Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS

Disusun Oleh:

Asti Meidianti

030.08.045

Pembimbing :

dr Dewi Iriani, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

PERIODE 10 JUNI – 24 AGUSTUS 2013

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang sering dijumpai
pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang
spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan mengancam
jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah sakit dalam minggu pertama
kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia. Dengan kondisi perawatan yang
memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan resiko terjadinya kern ikterus pada bayi
cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Alpay dan kawan-kawan melaporkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penurunan lama tinggal dan resiko kembali ke
rumah sakit, dan penyebab utama kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah
hiperbilirubinemia. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat
toksik terhadap bayi baru lahir.

2
BAB 2
HIPERBILIRUBINEMIA

2.1 Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum >
2mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin serum >5mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah
ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus lebih mengacu pada gambaran
klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis
sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95%
(menurut Normogram Bhutani).

2.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkanoleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : 1. Produksi yang
berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis

3
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan
konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler- Najjar). Penyebab lain ialah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan
transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.3 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal dari
katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari
penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase
dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin,
asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim
heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin
yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke
sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini
tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada
albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat
ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan
dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya
kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap
pembentukan ikterus fisiologis
Obat – obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

· Analgetik, antipiretik (Natrium salisilat, fenilbutazon)


4
· Antiseptik, desinfektan (metal, isopropyl)

· Antibiotik dengan kandungan sulfa (Sulfadiazin, dll.)

· Penicilin (propicilin, cloxacillin)

· Lain – lain ( novabiosin, triptophan, kontras x – ray )

Gambar 2.2. Metabolisme bilirubin pada neonatus

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air
di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase
(UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus
halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali
menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus.
Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut
sirkulasi enterohepatik.

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan
sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80% bilirubin yang diproduksi

5
tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan
karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin
akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang
kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan
ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan
hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan
proses ambilan bilirubin olah hepatosit.

2.4 Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.
Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi
yang mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau
penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur.
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena
peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic
clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran
hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu
biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan.
Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12
mg/dl pada umur 5 hari.9
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir, peningkatan
kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan
atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi,
penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi : pembentukan
bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan
konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra
-hepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat
terutama mengakibatkan terkonjugasi.

6
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan : penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan
destruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang
berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S
pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam serum
(Rh atau autoimun), pemberian beberapa jenis obat-obatan, dan beberapa limfoma atau
pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus ikterus hemolitik dapat di
akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang
(talasemia, anemia pernisiosa, porfiria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif.
Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat mengakibatkan
Kern Ikterus.

2. Gangguan pengambilan bilirubin : Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat


albumin oleh sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada
protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap
pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita),
nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan
Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu ikterus
neonatorum dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan
gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di
temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat
konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin : Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (< 12,9/100
ml) yang mulai terjadi pada hari ke-dua sampai ke-lima setelah lahir disebut ikterus fisiologis
pada neonatus. Ikterus neonatorum yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim
glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah
lahir sampai sekitar minggu ke-dua, dan setelah itu ikterus akan menghilang. Kern ikterus atau
bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal
ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak segera ditangani maka akan terjadi kematian
atau kerusakan neorologik berat. Tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar
biru atau sinar fluoresen (gelombang yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit
bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto
isomerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan

7
cepat ke dalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (luminal) yang
meningkatkan aktivitas glukoroniltransferase seringkali dapat menghilang ikterus pada penderita
ini.

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi : Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan
oleh faktor-faktor fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke
dalam kemih, sehingga menimbulkan urin berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen
kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di
sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatasealkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada
kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.

Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : a. Produksi
bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur sel darah merah,
peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah
merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisitemia, sekuester darah, infeksi.; b. Penurunan
konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek kongenital yang jarang.; c. Peningkatan reabsorpsi
bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberianASI yang terlambat, obstruksi saluran
cerna.; d. Kegagalan eksresi cairan empedu : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom
kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik.

2.5 Penyebab Ikterus

2.5.1 Ikterus pra-hepatik

Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada hemolisis eritrosit
(ikterus hemolitik). Kapasitas sel hati ntuk mengadakan konjugasi terbatas apalagi bila disertai oleh
adanya disfungsi sel hati. Akibatnya bilirubin indirek akan meningkat. Dalam batas tertentu
bilirubin direk juga meningkat. Dalam batas tertentu bilirubin direk jga meningkat dan akan segera
diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan didapatkan peninggian kadar
urobilinogen di dalam tinja.
8
Peningkatan kadar bilirubin dapat disebabkan oleh :

1. Kelainan pada sel darah merah.

2. Infeksi seperti malaria, sepsis, dan lain-lain.

3. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang berasal dari dalam
tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis.

2.5.2 Ikterus intra-hepatik

Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehngga bilirubin direk
akan meningkat. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga
bilirubin darah akan menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah.
Bilirubin direk larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ginjal ke dalam urin. Adanya
sumbatan intra-hepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi biliruin dalam saluran pencernaan
yang kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat, karena sterkobilinogen menurun.
Kerusakan sel hati dapat terjadi pada :

1. Hepatitis (oleh virus, bakteri, parasit).

2. Sirosis hepatis

3. Tumor

4. Bahan kimia seperti : fosfor, arsen.

5. Penyakit lain seperti : hemokromatosis, hipertiroid, dan penyakit Nieman Pick.

2.5.3 Ikterus pasca-hepatik (obstruktif)

Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut
dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan mengalami regurgitasi kembali ke dalam sel
hati dan terus memasuki sirkulasi. Selanjutnya akan masuk ke ginjal dan diekskresikan oleh ginjal
sehingga kita akan menemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan, maka
pengeluaran bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, maka pengeluarann bilirubin ke
dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga tinja akan berwarna dempul akibat berkurangnya
sterkobilin. Urobilinogen dalam tinja dan dalam urin akan menurun. Akibat penimbunan bilirubin
direk, maka kulit dan sklera akan berwarna kuning kehijauan. Kulit akan terasa gatal. Penyumbatan
empedu (kolestasis) dibagi dua, yaitu intra-hepatik apabila penyumbatan terjadi di antara hepatosit
dan duktus koledokus, dan ekstra-hepatik bila sumbatan terjadi di dalam duktus koledokus.

9
2.6 Klasifikasi

Ikterus fisiologis: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8 mg/dL
biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan sampai
15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr.

Ikterus patologis: terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum> 5
mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >17mg/dL. Ikterus menetap setelah
8 hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.

Pembagian derajat hiperbilirubinemia menurut Kramer :

Berdasarkan Kramer dapat dibagi :

Derajat Daerah ikterus Perkiraan


ikterus kadar bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg%

II Sampai badan atas (diatas umbilicus) 9,0mg%

Sampai badan bawah (dibawah umbilicuks hingga


III tungkai atas diatas lutut) 11,4mg%

IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4mg%

V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0mg%

10
2.7 Manifestasi Klinis

· Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar


· Letargi
· Kejang
· Tidak mau menghisap
· Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
· Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang disertai
ketegangan otot
· Perut membuncit
· Pembesaran pada hati
· Feses berwarna seperti dempul
· Muntah, anoreksia, fatigue,
· Warna urin gelap.

Ensefalopati Bilirubin dan Kern Icterus

Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang mungkin
timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai
nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai
oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons, dan
serebelum. Manifestasi klinis akut ensefalopati bilirubin :

11
· Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan reflek hisap
buruk.

· Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas dan hipertoni.

· Selanjutnya bayi akan demam, high – pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan
hipotoni.

Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan berkembang menjadi
bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, displasia dental – enamel,
paralysis upward gaze.

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

• Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.

• Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

• Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

• Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda –
tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.

2.8.2. Penggunaan Farmakoterapi

a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
tukar.

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung lebih
12
cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus selama
tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak
memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8
mg/kg berat badan perhari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan
pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih
murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk
mendapat hasil yang berarti.

c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.

d. Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp ) dapat menurunkan


kadar bilirubin serum.

e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartikdan kasein holdolisat dalam


jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI dan
meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan
bayi kontrol.

2.8.3. Fototerapi

Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat
di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi – bayi yang mendapat sinar
matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi–bayi lainnya.
Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai
pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping
pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar
bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa metabolisme
lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan
obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama
halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi fotokimia yang
relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul bilirubin dan
bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E
yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk
13
yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa
mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer
ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-
sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu
fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin
ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.

Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air.

Gambar 2.4. Mekanisme fototerapi.

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan
menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi. Fototerapi
diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup bulan
atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American
Academy of Pediatrics (AAP).

Sinar Fototerapi

Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini
terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki
panjang gelombang yang berbeda beda.
14
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah sinar biru
dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan kadar bilirubin
dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah
foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang
diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat
penurunan kadar bilirubin serum. Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar diukur
dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm
cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang
diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk fototerapi standard adalah
30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang
gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang
disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara mudah
untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.

Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan menggunakan


sinar halogen. Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu dekat dengan
bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas
permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di pusat sinar, tempat di
mana intensitas sinar paling tinggi.

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi tukar
terapi sinar tukar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 µmol/L) (425 µmol/L)

49-72 >15mg/dl >18 mg/dl >25mg/dl >30 mg/dl


(>250 µmol/L) (>300µmol/L) (425 µmol/L) (510µmol/L)

>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl


(>290 µmol/L) (>340µmol/L (>425 µmol/L) (>510 µmol/L)

15
Tabel 2.2. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan.

Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan sakit :


sehat : Kadar Total Bilirubin Kadar Total Bilirubin Serum
Serum (mg/dl) (mg/dl)
Berat Terapi sinar Transfusi Terapi sinar Transfusi
tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17
Tabel 2.3. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu )

2.8.3.1 Komplikasi Foto terapi

Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi sinar,
penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat
sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara pengunaan terapi
sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada bayi
yang kurnag bulan. Oh dkk (1972) melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali
lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi
sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.

2. Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara
lain dikemukankan karena meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken
(1976) mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada
pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian
susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum
dapat dipertentangkan (Chung dkk, 1976)

3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka, badan dan
ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi
dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976). Hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar.

16
Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh
kembang bayi.

4. Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel
dkk 1966). Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.

5. Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan


(Ballowics 1970). Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun
demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama
waktu yang diperlukan.

6. Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan


kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan
sebagian lampu yang dipergunakan.

7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang


ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang
dengan sendirinya.

8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi. Komplikasi
segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat penggunaannya.
Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat tersendiri dalam
penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

2.8.4. Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin


dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi
tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi
bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia. Darah Donor Untuk
Tranfusi Tukar :
17
1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan
Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan
juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi
anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk
memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) - 160 mL/kgBB,
sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

2.8.4.1. Teknik Transfusi Tukar

a. Simple Double Volume

Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena
magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

b. Isovolumetric

Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.

c. Partial Exchange Transfusion

Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O


rhesus positif.

2.8.4.2. Indikasi Transfusi Tukar


18
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada
hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel di bawah
ini.

Bayi Cukup Bulan Dengan Faktor


Usia
Sehat Risiko

Hari mg/dL mg/Dl

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan 30 20


seterusnya

Tabel 2.4 Indikasi transfusi tukar berdasarkan kadar bilirubin serum

Berat badan (gram) KadKadar Bilirubin


(mg/dL)

<> >> 1000 10-12

1000-1500 12-15

1500-2000 15-18

2000-2500 18-20
Tabel 2.5 Indikasi transfusi tukar pada bayi berat badan lahir rendah

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat
dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

· Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

· Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

19
· Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

· Perforasi pembuluh darah

2.8.4.3. Komplikasi Transfusi Tukar

1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

BAB 3

KESIMPULAN

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia
gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi
secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya
20
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi kuning
karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan
suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi
juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya akibat berlawanannya Rhesus
darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran empedu, dan lain-lain.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital, memberikan


substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi, melakukan dekomposoisis bilirubin dengan
fototerapi dan tranfusi tukar. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat,
cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat
digunakan untuk pra- dan pasca –tranfusi tukar.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi pertama 2008. Hal 147-168.
FKUI : Jakarta

2. Price, Sylvia M.Wilson Lorraine. Patofisiologi kedokteran. l994. EGC : Jakarta.

3. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. FKUI : Jakarta.

21
4. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2006. EGC:
Jakarta

5. Murray Robert K, MD.PhD, 2001, Biokimia Harper ( Eds.25), EGC: Jakarta

6. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III FK Unpad RSHS 2005.
Hal 102-8. FK Unpad : Bandung.

7. Diakses pada www.smallcrab.com/anak-anak/535-mengenal-ikterus-neonatorum.

8. Bagchi A. phototherapy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikins, 2002. Hal 373-
80. Philadelphia
9. William Wilkins. Cahaya dan optika intisari fisika. 1996. Hal 141-45. Jakarta.
10. Diakses dari www.emedicine.com/view article/551363/2.

22

Anda mungkin juga menyukai