan budaya latah di Indonesia yang
mempermudah orang-orang kita dapat dengan gamblangnya menerima doktrin dari sekelompok orang
yang memiliki sikap fanatisme tinggi terhadap agamanya sendiri. Bukankah sebetulnya setiap agama
tak mengajarkan kekerasan tumbuh. Maka dari itu sebetulnya manusia dituntut berpikir kritis terhadap
setiap masukan yang terjadi yang menyangkut agama sendiri. Karena dengan adanya kasus seperti
diatas akan semakin mendorong suatu perpecahan itu pecah.

2. Kasus Sampit

Raut muka lelaki itu dingin. Mengenakan ikat kepala merah, ia berdiri di tengah kerumunan
dengan kedua tangan membentang lebar. Tangan kirinya menenteng kepala bocah berusia sekitar lima
tahun yang lepas dari tubuh. Sedangkan tangan kanan tinggi-tinggi mengacungkan senjata keramat,
mandau. Orang-orang yang menyaksikan pemandangan itu terdiam. Semua melihat dengan tatapan
datar, tanpa rasa ngeri, tanpa beban. Bocah malang itu tak sendirian. Ia adalah satu di antara ratusan
jiwa yang tewas dengan cara mengenaskan, sejak pertikaian antara dua etnis yang kerap berseteru,
Madura dan Dayak, meruyak Sampit, Kalimantan Tengah, dua pekan silam. Di Ibu Kota Kabupaten
Kotawaringin Timur itu, cukup mudah menemukan mayat-mayat tanpa kepala. Tak berlebihan bila
ada yang melukiskan, kaki bisa tersandung mayat saat menyusuri ruas jalan di Sampit akhir-akhir ini.
Sebab, jenazah korban pembantaian memang berserakan nyaris di setiap sudut kota, terutama di lokasi
kediaman etnis Madura. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, korban jatuh mencapai
sekitar 400 jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya
dirusak. Aksi pembasmian etnis ini dibenarkan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Polri
Inspektur Jenderal Polisi Didi Widayadi, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, pekan terakhir
Februari silam. Banyak cerita yang mengisahkan penyebab Sampit terkoyak. Terbetik berita,
pertikaian itu bermula dari pembunuhan yang dilakukan sejumlah orang Madura terhadap seorang ibu
warga Dayak yang sedang hamil tua. Para pembunuh bertindak sadis. Mereka menyayat perut korban,
mengeluarkan bayi dari kandungan, dan membakarnya. Kisah lain, perseteruan terjadi setelah
sekelompok warga Dayak menyerang Keluarga Matayo, pendatang Madura di wilayah Kecamatan
Baamang. Pengeroyokan itu menewaskan empat orang dan melukai seorang lainnya. Mengetahui ini,
emosi warga Madura terbakar. Mereka pun berbondong-bondong menyerbu rumah yang diduga
sebagai tempat pelarian para pembunuh keluarga Matayo. Tanpa pikir panjang, mereka membakar
belasan rumah milik warga Dayak di sekitar lokasi. Aksi ini disusul serangan balasan oleh orang
Dayak. Versi lain, pertempuran dipicu dendam orang Madura atas kerusuhan Desember tahun silam,
di daerah Kerengpangi, Kabupaten Kotawaringin Timur, 100 kilometer arah selatan Palangkaraya.
Bagi orang Madura, pembalasan yang pas adalah pada Sabtu, 17 Februari malam. Saat itu, banyak
orang Dayak panik dan lari ke Palangkaraya, Banjarmasin atau ke pedalaman. Terbetik berita, enam
orang tewas tak lama serbuan dilancarkan. Orang Madura pun menguasai Sampit sampai Senin. Pada
Selasa dan Rabu pagi, mereka masih menyerang sambil meletakkan bom di beberapa sudut kota. Aksi
balas dendam warga Madura seolah membangunkan macan yang terlelap. Selang beberapa lama,
mandau pun terayun. Berduyun-duyun orang Dayak datang dari daerah alur sungai pedalaman
Kalteng, daerah Barito, Pangkalan Bun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada Rabu sore,
mereka berhasil menguasai Sampit. Warga Dayak melakukan serangan balasan tanpa pandang bulu.
Hati yang panas tak lagi mempunyai mata. Bukan cuma orang Madura yang semula terlibat keributan
yang menjadi korban. Tapi, siapa pun orang Madura yang ditemui, dibabat. Rumah-rumah Madura,
dari Sampit sampai Palangkaraya, dihancurkan dan dibakar. Desas-desus yang beredar, dari aksi ini
warga Dayak berhasil mengumpulkan 700 kepala manusia sampai Sabtu, 24 Februari. Diperkirakan,
hingga kini, jumlah korban sudah mencapai ribuan jiwa. Entah cerita mana yang benar, satu hal pasti,
bendera perang telah berkibar. Buntutnya, ribuan warga Madura terpaksa hengkang ke hutan dan
pedalaman. Dari pemantauan SCTV, hingga kini, mereka masih tak berani keluar. Amat mungkin
mereka terancam kelaparan, mengingat saat kabur, mereka tak membawa bekal makanan yang cukup.
SCTV memperoleh cerita memilukan. Ada pasangan suami istri yang harus berpisah lantaran
keduanya berlainan etnis. Sang istri Madura dan suami Dayak. Tak lama setelah pertikaian pecah, si
istri turut mengungsi ke Madura. Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak
lantaran bersuami orang Dayak. Begitu pun ketika ia harus mengikuti si suami, masyarakat Dayak
sulit menerima. Kini, ibu muda yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan
suami tetap di kampungnya. Entah sampai kapan mereka harus berpisah. Aparat keamanan tak
mampu berbuat lebih jauh. Mereka sibuk mengurus pengungsi. Sedikitnya, 33 ribu orang berlindung
di tempat-tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar Kalimantan.
Secara bergiliran mereka dievakuasi, melalui kapal-kapal milik Tentara Nasional Indonesia. Sempat
terjadi adegan konyol di tengah pengevakuasian pengungsi ini, ketika anggota TNI terlibat baku
tembak dengan anggota Brigade Mobil Polri. Ritual Memenggal Kepala Permusuhan antara Dayak
dan Madura begitu mengerikan. Sebab, muncul nilai-nilai yang berhubungan dengan ritual warga
Dayak, yakni memenggal kepala (mengayau). Menebas kepala lawan memang sudah menjadi ritual
yang harus dijalankan pemuda Dayak sebelum memasuki akil-balik. Bahkan, bila mereka juga
memakan hati musuh, itulah kepercayaan bahwa hanya dengan cara demikian roh korban tak akan
mengganggu seumur hidup. Dayak memang menggenggam tradisi unik. Sebelum membunuh lawan,
mereka melakukan sejenis upacara sebagai persiapan perang. Konon, setelah menemukan sasaran
yang diincar, orang Dayak tak melihat musuh sebagai manusia utuh. Tapi, seolah-olah, mereka tengah
berhadapan dengan manusia berkepala sapi. Maka, ketika mandau digunakan untuk mengayau, orang
Dayak merasa sedang memenggal kepala hewan ternak. Dahsyatnya, sekali tebas, kepala korban
langsung lepas dari badan. Kabarnya, kepala-kepala itu akan ditunjukkan kepada pimpinan mereka
begitu tiwah --bagian dari rangkaian upacara penguburan masyarakat Dayak Ngaju-- digelar. Mereka
meyakini, semua arwah akan masuk sorga bila telah dilakukan tiwah. Inilah puncak ritual untuk
mengantar arwah si mati masuk ke dalam alam kekal yang serba indah, yang tak mengalami
kekurangan apapun (lewu tatau hapasir intan habusung bulau). Itu sebabnya, agak sulit mengatakan
bahwa memenggal kepala bagi orang Dayak adalah kesadisan atau kekejaman yang sudah menjadi
watak. Ini adat yang terpendam lama dan sewaktu-waktu bisa muncul. Jangan heran kebiasaan
tersebut terjadi di Tragedi Sampit, pertikaian kesepuluh yang pecah di Kalimantan sejak 1950.
Banyak kalangan heran, begitu mudah orang Madura dan warga asli di Kalimantan terlibat konflik.
Dalam disertasinya bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, almarhum
Profesor Hendro Suroyo Sudagung mengungkapkan, pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan
Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang
mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan
nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa
parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap
berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak
berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan --dari soal salah menyabit rumput
sampai kasus tanah-- amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan
manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala.

3. Latar peristiwa

Aksi kekerasan di Aceh Singkil mengakibatkan pembakaran rumah ibadah GHKI di Desa
Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah. Bentrokan antara dua kelompok massa juga
sempat terjadi di Dusun Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan.

SerambiNews melaporkan, bentrokan ini menelan satu korban meninggal dunia dan empat
orang luka-luka--satu di antaranya anggota TNI. Korban meninggal atas nama Syamsul (21)
warga Buluh Sema, Kecamatan Suro Makmur.

Sepekan sebelum peristiwa ini pecah (6 Oktober), massa Pemuda Peduli Islam (PPI) pernah
menggelar aksi masa. Mereka menyoroti keberadaan gereja yang makin banyak di Aceh
Singkil. Hal itu dinilai sebagai pelanggaran atas perjanjian pada 1979 dan 2001.

Ihwal perjanjian pada 1979 dan 2001 sempat dijelaskan Bupati Aceh Singkil, Safriadi.
Dilansir CNN Indonesia, Safriadi menyebut dalam perjanjian damai itu disetujui berdiri satu
gereja dan empat undung-undung (rumah peribadatan ukuran kecil) di Aceh Singkil.

Dalam unjuk rasanya, PPI mengancam akan membongkar gereja yang dianggap tak berizin
sepekan setelah aksi (13 Oktober). Tepat pada tanggal itu, pembakaran gereja dan bentrok
massa pecah.

Di sisi lain, PGI menjelaskan bahwa tak ada maksud gereja untuk tidak mengurus izin.
"Tetapi realitasnya, pengurusan izin mendirikan rumah ibadah sangat sulit dan bahkan sering
tidak bisa diperoleh walau sudah diupayakan semaksimal mungkin," demikian petikan siaran
pers PGI

4.

Anda mungkin juga menyukai