TINJAUAN PUSTAKA
A. Dengue Fever dan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
a. Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan
oleh ”arthropod borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau
atralgia, rash, leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue
(DBD) merupakan penyakit demam akibat virus dengue yang berat dan
sering kali fatal.
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan
permeabilitas vaskuler dan bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan
demam dengue (DD) dapat mengalami perdarahan berat walaupun tidak
memenuhi kriteria WHO untuk DBD (WHO, 2011a).
b. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran
di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15
per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam
saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus
Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
virus dengue yaitu: 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) Pejamu:
1
terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan : curah hujan,
suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
c. Etiologi
Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dangue
termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe.
Terdapat empat serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah
dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak.
Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative labil
terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek.
Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh
nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung dua
protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M. (Halstead ,
2011).
d. Patofisiologi
Hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous
Infection hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat
ini masih dianut sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan
hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila mendapatkan infeksi
berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam jangka waktu
tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun. Hipotesis lain yang
menentangnya adalah hipotesis virulensi virus, menurut hipotesis ini
perbedaan virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya DHF.
Fenomena patologis utama yang menentukan berat penyakit DHF
adalah meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah (kapiler), yang
mengakibatkan terjadinya perembesan atau kebocoran plasma, peningkatan
permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma
yang otomatis jumlah trombosit berkurang
2
(trombositopenia), terjadinya hipotensi (tekanan darah rendah) yang
dikarenakan kekurangan haemoglobin, plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada
masa terjadinya hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %)
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit menimbulkan dugaan
bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra
vaskuler melalui kapiler yang rusak.
Sesuai dengan hipotesis secondary heterologous infection, pasien
yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag
(respon antibodi anamnestik). Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti
dengue. Terbentuknya virus kompleks antigenantibodi mengaktifkan sistem
komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma
merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok (Halstead, 2011).
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan
plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium,
3
dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa seperti efusi pleura, asites
(Halstead, 2011).
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen,
juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme
kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler (Halstead, 2011 Gubler dkk., 2014).
Patogenesis DBD menurut The Secondary Heterologous Dengue Infection
4
e. Klasifikasi
Pada tahun 2011 SEARO menambahkan adanya kriteria expand
karena pada beberapa penyakit tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kriteria
WHO 2009, SEARO juga memperbaharui dalam mengklasifikasikan
infeksi dengue, klasifikasi tersebut berupa demam yang tidak
terklasifikasikan, demam dengue tanpa manifestasi perdarahan, demam
dengue dengan manifestasi perdarahan, demamberdarah dengue dengan
kebocoran plasma, demam berdarah dengue tanpa adanya tandatanda syok,
demam berdarah dengue diikuti syok, demam dengue dengan perluasan dari
sindroma dengue.
5
Tabel 2. Pembagian klasifikasi infeksi dengue berdasarkan WHO-SEARO
dibandingkan dengan WHO 2009
6
f. Manifestasi Klinik
Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga
merupakan suatu self limiting infectious disease yang akan berakhir sekitar
2-7 hari. Infeksi virus Dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara asimtomatik, dengue fever, dengue
hemmorrhagic fever atau dengue shock syndrom. (Hadinegoro dkk., 2014)
7
Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase :
1) Fase febris
Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut
biasanya sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada
kulit, pegal pada seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital,
fotofobia, ruam makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian
menghilang tanpa bekas, serta nyeri kepala. Pada beberapa pasien terdapat
nyeritenggorokan, faringitis, injeksi konjungtiva.Diikuti dengan anoreksia
mual serta muntah yang umumnya selalu diderita pasien.Pada fase ini bila
didapatkan tes torniquet (+) meningkatkan kemungkinan infeksi dengue.
2) Fase kritis
Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya
hari ke 3-7 penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
bersamaan dengan peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda
awal dari fase kritis, periode kebocoran plasma biasanya berlangsung 2448
jam yang ditandai dengan peningkatan hematokrit, diikuti dengan
leukopenia, dapat pula terjadi efusi pleura dap asites. Syok terjadi ketika
terjadi kehilangan banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis
metabolik, DIC.
3) Fase penyembuhan
Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan
terjadi perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.
8
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Demam dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan dan leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias
yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam.
-
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
-
Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat
terlihat pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam
dan kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina
yang muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum
suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi,
berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.
9
Gambar . Spektrum Klinis DD dan DBD
- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
- Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
- Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin
meningkat.
10
3. Derajat III (Berat)
Penderita syok berat dengan gejala klinik ditemukannya kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg)
atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi
gelisah.
4. Derajat IV
Penderita syok berat (profound shock) dengan tensi yang tidak dapat
diukur dan nadi yang tidak dapat diraba.
5. Expanded Dengue Syndrome
Pasien menderita keterlibatan organ dan manifestasi klinis yang tidak
lazim dialami pasien infeksi Dengue lain.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan
lengkap darah, sangatlah penting karena pemeriksaan ini berfungsi untuk
mengikuti perkembangan dan diagnosa penyakit.Pemeriksaan jumlah trombosit
ini dilakukan pertama kali pada saat pasien didiagnosa sebagai pasien DHF,
Pemeriksaan trombosit perlu di lakukan pengulangan sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit tersebut normal atau menurun.Pada pasien DHF didapatkan
jumlah trombosit < 100.000 /µl. Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan
terjadinya hemokonsentrasi, yang merupakan indikator terjadinya perembesan
plasma.Nilai peningkatan ini lebih dari 20%.
(Gandasubrata, 1999).
Penderita DHF sering muncul limfosit plasma biru, hal ini disebabkan
karena limfosit merupakan satu-satunya sel tubuh yang mampu mengenal
antigen secara spesifik dan mampu membedakan penentu antigenik, sehingga
respon imunnya bersifat spesifik. Limfosit yang berstimulasi dengan antigen
akan mengalami perubahan struktural dan biokimia. Istilah yang biasa untuk
menggambarkan perubahan morfologi tersebut antara lain limfosit plasma biru,
limfosit reaktif atau limfosit atipik (Gandasubrata, 1999).
Uji serologi ini merupakan konfirmatif adanya infeksi virus
dengue.Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
11
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara
infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat
sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat
pada hari kedua.Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah demam hari kelima,
diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat (Groen, dkk.
2000).
Tiga aspek utama yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue secara
adekuat :
1. Virologi dan serologi yang berhubungan dengan waktu infeksi dengue
Masa inkubasi adalah 4-10 hari setelah digit oleh nyamuk, pada
infeksi primer viremia terjadi 1-2 hari sebelum mulainya demam sampai
hari ke 4-5. Antibodi spesifik Anti-dengue IgM dapat ditemukan saat hari
ke 3-6, kemudian akan menetap dengan kadar yang rendah sampai 3 bulan
setelah demam. IgG akan meningkat pada hari ke 9-10 yang kemudian
akan bertahan dengan kadar rendah sampai 1 dekade dan hal ini dapat
12
mengetahui kemungkinan seseorang pernah terinfeksi dengue
sebelumnya.
D. Diagnosis Banding
Beberapa panyakit infeksi maupun non-infeksi memiliki gejala mirip
demam dengue maupun severe dengue.
a. Influenza
b. Cikungunya
c. Infeksi primer HIV
d. SARS
e. Malaria
f. Demam tiroid
g. Hepatitis
h. Leptospirosis
13
E. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan
simtomatis.Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan
akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan.Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah
cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan
cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai (Hadinegoro dkk., 2014).
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan
minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak
diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap
3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C. Sebagian
besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang
menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa
menunjukkan penyulit lainnya.Apabila penderita DBD ini menunjukkan
manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan
di rawat inap. Pada kasus DBD derajat I & II pada hari ke 3, 4, dan 5 panas
dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai resiko terjadinya syok
(Hadinegoro dkk., 2014).
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah
atau oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare.Apabila hematokrit
meningkat lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya
kebocoran plasma dan sebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di
pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.Penderita DBD yang gelisah
dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut dan produksi air
kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-
14
tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit
untuk segera memperoleh cairan pengganti (Hadinegoro dkk., 2014).
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan
seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10%
kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya
diberikan kembali dalam waktu 2-3 jam pertama dan selanjutnya tetesan
diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma
terjadi.Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan
mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur
agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan cegah pemberian
transfusi berulang. Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal
cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif
selama periode kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan
akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites),
menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema
(Hadinegoro dkk., 2014).
Jenis Cairan
1. Kristaloid
a. Ringer Laktat
b. 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
c. 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
d. 5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi
(faali)
e. 5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloidal
a. Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
b. Plasma
15
Kebutuhan Cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari
umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan
derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan
cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama.
Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Beratbadan(kg) Jumlahcairan(ml)
10 100 perkgBB
1 0 – 2 0 1000 + (50 x kg (diatas 10 kg))
> 2 0 1500 + (20 x kg (diatas 20 kg))
17
Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
a. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap
15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
b. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan
klinis pasien stabil
c. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai
jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan
yang diberikan sudah mencukupi.
d. Jumlah dan frekuensi diuresis.
2. Kriteria B
Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih
lanjut.Dalam kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi,
pasien yang menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri,
18
serta pasien yang tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi
yang diberikan
Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang
digunakan hanya yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat
atau cairan Hartmann’s. Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam
pertama, kemudian kurangi menjadi 3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam
selanjutnya, kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kgbb/jam atau
maintenan cairan sesuai manifestasi klinis yang didapat. Periksa kembali
hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau terjadi peningkatan sedikit, ulangi
pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4 jam. Jika tanda vital
menurun dan terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat, segera naikan
cairan 5-10ml/kgbb/jam selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan dan urine
output baik (0,5ml/kg/jam) berikan cairan maintenance untuk 24-48 jam.
Monitor vital sign, balance cairan, hematrokit sebelum dan sesudah
pemberian cairan infus, atau setiap 6-12 jam sekali. Cek GDS, profil ginjal,
profil liver, profil koagulasi sesuai indikasi.
3. Kriteria C
Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus
mendapat pengobatan segera karena berada dalam fase kritis, berupa
• Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok
dengan adanya ARDS
• Perdarahan hebat
• Multi organ failure
Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang
memiliki fasilitas transfusi darah.Segera ganti cairan isotonik dengan cairan
kristaloid, pada keadaan hipotensi syok boleh diberikan cairan
koloid.Transfusi darah hanya diberikan apabila adanya perdarahan hebat.
19
PENATALAKSANAAN KASUS TERSANGKA DEMAM BERDARAH
DENGUE DBD (Bagan 1)
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak, terus-menerus, < 7
hari tidak disertai ISPA, badan lemah/lesu
Rawat Jalan
Minum banyak,
Parasetamol bila perlu
Kontrol tiap hari sp demam turun.
Bila demam menetap periksa Hb.Ht, Trombosit.
Perhatikan untuk orang tua pesan bila timbul tanda
syok : gelisah, lemah, kaki tangan dingin, sakit
perut, berat hitam, kencing berkurang
20
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAT I
(Bagan 2)
DBD Derajad I
Pulang
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ml
7. Tidak dijumpai distress pernafasan
21
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAT II (Bagan 3)
22
PENATALAKSANAAN KASUS DSS ATAU DBD DERAJAT III DAN IV
(Bagan 4)
23
Gambar 6.Algoritma Penatalaksanaan Syok pada infeksi Dengue.
G. Komplikasi
Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah :
1. Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama
2. Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital
3. Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar
4. Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam
keadaan syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi
5. Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat
6. Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus
7. Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien
25
6. Ko-infeksi dan infeksi nasokomial
7. Sindrom hemofagositik
H. Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi
penderita.Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.DBD derajat III dan
IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50%.Tanda- tanda
prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran urine yang cukup serta
kembalinya nafsu makan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control. 2000. CDC growth charts: United States. Advance
data, 314.
Gandasubrata, R. 1999. Penuntun laboratorium klinik. PT. Dian Rakyat: Jakarta.
Groen, dkk.2000.Evaluation of Six Immunoassays for Detection of Dengue
Virus-Specific Immunoglobulin M and G Antibodies. Clinical and
Diagnostic Laboratory Immunology.Nov.p.867-871.
Gubler, D. J., Ooi, E. E., Vasudevan, S., dan Farrar, J. 2014.Dengue and dengue
hemorrhagic fever.CABI.
Hadinegoro, SR, Moedjito, I dan Chairulfatah, A. 2014.Pedoman Diagnosis dan
Tata Laksana kasus Infeksi Dengue pada Anak tahun 2014.Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1-69
Halstead, SB. 2011.Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever.Dalam :
Nelson Textbook of Pediatrics.19th ed. Kliegman, et al Philadelphia:
Elsevier; 1134-6.
Ikatan Dokter Anak Indonesia.2010.Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. IDAI: Jakarta
World Health Organization. 2011a. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and
expanded edition. WHO 1-45
World Health Organization-South East Asia Regional Office. 2011b.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
DengueHemorrhagic Fever. WHO: India
27