FINAL Referat Hiperbilirubinemia
FINAL Referat Hiperbilirubinemia
HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS
Disusun Oleh:
Asti Meidianti
030.08.045
Pembimbing :
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang sering dijumpai
pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang
spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan mengancam
jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah sakit dalam minggu pertama
kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia. Dengan kondisi perawatan yang
memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan resiko terjadinya kern ikterus pada bayi
cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Alpay dan kawan-kawan melaporkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penurunan lama tinggal dan resiko kembali ke
rumah sakit, dan penyebab utama kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah
hiperbilirubinemia. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat
toksik terhadap bayi baru lahir.
2
BAB 2
HIPERBILIRUBINEMIA
2.1 Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum >
2mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin serum >5mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah
ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus lebih mengacu pada gambaran
klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis
sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95%
(menurut Normogram Bhutani).
2.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkanoleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : 1. Produksi yang
berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
3
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan
konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler- Najjar). Penyebab lain ialah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan
transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air
di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase
(UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus
halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali
menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus.
Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut
sirkulasi enterohepatik.
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan
sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80% bilirubin yang diproduksi
5
tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan
karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin
akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang
kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan
ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan
hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan
proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
2.4 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.
Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi
yang mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau
penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur.
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena
peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic
clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran
hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu
biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan.
Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12
mg/dl pada umur 5 hari.9
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir, peningkatan
kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan
atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi,
penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi : pembentukan
bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan
konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra
-hepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat
terutama mengakibatkan terkonjugasi.
6
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan : penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan
destruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang
berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S
pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam serum
(Rh atau autoimun), pemberian beberapa jenis obat-obatan, dan beberapa limfoma atau
pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus ikterus hemolitik dapat di
akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang
(talasemia, anemia pernisiosa, porfiria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif.
Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat mengakibatkan
Kern Ikterus.
3. Gangguan konjugasi bilirubin : Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (< 12,9/100
ml) yang mulai terjadi pada hari ke-dua sampai ke-lima setelah lahir disebut ikterus fisiologis
pada neonatus. Ikterus neonatorum yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim
glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah
lahir sampai sekitar minggu ke-dua, dan setelah itu ikterus akan menghilang. Kern ikterus atau
bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal
ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak segera ditangani maka akan terjadi kematian
atau kerusakan neorologik berat. Tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar
biru atau sinar fluoresen (gelombang yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit
bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto
isomerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan
7
cepat ke dalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (luminal) yang
meningkatkan aktivitas glukoroniltransferase seringkali dapat menghilang ikterus pada penderita
ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi : Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan
oleh faktor-faktor fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke
dalam kemih, sehingga menimbulkan urin berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen
kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di
sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatasealkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada
kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : a. Produksi
bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur sel darah merah,
peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah
merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisitemia, sekuester darah, infeksi.; b. Penurunan
konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek kongenital yang jarang.; c. Peningkatan reabsorpsi
bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberianASI yang terlambat, obstruksi saluran
cerna.; d. Kegagalan eksresi cairan empedu : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom
kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik.
Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada hemolisis eritrosit
(ikterus hemolitik). Kapasitas sel hati ntuk mengadakan konjugasi terbatas apalagi bila disertai oleh
adanya disfungsi sel hati. Akibatnya bilirubin indirek akan meningkat. Dalam batas tertentu
bilirubin direk juga meningkat. Dalam batas tertentu bilirubin direk jga meningkat dan akan segera
diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan didapatkan peninggian kadar
urobilinogen di dalam tinja.
8
Peningkatan kadar bilirubin dapat disebabkan oleh :
3. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang berasal dari dalam
tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis.
Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehngga bilirubin direk
akan meningkat. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga
bilirubin darah akan menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah.
Bilirubin direk larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ginjal ke dalam urin. Adanya
sumbatan intra-hepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi biliruin dalam saluran pencernaan
yang kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat, karena sterkobilinogen menurun.
Kerusakan sel hati dapat terjadi pada :
2. Sirosis hepatis
3. Tumor
Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut
dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan mengalami regurgitasi kembali ke dalam sel
hati dan terus memasuki sirkulasi. Selanjutnya akan masuk ke ginjal dan diekskresikan oleh ginjal
sehingga kita akan menemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan, maka
pengeluaran bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, maka pengeluarann bilirubin ke
dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga tinja akan berwarna dempul akibat berkurangnya
sterkobilin. Urobilinogen dalam tinja dan dalam urin akan menurun. Akibat penimbunan bilirubin
direk, maka kulit dan sklera akan berwarna kuning kehijauan. Kulit akan terasa gatal. Penyumbatan
empedu (kolestasis) dibagi dua, yaitu intra-hepatik apabila penyumbatan terjadi di antara hepatosit
dan duktus koledokus, dan ekstra-hepatik bila sumbatan terjadi di dalam duktus koledokus.
9
2.6 Klasifikasi
Ikterus fisiologis: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8 mg/dL
biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan sampai
15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr.
Ikterus patologis: terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum> 5
mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >17mg/dL. Ikterus menetap setelah
8 hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.
10
2.7 Manifestasi Klinis
Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang mungkin
timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai
nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai
oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons, dan
serebelum. Manifestasi klinis akut ensefalopati bilirubin :
11
· Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan reflek hisap
buruk.
· Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas dan hipertoni.
· Selanjutnya bayi akan demam, high – pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan
hipotoni.
Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan berkembang menjadi
bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, displasia dental – enamel,
paralysis upward gaze.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
• Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.
• Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
• Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
• Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda –
tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
tukar.
b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung lebih
12
cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus selama
tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak
memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8
mg/kg berat badan perhari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan
pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih
murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk
mendapat hasil yang berarti.
2.8.3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat
di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi – bayi yang mendapat sinar
matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi–bayi lainnya.
Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai
pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping
pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar
bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa metabolisme
lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan
obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama
halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi fotokimia yang
relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul bilirubin dan
bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E
yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk
13
yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa
mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer
ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-
sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu
fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin
ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.
Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan
menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi. Fototerapi
diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup bulan
atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American
Academy of Pediatrics (AAP).
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini
terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki
panjang gelombang yang berbeda beda.
14
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah sinar biru
dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan kadar bilirubin
dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah
foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang
diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat
penurunan kadar bilirubin serum. Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar diukur
dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm
cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang
diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk fototerapi standard adalah
30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang
gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang
disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara mudah
untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi tukar
terapi sinar tukar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 µmol/L) (425 µmol/L)
15
Tabel 2.2. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan.
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi sinar,
penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat
sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara pengunaan terapi
sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :
1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada bayi
yang kurnag bulan. Oh dkk (1972) melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali
lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi
sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara
lain dikemukankan karena meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken
(1976) mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada
pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian
susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum
dapat dipertentangkan (Chung dkk, 1976)
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka, badan dan
ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi
dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976). Hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar.
16
Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh
kembang bayi.
4. Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel
dkk 1966). Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi. Komplikasi
segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat penggunaannya.
Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat tersendiri dalam
penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan
Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan
juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi
anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk
memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) - 160 mL/kgBB,
sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena
magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. Isovolumetric
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
Tabel 2.5 Indikasi transfusi tukar pada bayi berat badan lahir rendah
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat
dengan terapi sinar.
19
· Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
BAB 3
KESIMPULAN
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia
gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi
secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya
20
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi kuning
karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan
suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi
juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya akibat berlawanannya Rhesus
darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran empedu, dan lain-lain.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi pertama 2008. Hal 147-168.
FKUI : Jakarta
3. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. FKUI : Jakarta.
21
4. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2006. EGC:
Jakarta
6. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III FK Unpad RSHS 2005.
Hal 102-8. FK Unpad : Bandung.
8. Bagchi A. phototherapy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikins, 2002. Hal 373-
80. Philadelphia
9. William Wilkins. Cahaya dan optika intisari fisika. 1996. Hal 141-45. Jakarta.
10. Diakses dari www.emedicine.com/view article/551363/2.
22