Anda di halaman 1dari 124

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI


VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK

SOFANA FAIRRO FINGIYAH


A01401972

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
TAHUN AKADEMIK
2017

i
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI
VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK

Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Studi Pendidikan Diploma III Keperawatan

SOFANA FAIRRO FINGIYAH


A01401972

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
TAHUN AKADEMIK
2017

ii
iii
iv
v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
SAMPUL DALAM................................................................................... ii
HALAMAN ORISINALITAS................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... v
DAFTAR ISI............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................viii
KATA PENGANTAR.............................................................................. ix
ABSTRAK................................................................................................. xi
ABSTRACT..............................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 3
C. TujuanPenulisan.................................................................................. 3
D. Manfaat Penulisan................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka................................................................................... 5
1. Asuhan keperawatan dalam Hambatan Komunikasi Verbal............ 5
2. Hambatan Komunikasi Verbal Pada Pasien SNH .......................16
BAB III METODE STUDI KASUS
A. Jenis Studi Kasus................................................................................. 22
B. Subyek Studi Kasus.............................................................................. 22
C. Fokus Studi Kasus................................................................................ 22
D. Definisi Operasional............................................................................. 22
E. Instrumen Studi Kasus.......................................................................... 22
F. Metode Pengumpoulan Data.................................................................23
G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus............................................................. 24
H. Analisa dan Data Penyajian.................................................................. 24
I. Etika Penelitian Studi kasus..................................................................25

vi
BAB IV HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Studi kasus...................................................................................27
B. Pembahasan ......................................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan..........................................................................................45
B. Saran ....................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA

vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Persetujuan/ Informed Consent
Lampiran 2 Lembar pengkajian
Lampiran 3 Catatan Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 A I U E O
Lampiran 5 Lembar konsultasi

viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Puji syukurkehadirat Allah S.W.T yang telah melimpah kan
rahmatdankarunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal karya
tulis ilmiah ini dengan judul“Asuhan Keperawatan Pasein Dengan Gangguan
Hambatan Komunikasi Verbal Pada Sistem Persyarafan Stroke Non
Hemoragik”.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam
menyelesaikan karya tulis ilmiah ilmiah.
Tujuan dari penulisan proposal karya tulis ilmiah adalah sebagai salah
satu persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Keperawatan.
Penyelesaian penulisan proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak
mendapatkan bantuan baik materil maupun moril dari berbagai pihak, untuk itu
penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua Bapak Suyadi Azhar dan Ibu Siti Kholifah yang selalu
memberikan dukungan, kasih sayang, semangat dan perhatian dalam setiap
waktunya.
2. Adikku Restu Maisaroh yang selalu menemani dan memberikan semangat.
3. Teman-temanku yang selalu setia menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam
mengerjakan.
4. PodoYuwono S. Kep, Ns, M.Kep. CWCS selaku pembimbing yang telah
dengan sabar membimbing dan memberikan arahan dengan sangat baik.
5. Endah Setianingsih, S.Kep, Ns. M.Kep selaku penguji proposal dan
pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan arahan
dengan sangat baik.
6. Herniyatun, S.Kep, M.Kep Sp.Mat, selaku Ketua STIKES Muhammadiyah
Gombong.
7. Nurlaila, S.Kep.Ns, M.Kep, selakuKetua Program Studi DIII Keperawatan
STIKES MuhammadiyahGombong dan selaku penguji hasil Karya Tulis
Ilmiah.

ix
8. Ike Mardiati A. M, Kep, Sp, Kep, J. Selaku dosen penguji hasil Karya Tulis
Ilmiah.
9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan
terima kasih atas bantuan dan dukunganya.
Penulis menyadari bahwa di dalam menyelesaikan proposal karya tulis
ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kesempurnaan proposal karya tulis ilmiah ini
pada waktu yang akan datang. Harapan penulis semoga proposal karya tulis
ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca pada
umumnya.
Gombong, Juli 2017

Sofana Fairro Fingiyah

x
Program DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Juli 2017
Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono 2

ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN
STROKE NON HEMORAGIK DI RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

Latar Belakang: Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara mendadak
dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan
anggota gerak, gangguan bicara, proses berfikir, dikarenakan gangguan fungsi otak.
Tujuan Penulis: Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.
Metode: Metode yang digunakan penulis untuk studi kasus adalah metode deskriptif,
Dimana penulis melakukan pengujian secara rinci terhadap dua obyek .
Hasil: Setelah dilakukan asuhan keperawatan didapatkan data-data pasien pelo, sulit
berbicara, bicara tidak jelas, tidak mampu orientasi 3 hal( tempat, waktu, orang). Selain
itu pasien sulit mengungkapkan kata, sulit mempertahankan komunikasi, sulit
mengekspresikan pikiran secara verbal. Salah satu dari pasien hanya mampu
menganggukkan dan menggelengkan kepala. Masalah keperawatan yang muncul adalah
hambatan komunikasi verbal. Rencana asuhan keperawatan untuk meningkatkan
komunikasi verbal adalah dengan cara terapi wicara. Rencana keperawatan tersebut telah
diimplementasikan selama dalam pengelolaan. Evaluasi yang didapatkan pasien Ny. R
belum ada peningkatan komunikasi verbal sedangkan pasien Ny. S mengalami
peningkatan komunikasi verbal.
Kesimpulan: Tindakan asuhan keperawatan terapi wicara dalam meningkatkan
komunikasi dengan latihan secara intensif dapat meningkatkan neuralplasticity,
reorganisasi peta kortikel dan meningkatkan fungsi motorik.

Kata kunci: stroke non hemoragik, hambatan komunikasi verbal, terapi wicara

1. Mahasiswa
2. Dosen

xi
DIII Program of Nursing Department
Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong
Scientific Paper, July 2017
Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono 2

ABSTRACT

THE NURSING CARE FOR PATIENTS WITH VERBAL COMMUNICATION


BARRIES OF NON-HEMORRHAGE STROKE NERVES SYSTEM
IN MUHAMMADIYAH HOSPITAL OF GOMBONG

Background: Stroke is an abnormality of the brain function arising suddenly and may
happen to anyone. This can cause disability, such as paralysis limb, speech disorder,
thinking process caused by impaired brain function.
Objective: Explaining the nursing care for patients with verbal communication barries of
non-hemorrhage stroke nerve system.
Method: method that used by writer for the case of study is using descriptive method,
where the writer is doing a detailed research of two objects.
Result: After conducting nursing care, the writer found out that the patients were oblique,
hard talking, unclear speaking, unable to orient three things (place, time and person).
Besides, it was hard for them to express words. to maintain the communication, and to
utter their thoughts verbally. One of them was just able to nod and shake her head. The
emerging nursing problem was verbal communication barriers. The nursing care plan to
improve their verbal communicatoin was done by applying speech therapy. The plan had
been implemented during the management. The evaluation showed that there was no
verbal communication improvement of the first patient (Mrs. R), but the second patient
(Mrs. S) got an increase in verbal communication.
Conclusion: The applying speech theraphy for improving verbal communication done by
practising intensively can improve neuralplasticity, reorganixation of the crotical map,
and motor function.

Keywords: Non-hemorrhage stroke, verbal communication, speech therapy

1. Student
2. Lecturer

xii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan satu dari sekian banyak masalah kesehatan yang
paling serius dalam kehidupan modern saat ini. Stroke masih merupakan
masalah medis yang menjadi masalah yang serius dan mengancam jiwa
nomor 2 di Eropa serta no 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita
stroke mengalami kelemahan anggota gerak yang memerlukan perawatan
(Batticaca, 2008). Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara
mendadak dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan
berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara atau afasia, proses
berfikir, dikarenakan sebagai gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).
WHO mamprediksikan bahwa angka kematian stroke akan
meningkat dengan kematian akibat penyakit jantung koroner, kanker. Kurang
lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030 (WHO, 2008)
Amerika Serikat mencatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan
setiap 4 detik terjadi kematian akibat sroke. Tahun 2010 Amerika Serikat
telah menghabiskan 73,7 juta dollar untuk membiayai tanggungan medis dan
rehabilitsi akibat stroke. Yayasan stroke Indonesia (Yastroki) menjelaskan,
angka kejadian stroke menurut data rumah sakit 63,52 per 100.000 penduduk
usia diatas 65 tahun sedangkan jumlah penderita yang meninggal dunia lebih
dari 125.000 jiwa (Ratna, 2011).
Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh stroke menduduki uratan kedua pada usia
diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usai 15-59 tahun ( Yastroki, 2012 ).
(Robino, 2015) mengatakan bahwa di Kalimantan Barat merupakan salah satu
provinsi di Indonesia dengan penderita stroke cukup tinggi. Penderitanya
melebihi prevalensi stroke di daerah perkotaan secara nasional. Singkawang
merupakan kota di Kalimantan Barat dengan prevalensi stroke yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan penelitian di lima rumah sakit

1
2

yang ada di Kota Singkawang menunjukkan, adanya peningkatan jumlah


pasien stroke yang dirawat. Jumlah tersebut belum termasuk pasien stroke
yang dirujuk dan dirawat di rumah sakit selain di Singkawang serta pasien
yang berobat ke puskesmas. Jumlah kekambuhan stroke juga menunjukkan
angka yang tinggi. Rata-rata kasus stroke di jawa tengah mencapai 635,60
kasus (profil kesehatan provinsi Jawa Tengah, 2012, hlm, 39). Prevelensi
Stroke Non Hemoragik di Jawat Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 yaitu 0,03%. Prevelensi tertinggi di
kabupaten kebumen sebesar 0,29%.
Masalah kesehatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi,
tergantung dengan luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian
jaringan dan lokasi yang terkena (Lyna, 2007). Apabila stroke menyerang
otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien akan mengalami
gangguan bicara atau afasia, karena otak kiri berfungsi untuk mengnalisis,
pikiran logis, konsep, dan memahami bahasa (Sofwan, 2010). Menurut
(Mulyasih, 2008) secara umum afasia dibagi dalam tiga jenis afasia motorik,
afasia sensorik, afasia global.
Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu
dilakukan latihan bicara disartia maupun afasia. Speech Therapy sangat
dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi merupakan faktor yang
berpengaruh dalam interaksi sosial. Kesulitan dalam berkomunikasi akan
menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi (Sunardi, 2006). Hambatan
komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf pusat
dapat diprioritaskan sebagai diagnosa dengan alasan apabila tidak diatasi
maka akan berakibat ketidakmampuan individu untuk mengekspresikan
keadaan dirinya dan dapat berakibat lanjut pada penurunan harga diri pasien
(Batticaca, 2008)
Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada
daerah broca. Seorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu
kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan
menulis (Sidharta M. , 2004). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan
3

afasia adalah memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006) Terapi wicara


merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami
gangguan komunikasi, gangguan bahasa bicara, gangguan menelan. Terapi
wicara ini berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis,
diantaranya pasien pasca stroke (Sunardi, 2006).
Menurut (Wardhana, 2011) penderita stroke yang mengalami
kesulitan bicara akan diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk
memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Orang yang
mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami kegagalan dalam
berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuain ruangan supraglottal.
Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan
menurunkan laring, yang akan mengatur jumlah transmisi udara melalui
rongga mulut dan rongga hidung melalui katup valofaringeal dan merubah
posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan
menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara ( yanti, 2008)
Berdasarkan pemaparan latar belakang maka penulis memandang
bahwa pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien stroke sangat penting.
Sehingga penulis tertarik untuk memberikan “asuhan keperawatan pada
pasien dengan masalah ganggun hambatan komunikasi verbal”
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik?
C. TUJUAN STUDI KASUS
1. Tujuan umum
Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke
Non Hemoragik.
4

2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
b. Penulis mampu merumuskan masalah diagnosa keperawatan pada
pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem
persyarafan Stroke Non Hemoragik.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan
Stroke Non Hemoragik.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
e. Penulis mampu mengevaluasi kondisi pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
D. MANFAAT STUDI KASUS
Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan studi kasus
yang bersifat praktis terutama bagi:
a. Masyarakat dan keluarga mampu merawat pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
b. Menambah keluasan ilmu dan tekhnologi terapan bidang keperawatan
dalam pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
c. Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan
komunikasi pada pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal
pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Yogyakarta: Rinek Cipta.

Adisaputro, Gunawan. 2008. Anggaran Perusahaan. BPFE. Yogyakarta.

Asmadi (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC

Batticaca, F.B. 2008 Asuhan Keperawatan Dengan Sistem Persyarafan. Jakarta :


Salemba Medika.

Carpenito, 2007, Diagnosa Keperawataan (Handbook of Nursingdiagnosis), Edisi


10, Alih Bahasa Monica Ester, Jakarta: EGC

Depkes , 2015, Stroke Pembunuh Nomor Satu di Indonesia. Jakarta: tersedia


tersedia dalam www.litbang.depkes.go.id/node/639. Diakses pada
tanggal 24/5/2017 jam 15:09

Hidayat A, Aziz Alimul (2007), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:


Salemba Medika

Komala, Lukiati. (2009), Ilmu Komunikasi Perspektif, Proses dan Konteks.


Bandung: Widya Padjajaran.

Liliweri , Alo, (2007). Dasar Komunikasi Kesehatan Yogyakarta: Pustaka. Pelajar


diakses di digilib.unimus.ac.id

Maryam, dkk, 2008, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, Jakarta: Salemba
Medika.

Mubarak, Lilis Indrawati, Joko Susanto ( 2015 ), Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar, Jakarta: Salemba Medika.

Muhammad, Arni (2009). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


System Persyarafan Jakarta: Salemba ,Medika.
Mulyatsih, E & Airizal, A. (2008). Stroke Petunjuk Perawatan Pasien Pasca
Stroke di Rumah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Nanda Internasional 2015, Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-


2017, EGC, Jakarta.

Notoatmojo (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7th Edition.

Ratna. 2010. Penyakit pemicu Stroke: Dilengkapi dengan Posyandu Lansia dan
Posbindu PTM, Penerbit Nurha Medika, Yogyakarta.

Ruslan, Rosady. (2008). Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi.


Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Rodiyah (2012). Terapi wicara untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak


dengan Gangguan Cerebral Palsy di yayasan Pembinaan Anak cacat
(YPAC) malang diakses di
http.//lib.uin.malang.ac.id/?mod=th_detail&id=08410114

Setiadi (2012), Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, Yogyakarta : Graha


Ilmu.

Sofwan, R. (2010). Anda Bertanya Dokter Menjawab: Stroke dan Rehabilitasi


Pasca-Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Sunardi dan sunaryo. (2006). Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus.


Bandung: Jurusan PLB FIP UPI

Wardhana, W. A (2011) Strategi mengatasi dan bangkit dari Stroke. Yogyakarta:


Pustaka Belajar.

Wiwit, (2010). Stroke dan Penangannya. Yogyakarta: Katahati.

Wirawan, 2009. Rehabilitasi Stroke Pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah


Kedokteran Indonesia.
World health organization. 2015. STEP wise approach to stroke surveillance.
Geneva.

Yanti, D. (2008). Penatalaksanaan Terapi Wicara Pada Tuna Wicara Pada Tuna
Rungu. Diakses di http://akrab.or.id/?p=57. Pada tanggal 24-05-2017
jam 15:09.
INFORMED CONSENT
(Persetujuan Menjadi Partisipan)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah
mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh Sofana Fairro Fingiyah dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HAMBATAN
KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PESYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK”.
Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi pada penelitian ini
secara sukarela tanpa paksaan. Bila selama penelitian ini saya menginginkan
mengundurkan diri, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu – waktu tanpa
sanksi apapun.

..................................2017
Yang memberikan persetujuan
Saksi

............................. .............................

..................................2017
Peneliti

Sofaa Fairro Fingiyah


Lembar pengkajian

A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
Diagnosa Medis :
No Rekam Medis :
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Hub. dengan pasien :

B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama

2. Riwayat Penyakit Sekarang

3. Riwayat Penyakit Dahulu

4. Riwayat Penyakit Keluarga


5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
b) Nutrisi
c) Eliminasi
d) Istirahat dan tidur
e) Aktivitas
f) Berpakaian
g) Personal Hygiene
h) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
i) Mempertahankan suhu tubuh
j) Pola berpakaian
k) Komunikasi
l) Spiritual
m)Rekreasi
n) Belajar
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran:
Suara Bicara:
TTV :
b. Kepala :
c. Telinga:
d. Mata :
e. Mulut:
f. Leher:
g. Dada
Paru – Paru:
Inspeksi:
Palpasi:
Perkusi:
Auskultasi:
Jantung:
Inspeksi:
Palpasi:
Perkusi:
Auskultasi:
h. Abdomen
Inspeksi:
Auskultasi:
Palpasi:
Perkusi:
i. Genetalia:
j. Pemeriksaan Integumen:
k. Ekstermitas :
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan CT Scan
8. Terapi
C. ANALISA DATA
No Hari / Data Fokus Problem Etiologi
Tanggal

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan


E. INTERVENSI KEPERAWATAN
No DX Keperawatan Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
F. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf

G. EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. R DENGAN
GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM
PERSYARAFAN STROKE NON HEMORAGIK

Sofana Fairro Fingiyah (A01401972 )

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2017
A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.R
Umur : 64 Tahun
Jenis Kelamin : Prempuan
Agama : Islam
Alamat : Cilacap
Pekerjaan : SR
Tanggal Masuk RS : 06 juli 2017
Tanggal Pengkajian : 07 juli 2017 Jam : 10.15 WIB
Diagnosa Medis : Stroke Non Hemorogic
No Rekam Medis :
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. S
Umur : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Cilacap
Pekerjaan : Wiraswasta
Hub. dengan pasien : Suami

B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kanan lemah
saat digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong
bersama keluarga pasien pada tanggal 6 juli 2017 jam 08.30 WIB dengan
keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu, sesaknya tidak dipengaruhi
oleh aktifitas. Batuk ± 7 hari dahak berwarna putih, muntah (-), demam
kadang-kadang, tekanan darah: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 29x/m, S:
36,50 C, SPO2: 98%, GCS=11 E:4 V:1 M: 6, pupil 3/3 mm, reflek cahaya
+/+. Pasien sekarang dirawat di ruang Barokah dan mendapatkan terapi
Inj ranitidin 3x50mg, Inj Ondansentron 3x5 mg, Inj Ceftriaxone 2x1gr.
Riwayat penyakit dahulu Pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan
Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi
ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya
ada lagi pada bagian telapak kaki..
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan
Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi
ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya
ada lagi pada bagian telapak kaki
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengatakan keluarga tidak ada yang menderita sakit
yang sama seperti pasien, orang tua pasien meninggal pada usia lanjut
bukan karena sakit.
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
Sebelum Sakit: keluarga pasien mengatakan pasien sejak dirawat di
rumah sakit sering mengalami masalah pada pernafasannya.
Saat saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan
normal, tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada pernafasan
cuping hidung
b) Nutrisi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan
porsi sedikit nasi, lauk dan sayur dengan mandiri setelah terkena
stroke kebutuhan makannya dibantu oleh keluarganya.
Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien menggunakan
selang NGT karena pasien mengalami gangguan dalam menelan
sehari pasien diberi makan oleh perawat ± 500 ml.
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil
makanan dan memasukan kemulut, Keluarga pasien mengatakan
pasien ada kendala saat mengunyah, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu menghabiskan makanan, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu makan dalam jumlah banyak,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membuka mulut
secara lebar, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menyiapkan makanan untuk dimakan.
c) Eliminasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya BAB dibantu
pake pispot dua hari sekali.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien semenjak masuk rumah sakit
tanggal 06 Juli 2017 pasien belum BAB dengan konsistensi lembek,
berwarna kuning.BAK.
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya pasien BAK 5-
8x sehari, pada malam hari bisa mencapai 4x.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan sekarang pasien menggunakan
selang kateter ukuran: 16 produksi urin: 250 cc/ 7 jam
d) Istirahat dan tidur
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 4-5 jam dalam
sehari, tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2
jam dalam sehari tetapi pada siang hari pasien cenderung tidur bisa 4-
7 jam.
e) Aktivitas
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas
sendiri tanpa bantuan keluarga dan alat bantu, semenjak stroke pasien
di tempat tidur maupun yang lain harus dibantu oleh keluarga selama
sakit pasien hanya berbaring di tempat tidur.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan
aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
f) Berpakaian
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri
tanpa bantuan, semenjak terkena stroke semua kebutuhan
berpakain dibantu oleh keluarga.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan
sepatu, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menggunakan kaos kaki, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu melepaskan atribut pakaian , Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu melepas sepatu, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu melepas kaos kaki, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak memperhatikan penampilannya,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan
pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu menggunakan resleting,
g) Menjaga Suhu Tubuh
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien
menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien
menggunakan baju yang tipis dapat menyerap keringat
Saat Dikaji : keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak
menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut
h) Personal Hygiene
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan
personal hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok
gigi setiap mandi, semenjak terkena stroke pasien mandi dengan
diseka oleh keluarganya satu hari sekali.
Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
ke kamar mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu mengeringkan tubuh menggunakan handuk seperti biasa,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil
perlengkapan mandi secara mandiri, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengatur air mandi, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh, Keluarga
pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan
mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mampu berdiri di toilet.
i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan
nyaman sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien
tidak merasa nyaman jika sendirian dirumah.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena
lumpuh di ekstermitas kanan, Keluarga pasien mengatakan pasien
belum bisa sepenuhnya menerima keadaanya.
j) Komunikasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi
dengan baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa
jawa.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien pelo, pasien sulit
berbicara, pasien bicara tidak jelas, pasien tidak mampu orientasi
3 hal( tempat, waktu, orang), pasien sulit mengungkapkan kata,
pasien sulit mempertahankan komunikasi, pasien sulit
mengekspresikan pikiran secara verbal, pasien hanya mampu
menganggukkan kepala dan menggelengkan kepala.
k) Spiritual
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam,
pasien melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang
mengikuti pengajian.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak melakukan
sholat 5 waktu setelah masuk RS.
l) Rekreasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah
berekreasi, pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala
sedang istirahat
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring
ditempat tidur
m) Belajar
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa
mendapatkan informasi melalui televisi.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien mengatakan telah
mengerti tentang penyakitnya.
n) Bekerja
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring
diatas temapt tidur.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Composmentis GCS=11 E:4 V:1 M: 6
Suara Bicara: Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.
TTV : TD: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 24x/m, S:36,5 0C,
Kepala : Bentuk mecochepal, tidak terdapat nyeri tekan.
b. Rambut: kering, kotor, beruban.
c. Telinga: bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen
d. Mata : Konjungtiva anemis, Sclera anikterik, Pupil isokor,
Rangsang Cahaya: (+).
e. Mulut: Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi sedikit kotor.
f. Leher: tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.
g. Dada
Paru – Paru:
Inspeksi: bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi
dinding dada
Palpasi: Vokal fremitus simetris
Perkusi: sonor
Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi
Jantung:
Inspeksi: tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak
Palpasi: tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm
midclavicula sinistra
Perkusi: redup
Auskultasi: reguler
h. Abdomen
Inspeksi: tidak ada jejas
Auskultasi: bising usus 18x/menit
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi: timpani
i. Genetalia: terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16.
j. Pemeriksaan Integumen
Kulit: Pucat, turgor kulit jelek
k. Ekstermitas: Kelumpuhan di ekstermitas kanan
7. Pemeriksaan neurologi
Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII (
Hypoglossus ) central
8. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : CM
Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang
Kemampuan bahasa : afasia berat
9. Pemeriksaan Motorik
Ekstermitas dekstra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra : 4 (kekuatan sedang)
Pemeriksaan Sensorik
Ekstermitas dekstra : terjadi numbless (mati rasa)
Ekstermitas sinistra : normal
Pemeriksaan Reflex
Ekstermitas dekstra : 0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra : 2+ (normal)
10. Hasil Pengkajian Khusus
11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 06 juli 2017 jam 09.27 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.6 Mg/dl 11.7-15.5
leukosit/AL 3.38 /ul 3.6-11
Eritrosit 8.9 Juta/L 3.8-5.2
Hematokrit 28.1 Mg/dl 35-47
Kimia klinik
MCV 83.6 Fl 80-100
MCH 26.5 Pg 26-34
MCHC 31.8 g/dl 32-36
Trombosit 563 150-440
Gula sewaktu 105 70-105

12. Terapi Tanggal 06 juli 2017


IVFD RL 500 cc/24 jam
Ceftriaxone 2x1 gr
Ranitidin 3x50 mg
Ondansentron 3x5 mg
C. ANALISA DATA
No Hari / Data Fokus Problem Etiologi
Tanggal
1 Jum’at 07 DS: Hambatan Perubahan
juli 2017 - Keluarga pasien Komunikasi Sistem Syaraf
Jam : 10.15 mengatakan pasien Verbal (00051) Pusat
WIB sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
- Keluarga mengatakan
pasien tidak mampu
orientasi 3 hal (
tempat, waktu,
ruang)
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
memperthankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Pasien hanya mampu
menganggukan
ataupun
menggelengkan
kepala
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kanan : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak mampu
samasekali
melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra :
4 (kekuatan sedang)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
terjadi numbless
(mati rasa
Ekstermitas sinistra :
normal Reflex
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra :
2+(normal)
2. Jum’at 07 DS: Hambatan Mobilitas Neuromuskular
juli 2017 - Keluarga mengatakan Fisik ( 00085)

Jam : 10.15 pasien tidak mampu


beraktivitas, pasien
hanya tiduran saja di
tempat tidur,
melakukkan aktivitas
dibantu keluarga dan
perawat
DO :
- TD :110/70 mmHg, N
:100x/menit S: 36,5˚C,
RR: 24x/menit.
- Pasien hanya tiduran
ditempat tidur
- Kelumpuhan di
ekstremitas kanan
3. Jum’at 07 DS: Risiko Faktor risiko
tumor otak
Juli 2017 - Keluarga pasien ketidakefektifan penyakit
jam 10.15 mengatakan pasien perfusi jaringan neurologis
WIB otak (00201)
sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
- Keluarga mengatakan
pasien tidak mampu
orientasi 3 hal (
tempat, waktu,
ruang)
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
memperthankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Pasien hanya mampu
menganggukan
ataupun
menggelengkan
kepala
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kanan : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak mampu
samasekali
melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra :
4 (kekuatan sedang)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
terjadi numbless
(mati rasa
Ekstermitas sinistra :
normal Reflex
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra :
- 2+(normal)

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Hambatan komunikasi verbal b.d. perubahan sistem syaraf pusat
2. Hambatan mobilitas fisik b.d Neuromuskular
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak faktor risiko tumor otak
penyakit neurologis
E. INTERVENSI
N DX Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
o Keperawatan
1. Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Libatkan
komunikasi keperawatan selama 3x7 jam hambatan keluarga untuk
verbal b.d komunikasi verbal dapat teratasi membantu
dengan kriteria hasil: memahami atau
Indikator 1 2 3 4 5 memahamkan
- Menggunakan 2 5 informasi dari
foto dan atau ke pasien
gambar Rasionalnya
- Menggunakan 2 5
keluarga
bahasa isyarat
berpartisipasi
dalam proses
penyembuhan.
2. Dengarkan setiap
ucapan pasien
dengan penuh
perhatian
rasionalnya
mengurangi
kecemasan dan
kebingungan saat
berkomunikasi.
3. Gunakan kata-
kata yang
sederhana dan
pendek dalam
komunikasi
dengan pasien.
rasionalnya
memenuhi
kebutuhan pasien
saat
berkomunikasi.
4. Dorong pasien
untuk mengulang
kata rasionalnya
memberikan
semangat pada
pasien agar
sering
melakukan
komunikasi.
Berikan arahan
atau perintah
sederhana setiap
berinteraksi
dengan pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungan saat
berkomunikasi.
5. Programkan
speech language
teraphy
rasionalnya
melatih pasien
belajar berbicara
secara mandiri
baik dan benar.
Buat kartu
dengan gambar-
gambar atau
kata-kata
ungkapan yang
bisa digunakan,
misalnya :
pindahkan kaki
saya, ambilkan
minuman saya
rasionalnya
memberikan
kemudahan buat
pasien untuk
berkomunikasi.
6. Lakukan speech
language setiap
interaksi dengan
pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungaan
pasien saat
berkomuniksi.
7. Jaga lingkungan
yang terstruktur
dan pertahankan
rutinitas pasien
(misalnya,
menjamin daftar
harian yang
konsisten,
menyediakan
pengingat
dengan sering,
dan
menyediakan
kalender serta
tanda-tanda lain
yang ada di
lingkungan).
8. Sesuaiakan gaya
komunikasi
untuk memenuhi
kebutuhan pasien
(misalnya berdiri
didepan pasien
saat
bicara,mendenga
rkan dengan
penuh perhatian,
menyampaikan
satu ide atau
pemikiran pada
satu waktu,
bicara pelan
untuk
menghindari
berteriak,
gunakan
komunikasi
tertulis, atau
bantuan keluarga
dalam memenuhi
pembicaraan
pasien).

2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring


mobilitas fisik keperawatan selama 3x7 jam, Hambatan vital sign
b.d mobilitas fisik dapat teratasi dengan sebelum/
Neuromuskul
kriteria hasil: sesudah latihan
ar
dan lihat respon
Indikator 1 2 3 4 5 pasien saat
- Meningkat dalam 2 4 latihan
aktifitas fisik rasionalnya
- Mengerti tujuan 2 5
untuk
dari peningkatan
mengetahui
mobilitas
keadaan umum
- Memverbalisasika 2 4
pasien.
n perasaan dalam
2. Konsultasikan
meningktankan
kekuatan dan dengan terapi
kemampuan fisik tentang
berpindah rencana
- Memperagakan 2 4 ambulasi sesuai
penggunaan alat dengan
bantu untuk kebutuhan
mobilisasi Rasionalnya
memberikan
bantuan yang
mantap untuk
mengembangka
n rencana terapi
dan
mengidentifikas
i keutuhan
penyongkong
khusus.
3. Bantu pasien
untuk
menggunakan
tongkat saat
berjalan dan
cegah cedera
rasionalnya
kemudahan
pada pasien
untuk
beraktifitas.
4. Ajarkan pasien
atau tenaga
kesehatan lain
tentang tekhnik
ambulasi.
rasionalnya
melibatkan
seluruh anggota
untuk
membantu
proses
penyembuhan.
5. Kaji
kemampuan
pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
rasionalnya
membantu
merencanakan
intervensi.
6. Dampingin dan
bantu pasien
saat mobilisasi
dan bantu
penuhi
kebutuhan
ADLs rasional
menumbuhkan
kemandirian
perawatan.
7. Berikan alat
bantu jika
pasien
memerlukan
rasionalnya
memebuhi
kebutuhan
ADLs pasien
Ajarkan
bagaimana
pasien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
rasionalnya
mengembangka
n rencana
terapi.

3. Risiko Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tingkat


ketidakefektif keperawatan selama3x7 jam masalah kesadaran
n perfusi ketidakefektifan perfusi jaringan otak rasionalnya
jaringan otak
dapat teratasi dengan Kriteria Hasil : tingkat
faktor risiko
Indikator 1 2 3 4 5 kesadaran
tumor otak
- Nyeri kepala 2 4 merupakan
(penyakit
berkurang indikator
neurologis)
- Berfungsinya 2 4 terbaik adanya
saraf dengan baik
perubahan
- TTV dalam batas 2 5
neurologi,
normal
2. Monitor tanda-
tanda vital
rasionalnya
untuk
mengetahui
perubahan
keadaan pasien.
3. Hindari
kegiatan yang
bisa
meningkatkan
tekanan
intrakranial,
Pertahankan
pasien bedrest,
berikan
lingkungan
yang tenang,
batasi
pengunjung,
atur waktu
istirahat dan
aktivitas
rasionalnya
istrihatat yang
cukup dan
lingkungan
yang tenang
mencegah
perdarahan
kembali.
F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf
07-07-2017 I, II, - Memonitor tingkat S: Sofana
III, kesadaran O: Kesadaran fairro
IV pasien fingiyah
composmentis,
GCS= 11 E:4 V:1
M:6
- Mengobservasi tanda- S:
tanda vital O: TD:163/76
mmHg, N: 85x/m,
RR:17 x/m, S: 36
0
C.
- Menganjurkan pada S:
keluarga untuk O: Keluarganya
membatasi Menyetujuinya
pengunjung
S:
- Memposisikan pasien
O: Pasien posisi
posisi head up
head up

S:
- Melibatkan keluarga
O: Keluarga
dalam memahami
membantu
informasi dari atau ke
memahami
pasien
informasi dari atau
ke pasien

S:
- Melatih pasien O: Pasien sudah
berbicara secara belum mampu
mandiri di mulai diajak untuk
dengan terapi A, I, U, berlatih
E, O
S:
- Mendengarkan dengan
O: Melakukan
penuh perhatian apa
Komunikasi sesuai
yang diucapkan pasien
kebutuhan pasien

S:
- Membantu memenuhi
O: Segala
kebutuhn ADLs pasien
kebutuhan pasien
(memberikan makan
dibantu oleh
lewat NGT)
keluarga dan
perawat

S:
- Mengajarkan ROM O: anggota tubuh
pasif yang semula
sangan kaku
sedikit lebih lemas
I, II, - Mengobservasi tanda- S:
III, tanda vital O: TD: 140/90
IV mmhg, N:78x/m,
RR: 16x/m, S:
36,50c

- Melibatkan keluarga S:
dalam memahami O: keluarga
informasi dari atau ke membantu dalam
pasien proses
penyembuhan
- Melatih pasien S:
berbicara secara O: Pasien belum
mandiri di mulai mampu untuk
dengan terapi A, I, U, belajar terapi A, I,
E, O U, E, O, pasien
hanya mampu
menganggukan dan
mengglengkan
kepala.
- Mendengarkan dengan S:
penuh perhatian apa O: melakukan
yang diucapkan pasien komunikasi sesuai
dengan kebutuhan
pasien
- Membantu memenuhi S:
kebutuhn ADLs pasien O: memenuhi
(memberikan makan kebutuhan pasien
lewat NGT) seperti makan,
mandi
- Mengajarkan ROM S:
pasif O: pasien belum
ada peningkatan
dalam aktifitas
fisik
- Melatih pasien S:
berbicara secara O: Pasien belum
mandiri di mulai bisa mengikuti
dengan terapi A, I, U, perintah apa yang
E, O diajarkan oleh
perawat, pasien
baru mampu
menganggukan dan
menggelengkan
kepala.
- Memberikan ROM S:
pasif O: belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik.

- Mengobservasi tanda- S:
tanda vital O: TD: 140/90
mmHg, N: 78 x/m,
RR: 18 x/m, S:
36,5 0C
G.EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
1. 09 juli 2017 S: Sofana
O: Pasien belum dapat menirukan apa yang fairro
diajarkan oleh perawat. fingiyah
A: Masalah hambatan komunikasi verbal
belum teratasi
Indikator 1 2 3 4 5
Menggunakan 2 3
bahasa lisan
Menggunkan foto 2 3
dan gambar
Menggunakan 2 4
bahasa isyarat
P: lanjutkan intervensi
- Speach leangguge theraphy
09 juli 2017 S: Sofana
O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku fairro
saat dibantu untuk digerakkan. fingiyah
A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi
indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam 2 3
aktifitas fisik
- Mengerti tujuan 2 3
dari peninggkatan
mobilitas
- Memverbalisasikan 2 3
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemamuan
berpindah
- Memperagakan 2 3
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
P: Lanjutkan intervensi
- ROM pasif
- Konsuktasikan dengan terapi fisik
09 juli 2017 S:- Sofana
O: TD: 140/90 mmHg fairro
N: 78x/m fingiyah
RR:18x/m
S:36,50C
SPO2:100%
A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak belum teraatasi
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala 2 3
berkurang
- Berfungsinya 2 3

saraf dengan
baik
- TTV dalam 2 4
batas normal
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor TTV
- Monitor TIK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S DENGAN GANGGUAN
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN
STROKE NON HEMORAGIK

Sofana Fairro F (A01401972 )

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2017
A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Prempuan
Agama : Islam
Alamat : Kebumen
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal Masuk RS : 08 juli 2017 Jam : 08.00
Tanggal Pengkajian : 09 juli 2017 Jam : 15.00
Diagnosa Medis : Stroke Non Hemorogic
No Rekam Medis : 162120
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn.F
Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kebumen
Pekerjaan : Wiraswasta
Hub. dengan pasien : Anak Kandung

B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kiri lemah saat
digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong bersama
keluarga pasien. Keluarga pasien mengatakan bahwa 2 jam sebelum dibawa
ke rumah sakit pasien jatuh ketika mau menuju kamar mandi, setelah jatuh
tiba-tiba Ny.S sulit bicara, bicaranya tidak jelas, bahkan tidak mampu
berkomunikasi. Badan pasien mengalami kekakuan ketika digerakkan oleh
keluarga pasien, terutama bagian badan yang kiri. Wajah pasien tampak
kaku terutama bagian mulutnya mencong ke sisi kanan. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus
Melitus.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah mengalami hal yang
sama, hanya saja pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus
Melitus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Belum ada keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan
normal, tanpa menggunakan alat bantu pernafasan, tidak ada nafas
cuping hidung
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan normal,
tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada nafas cuping hidung
b) Nutrisi
1. Inteks Makanan
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan
nasi, lauk dan sayur dengan mandiri.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien makan 3x sehari dari
RS hanya menghabiskan ¼ porsi. Keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mampu mengambil makanan dan memasukan kemulut,
Keluarga pasien mengatakan pasien ada kendala saat mengunyah,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menghabiskan
makanan, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu makan
dalam jumlah banyak, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu membuka mulut secara lebar, dan Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menyiapkan makanan untuk
dimakan.
2. Inteks Cairan
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien minum 6-7 gelas per
hari air putih , kadang kopi dan teh manis.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengambil gelas, keluarga mengatakan pasien minum 2-3 gelas per
hari air putih / dengan minuman yang rendah gula.
c) Eliminasi
1. BAB
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAB 1x sehari dengan
konsistensi lembek, berwarna kuning.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien belum BAB selama di RS.
2. BAK
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAK 5-6 X sehari
semalam dengan warna kuning jernih pada malam hari bisa BAK 3-4
kali.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien menggunakan selang kateter
ukuran 16 untuk BAKnya 650cc sehari dengan warna kuning jernih.
d) Istirahat dan tidur
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 7-8 jam dalam sehari,
tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2
jam dalam sehari.
e) Aktivitas
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas sendiri
tanpa bantuan keluarga dan alat bantu
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan
aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
f) Berpakaian
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri tanpa
bantuan
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menggunakan sepatu, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menggunakan kaos kaki, Keluarga
pasien mengatakan pasien tidak mampu melepaskan atribut pakaian ,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas sepatu,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas kaos kaki,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memperhatikan
penampilannya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menggunakan pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu menggunakan resleting,
g) Menjaga Suhu Tubuh
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien
menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien menggunakan
baju yang tipis dapat menyerap keringat
Saat Dikaji: keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak
menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut
h) Personal Hygiene
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan personal
hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok gigi setiap mandi
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu ke kamar
mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengeringkan
tubuh menggunakan handuk seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengambil perlengkapan mandi secara mandiri,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengatur air mandi,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan
mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
berdiri di toilet.
i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan nyaman
sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien tidak merasa
nyaman jika sendirian dirumah
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena lumpuh di
ekstermitas kiri, Keluarga pasien mengatakan saat kejadian pasien
gelisah
j) Komunikasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi dengan
baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa jawa
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien sulit bicara, Keluarga
pasien mengatakan pasien bicara tidak jelas.
k) Spiritual
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam, pasien
melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang mengikuti pengajian
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak melakukan sholat 5 waktu
setelah masuk RS
l) Rekreasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah berekreasi,
pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala sedang istirahat
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring ditempat tidur
m)Belajar
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa
mendapatkan informasi melalui televisi.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien mengatakan telah mengerti
tentang penyakitnya.
n) Bekerja
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring diatas temapt
tidur.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Sopor, GCS( E4, V2, M3 )
Suara Bicara : Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.
TTV : TD :163/76 mmHg, N :85x/menit S: 36˚C, RR:
16x/menit
b. Kepala: Bentuk mecochepal, terdapat nyeri tekan karena ada abses.
c. Rambut : kering, kotor
d. Telinga : bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen
e. Mata
Konjungtiva : anemis
Sclera : anikterik
Pupil : isokor
Rangsang Cahaya: (+)
f. Mulut : Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi
sedikit kotor
g. Leher : tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.
h. Dada
Paru – Paru :
Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi
dinding dada
Palpasi : Vokal fremitus simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi
Jantung :
Inspeksi : tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak
Palpasi : tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm
midclavicula sinistra
Perkusi : redup
Auskultasi: reguler
i. Abdomen
Inspeksi : cekung, tidak ada jejas
Auskultasi : bising usus 18x/menit
Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : timpani
j. Genetalia : terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16
k. Pemeriksaan Integumen
Kulit : Pucat, turgor kulit jelek
l. Ekstermitas : Kelumpuhan di ekstermitas kiri
7. Pemeriksaan neurologi
Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII ( Hypoglossus )
central
8. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : CM
Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang
Kemampuan bahasa : afasia ringan
9. Pemeriksaan Motorik
Ekstermitas dekstra : 4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)
Pemeriksaan Sensorik
Ekstermitas dekstra : normal
Ekstermitas sinistra : terjadi numbless (mati rasa)
Pemeriksaan Reflex
Ekstermitas dekstra : 2+ (normal)
Ekstermitas sinistra : 0 (tidak ada refleks)
10. Hasil Pengkajian Khusus
11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 juli 2017 jam 09.20 wib
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 12, 1 Mg/dl 11.7-15.5
leukosit/AL 9.37 /ul 3.6-11
Eritrosit 4.14 Juta/L 3.8-5.2
Hematokrit 37.0 Mg/dl 35-47
Kimia klinik
MCV 89.4 Fl 80-100
MCH 29.2 Pg 26-34
MCHC 32.7 g/dl 32-36
Trombosit 369 150-440
Gula sewaktu 275 70-105

12. Terapi
Tanggal 09 juli 2017
IVFD RL 500 cc/24 jam
Ceftriaxone 2x1g
Citicolin 2x500g
Ranitidin 2x50mg
Mecobalamin 2x250 mg
Amlodipin 1x10 mg
CPG 1X75mg
Edosterol 3x30mg
C. ANALISA DATA
No Hari / Data Fokus Problem Etiologi
Tanggal
2 Jum’at 07 DS: Hambatan Perubahan
juli 2017 - Keluarga pasien Komunikasi Sistem Syaraf
Jam : 10.15 mengatakan pasien Verbal (00051) Pusat
WIB sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
mempertahankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak mampu
samasekali melakukan
kontraksi)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
normal Reflex
Ekstermitas sinistra :
terjadi numbless (mati
rasa
Ekstermitas dekstra :
2+(normal)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak ada refleks)
3. 09 juli DS: Hambatan Mobilitas Neuromuskular
2017 - Keluarga mengatakan Fisik ( 00085)

Jam : 15.00 pasien tidak mampu


beraktivitas, pasien
hanya tiduran saja di
tempat tidur,
melakukkan aktivitas
dibantu keluarga dan
perawat
DO :
- TD :163/76 mmHg, N
:85x/menit S: 36˚C, RR:
17x/menit.
- Pasien hanya tiduran
ditempat tidur
- Kelumpuhan di
ekstremitas kiri
3. Jum’at 07 DS: Risiko Faktor risiko
tumor otak
Juli 2017 - Keluarga pasien ketidakefektifan penyakit
jam 10.15 mengatakan pasien perfusi jaringan otak neurologis
WIB (00201)
sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
memperthankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak mampu
samasekali melakukan
kontraksi)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
normal Reflex
Ekstermitas sinistra :
terjadi numbless (mati
rasa
Ekstermitas dekstra :
2+(normal)
Ekstermitas sinistra :
- 0 (tidak ada refleks)

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Hambatan komunikasi verbal b.d. perubahan sistem syaraf pusat
2. Hambatan mobilitas fisik b.d Neuromuskular
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak faktor risiko tumor otak
penyakit neurologis

E. INTERVENSI
N DX Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
o Keperawatan
1. Jum’at 09 Juli Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Libatkan keluarga
2017 jam selama 3x7 jam hambatan komunikasi untuk membantu
15.00 WIB verbal dapat teratasi dengan kriteria memahami atau
hasil: memahamkan
Indikator 1 2 3 4 5 informasi dari
- Menggunakan 2 4 atau ke pasien
bahasa yang Rasionalnya
tertulis. keluarga
- Menggunakan 2 4
berpartisipasi
bahasa lisan
dalam proses
- Menggunakan 2 5
penyembuhan.
foto dan
2. Dengarkan setiap
gambar
ucapan pasien
- Menggunakan 2 5
bahasa isyarat dengan penuh

- Menggunakan 2 5 perhatian
bahasa non rasionalnya
verbal mengurangi
- Mengarahkan 2 5 kecemasan dan
pesan pada kebingungan saat
penerima berkomunikasi.
yang tepat 3. Gunakan kata-
kata yang
sederhana dan
pendek dalam
komunikasi
dengan pasien.
rasionalnya
memenuhi
kebutuhan pasien
saat
berkomunikasi.
4. Dorong pasien
untuk mengulang
kata rasionalnya
memberikan
semangat pada
pasien agar sering
melakukan
komunikasi.
Berikan arahan
atau perintah
sederhana setiap
berinteraksi
dengan pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungan saat
berkomunikasi.
5. Programkan
speech language
teraphy
rasionalnya
melatih pasien
belajar berbicara
secara mandiri
baik dan benar.
Buat kartu
dengan gambar-
gambar atau kata-
kata ungkapan
yang bisa
digunakan,
misalnya :
pindahkan kaki
saya, ambilkan
minuman saya
rasionalnya
memberikan
kemudahan buat
pasien untuk
berkomunikasi.
6. Lakukan speech
language setiap
interaksi dengan
pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungaan
pasien saat
berkomuniksi.
7. Jaga lingkungan
yang terstruktur
dan pertahankan
rutinitas pasien
(misalnya,
menjamin daftar
harian yang
konsisten,
menyediakan
pengingat dengan
sering, dan
menyediakan
kalender serta
tanda-tanda lain
yang ada di
lingkungan).
8. Sesuaiakan gaya
komunikasi untuk
memenuhi
kebutuhan pasien
(misalnya berdiri
didepan pasien
saat
bicara,mendengar
kan dengan penuh
perhatian,
menyampaikan
satu ide atau
pemikiran pada
satu waktu, bicara
pelan untuk
menghindari
berteriak,
gunakan
komunikasi
tertulis, atau
bantuan keluarga
dalam memenuhi
pembicaraan
pasien).

2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitoring vital


mobilitas fisik selama 3x7 jam, Hambatan mobilitas fisik sign sebelum/
b.d dapat teratasi dengan kriteria hasil: sesudah latihan
Neuromuskula
dan lihat respon
r
Indikator 1 2 3 4 5 pasien saat
- Meningkat dalam 2 4 latihan
aktifitas fisik rasionalnya
- Mengerti tujuan 2 5
untuk
dari peningkatan
mengetahui
mobilitas
keadaan umum
- Memverbalisasika 2 4
pasien.
n perasaan dalam
2. Konsultasikan
meningktankan
kekuatan dan dengan terapi
kemampuan fisik tentang
berpindah rencana
- Memperagakan 2 4 ambulasi sesuai
penggunaan alat dengan
bantu untuk kebutuhan
mobilisasi Rasionalnya
memberikan
bantuan yang
mantap untuk
mengembangkan
rencana terapi
dan
mengidentifikasi
keutuhan
penyongkong
khusus.
3. Bantu pasien
untuk
menggunakan
tongkat saat
berjalan dan
cegah cedera
rasionalnya
kemudahan pada
pasien untuk
beraktifitas.
4. Ajarkan pasien
atau tenaga
kesehatan lain
tentang tekhnik
ambulasi.
rasionalnya
melibatkan
seluruh anggota
untuk membantu
proses
penyembuhan.
5. Kaji
kemampuan
pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
rasionalnya
membantu
merencanakan
intervensi.
6. Dampingin dan
bantu pasien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan
ADLs rasional
menumbuhkan
kemandirian
perawatan.
7. Berikan alat
bantu jika pasien
memerlukan
rasionalnya
memebuhi
kebutuhan
ADLs pasien
Ajarkan
bagaimana
pasien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
rasionalnya
mengembangkan
rencana terapi.

3. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor tingkat


ketidakefektifn selama3x7 jam masalah ketidakefektifan kesadaran
perfusi perfusi jaringan otak dapat teratasi rasionalnya
jaringan otak
dengan Kriteria Hasil : tingkat
faktor risiko
Indikator 1 2 3 4 5 kesadaran
tumor otak
- Nyeri kepala 2 4 merupakan
(penyakit
berkurang indikator terbaik
neurologis)
- Berfungsinya 2 4 adanya
saraf dengan baik
perubahan
- TTV dalam batas 2 5
neurologi,
normal
2. Monitor tanda-
tanda vital
rasionalnya
untuk
mengetahui
perubahan
keadaan pasien.
3. Hindari kegiatan
yang bisa
meningkatkan
tekanan
intrakranial,
Pertahankan
pasien bedrest,
berikan
lingkungan yang
tenang, batasi
pengunjung, atur
waktu istirahat
dan aktivitas
rasionalnya
istrihatat yang
cukup dan
lingkungan yang
tenang
mencegah
perdarahan
kembali.

F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf
09-07-2017 I, II, - Memonitor tingkat S: Sofana
III, kesadaran O: Kesadaran fairro

IV pasien fingiyah

composmentis,
GCS= 11 E:4 V:2
M:6
- Mengobservasi tanda- S:
tanda vital O: TD:163/76
mmHg, N: 85x/m,
RR:17 x/m, S: 36
0
C.
- Menganjurkan pada S:
keluarga untuk O: Keluarganya
membatasi pengunjung Menyetujuinya

- Memposisikan pasien
posisi head up
S:
O: Pasien posisi
head up
- Melibatkan keluarga
S:
dalam memahami
O: Keluarga
informasi dari atau ke
membantu
pasien
memahami
informasi dari atau
ke pasien

- Melatih pasien berbicara


S:
secara mandiri di mulai
O: Pasien sudah
dengan terapi A, I, U, E,
mampu diajak
O
untuk berlatih
dimulai dari latihan
mengucapkan huruf

- Mendengarkan dengan demi huruf.


penuh perhatian apa S:
yang diucapkan pasien O: Melakukan
Komunikasi sesuai
kebutuhan pasien

- Membantu memenuhi
kebutuhn ADLs pasien S:

(memberikan makan O: Segala

lewat NGT) kebutuhan pasien


dibantu oleh
keluarga dan
perawat

- Mengajarkan ROM pasif


S:
O: anggota tubuh
yang semula sangat
kaku sedikit lebih
lemas
I, II, - Mengobservasi tanda- S:
III, tanda vital O: TD: 160/90
IV mmhg, N:76x/m,
RR: 18x/m, S:
36,50c

- Melibatkan keluarga S:
dalam memahami O: keluarga
informasi dari atau ke membantu dalam
pasien proses
penyembuhan
- Melatih pasien berbicara S:
secara mandiri di mulai O: Pasien sudah
dengan terapi A, I, U, E, mampu untuk
O belajar terapi A, I,
U, E, O, pasien
sudah sampai
menyebutkan satu
kata.
- Mendengarkan dengan S:
penuh perhatian apa O: melakukan
yang diucapkan pasien komunikasi sesuai
dengan kebutuhan
pasien
- Membantu memenuhi S:
kebutuhn ADLs pasien O: memenuhi
(memberikan makan kebutuhan pasien
lewat NGT) seperti makan,
mandi
- Mengajarkan ROM pasif S:
O: pasien belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik
- Melatih pasien berbicara S:
secara mandiri di mulai O: Pasien sudah
dengan terapi A, I, U, E, bisa mengikuti
O perintah apa yang
diajarkan oleh
perawat, seperti
menyebutkan kata
sesuai huruf
awalannya yang
ditunjuk oleh
perawat.
- Memberikan ROM pasif S:
O: belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik.
- Mengobservasi tanda-
tanda vital
S:
O: TD: 165/90
mmHg, N: 78 x/m,
RR: 18 x/m, S: 36,5
0
C
G.EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
1. 11 juli 2017 S: Sofana
O: Pasien belum dapat menirukan apa yang fairro
diajarkan oleh perawat. fingiyah
A: Masalah hambatan komunikasi verbal
belum teratasi
Indikator 1 2 3 4 5
Menggunakan 2 3
bahasa yang
tertulis
Menggunakan 2 3
bahasa lisan
Menggunkan foto 2 3
dan gambar
Menggunakan 2 4
bahasa isyarat
Menggunakan 2 3
bahasa non verbal
Mengarahkan 2 3
pesan pada
penerima yang
tepat
P: lanjutkan intervensi
- Speach leangguge theraphy
11 juli 2017 S: Sofana
O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku fairro
saat dibantu untuk digerakkan. fingiyah
A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi
indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam 2 3
aktifitas fisik
- Mengerti tujuan 2 3
dari peninggkatan
mobilitas
- Memverbalisasikan 2 3
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemamuan
berpindah
- Memperagakan 2 3
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
P: Lanjutkan intervensi
- ROM pasif
- Konsuktasikan dengan terapi fisik
11 juli 2017 S:- Sofana
O: Pasien memgatakan masih pusing, fairro
kepalanya masih terasa berat fingiyahs
TD: 145/50 mmHg
N: 78x/m
RR:18x/m
S:36,50C
SPO2:100%
A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak belum teraatasi
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala 2 3
berkurang
- Berfungsinya 2 3

saraf dengan
baik
- TTV dalam 2 4
batas normal
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor TTV
- Monitor TIK
JURNAL PSIKOLOGI 
VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 34 – 49  

Studi Metaanalisis terhadap Intensitas Terapi  
Pada Pemulihan Bahasa Afasia 
Musdalifah Dachrud 1 
Fakultas Tarbiyah 
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado 
 

Abstract 

It  has  been  speculated  that  conflicting  results  demonstrated  across  poststroke  or  brain 
damage aphasia therapy studies might be related to differences in intensity of therapy provided 
across  studies.  This  study  provides  a  meta  analitic  review  of  the  role  intensity  of  aphasia 
therapy on aphasia recovery when the findings aggregated across studies. The aim of the study 
is to investigate the relationship between intensity of aphasia therapy and aphasia recovery. It 
was  found  that  after  sampling  error  correction  was  r=0.201.  These  finding  indicates  that 
intensity of therapy aphasia have roles in recovery. Changes in mean scores from each study 
were  recorded.  Intensity  of  therapy  was  recorded  in  terms  of  length  of  therapy  and  hours  of 
therapy provided per week. This study conclusion intense therapy over a short amount of time 
can improve outcomes of speech and language therapy for aphasia. 
Keywords: cerebrovascular accident, aphasia, therapy, treatment outcome 
 
1
The Agency  for  Health  Care  Policy  and  Definisi  lain  mengungkapkan  afasia 
Research  Post‐Stroke  Rehabilitation  Clinical  dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan 
Practice  Guidelines  mendefinisikan  afasia  cognitive  communication  yang  berhubungan 
sebagai  hilangnya  kemampuan  untuk  dengan  kerusakan  otak  lainnya  seperti 
berkomunikasi  dengan  lisan,  isyarat,  dementia  dan  traumatic  brain  injury  (Orange 
maupun  tertulis  atau  ketidakmampuan  &  Kertesz,  1998).  Bagaimanapun,  penje‐
untuk memahami komunikasi tersebut atau  lasan  terhadap  afasia  bukan  sederhana 
hilangnya  kemampuan  berbahasa  semata‐mata sebagai kekacauan  berbahasa, 
(Gresham et al., 1995).  melainkan  sebagai  suatu  kesatuan  klinis 
Darley  (1982)  mengemukakan  bahwa  yang kompleks. 
afasia  biasanya  melukiskan  suatu  Secara  klinis  Kertezs  (1979)  meng‐
kerusakan  atau  pelemahan  bahasa  akibat  uraikan afasia sebagai bagian dari neurology 
terjadinya  cedera  otak  pada  area  dominan  di  mana  gangguan  terjadi  pada  pusat 
bahasa  cerebral  hemisphere.  Afasia  dapat  bahasa  ditandai  oleh  paraphasias,  kesu‐
terjadi  mengikuti  stroke  dan  traumatic  brain  karan  menemukan  kata‐kata,  pemahaman 
injury,  dapat  pula  dihubungkan  dengan  yang  berbeda  dan  berubah  lemah. 
penyakit  yang  mempengaruhi  unsur  dan  Disamping  itu  berkaitan  pula  dengan 
fungsi  otak  (Nadeau,  Rothi,  &  Crosson,  gangguan  membaca  dan  menulis  yang 
2000)  lazim  seperti  dysarthria,  konstruksi  non‐
verbal,  kesulitan  menyelesaikan  masalah 
1  Korespondensi  mengenai  artikel  ini  dapat  dilaku‐ serta  kelemahan  dalam  memberi  dan 
kan dengan menghubungi: iffah_dach@yahoo.com 

34   
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

merespon  melalui  isyarat  (impairment  of  yang  lebih  luas  tentang  media  dan  alat 
gesture).  bantu komunikasi (Bakheit et al., 2007). 
Agar  para  penderita  afasia  dapat  Pemulihan  berbahasa  afasia  sangat 
memperoleh  kembali  bahasanya,  maka  ditentukan  oleh  efektivitas  treatment  yang 
ditempuh  berbagai  perlakuan  (treatment),  diterapkan.  Salah  satunya  penilaiannya 
seperti  rehabilitasi,  training,  dan  terapi.  adalah  pada  intensitas  treatment.  Intensitas 
Treatment  dan  prosedur  treatment  didefini‐ treatment  dalam  studi  ini  digambarkan 
sikan sebagai suatu hal yang perlu sebagai  dalam  terminologi  jam  terapi  dalam 
prasyarat  jawaban  bersifat  percobaan.  periode  belajar.  Sebuah  penelitian  yang 
Treatment  yang  didasarkan  pada  prosedur  dilakukan  Greener,  Enderby,  &  Whurr 
pembiasaan,  latihan  dan  target  pencapaian  (2001) menyatakan bahwa saat ini treatment 
waktu  pada  umumnya  tergambar  dengan  yang  dilakukan  pada  pasien  penderita 
baik  dan  menjadi  hal  menarik  serta  dapat  afasia  di  rumah  sakit  UK  terdiri  dari  dua 
menjadi  model  bagi  para  perancang  terapi  sesi setiap minggu masing‐masing satu jam 
bicara  dan  bahasa  pada  afasia  agar  lebih  yang  dinamai  terapi  standar.  Sedangkan 
efektif,  efisien  dan  manjur  (Siguroardottir  terapi intensif adalah terapi yang diberikan 
&  Sighvatsson,  2006).  Beberapa  di  antara  dalam  lima  jam  tiap  sesi  per  minggu, 
perlakuan  tersebut  adalah  terapi  melalui  sebagaimana  direkomendasikan  pada 
Speech  Language  Therapy  (SLT),  Melody  penelitian‐penelitian  sebelumnya  dalam 
Intonation  Therapy  (MIT),  Semantic  and  jangka  waktu  terapi  (Brindley,  Copeland, 
Phonological  Treatment,  Word  Treatment,  Demain,  &  Martin,  1989).  Optimalisasi 
Constraint‐Induced Aphasia Therapy (CIAT)  treatment  diberikan  dalam  dua  belas  ming‐
Treatment berupa terapi yang diberikan  gu bersamaan dengan periode kesembuhan 
pada  pasien  penderita  gangguan  komuni‐ maksimal  dari  stroke  (Wade,  Legh‐Smith, 
kasi  untuk  memberikan  kemampuan  &  Hewer,  1987).  Studi  ini  untuk  meneliti 
berkomunikasi  baik  secara  lisan,  tulisan  tingkat  efficacy  pada  treatment  terapi  bicara 
maupun  isyarat  (Bakheit  et  al.,  2007).  dan  bahasa  pada  penderita  afasia  yang 
Target  pelatihan  dalam  terapi  adalah  hasil‐hasilnya banyak yang bertentangan. 
peningkatan  dalam  pengungkapan  dan  Penjelasan  terhadap  heterogen  pene‐
pemahaman  di  mana  keduanya  dalam  muan  pada  studi‐studi  yang  telah 
wujud percakapan atau bahasa, baik secara  dilakukan  sebelumnya  dapat  dilihat  pada 
lisan  maupun  tulisan  secara  bersamaan  perbedaan intensitas terapi (Brindley et al., 
untuk meningkatkan kualitas hidup sehari‐ 1989;  Poeck,  Huber,  &  Williams,  1989). 
hari.  Tugas‐tugas  yang  diberikan  dalam  Telah  tercatat  bahwa  beberapa  kegagalan 
pelatihan  bicara  dan  bahasa  bermacam‐ untuk  mengidentifikasi  manfaat  yang 
macam  (Berthier,  2005)  seperti  pemilihan  konsisten dari terapi dapat terjadi berkaitan 
gambar  atau  objek,  pemberian  nama  pada  dengan  intensitas  terapi  bahasa  dan  bicara 
objek,  menggambarkan  dan  mengenali  yang  diterapkan  rendah  yang  dimasukkan 
asosiasi  antar  materi,  memudahkan  meng‐ dalam  studi‐studi  yang  negatif,  sedangkan 
ungkapkan  pendapat  atau  perasaan  dam  intensitas  terapi  yang  lebih  tinggi  berada 
peningkatan  keterampilan  yang  bersifat  dalam  studi‐studi  positif  (Teasell,  Doherty, 
percakapan.  Pasien  yang  diterapi  juga  Speechley, Foley, & Bhogal, 2002). 
diarahkan  untuk  menggunakan  isyarat  Robey  &  Schultz  (1998)  mengajukan 
atau tanda‐tanda yang lain dari komunikasi  model klinis dalam treatment afasia dengan 
non‐verbal, termasuk di dalamnya cakupan  uji  coba  yang  dikontrol  dengan  random 

JURNAL PSIKOLOGI  35
DACHRUD 

untuk  tujuan  efektivitas  intervensi.  Gam‐ dasarnya  sudah  efektif  (Whurr,  Lorch,& 
baran  prosedur  dan  peningkatannya  dapat  Nye,  1992;  Robey,  1994)  walaupun 
prediksi  disesuaikan  dengan  pasien  afasia,  beberapa  treatment  itu  hanya  efektif  pada 
dilakukan dalam 3 tahap uji coba.  pasien spesifik (Enderby, 1996).  
Beberapa  kasus  tunggal  dan  studi  Penelitian  Wertz  et  al.  (1986)  menyim‐
kelompok  kecil  telah  dilakukan  berkaitan  pulkan  bahwa  treatment  klinis  pada  pasien 
dengan  treatment  fonologi  dan  semantik.  afasia selama 12 minggu dan treatment yang 
Treatment  berkaitan  dengan  fonologi  terba‐ tertunda  hingga  24  minggu  tidak  menun‐
tas  dan  hanya  berlangsung  singkat  saat  jukkan perbaikan akhir pada pasien afasia.  
materi  dilatihkan,  sedangkan  treatment  Hartman  &  Landau  (1987)  memban‐
semantik  ditemukan  peningkatan  yang  dingkan terapi bicara konvensional dengan 
menyeluruh  dan  bersifat  menetap  terapi konseling dukungan emosional yang 
(Howard,  Patterson,  Franklin,  Orchard‐ diberikan dua kali seminggu dalam 6 bulan 
Lisle, & Morton, 1985).  dan  hasilnya  terapi  konvensional  tidak 
Treatment  semantik  sesuai  dengan  lebih  efektif  dari  terapi  dukungan 
pemrosesan  bahasa  yang  berpengaruh  da‐ emosional.  
lam  pemahaman  berbicara  dan  berbahasa,  Dengan  demikian,  terapi  yang  intensif 
baik  tulisan  maupun  percakapan.  Ukuran  menjadi  hal  yang  penting  dalam  usaha 
hasil  yang  meningkat  adalah  pencapaian  pemulihkan  bahasa  afasia.  Terapi  afasia 
kemampuan  memberikan  diskripsi  dapat  meningkatkan  pemulihan  bicara 
penamaan suatu tugas.  setahun  setelah  munculnya  afasia  pada 
Proses  pemulihan  bicara  dan  bahasa  beberapa  pasien  (Brindley  et  al.,  1989). 
secara spontan pada afasia menjadi pertim‐ Dengan  terapi  intensif,  78%  dari  pasien 
bangan  mengapa  intervensi  secara  spesifik  yang  ditritmen  4  bulan  setelah  permulaan 
berpengaruh  pada  performance  afasia.  dan 46%  pada  pasien  yang  diberi  treatment 
Intervensi  dengan  cara  yang  berbeda  ditu‐ 4‐12  bulan  meningkat  di  luar  perkiraan 
jukan  untuk  efektivitas  intervensi  yang  dengan  pemulihan  spontan  (Poeck  et  al., 
didasarkan pada prinsip neuropsyichological,  1989). 
dan ini masih sangat kurang (Byng & Black,  Sasaran  dari  studi  yang  akan  dila‐
1995; Mitchum, 1994).  kukan ini adalah meneliti hubungan antara 
Howard  et  al.  (1985)  mengemukakan  intensitas  terapi  afasia  dengan  pemulihan 
bahwa  penerimaan  sebuah  riset  yang  afasia.  Studi  pada  treatment  berupa  terapi 
diakui  membutuhkan  spesifikasi  treatment  bahasa  dan  bicara  afasia  ini  dilakukan 
yang  bertujuan  untuk  mengembalikan  untuk  mengukur  tingkat  intensitas  perla‐
kemampuan  sebagaimana  spesifikasi  kuan  dan  untuk  menentukan  apakah 
mengenai prosedur treatment. Masih sedikit  intensitas  terapi  berhubungan  dengan 
penelitian  dangan  uji  coba  yang  terspesifi‐ hasil‐hasilnya.  Dengan  menggunakan 
kasi (Prins, Schoonen, &  Vermeulen,  1989).  studi‐studi terapi afasia yang telah diterbit‐
Cochrane  menyimpulkan  dalam  tinjauan  kan,  studi  ini  berusaha  untuk  mengkuan‐
ulang akan ketidakmampuan statistik pada  tifikasikan intensitas perlakuan dan menen‐
hampir  semua  uji  coba,  ini  berarti  tukan  apakah  intensitas  berhubungan 
pertanyaan tentang efektivitas tritmen pada  dengan hasil akhir. 
afasia  masih  terbuka.  Treatment  pada 
 

36  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

Metode  perlakuan  terhadap  pasien  afasia  dalam 


durasi  yang  ditentukan.  Studi  tidak 
Seleksi dan Identifikasi Data  dibatasi  pada  pasien  afasia  sesudah  stroke 
saja  tapi  juga  pasien  dengan  cedera  otak 
Penelitian  ini  menggunakan  metode  traumatik. 
metaanalisis  di  mana  data  dikumpulkan 
Setelah tiap kutipan studi diidentifikasi 
dari  sejumlah  studi  primer  yang  pernah 
melalui  pencarian  literatur,  maka  selan‐
dilakukan untuk menguji hubungan antara 
jutnya dilakukan pengkajian abstrak terkait 
treatment  dengan  pemulihan  berbahasa 
untuk  menilai  kesesuaian  metaanalisis 
pada  Afasia.  Treatment  yang  dimasukkan 
yang  akan  dilakukan.  Dalam  studi  meta‐
dalam  studi  ini  adalah  terapi  yang  diarah‐
analisis  ini,  intensitas  treatment  merupakan 
kan  untuk  memulihkan  kembali  kemam‐
variabel  bebas  dan  pemulihan  bahasa 
puan  berbahasa  pada  penderita  afasia 
penderita  afasia  sebagai  variabel  terikat. 
setelah mengalami cedera otak. 
Hasil  identifikasi  studi  primer  mengha‐
  Penelusuran  hasil‐hasil  penelitian  silkan  pengkodean  yang  meliputi  nama 
secara manual, baik dengan mencari jurnal  peneliti,  tahun,  sumber  sampel,  jumlah 
di  perpustakaan  guna  menemukan  studi  sampel, tipe sampel, jenis, durasi treatment, 
yang  sesuai,  berdasarkan  data  yang  dampak  treatment,  dan score treatment pada 
ditemukan  di  internet  maupun  bibliografi,  afasia. 
dan juga penelusuran jurnal melalui media 
Hasil seleksi terhadap data yang terse‐
elektronik  dengan  fasilitas  perpustakaan 
dia dapat dilihat pada Tabel 1 berupa data‐
digital,  baik  melalui  database  atau  dengan 
data  yang  memenuhi  karakteristik  jurnal 
EBSCHO,  Pro‐Quest,  Spingerlink,  J‐Stor 
yang akan dimetakan. 
yang  diakses  melalui  www.lib.ugm.ac.id, 
ataupun  dengan  search  engine  seperti  pada  Sepuluh  studi  tersebut  yang  meneliti 
Google dan SAGE Publication dengan kata  terapi  pada  afasia  memenuhi  kriteria 
kunci  aphasia  treatment,  aphasia  recovery.  setelah  dikaji.  Sepuluh  studi  ini  merepre‐
Beberapa  hasil  studi  yang  diperoleh  sentasikan  339  individu  pasien.  Deskripsi 
menunjukkan  pengujian  efek  treatment  singkat  dari  masing‐masing  artikel  adalah 
yang  meliputi  berbagai  macam  terapi  sebagai berikut :  
dalam  pemulihan  bahasa  pada  afasia,  baik  Meinzer,  Djundja,  Barthel,  Elbert,  & 
kata,  kalimat,  semantik,  fonologi,  leksikal  Rockstroh (2005) menemukan jawaban atas 
(Prins  et  al.,  1989;  Siguroardottir  &  dugaan yang terbentuk bahwa peningkatan 
Sighvatsson, 2006)  fungsi  bahasa  pada  afasia  kronis  hanya 
Studi  yang  telah  dikumpulkan  diklasi‐ dapat  dicapai  melalui  perlakuan  jangka 
fikasikan  dalam  kelompok‐kelompok,  panjang. Penelitian ini menguji kemanjuran 
untuk  kategorisasi  studi  yang  memenuhi  perlakuan  dalam  jangka  pendek,  pelatihan 
syarat  untuk  dilakukan  metaanalisis.  intensif  constraide  induced  pada  terapi 
Seleksi  awal  mengelompokkan  studi  yang  afasia.  Temuan  dalam  program  ini  adalah 
berisi treatment terhadap afasia sebanyak 32  prinsip  pencegahan  pada  komunikasi 
studi.  Selanjutnya  dari  32  studi  yang  ada,  pengganti, kumpulan praktik dan pemben‐
dipilih  12  studi  yang  telah  diseleksi  yang  tukan.  Sebanyak  27  pasien  afasia  kronis 
terkait dengan terapi pemulihan berbahasa.  dilatih  selama  20  jam  dalam  10  hari,  12 
Studi  yang  dimasukkan  dalam  analisis  pasien  dilatih  dengan  program  CIAT,  15 
adalah  studi  yang  berisi  terapi  dengan  pasien dilatih dengan modul bahasa dalam 
tulisan  dan  tambahan  pelatihan  komuni‐

JURNAL PSIKOLOGI  37
DACHRUD 

Tabel 1 
Karakteristik Jurnal yang Akan Dimetakan 
No 
Peneliti  tahun  N  Intensitas tritmen  Pemulihan Bahasa 
Study 
1  Wambaugh & Ferguson  2007  1  12 sesi 3 minggu   Kata kerja & kata 
benda 
2  Breinstein et al  2004  2  5 sesi jam per hari  Leksikal 
3  Reymer et al   2006  2   3‐4 sesi 2 fase  Kata benda & kata 
kerja 
4  Racette et al  2006  8  4 sesi 2 jam durasi fleksibel  Kata‐kata 
5  Hebert & Racette   2003  1  2 sesi 39 bulan   Kata‐kata 
6  Meinzer et al  2005  27  30 jam 2 minggu   Kata kata dan 
tulisan 
7  Pulverlmuller  2001  17  3‐4 jam per hari 10 hari  Kata kata 
8  Bakheit et al. 1  2007  116  2 ‐ 5 jam 12 minggu  Kata‐kata 
  Bakheit et al. 2  2007  116  2 ‐5 jan 24 minggu  Kata‐kata 
9  Doesborgh et al  2004  35  1,5‐3 jam per minggu 2&3 sesi  Semantik 
10  Gaiefsky 1  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat 
  Gaiefsky 2  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat 
  Gaiefsky 3  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat 
  Gaiefsky 4  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat 
  Gaiefsky 5  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat 

kasi  sehari‐hari,  yang  melibatkan  anggota  kan  suatu  unsur  tambahan  yang  berharga. 
keluarga  (CIAT  Plus).  Pengukuran  dalam  Intensitas  ini  efektif  dan  sukses  digunakan 
standarized  neurolinguistik  testing  dan  peni‐ pada  rehabilitasi  pasien  afasia  kronis 
laian didasarkan pada kualitas  dari  jumlah  apalagi didesain dalam waktu yang singkat 
komunikasi  sehari‐hari.  Hasil  menunjuk‐ membuatnya menarik bagi pelayanan jasa. 
kan  fungsi  bahasa  meningkat  dengan  Pulvermuller  et  al.  (2006)  meneliti 
signifikan  setelah  pelatihan  untuk  kedua  pasien afasia kronis yang dibagi secara acak 
kelompok  dan  kestabilan  tetap.  Setelah  dalam  sebuah  kelompok  untuk  menerima 
hingga  6  bulan  berikut  analisis  kasus  terapi  konvensional  dan  Contraid  Induced 
tunggal  menunjukkan  peningkatan  secara  (CI),  sebuah  teknik  pengobatan  baru  yang 
signifikan pada 85% pasien tersebut. Pasien  menuntut  kerja  keras  dalam  praktek  yang 
yang  disertai  keluarga  dinilai  dan  jumlah  singkat  pada  hari  yang  berturut‐turut. 
komunikasinya  sebagai  peningkatan  sete‐ Terapi Afasia CI direalisasikan dalam suatu 
lah  terapi.  Peningkatan  ini  lebih  pada  lingkungan  terapi  komunikatif  bagi  pasien 
pronounce  (pelafalan)  pasien  pada  kelom‐ yang  terhambat  secara  sistematis  dalam 
pok  CIAT  Plus  dalam  keluarganya.  praktik  berbicara  karena  mengalami  kesu‐
Konfirmasi hasil menunjukkan bahwa studi  litan.  Kedua  kelompok  pasien  menerima 
pelatihan  bahasa  yang  intens  dalam  waktu  perlakuan  yang  sama  (30‐35  jam)  dalam 
yang  pendek  didasarkan  pada  prinsip  sepuluh  hari  latihan  praktek  berbahasa, 
belajar  dapat  mendorong  ke  arah  pening‐ untuk  kelompok  CI  terapi  (minimal  3  jam 
katan  permanen  dan  substansial  pada  per hari; 10 pasien) atau pada periode yang 
fungsi  bahasa  afasia  kronis.  Pada  fungsi  lebih  panjang,  4  minggu  untuk  kelompok 
bahasa  afasia  kronis  penggunaan  teman  terapi  konvensional  (7  pasien).  Terapi 
atau  keluarga  dalam  pelatihan  menunjuk‐ Afasia  CI  mendorong  pentingnya  pening‐

38  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

katan  pelafalan  pada  beberapa  tes  klinik  Keutamaan pada pengukuran yang selektif 


standar,  pada  peningkatan  diri,  pening‐ berkaitan  dengan  pengukuran  semantik 
katan  penilaian  observer  pada  efektivitas  dan  fonologi  dinyatakan  bahwa  pening‐
komunikasi  pasien  dalam  kehidupan  katan komunikasi lisan dicapai dengan cara 
sehari‐hari.  Pasien  yang  menerima  inter‐ yang  berbeda  untuk  masing‐masing 
vensi  kontrol  gagal  mencapai  peningkatan  kelompok treatment. 
yang  dapat  dibandingkan.  Data  menun‐ Racette,  Bard,  &  Peretz  (2004)  berang‐
jukkan  bahwa  keterampilan  berbahasa  kat  dari  observasi  klasik  dalam  neurologi 
pasien  afasia  kronis  meningkat  dalam  bahwa  pasien  afasia  melagukan  kata‐kata 
waktu  singkat  dengan  menggunakan  yang  tidak  dapat  mereka  lafalkan  dengan 
teknik  massed‐practice  yang  disesuaikan  cara  lain.  Penilaian  lebih  lanjut  dengan 
pada fokus kebutuhan komunikasi pasien.  menginvestigasi  produksi  nyanyian  dan 
Doesborgh et al. (2003) mengemukakan  ucapan dalam berbicara pada 8 pasien brain 
bahwa  defisit  semantik  adalah  penurunan  damage  yang  menderita  kesulitan  berbicara 
dalam  hal  memahami  maksud  atau  arti  akibat  cedera  pada  otak  sebelah  kiri. 
kata  yang  berdampak  besar  dalam  berko‐ Eksperimen  pertama,  daya  ingat  pasien 
munikasi  secara  lisan  bagi  pasien  afasia.  diuji  dengan  pengulangan  kata‐kata  dan 
Penelitian  pada  efek  treatment  semantik  catatan  tentang  materi  (hal‐hal)  umum 
dalam  berkomunikasi  secara  lisan.  Seba‐ yang  dikenal,  seperti  kata‐kata  dalam  doa 
nyak  58  pasien  yang  mengalami  defisit  dan  pepatah;  tidak  ditemukan  pelafalan 
kombinasi  berkaitan  dengan  fonologi  dan  yang  lebih  baik  dibandingkan  berbicara 
semantik  yang  dirandom  untuk  menerima  (bukan  nyanyian).  Eksperimen  kedua, 
treatment  semantik  atau  treatment  yang  pasien  afasia  mengingat  dan  mengulangi 
dikontrol pada fokus bunyi kata (fonologi).  lirik  dari  lagu  baru.  Kembali  lagi  tidak 
Sebanyak 55 pasien  menyelesaikan pre  dan  menghasilkan  kata‐kata  yang  lebih  baik 
post‐treatment dengan pengukuran komuni‐ dalam  bernyanyi  dibandingkan  bila 
kasi  lisan  (ANELT).  Pada  analisis  treatment  berbicara.  Eksperimen  ketiga,  ketika  diper‐
(n=46),  efek  spesifik  treatment  yang  ber‐ kenankan  untuk  bernyanyi  atau  berbicara 
kaitan  dengan  fonologi  dan  semantik  disertai  dengan  sebuah  model  yang 
menjadi  tolak  ukur  penyelidikan.  Pada  difokuskan  pada  penggunaan  indera 
kedua  kelompok  terdapat  peningkatan  pendengar  selagi  mempelajari  nyanyian 
pada  ANELT,  ditemukan  tidak  ada  perbe‐ baru,  pasien  afasia  lebih  mengingat  dan 
daan  antar  kelompok  pada  skor  keselu‐ mengulangi  kata‐kata  ketika  bernyanyi 
ruhan.  Setelah  treatment  semantik,  pasien  dibandingkan ketika berbicara. Pengurang‐
kembali  mengalami  peningkatan  pada  an  kecepatan  tidak  memberikan  dampak 
pengukuran  semantik.  Sedangkan  pada  yang menguntungkan pada nyanyian yang 
treatment  fonologi,  pasien  mengalami  panjang  pada  penyesuaian  dalam  berbi‐
peningkatan  berkaitan  dengan  fonologi.  cara.  Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa 
Sebagai  catatan  utama,  penelitian  ini  bernyanyi  dengan  sinkronisasi  model 
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan  indera  pendengaran  –  berkaitan  dengan 
dalam  dua  treatment.  Tantangan  sekarang  koor  nyanyian  –  adalah  lebih  efektif 
adalah  temuan  berkaitan  dengan  dugaan  dibandingkan dengan koor pada berbicara. 
treatment  semantik  lebih  efektif  dibanding‐ Indikasi ini setidaknya terlihat pada orang‐
kan  treatment  fonologi  dengan  pasien  orang  Perancis,  peningkatan  kata  yang 
defisit  kombinasi  semantik  dan  fonologi.  cukup jelas sebab bernyanyi yang berkaitan 

JURNAL PSIKOLOGI  39
DACHRUD 

dengan  koor  mungkin  lebih  diterima  atau  asumsi  bahwa  anak‐anak  memperoleh 
lebih sesuai dengan satu penghubung vocal‐ kata‐kata  baru  hingga  mengeksposnya 
auditory. Dengan demikian, bernyanyi yang  tanpa perlu untuk diberi umpan balik yang 
dikaitkan  dengan  koor  menunjukkan  tegas  dari  caregivers  (keluarga).  Dalam 
makna yang efektif pada terapi bicara.  terapi  afasia,  umpan  balik  kepada  pasien 
Hebert,  Racette,  Gagnon,  &  Peretz  amat  penting  menjadi  pertimbangan 
(2003)  menginvestigasi  produksi  ucapan  walaupun  data  empiris  pada  dasarnya 
pada  nyanyian  dan  bicara  pada  seorang  menunjukkan pembelajaran dengan umpan 
pasien  afasia  non‐fluent,  yaitu  C.C.  yang  balik  secara  langsung  masih  kurang.  Studi 
mengalami  afasia  ekspresif  setelah  otak  ini  menguji  orang  dewasa  sehat  dengan 
kirinya  mengalami  stroke  tetapi  memori  pasien  afasia  kronis  untuk  mendapatkan 
dan  pengertian  bahasanya  masih  relatif  perbendaharaan  kata  (leksikal)  dari  fre‐
terpelihara.  Eksperimen  pertama,  C.C.  kuensi intensitas yang ditegaskan sendiri.  
mengulang‐ulangi  kutipan  lagu  yang  Penelitian  ini  membandingkan  ting‐
umum  telah  dikenal  dalam  empat  kondisi  katan  tahap  belajar  dengan  “frekuensi 
yang  berbeda,  berkaitan  dengan  lirik  ekspose  diri”,  (kondisi  tanpa  umpan  balik 
percakapan,  lirik  lagu  yang  asli  dengan  n=19  orang  dewasa  sehat,  2  pasien  dengan 
melodi,  lirik  lagu  yang  baru  tetapi  afasia  Broca  dan  Wernicke  secara  beru‐
melodinya  telah  umum  dikenal,  dan  lagu  rutan) di mana kondisi yang pokok dengan 
dengan  melodi  netral  dengan  satu  suku  umpan  balik  langsung  (n=19).  Prinsip 
kata  netral  “la”.  Eksperimen  kedua,  belajarnya  adalah  penilaian  ketelitian 
mengulangi  kutipan  nyanyian  baru  dalam  memasangkan  yang  “benar”  sesuai  kata 
tiga  kondisi  yang  berbeda;  berkaitan  dan  gambar  lebih  tinggi  dibandingkan 
dengan  lirik  percakapan,  lirik  lagu,  dan  dengan yang “salah” pasang. Pada kondisi 
lagu  dengan  melodi  dua  suku  kata”to‐la”.  umpan balik, umpan balik secara langsung 
Jumlah  rata‐rata  kata  yang  diproduksi  memberikan  ketepatan  pada  masing‐
dalam  bentuk  percakapan  dan  nyanyian  masing  pilihan  yang  disajikan.  Hasil  pene‐
pada  kondisi  yang  berbeda  tidak  berbeda  litian  menunjukkan  dua  kelompok  yang 
secara  signifikan  dalam  eksperimen  mana‐ sehat  sukses  memperoleh  kata‐kata. 
pun.  Tercatat  jumlah  rata‐rata  kata  yang  Umpan  balik  mendorong  pada  suatu 
diproduksi  tidak  berbeda  dalam  kondisi  percepatan  (akselerasi)  pembelajaran  awal 
manapun  pada  lagu  “to‐la”  dan  kondisi  tetapi  tidak  meningkat  secara  laten  untuk 
lagu  apapun,  tetapi  tidak  lebih  tinggi  mencapai  puncak  atau  ingatan  jangka 
dibandingkan  memproduksi  kata‐kata,  hal  panjang  tentang  pengetahuan  yang  berhu‐
ini  menunjukkan  adanya  suatu  pemisahan  bungan  dengan  leksikal.  Penemuan  ini 
antara  C.C.  dalam  produksi  verbal  dengan  menunjukkan  frekuensi  yang  tinggi  pada 
bakat  musik.  Penemuan  ini  tidak  mendu‐ ekspose  interaktif  adalah  mekanisme 
kung  pernyataan  bahwa  bernyanyi  dapat  belajar  kata  yang  kuat  pada  orang  dewasa 
membantu  produksi  kata‐kata  pada  pasien  dan  umpan  balik  yang  tidak  rumit.  Bukti 
afasia non‐fluent. Konsisten dengan gagasan  nyata  lebih  lanjut  dari  pelatihan  yang 
bahwa  produksi  verbal,  apakah  itu  perca‐ sukses  adalah  pada  dua  pasien  afasia  kro‐
kapan  atau  nyanyian,  adalah  hasil  dari  nis  tanpa  umpan  balik  langsung.  Kesim‐
mekanisme operasi yang sama.  pulan  dalam  penemuan  ini  menunjukkan 
Breitenstein,  Kamping,  Jansen,  Scho‐ bahwa  kata  yang  dipelajari  kembali  dan 
mascher,  &  Knecht  (2004)  berangkat  dari  diulang‐ulang  pada  afasia  dapat  berman‐

40  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

faat  dalam  memaksimalkan  frekuensi  perpindahan  kesalahan  pada  produksi 


ekspose  dan  pemanfaatan  prinsip  terapi  generatif  kalimat  dengan  mendampingkan 
pada  “massed  practice”  (kumpulan  hasil  noun  dan verbs  target. Pada  individu  afasia 
praktek),  yang  telah  sukses  sebagaimana  non‐fluent,  treatment  berdampak  pada 
pada rehabilitasi fisik setelah stroke. Secara  peningkatan  berkaitan  dengan  penamaan 
ringkas, pada umpan balik dapat mencegah  gambar  pada  kata  benda  atau  kata  kerja 
pasien menjadi takut oleh konfrontasi yang  dan  digeneralisasikan  dalam  jumlah,  isi, 
berlanjut dengan kondisi defisit mereka.  dan tata bahasa yang mengikuti terapi kata 
Wambaugh & Ferguson (2007) menguji  benda. Pada individu afasia fluent, ditemu‐
efek  terhadap  semantik  yang  menonjolkan  kan  peningkatan  dengan  baik  setidaknya 
pemerolehan kembali tindakan penyebutan  dalam  penamaan  gambar  dan  generatif 
pada  peserta  dengan  afasia  anomic.  kalimat  pada  keduanya,  yaitu  kata  benda 
Treatment diberlakukan secara sekuen pada  dan kata kerja. Sentences based word retrieval 
dua  kesatuan  tindakan  dan  dalam  konteks  training  ini,  di  mana  proses  semantik  dan 
berbagai  desain  awal  berkaitan  dengan  sintatik  saling  berhubungan,  mendorong 
perilaku.  Efek  treatment  dievaluasi  ber‐ peningkatan  jumlah  pengulangan  kata 
kaitan  dengan  penamaan  dari  tindakan  pada  afasia  non‐fluent.  Harapan  yang 
yang  dilatih  dan  tidak  dilatih.  Efek  pro‐ berlawanan,  di  mana  perubahan  ini  lebih 
duksi  percakapan  juga  diuji  dengan  mem‐ besar  terjadi  pada  pada  mereka  dengan 
perhatikan  produktivitas  lisan,  informatif  terapi  kata  benda  dibandingkan  yang 
dan  produksi  kata  kerja  dan  kata  benda.  mengikuti kata kerja. 
Peningkatan penamaan diteliti  pada  kedua  Bakheit  et  al.  (2007)  menguji  apakah 
latihan  tindakan  penamaan,  dengan  banyaknya jumlah terapi bahasa dan bicara 
peningkatan  treatment  pada  enam  minggu  mempengaruhi  kesembuhan  pada  pasien 
post  treatment.  Bagaimanapun,  ketelitian  afasia  sesudah  stroke.  Pasien  stroke  yang 
pada  respon  tidak  sampai  pada  tingkatan  afasia  dipilih  secara  acak  kemudian  dialo‐
ukuran  sebelum  stabil.  Ekspose  yang  kasikan  untuk  menerima  5  jam  (kelompok 
diulangi  pada  item  stimulus  tanpa  latihan  terapi intensif, n=51) atau 2 jam (kelompok 
menghasilkan  peningkatan  yang  temporer  terapi  standar)  terapi  bahasa  dan  bicara 
dan  tidak  stabil  pada  ketelitian  penamaan.  setiap  minggu  selama  12  minggu  yang 
Tidak  ada  perubahan  yang  diamati  pada  dipraktekkan  segera  setelah  stroke. 
ketelitian penamaan dari yang tidak dilatih,  Sebanyak 19 pasien lainnya direkrut untuk 
yang  terukur  hanya  pada  internal  sebelum  menerima terapi selama 2 jam tiap minggu 
dan  sesudah  treatment.  Peningkatan  pada  dan  pengukuran  dilakukan  oleh  staf 
informatif  dan  produktivitas  lisan  dalam  National  Health  Service  (NHS)  (kelompok 
menghasilkan  percakapan  berkaitan  NHS). Pengukuran dengan Western Aphasia 
dengan treatment.  Battery  (WAB)  dilakukan  dengan  pengu‐
Menurut Raymer & Kohen (2006), word  kuran awal yang disamarkan dengan acak, 
retrieval pada afasia ditemukan mempunyai  selanjutnya pada minggu ke‐4, 8, 12, dan 24 
pengaruh  yang  besar  dalam  penamaan  setelah  dimulainya  terapi.  Rerata  pening‐
gambar  bagi  yang  dilatih  kata‐kata.  Untuk  katan  ditunjukkan  pada  minggu  ke‐12 
meningkatkan  pengaruh  treatment  pada  untuk kelompok intensif, standar dan NHS. 
kata‐kata  yang  tidak  dilatih  dan  konteks  Tidak terdapat efek perlakuan pada intensif 
kalimatnya,  diteliti  dalam  suatu  treatment  terapi  (P>0.05),  tetapi  ada  perbedaan  yang 
pembacaan  kalimat  secara  hierarki  bahwa  signifikan  antara  studi  kelompok  standar 

JURNAL PSIKOLOGI  41
DACHRUD 

dengan  NHS  pada  minggu  ke‐12  (P=0.002)  broca.  Satu  pasien  afasia  menunjukkan 
dan  minggu  ke‐24  (P=0.01).  Studi  ini  penurunan  aktivitas  fungsional  pada  area 
menyimpulkan  bahawa  terapi  intensif  broca.  Sementara  satu  pasien  secara  signi‐
bahasa  dan  bicara  tidak  meningkatkan  fikan  tidak  menunjukkan  aktivitas  fung‐
perubahan  bahasa  yang  signifikan  diban‐ sional pada area berbahasa (broca). 
dingkan  dengan  standar  terapi.  Adanya 
peningkatan  terapi  pada  afasia  setidaknya  Analisis Data 
pada kelompok NHS.  
Hunter  &  Schmidt  (1990)  mengemu‐
Gaiefsky (2003) meneliti 5 pasien afasia  kakan bahwa dalam metaanalisis dilakukan 
Broca  dengan  rancangan  treatment  reha‐ beberapa langkah di antaranya menghitung 
bilitasi  untuk  meningkatkan  produksi  koreksi  kesalahan  sampel.  Data  yang  dite‐
bahasa  yang  dimulai  dengan  prosedur  mukan  menunjukkan  hasil  statistik  yang 
perekrutan  yang  benar  melalui  Functional  beragam,  baik  dari  perbedaan  maupun 
Magnetic  Resonance  Imaging  (FMRI).  korelasional  yaitu  F,  X²,  t,  d,  dan  r.  Selan‐
Treatment  diberikan  dalam  empat  fase,  jutnya  hasil  statistik  yang  diperoleh  dari 
masing‐masing sepuluh sesi dengan durasi  studi primer dilakukan transformasi nilai F, 
wakru  empat  minggu.  Hasil  menunjukkan  X²,  t,  d  atau  r  (Hunter  &  Schmidt,  1990). 
bahwa tiga pasien secara signifikan menun‐ Hasil  dari  transformasi  tersebut  dijadikan 
jukkan  aktivitas  fungsional  dalam  area 

Tabel 2 
Deskripsi Karakteristik Studi Metaanalisis Mengenai Intensitas Tritmen dan Efeknya pada 
Pemulihan Bahasa 
Peneliti &   Intensitas   Pemulihan  Hasil
No  N  Tipe sampel 
Tahun  Tritmen  bahasa  studi
1  Wambaugh &  1  Afasia anomic  40‐60 menit per sesi selama  Kata kerja &  + 
Ferguson, 2007  3 minggu dengan 12 sesi  kata benda 
2  Breitenstein et al.  2  Afasia kronis broca &  5 sesi pd 1‐5 hari per sesi  Leksikal  + 
2004   wernicke  dgn 1‐6 jam per hari 
3  Reymer et al 2006 2  Afasia fluent & non‐ Tiap hari 3‐4 sesi dalam 2  Kata benda &  + 
fluent  fase  kata kerja 
4  Racette et al 2006 8  Afasia non‐fluent  4 sesi dalam 2 jam dgn  Kata‐kata  ‐ 
durasi fleksibel 
5  Hebert & Racette  1  Afasia non‐fluent  2 sesi dalam 39 bulan  Kata‐kata  ‐ 
2003  (bulan ke 6 & 33) 
6  Meinzer et al.  27  Afasia kronis broca,  30 jam selama 2 minggu & 3  Kata kata   + 
2005  wernicke, anomic &  jam per hari  dan tulisan 
global 
7  Pulverlmuller  17  Afasia kronis  3‐4 jam per hari selama 10  Kata kata  + 
hari 
8  Doesborgh et al.  58  Afasia wernicke, broca,  1,5‐3 jam per minggu 2 atau  Semantik   + 
2004  anomic  3 sesi  dan fonologi 
9  Bakheit et al.   116   2 & 5 jam selama 12 minggu  Kata‐kata  + 
2007 
10  Gaiefsky, 2003  5  Afasia non‐fluent  3 fase masing‐masing 10  Kata‐kata &  + 
sesi 4 minggu  kalimat 

42  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

langkah  awal  untuk  penghitungan  koreksi  estimasi r populasi, varians dari koefisien r 


kesalahan  sampel.  Analisis  kesalahan  populasi  terbobot,  varians  r  populasi  kesa‐
pengukuran  tidak  dilakukan  karena  tidak  lahan  pengambilan  sampel  dan  estimasi 
ditemukan dalam studi primer.   varian r populasi. 
Setelah  dilakukan  koreksi  kesalahan 
H a s i l  sampling  dari  10  jurnal  dengan  22  studi, 
Transformasi  Perhitungan  Nilai  Terkon‐ hanya  6  jurnal  yang  dapat  dimasukkan 
versi  analisis karena terbentur pada penggunaan 
rumus  transformasi  nilai  t  ke  r  (Hunter  & 
Langkah  perhitungan  kesalahan  sam‐
Schmidt,  1999)  di  mana  prasyarat  rumus 
pling  dimulai  dengan  melakukan  konversi 
transform  r=t/√t²+N‐2  adalah  subjek  harus 
nilai  atau  transformasi  nilai  terlebih 
lebih  dari  2,  sehingga  hasil  akhir  jurnal 
dahulu.  Penelitian  terdiri  dari  penelitian 
yang  dapat  dianalisis  untuk  koreksi 
korelasional dan penelitian perbedaan, oleh 
kesalahan  sampling  sebanyak  6  jurnal 
sebab  itu  harga  F,  X²,  perlu  ditransfor‐
dengan  17  studi.  Selain  itu,  analisis  lebih 
masikan  terlebih  dahulu  ke  dalam  harga  t, 
lanjut  terhadap  studi  yang  tidak  lagi 
d  dan  r.  perhitungan  hasil  konversi  nilai 
diikutkan  karena  uraian  jumlah  waktu 
studi primer sebagaimana berikut Tabel 3. 
terapi  yang  mengindikasikan  intensitas 
Dari  hasil  tranformasi  nilai  ke  r  maka  terapi  dihubungkan  dengan  pemulihan 
selanjutnya  dapat  dilakukan  penghitungan  pada  afasia  tidak  dilaporkan  hingga  pada 
koreksi  kesalahan  sampling  yang  meliputi:  jam terapi dalam tiap periode. 
Tabel 3 
Hasil Perhitungan Konversi Nilai F, X², ke Harga t, d dan r 
No 
Peneliti  N  F  X²  t  D  r 
Study 
1  Wambaugh & Ferguson, 2007 1        1.76  ‐ 
2  Breinstein et al. 2004  2  135.68    11.6482    ‐ 
3  Reymer et al 2006  2      2.94    ‐ 
4  Racette et al 2006  8    1.23  1.1090    0.03 
5  Hebert & Racette 2003  1  4.26    2.0639    ‐ 
6  Meinzer et al. 2005  27  3.44    1.8547    0.3477 
7  Pulverlmuller  17  5.0    2.3607    0.5204 
8  Bakheit et al. 2007 ‐1  116      0.08944    0.0083 
9  Bakheit et al. 2007 ‐2  116      0.21447    0.021 
10  Doesborgh et al. 2004 ‐1  23          0.58 
11  Doesborgh et al. 2004 ‐2  23          0.34 
12  Doesborgh et al. 2004 ‐3   23          0.04 
13  Doesborgh et al. 2004 ‐4  23          0.24 
14  Doesborgh et al. 2004 ‐5  23          0.40 
15  Doesborgh et al. 2004 ‐6  23          0.16 
16  Doesborgh et al. 2004 ‐7  23          0.58 
17  Doesborgh et al. 2004 ‐8  23          0.15 
18  Gaiefsky, 2003 ‐1  5    74.79      0.98 
19  Gaiefsky, 2003 ‐2  5    98.82      0.985 
20  Gaiefsky , 2003 ‐3  5    0.00      0 
21  Gaiefsky, 2003 ‐4  5    16.28      0.918 
22  Gaiefsky , 2003 ‐5  5    304.08      0.995 

JURNAL PSIKOLOGI  43
DACHRUD 

Tabel 4 
Studi‐studi yang Dianalisis 
No  Total jam  Hasil 
Peneliti  N  R  Waktu terapi 
Study  terapi  studi 
1  Racette et al 2006  8  0.03  4 sesi 2 jam  Fleksibel  ‐ 
2  Meinzer et al. 2005  27  0.3477  10 hari  30 jam  + 
3  Pulverlmuller  17  0.5204  10 hari  40 jam  + 
4  Bakheit et al. 2007‐1  116  0.0083  12 minggu  360 jam  + 
5  Bakheit et al. 2007‐2  116  0.021  12 minggu  360 jam  + 
6  Doesborgh et al. 2004‐1  23  0.58  12 minggu  600 jam  + 
7  Doesborgh et al. 2004‐2  23  0.34  12 minggu  600 jam  + 
8  Doesborgh et al. 2004‐3  23  0.04  12 minggu  600 jam  + 
9  Doesborgh et al. 2004‐4  23  0.24  12 minggu  600 jam  + 
10  Doesborgh et al. 2004‐5  23  0.40  12 minggu  600 jam  + 
11  Doesborgh et al. 2004‐6  23  0.16  12 minggu  600 jam  + 
12  Doesborgh et al. 2004‐7  23  0.58  12 minggu  600 jam  + 
13  Doesborgh et al. 2004‐8  23  0.15  12 minggu  600 jam  + 
14  Gaiefsky, 2003‐1  5  0.98  14 minggu  300 jam  + 
15  Gaiefsky, 2003‐2  5  0.985  14 minggu  300jam  + 
16  Gaiefsky, 2003‐3  5  0  ‐  ‐  ‐ 
17  Gaiefsky, 2003‐4  5  0.918  14 minggu  300 jam  + 

Studi  yang  dilakukan  Wambaugh  &  besarnya  persentasi  varians  yang  disebab‐
Ferguson,  Racette  et al.,  Raymer  et  al.,  dan  kan  kesalahan  pengambilan  sampel,  yaitu 
Hebert  tidak  lagi  diikutkan  dalam  analisis  sebesar 5.20%. Ini menunjukkan bahwa bias 
karena jumlah subjeknya hanya dua orang,  kesalahan  karena  kekeliruan  dalam 
sementara  satu  dari  lima  studi  yang  pengambilan  sampel  besar  atau  berada  di 
dilakukan  Megan  tidak  dianalisis  karena  atas  5%.  Variansi  yang  besar  ini  menun‐
nilai  X²=0.00  sehingga  tidak  dapat  ditrans‐ jukkan  bahwa  variansi  nilai  yang  disebab‐
formasi.   kan  oleh  kesalahan  pengambilan  sampel 
Berdasarkan  pada  studi  meta  analisis  besar.  Hal  ini  mengindikasikan  bahwa 
ditemukan bahwa korelasi populasi setelah  kemungkinan  bias  yang  disebabkan  oleh 
dikoreksi  didapatkan  sebesar  ř  0.201917,  kesalahan  pengambilan  sampel  termasuk 
dengan  varians  korelasinya  (σr²)  sebesar  besar. 
0.063807 dan standar deviasi sebesar 0.2526.  Hasil  metaanalisis  diperoleh  ř  0.201 
Mengacu  pada  interval  kepercayaan  dan  berada  dalam  area  penerimaan  95%     
sebesar  95%,  batas  penerimaannya  antara    (‐0.29318  <  ř  <  0.697014)  bahwa  intensitas 
‐0.029318  <  ř  <  0.697014;  dengan  demikian  treatment  menentukan  usaha  pemulihan 
hasil perhitungan ř sebesar 0.201917 berada  bahasa pada afasia. Hasil ini menunjukkan 
pada batas penerimaan.  bahwa  perbedaan  intensitas  treatment 
Nilai  varians  kesalahan  pengambilan  dalam  durasi  waktu  yang  digunakan 
sampel  adalah  sebesar  0.03321  dan  varian  sangat  berhubungan  dengan  hasil  yang 
korelasi  populasi  sebesar  0.063807.  Nilai  diperoleh  dalam  pemulihan  bahasa  afasia. 
varians  kesalahan  pengambilan  sampel  Hasil  ini  juga  konsisten  dengan  penelitian‐
dibandingkan dengan nilai varians korelasi  penelitian  yang  telah  dilakukan  sebelum‐
populasi  dikalikan  100%  merupakan  nnya  yang  mengamati  hubungan  antara 
terapi  intensif  yang  mendukung  pening‐

44  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

katan  hasil  pada  afasia,  sebagaimana  yang  Enam  belas  studi  yang  dianalisis 
dilakukan  oleh  Brindley  et  al.  (1989)  yang  menunjukkan  konsistensi  keberadaan 
mengemukakan  bahwa  hanya  dengan  waktu sebagai determinasi dalam treatment 
peningkatkan  alokasi  waktu  pada  terapi  berupa  terapi  intensif  dan  terapi  dengan 
bicara,  kemampuan  afasia  kronis  dapat  waktu  yang  standar  berpengaruh  dalam 
lebih efektif. Pernyataan ini didukung oleh  usaha  pemulihan  pada  afasia.  Keenam 
Poeck  et  al.  (1989)  yang  mencatat  bahwa  belas studi yang dikaji ini pun melaporkan 
peningkatan  terjadi  pada  afasia  bahkan  secara  signifikan  hasil  yang  positif  dengan 
pada fase kronis dengan terapi intensif.  rata‐rata jam terapi di atas enam jam terapi 
Hasil  meta  ini  menunjukkan  bahwa  per  minggu.  Sedangkan  satu  studi  negatif 
intensitas treatment merupakan determinasi  yang  dilakukan  Racette  et  al.  (2006)  hanya 
yang  berperan  dalam  pemulihan  bahasa  memberikan  kurang  dari  dua  jam  terapi 
pada  afasia  dan  mendukung  beberapa  per minggu dengan durasi yang juga tidak 
penelitian  yang  selama  ini  terpublikasi  ditentukan.  Analisa  menunjukkan  bahwa 
(Robey & Schultz, 1998; Lincoln et al., 1984;  semakin  intensif  terapi  akan  memberikan 
Shewan  &  Kertesz,  1984;  Bhogal,  Teasell,  peningkatan  hasil  pada  pemulihan  bahasa 
Speechley, 2003).   pada afasia. 

Dengan  hasil  ini  dapat  dikatakan  Terapi  afasia  Constraint‐Induced  (CI) 


bahwa  intensitas  treatment  berupa  terapi  dengan  kekhususannya  sebagai  bentuk 
dapat  mempengaruhi  hasil  terhadap  terapi  intensif  bagi  pasien  afasia.  Penggu‐
pemulihan bahasa afasia. Dengan demikian  naan praktek intensitas waktu yang pendek 
disimpulkan bahwa hipotesis diterima.  lebih  sering  dipilih  dari  pada  waktu  yang 
panjang pada terapi CI. Dampak dari terapi 
intensif  CI  dengan  menggunakan  paradig‐
Diskusi  ma  CI  (waktu  yang  singkat),  ditunjukkan 
oleh  Pulvermuller  et  al.  (2001),  di  mana 
Tujuh  belas  dari  delapan  belas  studi 
pasien menerima terapi CI (3 jam terapi per 
yang  dikaji  melaporkan  secara  signifikan 
hari  selam  2  minggu)  secara  signifikan 
hasil  positif  yang  memberikan  terapi  de‐
menunjukkan perbaikan pada semua peng‐
ngan  jumlah  jam  terapi  yang  tersistematis 
ukuran  hasil  dibandingkan  dengan  pasien 
dalam jumlah jam per hari, per minggu, per 
yang  menerima  terapi  konvensional  yang 
sesi  dengan  masing‐masing  durasi, 
tidak  menunjukkan  perbaikan  yang  signi‐
dibandingkan  dengan  satu  studi  negatif 
fikan. 
yang  hanya  memberikan  rentang  waktu 
yang  panjang  tanpa  ukuran  waktu  yang  Hubungan  antara  intensitas  terapi 
jelas  serta  studi  Racette  et  al.,  yang  durasi  bicara dan bahasa dalam rangka pemulihan 
waktunya  ditentukan  secara  fleksibel  bahasa  pada  afasia  masih  membutuhkan 
semata.  Analisa  menunjukkan  bahwa  studi  lebih  lanjut.  Sebagian  besar  keterba‐
semakin  intensif  terapi  akan  memberikan  tasan  dari  kajian  ini  berasal  dari  keterba‐
hasil yang meningkat.   tasan  studi  asli  yang  berkualifikasi. 
Penggunaan ukuran tak terstandar, ukuran 
Setelah  dilakukan  transformasi  nilai  t 
subjek  dalam  studi‐studi  yang  relatif  kecil 
ke  r  maka  dari  duapuluh  dua  studi  yang 
dan  kurangnya  pengacakan  dalam  kelom‐
ditemukan  hanya  tujuh  belas  studi  yang 
pok,  serta  kurangnya  kejelasan  mengenai 
dapat  dianalisis.  Hal  ini  disebabkan  lima 
intensitas  terapi  dan  tidak  adanya  pela‐
studi lainnya tidak memenuhi syarat untuk 
poran  rata‐rata  untuk  penilaian  keselu‐
dianalisis. 

JURNAL PSIKOLOGI  45
DACHRUD 

ruhan  untuk  pengukuran  hasil  pada  afasia.  Selain  itu,  adanya  hubungan  antara 
beberapa  studi.  Selain  itu,  banyak  studi  intensitas  terapi  dengan  pemulihan  pada 
yang  dianggap  tidak  kuat  dengan  ukuran  afasia menjadi langkah yang membutuhkan 
sampel yang kecil. Penelitian terbesar yang  perhatian  lebih  besar  dalam  penyusunan 
dilakukan  Bakheit  et  al.  (2007),  mengacak  formulasi  treatment  yang  lebih  tepat. 
309 pasien namun demikian yang dianalisa  Adapun  jika  terjadi  kegagalan,  menjadi 
lengkap  untuk  dilaporkan  116  dan  hanya  potensi  yang  dipersiapkan  untuk  dikom‐
70  pasien  yang  menerima  tritmen  dengan  promikan pada hasil akhir individual. 
konsisten.  Berdasarkan  hasil  metaanalisis  diper‐
Demikian  pula  studi  yang  dilakukan  oleh bahwa determinasi intensitas treatment 
Doesborgh  (2004),  dari  87  pasien  afasia  dalam usaha pemulihan bahasa pada afasia 
yang  direferensikan  hanya  58  yang  dima‐ adalah  faktor  yang  menentukan.  Diindika‐
sukkan dalam studi setelah dirandom. Dari  sikan bahwa terapi yang intensif sekalipun 
58 pasien dibagi dalam dua treatment yaitu  dalam  waktu  yang  pendek  dapat  mening‐
semantik  dan  fonologi  dengan  masing‐ katkan  hasil  pada  terapi  bahasa  dan  bicara 
masing  subjeknya  hanya  23  yang  masuk  bagi pasien afasia. 
dalam analisis treatment. 
Adanya  hubungan  yang  ditunjukkan  Kepustakaan 
antara  intensitas  tritmen  dalam  bentuk 
terapi  dan  pemulihan  bahasa  pada  afasia,  *Bakheit,  A.  M.  O.,  Shaw,  S.,  Barret,  L., 
membutuhkan  perhatian  yang  lebih  besar  Wood,  J.,  Griffiths,  S.,  Carrington,  S., 
yang  diperlukan  untuk  menyusun  penga‐ Searle,  K.,  &  Kautsi,  F.  (2007).  A 
turan perlakuan yang lebih tepat. Lamanya  prospective,  randomized,  parallel 
terapi  yang  diberikan  dalam  per  minggu,  group, controlled study of the effect of 
per  jam,  bahkan  per  sesi  yang  memung‐ intensity  of  speech  and  language 
kinkan pencapaian pemulihan yang maksi‐ therapy  on  early  recovery  from 
mum membutuhkan penelitian lebih lanjut.  poststroke  aphasia.  Clinical  Rehabili‐
Hal yang lebih penting, kajian ini menekan‐ tation, 21, 885‐894 
kan  pentingnya  terapi  bahasa  dan  bicara  Berthier,  M.  L.  (2005).  Post  stroke  aphasia: 
pada penderita afasia.   epidemiology,  pathophysiology,  and 
Studi  yang  berpengaruh  seperti  treatment.  Drugs  and  Aging,  22  (2):  163 
Bakheit  et  al.  (2007)  menghasilkan  kera‐ – 82 
guan  terhadap  kekuatan  terapi  bahasa  dan  Bhogal,  S.  K.,  Teasell,  R.,  &  Speechley,  M. 
bicara  pada  pemulihan  afasia.  Konfirmasi  (2003).  Intensity  of  aphasia  therapy, 
terhadap  keraguan  tersebut  bahwa  terapi  impact on recovery. Stroke, 34, 987‐993 
dengan  intensitas  rendah  yang  diberikan 
*Breitenstein,  C.,  Kamping,  S.,  Jansen,  A., 
dalam jangka waktu yang lama tidak mem‐
Schomascher,  M.,  &  Knecht,  S.  (2004). 
berikan  hasil  yang  signifikan.  Walaupun 
Word learning can be achieved without 
demikian,  terapi  yang  lebih  intensif 
feedback:  Implication  for  aphasia 
sekalipun  diberikan  dalam  jangka  waktu 
therapy.  Restorative  Neurology  and 
yang pendek, dapat memberikan perbaikan 
Neuroscience, 22, 445 – 458 
hasil  yang  signifikan.  Implikasi  penelitian 
ini adalah bahwa terapi afasia intensif yang  Brindley,  P.,  Copeland  M.,  Demain  C.,  & 
diberikan selama 2 – 3 bulan sangat penting  Martin  P.  (1989).  A  comparison  of  the 
untuk  memaksimalkan  pemulihan  pada  speech  of  ten  chronic  Broca’s  aphasics 

46  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

following  intensive  and  non  intensive  Gresham,  G.  E.,  Duncan,  P.  W.,  Stason,  W. 
periods  of  therapy.  Aphasiology,  3,  695‐ B.,  Adams,  H.  P.,  Adelman,  A.  M., 
479  Alexander  D.  N.,  et  al.  (1995).  Post 
Byng, S., & Black, M. (1995). What makes a  Stroke  Rehabilitaton:  Clinical  Practice 
therapy?  Some  parameters  of  thera‐ Guidelines.  Washington,  DC:  Agency 
peutic  intervention  in  aphasia.  Euro‐ for  Health  Care  Policy  and  Research, 
pean  Journal  of  Disorders  of  Communi‐ Departement  of  Health  and  Human 
cation, 30, 303–316  Services, Public Health Services. 

Cicerone,  K.  D.,  Dahlberg,  C.,  Kalmar,  K.,  Hartman,  J.,  &  Landau  W.  M.  (1987). 
Langenbahn,  D.  M.,  Malec,  J.  F.,  Comparison  of  formal  language 
Bergquist,  T.  F.  et  al.  (2000).  Evidence‐ therapy with supportive counseling for 
based  cognitive  rehabilitation:  Recom‐ aphasia due to acute vascular accident. 
mendations  for  clinical  practice.  Archives of Neurology, 44 (6), 646‐649 
Archives  of  Physical  Medicine  and  *Hebert,  S.,  Racette,  A.,  Gagnon,  L.,  & 
Rehabilitation, 81, 1596‐1615  Peretz,  I.  (2003).  Revisiting  the  disso‐
Darley,  F.L.  (1982).  Aphasia.  Philadelphia,  ciation  between  singing  and  speaking 
Pa: WB Saunders.  in expressive aphasia, Brain, 126, 1838 – 
1850 
*Doesborgh, S. J. C., Sandt‐Koenderman, M. 
W.  E.,  Dippel,  D.  W.  J.,  Harskamp,  F.,  Howard,  D.,  Patterson,  K.  E.,  Franklin,  S., 
Kaudstaal,  P.  J.,  &  Visch‐Brink,  E.  G.  Orchard‐Lisle,  V.,  &  Morton,  J.  (1985). 
(2003). Effects of semantic treatment on  The  facilitation  of  picture  naming  in 
verbal  communication  and  linguistic  aphasia.  Cognitive  Neuropsychology,  2, 
processing  in  aphasia  after  stroke.  A  49‐80. 
rondomized  controlled  trial.  Stroke  Hunter,  J.  E.  &  Schmidt,  F.  L.  (1990). 
Journal of the American Heart Association,  Methods  of  Meta‐Analysis,  Correcting 
35, t.pp  Error  and  Bias  in  Research  Findings. 
*Doesborgh, S. J. C. (2004). Assessment and  Sage Publications, Newbury Park. 
treatment  of  linguistic  defisits  in  Kertesz,  A.  (1979). Aphasia  and  Associated 
aphasic  patiens,  Thesis,  diakses  di  Disorders: Taxonomy, Localization and 
http://pada 04 November 2008  Racovery.  Naw  York:  Grune  and 
Enderby,  P.  (1996).  Speech  and  language  Startton  
therapy  ‐does  it  work?  British  Medical  Lincoln,  N.  B.,  McGuirk,  E.,  Mulley,  G.  P., 
Journal, 321, 1655‐1658  Lendrem,  W.,  Jones,  A.  C.,  &  Mitchell, 
*Gaiefsky, M.E. (2003). Functional Magnetic  J.  R.  (1984).  Effectiveness  of  speech 
Resonance Imaging of Overt Language  therapy  for  aphasic  stroke  patients:  a 
Production  in  Aphasia  Rehabilitation:  randomised  controlled  trial.  Lancet,  1, 
The  Contribution  of  The  Language  1197–1200 
Nondominant  Hemisphere,  Thesis,  McNeil,  M.  R.,  Doyle,  P.  J.,  Spencer,  K.  A., 
University of Florida, diakses di http://  Goda,  A.  J.,  Flores,  D.,  &  Small,  S.  L. 
pada 17 Juli 2008.  (1997).  A  double‐blind,  placebo‐
Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001).  controlled  study  of  pharmacological 
Speech  and  language  therapy  for  and  behavioural  treatment  of  lexical‐
aphasia  following  stroke.  Cochrane  semantic  deficits  in  aphasia.  Apha‐
Review. Oxford: The Cochrane Library.  siology, 11, 385‐400 

JURNAL PSIKOLOGI  47
DACHRUD 

*Meinzer,  M.,  Djundja,  D.,  Barthel,  G.,  Stroke  Journal  of  the  American  Heart 
Elbert, T., & Rockstroh, B. (2005). Long‐ Association, 32, 1621 – 1626* 
Term  stability  of  improved  language  *Racette,  A.,  Bard,  C.,  &  Peretz,  I.  (2006). 
Functions  in  chronic  aphasia  after  Making  non‐fluent  aphasics  speak: 
constraint‐induced  aphasia  therapy.  Sing along! Brain, 129, 2571 – 2584 
Stroke  Journal  of  the  American  Hearth 
*Raymer, A. M., & Kohen, F. (2006). Word‐
Association, 36, 1462 – 1466 
retrieval  treatment  in  aphasia:  Effects 
Miceli,  G.,  Amitrano,  A.,  Capasso,  R.,  &  of  sentences  context.  Journal  of 
Caramazza, A. (1996). The treatment of  Rehabilitation  Research  &  Development, 
anomia  resulting  from  output  lexical  43, 3: 367 – 378  
damage: Analysis of two cases. Brain & 
Raymer, A. M., Thompson, C. K., Jacobs, B., 
Language, 52, 150‐174 
&  le  Grand,  H.  R.  (1993).  Phonological 
Mitchum,  C.  C.  (1994).  Traditional  and  treatment  of  naming  deficits  in 
contemporary  views  of  aphasia:  aphasia:  model‐based  generalization 
Implication  for  clinical  management.  analysis. Aphasiology, 7, 27‐53 
Topics in Stroke Rehabilitation, 1, 14–36 
Robey, R. R. (1994). The efficacy of treatment 
Nadeau,  S.,  Rothi,  L.  J.  G.,  &  Crosson,  B.  for  aphasic  persons:  a  meta  analysis. 
(2000).  Preface.  In  S.  Nadeau,  L.  J.  G.  Brain and Language, 47, 582–608 
Rothi, & B. Crosson (Eds.), Aphasia and 
Robey,  R.  R.  &  Schultz,  M.  C.  (1998).  A 
language:  Theory  to  practice.  New  York: 
model  for  conducting  clinical  outcome 
Guilford Press.  
research:  An  adaptation  of  the 
Nettleton, J. & Lesser, R. (1991). Therapy for  standard  protocol  for  use  in 
naming  difficulties  in  aphasia:  appli‐ aphasiology. Aphasiology, 12, 787‐810 
cation  of  a  cognitive  neuropsycholo‐
Shewan, C. M., & Kertesz, A. (1984). Effects 
gical  model.  Journal  of  Neurolinguistics, 
of  speech  and  language  treatment  on 
6, 139‐159 
recovery  from  aphasia.  Brain  Lang,  23, 
Orange,  J.  B.,  &  Kertesz  A.  (1998).  Efficacy  272–299 
of  language  therapy  for  aphasia.  In: 
Siguröardóttir,  G.  Z.,  &  Sighvatsson,  B.  M. 
Physical  Medicine  and  Rehabilitation: 
(2006).  Operant  conditioning  and 
State  of  the  Art  Reviews.  Philadelphia, 
errorless  learning  procedures  in  the 
Pa: Hanley‐Belfus, Inc. 
treatment  of  chronic  aphasia. 
Prins,  R.  S.,  Schoonen,  R.,  &  Vermeulen,  J.  International  Journal  of  Psychology,  41 
(1989).  Efficacy  of  two  different  types  (6), 527–540 
of  speech  therapy  for  aphasic  stroke 
Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley 
patients.  Applied  Psycholinguistics,  10, 
N.,  and  Bhogal  S.K.  (2002).  Evidence‐
85‐123 
based  review  of  stroke  rehabilitation. 
Poeck,  K.,  Huber  W.,  &  Willmes  K.  (1989).  Heart  and  Stroke  Foundation  Ontario 
Outcome  of  intensive  language  treat‐ and Ministry of Health and Long‐Term 
ment  in  aphasia.  Journal  Speech  Hear  Care of Ontario. 
Disorder, 54, 471–479  
Van  Harskamp,  F.  &  Visch‐Brink,  E.  G. 
Pulvermuller,  F.,  Neininger,  B.,  Elbert,  T.,  (1998).  Evaluatie  van  het  effect  van 
Mohr, B., Rockstroh, B.,  Koebbel,  P.,  &  taaltherapie  bij  afatische  patiënten. 
Taub, E. Constraint‐induced therapy of 
chronic  aphasia  after  stroke.  (2001). 

48  JURNAL PSIKOLOGI 
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

Stem‐,  Spraak‐  en  Taalpathologie,  7,  213‐ treatment  for  aphasia.  Archives  of 
232  Neurology, 43 (7), 653‐658 
Wade,  D.T.,  Legh‐Smith,  J.,  &  Hewer,  R.A.  *Wambaugh,  J.  L.,  &  Ferguson,  M.  (2007). 
(1987). Depressed mood after stroke: A  Aplication  of semantic  feature  analysis 
community  study  of  its  frequency.  The  to retrieval of action names in aphasia. 
British Journal of Psychiatry, 151, 200‐205  Journal  of  Rehabilitation  Research  & 
Wertz,  R.  T.,  Weiss,  D.  G.,  Brookshire,  R.  Development, 44, 3: 381 – 394 
H.,  Aten,  J.  L.,  Garcia‐Bunuel,  L.,  Whurr, R., Lorch, M. P., & Nye, C. (1992). A 
Holland,  A.  L.,  Kurtzke,  J.F.,  LaPointe,  meta‐analysis  of  studies  carried  out 
L.  L.,  Milianti,  F.  J.,  Brannegan,  R.,  between 1946 and 1988 concerned with 
Greenbaum, H., Marshall, R. C., Vogel,  the  efficacy  of  speech  and  language 
D.,  Carter,  J.,  Barnes,  N.  S.,  &  therapy  treatment  for  aphasic  patients. 
Goodman,  R.  (1986).  Comparison  of  European  Journal  of  Disorders  of 
clinic,  home,  and  deferred  language  Communication, 27, 1‐17. 
 
Keterangan 
Tanda (*) : jurnal yang digunakan untuk studi metaanalisis 

JURNAL PSIKOLOGI  49
NeuroImage 17, 174 –183 (2002)
doi:10.1006/nimg.2002.1238

Neural Substrates of Spoken Language Rehabilitation


in an Aphasic Patient: An fMRI Study
A. Léger, J-F. Démonet, S. Ruff, B. Aithamon, B. Touyeras, M. Puel, K. Boulanouar, and D. Cardebat
INSERM U 455 and Department of Neurology, CHU Purpan, Toulouse, France

Received October 23, 2002

terms of lesion localization, cognitive deficits, and ac-


Little is known about the neural counterparts of tivation tasks.
speech therapy in aphasic patients. An fMRI experi- Remediation by speech therapy can help spontane-
ment was performed before and after a specific and ous recovery of language in aphasic patients (Robey,
intensive speech output therapy in RC, a patient with 1994; Holland et al., 1996), even at the chronic stage
long-lasting speech output deficit following a left-
(Elman and Bernstein-Ellis, 1999; Katz and Wertz,
sided ischemic lesion. Overt picture naming and pic-
1997) especially when an intensive training program is
ture/word rhyming were used as activation tasks in
RC and 6 control subjects. The naming task concerned
used (Pulvermuller et al., 2001). Contradictory results
the output lexicon deficit to be rehabilitated while came from the very few studies of therapy-induced
rhyming referred to preserved levels of processing neurofunctional changes in aphasic patients. For in-
and was used to control for repetition effect. The stance left-sided activations were reported by Belin et
speech therapy program improved naming perfor- al. (1996) and Small et al. (1998) in patients who ben-
mance. By comparison to the pattern observed before efited from Melodic Intonation Therapy or a phonolog-
therapy, the naming task after therapy induced a pat- ical training of reading aloud, respectively. On the
tern of activation close to that observed in control other hand, Musso et al. (1999) demonstrated a corre-
subjects, involving left-sided language areas sur- lation between increased activity in the right temporal
rounding the lesion. Speech therapy effect was associ- cortex and comprehension scores, in Wernicke-type pa-
ated with activations in Broca’s area and the left su- tients undergoing a brief and intensive training of com-
pra-marginal gyrus, which might reflect a therapy- prehension between scanning sessions. Similarly, a
induced phonological compensatory strategy for
therapy program devoted to sentence processing was
naming. © 2002 Elsevier Science (USA)
associated with changes in the right hemisphere dur-
ing a sentence-picture matching task, in a patient de-
scribed by Thompson (2000). On the whole, these few
INTRODUCTION
results suggested that remediation might elicit activa-
Aphasia following stroke generally evolves sponta- tion in the right hemisphere whereas the left hemi-
neously toward some degree of recovery, despite per- sphere would be recruited when speech output was
sistent brain damage. Several neuroimaging studies required.
sought to evidence neural patterns related to sponta- Although group studies, when lesion and neuropsy-
neous recovery from aphasia. A crucial issue regards chological profile are controlled, offer a good context for
whether language improvement is sustained by the left evaluating the physiological changes associated with
hemisphere zones spared by the lesion or by recruit- the language improvement induced by therapy, single
ment of homologous right hemisphere regions. Indeed, case studies should be interesting as well, as both
some activation studies showed that spared perile- remediation program and activation tasks can be spe-
sional regions of the left hemisphere were the main cifically set up. In the present study, we report the case
substrate of recovery mechanisms (Heiss et al., 1999; of an aphasic patient presenting a massive speech out-
Warburton et al., 1999) whereas an involvement of the put deficit in whom we conducted a specific language
right hemisphere has been interpreted as a compensa- therapy devoted to output lexicon rehabilitation. An
tory shift of function to homologous right-sided terri- fMRI experiment including two lexical activation tasks
tories by other authors (Buckner et al., 1996; Cardebat was performed before and after therapy. In order to
et al., 1994; Ohyama et al., 1996; Thulborn et al., 1999; assess the specificity of therapy-induced brain reorga-
Weiller et al., 1995). Such a discrepancy across studies nization, one of these tasks concerned preserved levels
is probably related to the heterogeneity of patients in of processing while the other focused on the speech

1053-8119/02 $35.00 174


© 2002 Elsevier Science (USA)
All rights reserved.
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 175

output deficit to be rehabilitated. fMRI data from the was remarkably close to the normal range. A similar
patient were compared to those from 6 healthy volun- pattern was found in writing tasks.
teers who performed the same functional neuroimag- In summary, RC presented a severe expressive apha-
ing experiment. sia reflected by his impaired spoken and written lan-
We hypothesized that activation in left perilesional guage production with a relative sparing of semantic-
areas would parallel performance improvement in lexical processing and access to the phonological
speech output after intensive language therapy. lexicon. Together with impaired phonemic representa-
tions, severe auditory verbal short-term memory im-
pairment could contribute to RC’s disability in produc-
CASE HISTORY ing the correct syllable sequence involved in a word.
The patient was proposed a customized speech ther-
RC, a highly educated 42-year-old right-handed apy program lasting 6 weeks with 6 sessions per week,
man, has suffered from a left middle cerebral artery 1-h per day, which focused on speech output processes.
infarct on April 1998, after a spontaneous dissection of The method was based on visual memory, spared in
the left internal carotid. Initially, he presented a right RC, in order to teach him how to combine and produce
hemiplegia, which disappeared in a few weeks, and a the phonemes to be articulated during word produc-
severe mixed aphasia that persisted 6 months later. tion. The patient was trained to memorize “by heart”
The present study was carried out 2 years poststroke. drawings showing the articulatory gestures associated
Structural MRI (see Fig. 1), performed in 2000, dis- with the syllables of the 30 words that constituted the
closed a left hemispheric lesion in the superficial ter- material of the fMRI experiment. Various oral produc-
ritory of the middle cerebral artery. According to the tion tasks such as repetition, reading aloud, or picture
atlases from Talairach and Tournoux (1988) and Du- naming were used for training. It should be noted that
vernoy (1992), the lesion involved the posterior half of rhyming tasks were not worked out during therapy.
the insular cortex, and the posterior two-thirds of the
superior temporal gyrus (T1) sparing the Heschl’s gy- MATERIALS AND METHODS
rus. The lesion spread to the parietal opercule and the
inferior part of the supra-marginal gyrus. Cortical at- Subjects
rophy was observed in the middle part of the precentral
gyrus. RC underwent two fMRI sessions, the first one before
A general neuropsychological assessment revealed the beginning of therapy (Session 1: S1), and the sec-
no buccofacial apraxia, agnosic, or apraxic problems. ond one at the end of the therapeutic program (Session
Auditory verbal short-term memory, tested by pointing 2: S2).
to written items because of the repetition deficit, was Six healthy right-handed volunteers (5 men and 1
severely impaired (digit span: 3 forward and 2 back- woman, mean age 52.2 years), matched for education
ward). Visual and long-term memories were spared. level, were recruited as control subjects. Control sub-
The language assessment evidenced the following jects had no history of neurological or psychiatric ill-
pattern. RC’s spontaneous speech was effortful and ness. fMRI experiment was performed only once for the
displayed severe phonemic distortions leading to un- control subjects.
intelligible fragments with conduites d’approche, im- All control subjects and RC gave informed consent to
poverished use of morphological and syntactic struc- participate in the study and the local ethics committee
tures, and some word-finding difficulties. These symp- approved the study.
toms were evidenced by poor performance on word and
Stimuli, Experimental Design, and fMRI Procedure
pseudo-word repetition, reading aloud, and oral-nam-
ing tasks. All errors consisted in phonemic paraphasias Stimuli were (i) a set of 60 black and white line
that coexisted with an effortful and hesitating speech drawings of familiar objects or animals taken from the
output. The patient seemed to seek for the correct Snodgrass and Vanderwart corpus (1980) and (ii) a set
articulatory gestures to be combined to achieve oral of 60 French written frequent words typed in 40-point
production tasks. Geneva font. All the words were nouns that ranged in
By comparison to the massive deficit observed in length from 5 to 8 letters. These stimuli were included
actual speech output tasks, performance was normal under two activation conditions.
on comprehension tasks involving semantic-lexical The first one was an overt picture-naming task in-
processing or access to the output lexicon without vo- cluding the 60 pictures, half of them being used in the
calization. For example, he scored 18/24 in a task in therapy program as training material. Subjects were
which he was asked to match two pictures of homony- instructed to name the pictures overtly but to avoid
mous items among distracters (e.g., “renne” -reindeer- head movements while whispering responses.
and “reine” -queen-). Although he made occasional er- In the second condition, the same stimuli were used
rors, his performance on a picture/word rhyming task in a picture/written noun rhyming task. Subjects were
FIG. 1. An illustration of the anatomy of RC’s cerebral infarct. In the top row, RC’s brain visualized in a three-dimensional rendering of
the cortical surface obtained from structural MRI data. RC’s lesion is shown in red. In the lower rows, MRI axial contiguous slices
(thickness ⫽ 1.2 mm) parallel to the bicommissural plane (slice 0) in RC (left hemisphere shown on right) indicate the depth of the lesion.
RC’s lesion involves, in the left hemisphere, the posterior half part of the insula, the posterior two-thirds of the superior temporal gyrus, the
parietal opercule, and the inferior part of the supra-marginal gyrus and spares the Heschl’s gyrus. On slice 30 and above, a limited atrophy
is in the precentral gyrus.
176
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 177

FIG. 2. A rendering showing the regions activated for (1) the Naming task and (2) the Rhyming task of (a) the control group, (b) RC before
the speech therapy, and (c) RC after the speech therapy. The activated areas are projected onto a template of a standard MNI brain for the
control group (all areas shown were significant at P ⬍ 0.05, uncorrected for multiple comparisons and k extent ⬎ 50) and for RC, onto a
template of RC’s anatomical MRI scan (all areas shown were significant at P ⬍ 0.05, corrected for multiple comparisons and k extent ⬎ 50).

asked to say, “Yes” or “No” if the written word dis- sented). In the activation conditions, 5 stimuli per
played below the picture rhymed (e.g., picture of a block were centrally delivered via special goggles (Res-
chicken with the word “children”) or not (e.g., picture of onance Tech., Northridge, CA) during 4 s with an in-
knife with the word “hat”) with the name of the de- tersequence interval (gray screen) of 2 s.
picted object. Rhyming (15 items) and nonrhyming (15 Responses were transmitted thanks to a microphone
items) trials were presented randomly. The rhyming and recorded by the examiner.
task that included the same lexical items as the nam-
ing task was purposefully selected as control task for Imaging
two reasons. First it shared many cognitive compo-
nents with naming insofar as subjects had to retrieve MRI was performed on a 1.5-T scanner (Siemens
the phonological form of the object, but without plan- Vision, Erlangen, Germany) equipped for echo-planar
ning and producing the syllabic series involved in spo- imaging (EPI). A 3D high-resolution T 1-weighted data
ken words. Second, and most importantly, the patient set of the whole brain (3D MPRAGE; 3D magnetization
performed at normal level on the rhyming task prepared rapid acquisition gradient echo) was acquired
whereas performance on naming was known to be poor for each subject (128 slices, TR ⫽ 15 ms, TE ⫽ 7 ms, flip
before therapy. angle ⫽ 12°, FOV ⫽ 30 cm, matrix ⫽ 256 ⫻ 256, voxel
The fMRI procedure alternated Naming or Rhyming size ⫽ 1.17 ⫻ 1.17 ⫻ 1 mm 3). After sagittal localization
with rest periods in a block design with 4 runs (Naming images, 10 contiguous, 5-mm-thick, axial anatomic im-
task, run 1 and run 3, and Rhyming task, run 2 and ages were obtained parallel to the intercommissural
run 4). The duration of each block was 30 s and 1 run plane (from z ⫽ ⫺10 mm to z ⫽ ⫹35 mm).
consisted in a succession of 12 blocks alternating acti- For functional MR imaging studies, blood oxygen
vation with rest (during which a gray screen was pre- level-dependent (BOLD) imaging was performed using
178 LÉGER ET AL.

a T 2*-weighted single-shot EPI sequence (TE ⫽ 64 ms, specified. Speech-therapy effects were assessed by con-
flip angle ⫽ 90°, FOV ⫽ 22 cm, 128 ⫻ 128 matrix, TR ⫽ trasting Naming at the two sessions ([(Activation Naming-
2.95 s, 5-mm slice thickness). Each scanning run (6 Rest) RCS2 ⫺ (Activation Naming-Rest) RCS1] ⬎ 0), with an
min each, 6 blocks of activation, and 6 blocks of rest) inclusive mask (P ⫽ 0.5) corresponding to a conjunc-
thus comprises 120 image volumes (10 volumes per tion of [Activation Naming-Rest] RCS1 ⬎ 0 and [(Activa-
block of activation and 10 volumes per block of rest, tion Rhymingg⫺ Rest) RCS2 ⫺ (Activation Rhyming-Rest) RCS1] ⬎ 0.
except for the first block of rest which was discarded to This contrast was thresholded with P ⬍ 0.05 (corrected
allow for T1 stabilization and dissipation of gradient- for multiple comparisons) for peak height and k ⬎ 15
induced auditory cortical activation). for the cluster extent.

Functional MR Image Postprocessing


RESULTS
Image analysis was carried out on a SPARC work-
station (Sun Microsystems, Surrey, UK) using interac- Behavioral Results
tive image display software (Analyze, Biodynamics Re-
The mean accuracy in the 6 control subjects was
search Unit, Mayo Clinic, Rochester, MN), Matlab
94.6% for the Naming task and 94.5% for the Rhyming
(Math Works Inc., Natick, MA), and SPM99 software
task. These results suggest that the level of difficulty
(Wellcome Department of Cognitive Neurology, Lon-
for the subjects was the same in both tasks.
don, UK).
As expected, RC’s performance for the Rhyming task
EPI images were normalized into Talairach’s space
did not differ significantly from the normal subjects
using affine transformations (translations and zooms
(RC’s hit rate was 91.7% at S1 and 95% at S2).
in x and y axes), realigned, and smoothed using a
On the Naming task, at Session 1, RC scored iden-
Gaussian filter (FWHM 6-6-6 mm).
tically (6 correct/30) for trained and untrained items;
The statistical analysis involved the following steps:
however, the patient gave tentative responses to any
(i) Individual analyses were performed on each of item. At Session 2, a statistically significant improve-
the 6 control subjects and RC for both sessions, using a ment of performance was observed on naming for both
hemodynamic response function modeled by a bimodal trained (19/30) (␹ 2 corrected test ⫽ 9.87, P ⬍ 0.05) and
curve. “Main Contrasts” (Activation minus rest) for untrained items (15/30) (␹ 2 corrected test ⫽ 4.8, P ⬍
Naming and Rhyming tasks were calculated in the 0.05). Correct responses at Session 2 included all the
control group on the one hand and in RC for each correct responses produced at Session 1.
session on the other hand. For the control group, anal- Improved naming scores were also noted for items
yses were performed using a “random-effect” model not belonging to the therapy protocol, like those from
(Holmes and Friston, 1998). the DO80 battery (Deloche et al., 1997). Before the
(ii) To explore common activations in control sub- therapy and fMRI protocol, naming impairment was
jects and RC for the Main Contrasts, group analyses noted as stable (13 correct/80 on DO80 in March 1999
that involved the control subjects and RC were per- and 15 correct/80 in January 2000). By contrast, after
formed by using one-sample t tests and the random- the therapy program, RC’s hit rate increased signifi-
effect model. These analyses concerned, on the one cantly (33 correct/80, ␹ 2 ⫽ 25.64, P ⬍ 0.05).
hand, RC before therapy (S1) and RC after therapy In sum improvement of naming performance was not
(S2), on the other hand. The threshold was set up at observed for the trained items only and a general pos-
P ⬍ 0.05 for peak height, uncorrected for multiple itive effect, even for external material, was found.
comparisons, with spatial extent k ⬎ 50. fMRI contrasts combined therefore data acquired for
(iii) Similarities and differences between sessions 1 both trained and untrained naming stimuli.
and 2 in RC were studied by conjunction and interac-
tion analyses using Main Contrasts (activation minus
fMRI Data
rest) for Naming and Rhyming tasks.
Naming Versus Rest and Rhyming Versus Rest
Areas activated by RC in Session 2 but not in Session
1 were identified by compound contrasts as follows Control group (see Fig. 2). Activation patterns for
[(Activation-Rest) RCS2 ⫺ (Activation-Rest) RCS1] ⬎ 0. An naming included the thalamus bilaterally. Areas acti-
inclusive mask (with [Activation-Rest] RCS1 ⬎ 0) was vated unilaterally were the left inferior frontal gyrus
used to avoid the selection of significant voxels due to (BAs 44 and 46), the left insular cortex, the left junc-
deactivations (threshold mask P ⬍ 0.5). The same pro- tion of the middle temporal gyrus, and the middle
cedure was used to obtain the inverse contrast. Statis- occipital gyrus (BA 19), the left inferior temporal gyrus
tical threshold for activated clusters was set at P ⬍ (BA 37), the left posterior superior temporal gyrus (BA
0.05 (corrected for multiple comparisons) for peak 42, 22), the left visual association areas (BA 19), and
height and k ⬎ 50 for cluster extent, unless otherwise the right inferior frontal gyrus (BA 44).
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 179

TABLE 1
Common Activations for Control Group and RC in (a) Naming and (b) Rhyming Tasks: Stereotaxic Coordinates, Z Values,
and Corresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Significantly Activated at Session 1 (S1) and Session 2 (S2)

S1 S2

Regions BA (k) x y z Z BA (k) x y z Z

(a). Common activations for control group and RC in naming

Left inferior frontal BA 44 (528) ⫺42 10 25 3.51 BA 44 (490) ⫺42 12 25 3.76


Left insula (290) ⫺50 0 5 3.01
Right insula (94) 32 10 10 3.30 (204) 50 6 10 3.40
Left superior temporal BA 42 (105) ⫺50 ⫺22 10 3.50 BA 42 (111) ⫺50 ⫺24 10 3.41
Left middle occipital BA19 BA19 (91) ⫺46 ⫺56 ⫺5 3.13
Left thalamus (160) ⫺14 ⫺20 15 4.10 (189) ⫺14 ⫺20 15 3.90
Right thalamus (494) 28 18 10 3.40

(b). Common activations for control group and RC in Rhyming

Left inferior frontal BA 44 (512) ⫺42 24 10 3.70 BA 44 (426) ⫺46 14 25 3.98


BA 45 (212) ⫺42 14 25 3.38
Right inferior frontal BA 46 (206) 42 28 20 2.93
Right insula (299) 40 18 15 3.05 (106) 36 10 0 2.67
Left supra-marginalis BA 40 (111) ⫺44 ⫺42 30 2.89
Left inferior parietal BA 40 (61) ⫺54 ⫺48 25 2.27
Left middle occipital BA 19 (54) ⫺30 ⫺76 5 2.66
Left inferior occipital BA 18 (64) ⫺38 ⫺72 ⫺5 2.52 BA 18 (65) ⫺42 ⫺68 0 3.08
Right lingual BA 18 (142) 32 ⫺80 ⫺5 3.71
Left thalamus (98) ⫺4 ⫺22 10 3.12
Right thalamus (60) 2 ⫺34 5 3.69

Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxel
extent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P ⬍ 0.05 for peak height
(uncorrected for multiple comparisons) and k ⬎ 50 for spatial extent.

For Rhyming, activations were found bilaterally in For Rhyming, activations were located in the left
the frontal opercula (BA 44). Areas activated unilater- frontal operculum (BA 44), left inferior temporal gyrus
ally were the left supra-marginal gyrus (BA 40), left (BA 37), and left supra-marginal gyrus (BA 40) and in
inferior temporal gyrus (BA 37, 19), left hippocampus, the right insular cortex, the right angular gyrus (BA
left thalamus, the right insular cortex, and the right 39), and right association visual areas (BA 18).
visual association areas (BA 18).
RC at Session 1 (see Fig. 2). For Naming, activa- Common Activations for Control Group and RC
tions were located in the left inferior frontal gyrus (BA before Therapy
44, 45), left cingular cortex (BA 24), the right superior Naming (see Table 1). Common activations for Con-
temporal gyrus (BA 22), right supra-marginal gyrus trol group and RC S1 were found in the left frontal
(BA 40), and left and right visual association areas (BA
operculum (BA 44), the spared portion of the left supe-
18, 19).
rior temporal gyrus (BA 42), the right insular cortex,
For Rhyming, activations showed a bilateral pattern
and the thalamus bilaterally.
including the frontal opercula (BA 44, 45, 46), the
precentral gyri (BA 6), and the visual association cor- Rhyming (see Table 1). Common activations for
tices (BA 18, 19) in addition to the left inferior tempo- Control group and RC s1 were found in left inferior
ral cortex (BA 37), the right angular gyrus (BA 39), and frontal lobe (BA 44 – 45), left association visual area
the right insular cortex. (BA 18), and right insular cortex.
RC at Session 2 (see Fig. 2). For Naming, main
Common Activations for Control Group and RC
contrast showed activations in the insular cortex, the
after Therapy
superior temporal area (BA 22), and the supra-mar-
ginal gyrus (BA 40) and in the association visual cortex Naming (see Table 1). Areas that were activated by
(BA 18) bilaterally. Activations restricted to the left Control subjects and RC S2 revealed significant activa-
hemisphere were found in Broca’s area (BA 44) and the tions in the left thalamus, the left insular cortex, the
thalamus. left frontal operculum (BA 44), the spared portion of
180 LÉGER ET AL.

TABLE 2
Comparison between RC after Therapy (RC S2) and RC before Therapy (RC S1): Stereotaxic Coordinates, Z scores, and
Corresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Activated Significantly in (a) RC before (RC S1) and after Therapy (RC S2);
(b) RC S2 but Not RC S1; (c) RC S1 but Not RC S2 in Naming and Rhyming Tasks

Naming Rhyming

Regions activated BA (k) x y z Z BA (k) x y z Z

(a) Common activations for RC S2 and RC S1

Left inferior frontal BA 44 (84) ⫺48 10 15 8.24 BA 46 (116) ⫺36 24 25 7.58


Right inferior frontal BA 46 (65) 38 28 20 6.10
Left precentral BA 6 (124) ⫺54 0 15 8.65 BA 6 (216) ⫺54 ⫺2 15 8.58
Right precentral BA 6 (328) 44 ⫺6 25 8.40
Right insula BA19 (209) 52 4 5 8.35
Left superior temporal BA 22 (60) ⫺32 ⫺40 15 6.33
Right superior temporal BA 22 (409) 52 ⫺48 15 9.17
Right angular/superior BA (99) 28 ⫺60 30 8.82
Occipital 39/19

(b) RC S2 but not RC S1

Left inferior frontal BA 44 (30) ⫺50 8 25 6.07


Left supra-marginalis BA 40 (27) ⫺36 ⫺46 35 7.80

(c) RC S1 but not RC S1

Left precentral BA 6 (33) ⫺52 0 30 9.38 BA 6 (32) ⫺48 ⫺2 30 6.74


Left middle occipital BA 19 (37) ⫺34 ⫺80 10 6.44
Right lingual BA 18 (32) 18 ⫺68 5 5.97 BA 18 (28) 6 ⫺70 0 7.65
Right cuneus BA 31 (120) 20 ⫺76 10 8.72

Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxel
extent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P ⬍ 0.05 for peak height
(corrected for multiple comparisons) and k ⬎ 50 for spatial extent for (a) and k ⬎ 15 for (b), (c), and (d).

the left superior temporal gyrus (BA 42), and the left Rhyming (see Table 2). Common activations be-
association visual cortex (BA 19) as well as the right tween RC S1 and RC S2 were found mainly in the inferior
insular cortex. frontal cortex (BA 46) and in the precentral gyrus (BA 6)
Rhyming (see Table 1). RC S2 and Control subjects bilaterally, and in the junction between the right angular
activated in common bilaterally the inferior frontal gyrus and the superior occipital gyrus (BA 39/19).
gyrus (BA 44 – 46), the association visual areas (BA No difference was found in terms of areas signifi-
18 –19), and the thalamus, in addition to the superior cantly activated by RC at S2 but not at S1. The oppo-
part of the left supra-marginal gyrus (BA 40), the left site contrast, revealing areas activated by RC at S1 but
inferior parietal lobule (BA 40), and the right insular not at S2, showed activations in the left precentral
cortex. gyrus (BA 6), and bilaterally in the association visual
areas (left BA 19, right BA 18, and right BA 31).
Comparison between RC S2 and RC S1 Speech-Therapy Effect. As noted under Materials
Naming (see Table 2). Common activations for RC and Methods, speech-therapy effects were assessed by
at Sessions 2 and 1 were found in the superior tempo- contrasting Naming at the two sessions (NamingS2 ⫺
ral gyrus (BA 22) bilaterally, the left inferior frontal NamingS1 ⬎ 0), with an inclusive mask (P ⫽ 0.5)
gyrus (BA 44), the left precentral gyrus (BA 6), and the corresponding to a conjunction of NamingS1 ⬎ 0 and
right insular cortex. RhymingS2 ⫺ RhymingS1 ⬎ 0 in order to prevent for
Regions activated by RC at Session 2 but not at effects of deactivations in Naming and account for a
Session 1 were found in the left inferior frontal gyrus possible task repetition. Analysis demonstrated speech-
(BA 44) and in the superior part of the left supra- therapy-induced activations in the superior posterior
marginal gyrus (BA 40). part of the left supra-marginal gyrus (BA 40) (k ex-
Conversely, areas activated by RC at Session 1 but tent ⫽ 18; coordinates x ⫽ ⫺34, y ⫽ ⫺44, z ⫽ 35; z
not at Session 2 were located in the upper part of the score ⫽ 6.51) and in the upper part of Broca’s area (BA
left precentral gyrus (BA 6), and in the right associa- 44) (k extent ⫽ 28; coordinates: x ⫽ ⫺50, y ⫽ 8, z ⫽ 25;
tion visual areas (BA 18). z score ⫽ 6.07)
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 181

DISCUSSION tivations, particularly in Broca’s area (BA 44 – 45) and


supra-marginal gyrus (BA 40).
The purpose of this study was to investigate in an Activations for rhyming in RC are readily compara-
aphasic patient the neurofunctional changes that ac- ble to those found in control subjects since the patient’s
company behavioral modifications after a language performance was normal and stable between sessions.
therapy, specifically devoted to speech output process- Two main findings emerged from these results.
ing, even 2 years after stroke onset. We hypothesized Despite close to ceiling performance on both ses-
that speech output improvement would be associated sions, the activation pattern observed after therapy in
with peri-infarct activity in the left hemisphere. RC did not remain stable as a decrease of activity was
noted at S2 compared to S1 in frontal areas bilaterally
Aphasia Features and Speech Therapy Effects and right temporo-occipital areas. This finding might
correspond to a test-retest effect that has been shown
The major speech output deficit with phonemic er-
to induce diminished activations following practice, in
rors, the severe deficit of auditory verbal working
normal subjects and in several experimental circum-
memory, and the sparing of word comprehension are in
stances (e.g., Raichle et al., 1994; Carel et al., 2000). In
agreement with conduction aphasia profile (Goodglass,
the present study it is difficult to reach a definite
1992). But, at variance with typical features of conduc-
conclusion on this matter, as we did not assess test-
tion aphasia, RC speech output appears unstable, ef-
retest effects in the control subjects.
fortful, and hesitating when attempting to repeat
Moreover, the rhyming pattern of activation in RC at
words. This speech output deficit could be compatible
S2 tended to resemble that observed in normal subjects
with a clinical profile of apraxia of speech (Hardcastle,
as the number of regions that are activated in common
1987; Kent and Rosenbek, 1983). A recent study by
by RC and control subjects increased. In particular, a
Wise et al. (2001) emphasized the role of the left pari-
common activation was found in the (spared) superior
eto-temporal junction, deep within the lateral sulcus,
part of the left supra-marginal gyrus. The role of this
in speech production, and the infarction of this region
region for phonological processing in control subjects
in our patient could account for the speech production
has been emphasized in several studies (Démonet et
deficit we observed.
al., 1996; Paulesu et al., 1993; Salmon, 1996; Schuma-
RC’s deficit seemed to concern mainly planning and
cher, 1996). Since RC showed normal performance on
articulation of the syllable series that constitute spo-
this task even at Session 1, one may speculate that the
ken words. The speech therapy program performed in
left supra-marginal gyrus, at least its inferior part, was
this study focused on this deficit and was based on the
not necessary to this Rhyming task for the patient
methods used for remediation of apraxia of speech
(Price et al., 1999). Nevertheless improvement of nam-
(Pannbacker, 1988; Wambaugh et al., 1998). This pro-
ing after speech therapy might have eased the Rhym-
gram induced a significant improvement not only for
ing task for RC who could resort to less effortful strat-
trained items but also for nontrained stimuli, suggest-
egies possibly associated with close-to-normal pattern
ing a general beneficial effect. Moreover, this positive
of activation.
therapeutic effect remained very stable with time,
For Naming, the neuro-functional results in RC lend
since 1 year after this experiment, RC obtained the
support to the already noted hypothesis of a key role
same scores in the Naming tests.
for left peri-lesional areas in the mechanisms of recov-
ery from aphasia. Indeed, after therapy the “Naming–
Functional Neuroimaging Results
rest” contrast revealed that, in addition to frontal and
In control subjects the brain regions activated during temporal regions activated before therapy, left-sided
the picture-naming task involved a large pattern in- regions surrounding the lesion became activated,
cluding mainly left frontal, insular, and temporal/oc- namely the anterior insular cortex, the middle portion
cipital areas in addition to the right inferior frontal of the superior temporal gyrus, the superior part of the
cortex and to the left and right thalami and are con- supra-marginal gyrus.
sistent with many prior studies (Sergent et al., 1992; The left anterior insula has been implicated in
Bookheimer et al., 1995; Kosslyn et al., 1995; Damasio speech production and planning both in lesion studies
et al., 1996; Martin et al., 1996; Menard et al., 1996; (Dronkers, 1996) and in functional neuro-imaging
Moore and Price, 1999; Murtha et al., 1996; Murtha et studies (Wise et al., 1999) and this region might play a
al., 1999). role in our experiment as speech therapy in RC en-
Considering the Rhyming task, there are many sim- hanced articulatory planning in speech production.
ilarities between the regions activated by normal sub- The activation found in the superior temporal gyrus, a
jects in our study, and those described in other fMRI region adjacent to the posterior part of the damaged
studies using the silent Rhyming task (Kareken et al., tissues, is congruent with previous reports on good
2000; Lurito et al., 2000). These studies have shown recovery associated with sparing of this region (Selnes
bilateral but predominantly left-sided peri-sylvian ac- et al., 1985; Naeser et al., 1987, 1990; Heiss et al.,
182 LÉGER ET AL.

1999). Nevertheless, activation in homologous right patterns including an increase of activity in some re-
temporal regions was also observed in RC in both ses- gions. Such altered patterns might correspond to the
sions. The role of the right hemisphere in aphasic pa- influence of the sublexical, phonological strategy that
tients while recovering has long been underlined and has been implemented by a dedicated program of
discussed. Its impact may vary across time (Knopman speech therapy.
et al., 1983) and language functions (Musso et al.,
1999). In the present study, the activity in the right ACKNOWLEDGMENTS
temporal cortex does not seem essential for recovery of
Naming as it was present on the first session associ- We thank Patrice Peran and Sandra Lé for their helpful assis-
tance. This work was supported by grants from the French Cogni-
ated with poor performance. However a complete right- tique Program-MENRT n° 1A012F (1999), and from the CEE Grant
to-left functional shift was not observed even after QLK6-CT-1999-02140.
therapeutic performance improvement and this incom-
plete shift in RC might correspond to an unachieved REFERENCES
language recovery (Belin et al., 1996).
Among the left-sided set of regions activated in Nam- Belin, P., Van Eeckhout, P., Zilbovicius, M., Remy, P., Francois, C.,
Guillaume, S., et al. 1996. Recovery from nonfluent aphasia after
ing after therapy, the comparison for Naming between melodic intonation therapy: A PET study. Neurology 47: 1504 –1511.
the two sessions in RC evidenced the importance of the Bookheimer, S. Y., Zeffiro, T. A., Blaxton, T., Gaillard, W., and
upper parts of Broca’s area and left supra-marginal Theodore, W. 1995. Regional cerebral blood flow during object
gyrus since these regions remained activated even naming and word reading. Hum. Brain Mapp 3: 93–106.
when possible repetition effects were taken into ac- Buckner, R. L., Bandettini, P. A., O’Craven, K. M., Savoy, R. L.,
count. By comparison to activation seen before therapy Petersen, S. E., Raichle, M. E., et al. 1996. Detection of cortical
in Broca’s area, activation in this region after therapy activation during averaged single trials of a cognitive task using
functional magnetic resonance imaging. Proc. Natl. Acad. Sci.
spread toward the upper part of pars opercularis which USA 93: 14878 –14883.
might be associated with sublexical output processing Cardebat, D., Demonet, J. F., Celsis, P., Puel, M., Viallard, G., and
(Paulesu et al., 1997). The left supra-marginal gyrus Marc-Vergnes, J. P. 1994. Right temporal compensatory mecha-
was found activated for Naming only in RC after ther- nisms in a deep dysphasic patient: A case report with activation
apy and it is noticeable that the parietal region does study by SPECT. Neuropsychologia 32: 97–103.
not belong to the normal neuro-functional pattern for Carel, C., Loubinoux, I., Boulanuar, K., Manelfe, C., Rascol, O.,
Celsis, P., and Chollet, F. 2000. Neural substrate for the effects of
Naming tasks as shown by the present study as well as
passive training on sensory motor cortical representation: A study
most of studies analyzed by Murtha et al. (1999). To- with functional magnetic resonance imaging in healthy subjects.
gether with Broca’s area, the left supra-marginal gyrus J. Cereb. Blood Flow Metab. 20: 478 – 484.
has long been associated with phonological processing Chollet, F. 2000. Plasticity of the adult human brain. In Brain
and phonological working memory. More specifically a Mapping: The Systems, pp. 621– 638. Academic Press, San Diego.
meta-analysis from Démonet and colleagues (1996) Damasio, H., Grabowski, T. J., Tranel, D., Hichwa, R. D., and
emphasized the role of the supra-marginal gyrus in Damasio, A. R. 1996. A neural basis for lexical retrieval. Nature
380: 499 –505.
phonological storage whereas the superior part of Bro-
De Renzi, E., and Vignolo, L. 1962. The token test: A sensitive test to
ca’s area was linked to verbal rehearsal for tasks re- detect receptive disturbances in aphasics. Brain 85: 665– 678.
quiring phonological awareness and involving verbal Deloche, G., Hannequin, D., Dordain, M., Metz-Lutz, M. N., Kremin,
working memory. The speech therapy program used in H., Tessier, C., et al. 1997. Diversity of patterns of improvement in
RC purposefully resorted to enhancement of phonolog- confrontation naming rehabilitation: Some tentative hypotheses.
ical and articulatory awareness and the specific acti- J. Commun. Disord. 30: 11–21; quiz 21–22.
vations of Broca’ s area and left supra-marginal gyrus Démonet, J. F., Fiez, J. A., Paulesu, E., Petersen, S. E., and Zatorre,
are likely to reflect the reinforcement of phonological R. J. 1996. PET Studies of phonological processing: A critical reply
to Poeppel. Brain Lang. 55: 352–379.
strategies in RC while Naming.
Dronkers, N. F. 1996. A new brain region for coordinating speech
In conclusion this study reflects changes in left-sided articulation. Nature 384: 159 –161.
cortical activity associated with language output im- Duvernoy, H. M. 1992. Le cerveau humain. Springer-Verlag, Paris.
provement after intensive speech therapy at a late Elman, R. J., and Bernstein-Ellis, E. 1999. The efficacy of group
stage. At variance with studies showing enlargement communication treatment in adults with chronic aphasia. J.
of cortical representations in the sensorimotor cortex Speech Lang. Hear. Res. 42: 411– 419.
in studies of motor recovery (Chollet, 2000), the acti- Goodglass, H. 1992. Diagnostic of conduction aphasia. In Conduction
vation pattern observed during Naming after therapy Aphasia (S. E. Kohn, Ed.), pp. 39 – 49. Erlbaum, Hillsdale, NJ.
in RC does not recruit the same network as that ob- Hardcastle, W. J. 1987. Electropalatographic study of articulation
served in control subjects. As already noted, a limita- disorders in verbal dyspraxia. In Phonetic Approaches to Speech
Production in Aphasia and Related Disorders (J. H. Ryalls, Ed.),
tion of this study is the absence of test-retest assess- College-Hill Press, Boston.
ment in control subjects. However, this effect generally Heiss, W. D., Kessler, J., Thiel, A., Ghaemi, M., and Karbe, H. 1999.
consists of decreases of activation whereas the therapy Differential capacity of left and right hemispheric areas for com-
effect in RC is associated with alterations of activation pensation of poststroke aphasia. Ann. Neurol. 45: 430 – 438.
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 183

Holland, A. L., Fromm, D. S., DeRuyter, F., and Stein, M. 1996. Pannbacker, M. 1988. Management strategies for developmental
Treatment efficacy: Aphasia. J. Speech Hear. Res. 39: S27–S36. apraxia of speech: A review of literature. J. Commun. Disord. 21:
Holmes, A. P., and Friston, K. J. 1998. Generalisability, random 363–371.
effects and population inference. NeuroImage 7: S754. Paulesu, E., Frith, C. D., and Frackowiak, R. S. 1993. The neural
Kareken, D. A., Lowe, M., Chen, S. H., Lurito, J., and Mathews, V. correlates of the verbal component of working memory. Nature
2000. Word rhyming as a probe of hemispheric language domi- 362: 342–345.
nance with functional magnetic resonance imaging. Neuropsychi- Paulesu, E., Goldacre, B., Scifo, P., Cappa, S. F., Gilardi, M. C.,
atry Neuropsychol. Behav. Neurol. 13: 264 –270. Castiglioni, I., Perani, D., and Fazio, F. 1997. Functional hetero-
Katz, R. C., and Wertz, R. T. 1997. The efficacy of computer-provided geneity of left inferior frontal cortex as revealed by fMRI. Neuro-
reading treatment for chronic aphasic adults. J. Speech Lang. report 8: 2011–2017.
Hear. Res. 40: 493–507. Price, C. J., Mummery, C. J., Moore, C. J., Frakowiak, R. S., and
Kent, R. D., and Rosenbek, J. C. 1983. Acoustic patterns of apraxia Friston, K. J. 1999. Delineating necessary and sufficient neural
of speech. J. Speech Hear. Res. 26: 231–249. systems with functional imaging studies of neuropsychological
Knopman, D. S., Rubens, A. B., Selnes, O. A., Klassen, A. C., and patients. J. Cogn. Neurosci. 11: 371–382.
Meyer, M. W. 1984. Mechanisms of recovery from aphasia: Evi- Pulvermuller, F., Neininger, B., Elbert, T., Mohr, B., Rockstroh, B.,
dence from serial xenon 133 cerebral blood flow studies. Ann. Koebbel, P., et al. 2001. Constraint-induced therapy of chronic
Neurol. 15: 530 –535. aphasia after stroke. Stroke 32: 1621–1626.
Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., and Thompson, C. K. 1995. Identifying Raichle, M. E., Fiez, J., Videen, T., Macleod, A., Pardo, J., Fox, P.,
objects at different levels of hierarchy: A positron emission tomog- and Petersen, S. 1994. Practice-related changes in human brain
raphy study. Hum. Brain Mapp. 3: 107–132. functional anatomy during nonmotor learning. Cereb. Cortex 4:
Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., Thompson, W. L., Chabris, C. F., 8 –26.
Rauch, S. L., and Anderson, A. K. 1994. Identifying objects seen Robey, R. R. 1994. The efficacy of treatment for aphasic persons: A
from different viewpoints. A PET investigation. Brain 117: 1055–
meta-analysis. Brain Lang. 47: 582– 608.
1071.
Salmon, E., Van der Linden, M., Gillette, F., Delfiore, G., Maquet, P.,
Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P., Lendrem, W., Jones, A. C.,
Degueldre, C., Luxen, A., and Franck, G. 1996. Regional brain
and Mitchell, J. R. 1984. Effectiveness of speech therapy for apha-
activity during working memory tasks. Brain 119: 1617–1625.
sic stroke patients. A randomised controlled trial. Lancet 1: 1197–
1200. Selnes, O. A., Knopman, D. S., Niccum, N., and Rubens, A. B. 1985.
Lurito, J. T., Kareken, D. A., Lowe, M. J., Chen, S. H., and Mathews, The critical role of Wernicke’s area in sentence repetition. Ann.
V. P. 2000. Comparison of rhyming and word generation with Neurol. 17: 549 –557.
FMRI. Hum. Brain Mapp. 10: 99 –106. Sergent, J., Ohta, S., and MacDonald, B. 1992. Functional neuro-
Martin, A., Wiggs, C. L., Ungerleider, L. G., and Haxby, J. V. 1996. anatomy of face and object processing. A positron emission tomog-
Neural correlates of category-specific knowledge. Nature 379: raphy study. Brain 115: 15–36.
649 – 652. Small, S. L., Flores, D. K., and Noll, D. C. 1998. Different neural
Menard, M. T., Kosslyn, S. M., Thompson, W. L., Alpert, N. M., and circuits subserve reading before and after therapy for acquired
Rauch, S. L. 1996. Encoding words and pictures: A positron emis- dyslexia. Brain Lang. 62: 298 –308.
sion tomography study. Neuropsychologia 34: 185–194. Snodgrass, J. G., and Vanderwart, M. 1980. A standardized set of
Moore, C. J., and Price, C. J. 1999. Three distinct ventral occipito- 260 pictures: Norms for name agreement, image agreement, famil-
temporal regions for reading and object naming. NeuroImage 10: iarity, and visual complexity. J. Exp. Psychol. [Hum. Learn.] 6:
181–192. 174 –215.
Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., Dixon, R., and Evans, A. Talaraich, P., and Tournoux, J. 1988. A Stereotactic Coplanar Atlas
1996. Anticipation causes increased blood flow to the anterior of the Human Brain. Thieme, Stuttgart.
cingulate cortex. Hum. Brain Mapp. 4: 103–112. Thompson, C. K. 2000. The neurobiology of language recovery in
Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., and Evans, A. 1999. The aphasia. Brain Lang. 71: 245–248.
neural substrate of picture naming. J. Cogn. Neurosci. 11: 399 – Thulborn, K. R., Carpenter, P. A., and Just, M. A. 1999. Plasticity of
423. language-related brain function during recovery from stroke.
Musso, M., Weiller, C., Kiebel, S., Muller, S. P., Bulav, P., and Stroke 30: 749 –754.
Rijntjes, M. 1999. Training-induced brain plasticity in aphasia. Wambaugh, J. L., Kalinyak-Fliszar, M. M., West, J. E., and Doyle,
Brain 122: 1781–1790. P. J. 1998. Effects of treatment for sound errors in apraxia of
Naeser, M. A., Gaddie, A., Palumbo, C. L., and Stiassny-Eder, D. speech and aphasia. J. Speech Lang. Hear. Res. 41: 725–743.
1990. Late recovery of auditory comprehension in global aphasia.
Warburton, E., Price, C. J., Swinburn, K., and Wise, R. J. 1999.
Improved recovery observed with subcortical temporal isthmus
Mechanisms of recovery from aphasia: Evidence from positron
lesion vs Wernicke’s cortical area lesion. Arch. Neurol. 47: 425–
emission tomography studies. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 66:
432.
155–161.
Naeser, M. A., Helm-Estabrooks, N., Haas, G., Auerbach, S., and
Srinivasan, M. 1987. Relationship between lesion extent in ‘Wer- Weiller, C., Isensee, C., Rijntjes, M., Huber, W., Muller, S., Bier, D.,
nicke’s area’ on computed tomographic scan and predicting recov- et al. 1995. Recovery from Wernicke’s aphasia: A positron emission
ery of comprehension in Wernicke’s aphasia. Arch. Neurol. 44: tomographic study. Ann. Neurol. 37: 723–732.
73– 82. Wise, R. J., Greene, J., Buchel, C., and Scott, S. K. 1999. Brain
Ohyama, M., Senda, M., Kitamura, S., Ishii, K., Mishina, M., and regions involved in articulation. Lancet 353: 1057–1061.
Terashi A. 1996. Role of the nondominant hemisphere and undam- Wise, R. J. S. S., Blank, S. C., Mummery, C. J., Murphy, K., and
aged area during word repetition in poststroke aphasics. A PET Warburton, E. A. 2001. Separate neural subsystems within ‘Wer-
activation study. Stroke 27: 897–903. nicke’s area’. Brain 124: 83–95.
Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited without
permission.
Tinjauan Pustaka

Rehabilitasi Stroke pada


Pelayanan Kesehatan Primer

Rosiana Pradanasari Wirawan

SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta

Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak
kedua pada individu usia di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya
yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar
mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien
mendapat kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan.
Sebagian besar disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar
tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dan kronis dapat ditangani
melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak
kepada perburukan kondisi dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,
diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer
sangat penting perannya.
Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 61


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Stroke Rehabilitation in Primary Health Care

Rosiana Pradanasari Wirawan

Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta

Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most
cause of disability for individual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden
and very costly. Post-stroke patient therefore need a medical rehabilitation intervention, which
enable them to take care of themselves and do their own daily activity without being a burden to
their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their rehabili-
tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical
rehabilitation facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic
phase could also be managed by simple procedures without using a sophisticated apparatus.
Focusing on preventing of the complication of immobilization that could make the condition
became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the
patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.
Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.

Pendahuluan berulang (secondary prevention). Komplikasi tirah baring


Baik di negara maju maupun berkembang, beban yang dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan
ditimbulkan stroke sangat besar. Stroke merupakan penyebab menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa
kematian kedua terbanyak di negara maju dan ketiga kepada kematian.
terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO
tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2
di dunia.1 Dari data yang dikumpulkan oleh American Heart
Tidak dapat Dapat dimodifikasi Potensial
Association tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal dimodifikasi dimodifikasi
akibat stroke.
Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering Usia Hipertensi Obesitas
meninggalkan kecacatan dibandingkan kematian. Stroke Jenis kelamin Diabetes mellitus Inaktivitas fisik
Ras Hiperkolesterolemia Hiperhomosisteinemia
merupakan penyebab kecacatan kedua terbanyak di seluruh Hereditas Atrial fibrilasi Kondisi hiperkoagulitas
dunia pada individual di atas 60 tahun.1 Beban biaya yang Merokok Kontrasepsi oral terapi
ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain bagi pasien stenosis karotis hormonal pengganti
dan keluarganya, juga bagi negara. Kondisi ini belum (asimptomatik) Proses inflamasi
Penyakit sel sabit Alkohol berlebihan
memperhitungkan beban psikososial bagi keluarga yang Abuse obat-obatan
merawatnya.
Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat
penting. Upaya pencegahan antara lain berupa kontrol Sindrom Stroke
terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan perilaku hidup Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu
yang sehat (primary prevention). Bagi pasien yang telah hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)
mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada bagian
sangat penting untuk mengembalikan pasien pada otak yang sirkulasinya terganggu. Secara umum stroke
kemandirian mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas memberikan gambaran klinis dengan pola yang khas, dengan
kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi keluarganya. variasi secara individual tergantung pada ukuran pembuluh
Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran darah ke otak.
mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke (Tabel 3 dan 4.)

62 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Tabel 2. Patomekanisme Stroke Akut 2 dan menggunakan tangga.


World Health Organization (WHO) pada tahun 1980
Patomekanisme Persentase
memperkenalkan The International Classification of Impair-
Iskemik 85% ments, Disabilities and Handicaps (ICIDH) sebagai model
Trombotik 60% rehabilitasi.5-8
Embolik 20% Model ini membagi kondisi sakit dalam 4 level berbeda
Lain-lain 5%
Hemoragik 15% yaitu:
Intraserebral 10% a. Patologi (penyakit)
Subarakhnoid 5% Patologi sinonim dengan penyakit atau diagnosis,

Tabel 3. Sindrom Stroke Iskemik 3

Sirkulasi tergganggu Sensomotorik Gejala klinis lain

Sindrom Sirkulasi anterior


A. Serebri media (total) Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat Afasia global (hemisfer dominan) Hemi-neglect
dari tungkai) hemihipestesia kontralateral (hemisfer non-dominan), agnosia, defisit visuo-
spassial apraksia, disfagia
A. Serebri media (bagian atas) Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat Afasia motorik (hemisfer dominan)
dari tungkai)hemiestesia kontralateral Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemia-
nopsia, disfagia
A. Serebri media (bagian bawah) Tidak ada gangguan Afasia sensorik (hemisfer dominan)
Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)
Kontruksional apraksia
A. Serebri media dalam Hemiparese kontralateral Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)
Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali Visual dan sensoris neglect sementara. (hemisfer
non-dominan)
A. Serebri anterior Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih berat dari Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia
lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan) (hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan
personalitas Inkontinensia urin dan alvi
Sindrom sirkulasi posterior
A. Basilaris (total) Kuadriplegia. Sensoris umumnya normal Gangguan kesadaran sampai ke sindrom lock-in
Gangguan saraf kranial yang menyebabkan diplopia,
disartria, disfagia, disfonia.
Ganggguan emosi
A. Serebri posterior Hemiplegia sementara, berganti dengan pola gerak Gangguan lapang pandang bagian sentral,
chorea pada tangan.hipestesia atau anestesia Prosopagnosia, Aleksia
terutama pada tangan
Pembuluh darah kecil
Lacunar Infark Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni
Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand

Stroke hemoragik memiliki sejumlah penyebab. Ada 4 Tabel 4. Sindrom Hemoragik 4


tipe yang paling umum, yaitu perdarahan hipertensif Area yang terkena Sensomotorik Gejala Klinis lain
intrakranial, ruptur aneurisma sakular, perdarahan dari AVM
(arteriovenous malformation) dan perdarahan spontan di Putamen
daerah lobus. (apsula interna, basal Hemiplegia kontra- Stupor/Koma dengan
ganglia) lateral kompresi batang otak
krigiditas deserebrasi
Gangguan Fungsi akibat Stroke Talamus
Dalam rehaebilitasi medis, istilah fungsi merujuk pada (talamus, kapsula Hemiplegia kontra- Afasia (hemisfer
interna) lateral dominan)
kemampuan/ketrampilan seseorang untuk melakukan
Gangguan sensoris Gangguan lapangan
aktivitas sehari-hari, aktivitas hiburan atau hobi, pekerjaan, berat semua modalitas pandang
interaksi sosial dan perilaku lain yang dibutuhkan. Aktivitas Sindrom Horner
sehari-hari seseorang tentu sangat luas, individu yang satu Pontin
(pons, batang otak, Kuadriparesis, kua- Sindroma lock in
berbeda dengan individu lain. Aktivitas sehari-hari yang
midbrain) driplegia Rigiditas deserebrasi
perlu dinilai adalah kemampuan dasar dalam melakukan Serebelum Hemiparesis ringan Vertigo/dizziness,
aktivitas perawatan diri sendiri yaitu makan-minum, mandi, gangguan koordinasi, Nausea, vomiting
berpakaian, berhias, menggunakan toilet, kontrol buang air ataksia Nystagmus Disfagia,
disartria
kecil dan besar, berpindah tempat (transfer), mobilitas-jalan,

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009 63


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

didefinisikan sebagai kerusakan atau proses abnormal Health condition


yang terjadi di dalam organ atau sistem organ tubuh. (Disorder or Disease)
(Disorder or Disease)
Contoh patologi: stroke non-hemoragik yang di-
sebabkan oleh trombosis, hipertensi, diabetes mellitus,
dan sebagainya.
Body functions Activities Participation
1. Impairment (gangguan organ atau fungsi organ) and structure
Impairments merupakan akibat langsung dari patologi,
didefinisikan sebagai hilang atau terganggunya struktur
atau fungsi anatomis, fisiologis, atau psikologis tubuh.
Contoh impairment adalah hemiparesis, afasia, disartria,
disfagia, depresi dan lain sebagainya. Environmental Personal
factors factors
2. Disability (ketidakmampuan)
Disability didefinisikan sebagai keterbatasan atau Gambar 1. Rehabilitation Model: ICF7
hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas yang
umum dapat dilakukan oleh orang lain yang normal Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme
karena impairment yang dideritanya. Contoh disabil- yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area
ity: adalah ketidak mampuan berjalan (akibat hemipare- penumbra yang berada di sekitar area infark yang se-
sis), ketidakmampuan berkomunikasi (akibat afasia, sungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya
disatria) atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak
sendiri seperti berpakaian (akibat hemiparesis, gangguan digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan
kognitif, gangguan sensoris dan lain-lain) pemulihan neurologis yang terjadi.
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih
3. Handicap (keterbatasan dalam peran) dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam
Handicap atau kecacatan merupakan suatu konsekuensi 3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi
sosial dari penyakit, didefinisikan sebagai terganggu fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan
atau terbatasnya kemampuan aktualisasi diri dan untuk kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang
berperan secara sosial, budaya, ekonomi dalam keluarga optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan
dan lingkungan bagi individual tertentu akibat impair- pada proses reorganisasi atau plastisitas otak melalui:
ment dan disability yang dideritanya. Contoh handi-
cap adalah ketidakmampuan berperan sebagai ayah 1. Proses Substitusi
bermain dengan anaknya (karena hemiparesis yang Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang
menyebabkannya sulit bergerak atau berjalan), tidak diberikan melalui terapi latihan menggunakan berbagai
dapat bekerja (karena kesulitan berjalan ke tempat kerja, metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung
melakukan pekerjaan sebelumnya) dan lain sebagainya. pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif,
yang membantu terbentuknya proses belajar dan
Pada tahun 2001 WHO mempublikasikan revisi dari plastisitas otak.
ICIDH menjadi ICF (International Classification of Func-
tioning) dimana istilah disability dan handicap diganti b. Proses Kompensasi
menjadi activity and participation.5-7 Revisi ini secara prinsip Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan
tidak terlalu banyak berbeda dengan ICIDH, hanya di- aktivitas fungsional pasien dan kemampuan fungsi
definisikan lebih positif, yaitu disability (ketidakmampuan) pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan
diganti menjadi activity (kemampuan fungsional penderita), berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian
sedangkan handicap (kecacatan) diganti menjadi partici- alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau
pation (peran-serta penderita dalam kehidupan sesuai perubahan lingkungan.
dengan ketidak-mampuan, aktivitas, kondisi kesehatan dan
faktor kontekstual lainnya ). Rehabilitasi medis tidak hanya Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada
berfokus pada apa yang pasien tidak mampu lakukan namun pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat
juga pada apa yang pasien masih mampu lakukan. terapi, penyakit penyerta dan atau komplikasi medis, serta
berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,
Proses Pemulihan setelah Stroke serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas usia lanjut, penderita PPOK yang mendapat stroke akibat
pemulihan neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan oklusi total a.cerebri media tentu tidak mungkin diberikan
fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional). program rehabilitasi substitusi agar ia dapat berjalan dan

64 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan
kompensasi tentu lebih tepat untuknya. yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.
Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam
1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila
beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai
anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk
sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis
mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/
intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan
sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.
stroke
Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca
mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
stroke
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila
ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas
Rehabilitasi Stroke Fase Akut
yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat 2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah
biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan
perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,
stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak
lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–
di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.9 bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal
Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-
spesialistik di rumah sakit. ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi
saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak
Rehabilitasi Stroke Fase Subakut begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk
sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali sirkuit yang baru.
bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang 3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk
intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan
gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih
berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya
Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang dimana pasien masih menggunakan ototnya secara
bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi “aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak
rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
optimal. pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikut-
mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. sertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan
Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga”
peralatan canggih. yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali pemulihan pasien.
untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan 4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang
berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan
akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk
otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang pal- statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
ing sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu
mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas
oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat
lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 65


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Gambar 2. Latihan dengan Bantuan


Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak,
dengan meniadakan gerak ikutan ataupun gerak sinergis.

doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu
sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan
untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh untuk:
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. 1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan 2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan 3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
aktivitas sambil berjalan. sehari-hari
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan 4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan
memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring
fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan,
tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di rumah.
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan membantu
dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga “menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi
menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan
denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua
Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi
sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-
sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan ing berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk
sesering mungkin. dari pada baik. (Tabel 5).
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode
ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada
semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik 3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan
dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah- fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus
pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas
harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan di-
pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar programkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara
untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas bertahap ditingkatkan.

66 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Tabel 5. Komplikasi Tirah Baring10 tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang
akan dilatih. Pemberian posisi yang tepat sebagai
Sistem tubuh Efek terhadap sistem tubuh
antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan
Sistem Kardiovaskuler § Denyut nadi meningkat ½ ketuk/menit dalam seluruh aktivitas.
setiap hari selama 3-4 minggu
§ Ortostatik hipotensi
§ Risiko terjadinya Deep Vein Trombosis Tabel 6. Pola Sinergistik 11
dan emboli pulmonal
§ Viskositas darah meningkat Bagian tubuh Pola sinergis fleksor Pola sinergis
Sistem Respirasi § Retensi sputum dan menurunnya ekstensor
oksigenasi
§ Kecepatan pernafasan meningkat Ekstremitas atas Retraksi bahu Protraksi bahu
§ Risiko terjadinya pneumonia Abduksi bahu Adduksi bahu
Sistem Muskuloske- § Kekuatan dan massa otot menurun Rotasi eksternal lengan Rotasi internal lengan
letal § Perubahan histologi otot Fleksi siku Ekstensi siku
§ Perubahan kelenturan sendi Supinasi tangan Pronasi tangan
(kontraktur) Fleksi pergelangan Ekstensi pergelangan
§ Osteoporosis tangan tangan
Sistem Metabolik § Persentase lemak tubuh meningkat Fleksi jari-jari tangan Fleksi jari-jari tangan
dan Endokrin § Hipercalcaemia Ekstremitas Fleksi panggul Ekstensi panggul
§ Toleransi glukose menurun dalam 3 hari bawah Abduksi panggul Adduksi panggul
tirah baring Rotasi eksternal Rotasi internal paha
Sistem Integumen § Decubitus ulcers panggul
Sistem Gastrointes- § Konstipasi Fleksi lutut Ekstensi lutut
tinal § Refluks Gastroesofageal Dorsifleksi pergelangan Plantar fleksi pergela-
Sistem Urogenital § Awal volume urin meningkat, kemudian kaki ngan kaki
menurun /stasis Eversi pergelangan kaki Inversi pergelangan kaki
§ Inkontinensia urine Ekstensi jari-jari kaki Fleksi jari-jari kaki
Sistem Saraf Pusat § Perubahan pada afeksi
§ Penurunan kognitif dan persepsi
Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak
yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,
Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung- cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan
kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak
Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar
dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk
seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih
besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang
keluarga dan pasien sangat penting dan krusial. menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu
1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi merupakan posisi yang baik untuknya.
Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan 3. Mencegah timbulnya nyeri.
memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat
waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat merupakan akibat
pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area
besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang. talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut
Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu
kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang disebabkan oleh gangguan sensorik sentral dimana
karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima
tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut
lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai tidak selalu mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan
latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.
diperlukan. Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri
2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.
Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu
khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6). yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan
Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih
ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan
sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan
tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar saat membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 67


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Gambar 3. Membantu Berpakaian.


Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan
nyeri. Lengan harus ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).

berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan
pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan
tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan
miofascial, dan atau nyeri neuropatik. ke dalam terapi latihan.
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan
nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya Gangguan Komunikasi
utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain
untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah
yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi
aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi
sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya. bicara disebut disartria.

Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan 1. Afasia


Aktivitas Sehari-hari Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk mem-
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas formulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.
sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme
stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi yang bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer
diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan dominan.
spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara
pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi spontan)
yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien. b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman
Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila auditori)
terpenuhi beberapa kondisi yaitu: c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan
1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau (bahasa simbol)
pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca
perlu diatasi terlebih dahulu. (pemahamanan visual)
2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai e. menamakan
melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman f. meniru

68 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu
beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia lebih lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah
global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik, hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect
afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan
transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global. semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
untuk kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak
gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di
kemandirian dalam aktivitas sehari-hari. sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya.
afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang
berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan pandang pasien menjadi terbatas.
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam
setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi Gangguan Menelan
auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden
dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisar
Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu,
membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia
hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu, merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien
menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat. malnutrisi.
2. Disartria Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya
gangguan menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam
dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:
mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan,
spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ 1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
bicara dan artikulasi. 2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada
Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan
respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi. agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria 3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. untuk menelan dengan kepala sedikit menunduk.
Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria, 4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat
antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan, mencoba menelan.
meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara 5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada
dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot laring, rasakan apakah terjadi elevasi laring yang
pernapasan. menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah
ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang
Gangguan Fungsi Luhur inkomplit.
Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling 6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Moni-
luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan tor suara yang terdengar kering atau basah/serak.
mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan 7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi
yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena menyuarakan huruf aaa.... Monitor kembali bagaimana
saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, suara yang terdengar.
fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara
fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi menjadi basah, maka makan dan minum per oral harus
kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan
fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow
kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial, study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swal-
kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta lowing).5,11,12
pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,
bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain se- Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi
bagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya
memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk me- adalah uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia
ngembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008 69


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu
residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi
50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan 00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan
timbulnya infeksi kandung kemih. pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar
diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar
jumlah minum dan urine pada voiding diary selama minimal merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan
dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam
miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan
membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya
urin.12 bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot ortho-
umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat sis) atau sepatu khusus.
bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga
bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
oleh obstipasi lama sebelumnya. Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di
Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan motivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas
cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,
bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya
tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan. untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikut-
sertakan dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat
Gangguan Berjalan dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan
memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu
saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan ditolong oleh keluarga.
dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu
duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat.

Gambar 4. Aktivitas Perawatan Diri


Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikut-
sertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat (B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga seba-
gai terapi latihan.

70 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009


Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti itu, Kesimpulan


menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan Dampak gejala sisa akibat stroke sangat bervariasi dan
mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik. kompleks. Rehabilitasi stroke memerlukan keterlibatan tenaga
Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk profesional dalam bentuk tim yang membahas secara
aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk berkesinambungan perkembangan hasil dan secara dinamis
beberapa menit di kursi roda. Hal tersebut disebabkan oleh menetapkan intervensi yang tepat dan sesuai. Namun tidak
endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama. semua pasien mudah mendapatkan pelayanan rehabilitasi
Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang spesialistik. Walaupun demikian banyak hal yang masih dapat
diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua dilakukan untuk membantu pasien dan keluarganya.
kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah. Mencegah komplikasi sekunder dan mengembalikan
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal kemandirian pasien dapat sekaligus meringankan beban
aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat psikososial dan ekonomi keluarga. Profesi dokter di
berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan pelayanan kesehatan primer yang menjadi ujung tombak di
duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar masyarakat memiliki peran yang sangat penting.
tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara
proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi Daftar Pustaka
untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan 1. De Freitas GR, Bezerra DC, Maulaz AB, Bogousslavsky J. Stroke:
dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri. background, epidemiology, etiology and avoiding recurrence. In:
Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after
Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:1-46.
pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang 2. Brammer CM, Herring GM. Stroke Rehabilitation. In: Brammer
bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke CM, Spires MC. (ed). Manual of Physical Medicine and Rehabili-
keranjang, bowling kecil, main catur atau halma. tation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:139-66.
Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar, 3. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke
Recovery. A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis,
namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/ Mosby-Year Book, Inc., 1991:13-24.
meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan 4. Bartels MN. Pathophysiology and Medical Management of Stroke.
beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan In: Gillen G, Burkhardt A.(ed). Stroke Rehabilitation. A Func-
latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan thera- tional-Based Approach. St. Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1998:1-
30.
band atau karet ban dalam bekas. 5. Graham A. Measurement in stroke: activity and quality of life.
Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa In: Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery
cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan after Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:135-
tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta 60.
6. O’Dell MW, Lin CD, Panagos A and Fung NQ. The Physiatric
pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian History and Physical Examination. In: Braddom RL (ed). Physi-
pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna cal Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders
bagi orang lain. Company, 2007:1-36.
7. Granger CV, Black T and Braun SL. Quality and Outcome Mea-
Rehabilitasi Stroke Fase Kronis sures for Medical Rehabilitation. In: Braddom RL (ed). Physical
Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak Company, 2007:151-64.
berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini 8. Wade DT. Measurement in Neurological Rehabilitation. Oxford,
sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat Oxford University Press, 1994:3-14,26-34.
9. Wood-Dauphinee S, Kwakkel G. The impact of rehabilitation on
pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil stroke outcomes: what is the evidence? In: Barnes M, Dobkin B
latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, Cambridge University Press, 2005:161-88.
membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga 10. Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and Bed Rest. In:
Brammer CM, Spires MC.(ed). Manual of Physical Medicine and
semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara Rehabilitation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:221-
bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai 9.
aktivitas aktif yang optimal. 11. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndromes.
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran In: Braddom RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd.
Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:1175-212.
rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) 12. Harwood R. Huwez F, Good D. Stroke Care. A Practical Manual.
Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum Oxford, Oxford University Press, 2005.
sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan
yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun
MS
tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal
dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar
atau sepenuhnya dibantu orang lain.

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009 71

Anda mungkin juga menyukai

  • Pembatas Lampiran
    Pembatas Lampiran
    Dokumen6 halaman
    Pembatas Lampiran
    Dias Pradika
    Belum ada peringkat
  • JADWAL
    JADWAL
    Dokumen4 halaman
    JADWAL
    Dias Pradika
    Belum ada peringkat
  • JADWAL
    JADWAL
    Dokumen4 halaman
    JADWAL
    Dias Pradika
    Belum ada peringkat
  • Racun
    Racun
    Dokumen12 halaman
    Racun
    Dias Pradika
    Belum ada peringkat
  • 2 PDF
    2 PDF
    Dokumen68 halaman
    2 PDF
    Dias Pradika
    Belum ada peringkat
  • Hipertermi
    Hipertermi
    Dokumen1 halaman
    Hipertermi
    risma
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    Dias Pradika
    Belum ada peringkat
  • Askep Gerontik Insyaalloh Betul Ehehe
    Askep Gerontik Insyaalloh Betul Ehehe
    Dokumen38 halaman
    Askep Gerontik Insyaalloh Betul Ehehe
    Anonymous 7n89HI
    Belum ada peringkat