Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

JAMINAN FIDUSIA

OLEH :
RETNO WULANDARI
11300108

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

UU NO 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA .

Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Fidusia Adapun yang melatar belakangi

UU fidusia lahir adalah karena kebutuhan praktis, kebutuhan tersebut dapat dilihat dari fakta-

fakta berikut :

1. Barang Bergerak Sebagai Jaminan Hutang. Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistim

hukum kita, dan juga hukum di kebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika

yang menjadi objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam

bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang

menerima gadai (kreditor). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan hutang adalah benda

tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah berbentuk hipotik (sekarang ada hak

tanggungan). Dalam hal ini barang objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditor, tetapi

tetap dalam kekuasaan debitor. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek

jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitor enggan menyerahkan

kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditor, sementara pihak kreditor tidak mempunyai

kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itulah

dibutuhkan adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda

bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditor.

Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaan

atas benda tersebut tidak beralih dari debitor kepada kreditor.


2. Tidak Semua Hak Atas Tanah Dapat dihipotikkan.

Latar belakang lain yang mendorong timbul atau berkembangnya praktek fidusia adalah

adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau hak

tanggungan.

3. Barang Objek Jaminan Hutang Yang Bersifat Perdata.

Ada barang-barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai

sifat-sifat seperti barang tidak bergerak sehingga pengikatnya dengan gadai dirasa tidak

cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda

objek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan..

4. Perkembangan Pranata Hukum Kepemilikan Yang Baru. Perkembangan kepemilikan atas

barang tertentu yang tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan jaminan, sehingga

hak-hak atas barang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik.

5. Barang Bergerak Objek jaminan Hutang Tidak Dapat Diserahkan.

Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan

jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan

karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditor. (lihat

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 1.)

Selain fakta di atas yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang

Fidusia berdasarkan keadaan sekarang yang dicantumkan dalam konsiderannya adalah :

Kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana,

perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur

mengenai lembaga jaminan. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada
Yurisprudensi. Dalam rangka memberi kepastian hukum dari perlindungan hukum bagi pihak

yang berkepentingan. B.

Dasar Hukum Penetapan Jaminan Fidusia. Sejak lahirnya jaminan fidusia ini sangat

kental dengan rekayasa. Sebab dalam sistem hukum Belanda tempo dulu, oleh karena juga di

Indonesia untuk jaminan barang bergerak hanya dikenal gadai, sedang barang tidak bergerak

dikenal dengan hipotek. (lihat Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur

Perikatan, Penerbit Ghalia Indonesia, 1983, hal.. 34.)

Tetapi dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa penyerahan barang

secara fisik. Untuk maksud tersebut tidak dapat digunakan lembaga gadai (yang

mensyaratkan penyerahan benda) dan juga dapat digunakan hipotek yang hanya

diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak saja. Karena itu dicarikanlah jalan untuk dapat

menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut akhirnya muncul

rekayasa untuk memenuhi kepentingan praktek seperti itu dengan jalan pemberian jaminan

Fidusia yang akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi dan

diundangkan pada tahun 1999. Rekayasa tersebut dalam bentuk globalnya disebut dengan

constitutum possessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda

sama sekali). Bentuk rincian dari constitutum possessorium dalam Fidusia ini dilakukan

melalui proses tiga fase. (lihat Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal.

II. Rumusan Masalah

1. Analisa tentang UU Fidusia !

2. Sebutkan perbedaan nilai jaminan dan nilai obyek jaminan !

3. Sebutkan dan jelaskan mengenai asas – asas yang terdapat dalam UU Fidusia ?
BAB II

PEMBAHASAN

Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti

kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia.

Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu

Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan.

Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership.

Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam

penguasaan pemilik benda. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia terdapat berbagai pengaturan mengenai fidusia diantaranya adalah

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun telah memberikan kedudukan

fidusia sebagai lembaga jaminan yang diakui undang-undang. Pada Pasal 12 Undang-Undang

tersebut dinyatakan bahwa :

1. Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang

dengan :

1. dibebani hipotik, jika tanahnya hak milik atau HGB

2. dibebani fidusia, jika tanahnya hak pakai atas tanah negara.

2. Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit
yang dimakksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang

direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya

dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun

tersebut.

Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur.

Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya.

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Jaminan fidusia ini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada penerima

fidusia terhadap kreditor lainnya. Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia

dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak

kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.

Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan fidusia adalah:

 “Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur) berdasarkan adanya

perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur.

 akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-leveringdan hanya

dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan uant

debitur),barangnya tetap dikuasai oleh debitur, tetapi bukan lagi

sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan

atas nama kreditur- eigenaar” (A. Hamzah dan Senjun Manulang, 1987).

Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli

adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai)

mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat

mengikuti perkembangan masyarakat (Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, 1977: 15-116).


Dasar hukum jaminan fidusia

 Apabila kita mengkaji perkembangan yurisprudensi dan peraturan perundang-

undangan, yang menjadi dasar hokum berlakunya fidusia, dapat disajikan berikut ini.

 Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwerij Arrest

(negeri Belanda);

 Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet Arrest (Indonesia); dan

 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Obyek jaminan Fidusia :

 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri

dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin,

dan kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan

pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, objek jaminan fidusia dibagi 2

macam, yaitu:

 benda bergerak, baik yang berujud maupun tidak berujud; dan

 benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan.

Subyek Jaminan Fidusia :

Pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau

korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima

fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang

pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.


Pembebanan jaminan fidusia Ps.4-10

1. Dibuat dengan akta notaries dalam bahasa Indonesia. Akta jaminan sekurang-kurangnya

memuat:

 Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia;

 Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

 Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

 Nilai penjaminan;

 Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia.

Utang yang pelunasanya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah :

1. Utang yang telah ada

2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam

jumlah tertentu.

3. Utang yang pada utang eksepsi dapat ditentutakan jumlahnya berdasarkan

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.

4. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima atau kepada

kuasa atau wakil dari penerima kuasa.

5. Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap suatu atau lebih satuan atau jenis

benda termasuk piutang , baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan

maupun yang diperoleh kemudian , pembebanan jaminan atau benda atau

piutang yang diperoleh kemudian tidak perludilakukan dengan perjanjian

jaminan tersendiri kecuali diperjanjikan lain, seperti:

 jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
 jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan

fidusia diasuransikan.

 Jaminan fidusia biasanya dituangkan dalam akta notaries. Subtansi perjanjian ini telah

dibakukan oleh pemerintah. Ini dimaksudkan untuk melindungi pemberi fidusia. Hal-

hal yang kosong dalam akta jaminan fidusia ini meliputi tanggal, identitas para pihak,

jenis jaminan, nilai jaminan, dan lain-lain. Berikut ini disajikan perjanjian

pembebanan akta jamina fidusia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia)

membedakan definisi fidusia dengan jaminan fidusia

Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda

atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Kemudian Pasal 1 butir 2 menyebutkan : “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda

bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada

dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor

lainnya”.

Rumusan yang membedakan pengertian fidusia dengan jaminan fidusia menimbulkan

anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah memberikan nama baru bagi

lembaga hak jaminan yang semula dikenal sebagai fidusia, yaitu jaminan fidusia. Akan tetapi

pembedaan ini masih dapat dipertanyakan konsistensinya jika melihat ternyata Undang-

Undang ini menyebut pemberi fidusia terhadap pihak yang memberi jaminan fidusia dan
penerima fidusia terhadap kreditor selaku pihak yang menerima jaminan fidusia. Apalagi jika

kemudian kita hubungkan dengan ketentuan,

Pasal 33 yang berbunyi : “Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima

fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila kreditor cedera

janji, batal demi hukum”.

Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian yang lahir dan tidak terpisahkan dari

perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian kredit. Hal ini memberikan bukti bahwa

perjanjian jaminan fidusia tidak mungkin ada tanpa didahului oleh suatu perjanjian pinjam-

meminjam atau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok atau perjanjian induknya.

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, diatur mengenai pembebanan benda dengan

jaminan fidusia, dituangkan dengan akta Notaris : “Pembebanan benda dengan jaminan

fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan

Fidusia”.

Menurut Pasal 1 angka (7) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris :

“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk

dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

Namun UU Jaminan Fidusia tidak mengatur mengenai definisi dari akta Notaris

tersebut, maka tentu saja definisi akta notaris tersebut hanya akan mengacu pada Pasal 1

angka (7) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut.

Kewajiban akta jaminan fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia

sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, mengisyaratkan bahwa

pembuatan aktanya tunduk pada ketentuan Pasal 38 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris).

Penegasan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta Notaris oleh pembuat Undang-

Undang Fidusia, seharusnya ditafsirkan sebagai norma hukum yang bersifat imperatif
(memaksa) bukan bersifat fakultatif. Hal ini akan semakin jelas jika dikaitkan dengan proses

terjadinya jaminan fidusia ketika dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu

permohonan pendaftaran jaminan fidusia harus dilengkapi dengan salinan akta Notaris

tentang pembebanan jaminan fidusia. Konsekuensi yuridis selanjutnya adalah merupakan

rangkaian yang sangat penting dan menentukan yaitu saat kelahiran jaminan fidusia.

Sesuai dengan ketentuan,

Pasal 13 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, pendaftaran jaminan fidusia dilakukan dengan

mengajukan surat permohonan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan melampirkan

Surat Pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia

tersebut diajukan oleh Penerima Fidusia sendiri, kuasa, atau wakilnya. Kuasa disini adalah

mereka yang mendapat pelimpahan wewenang berdasarkan Surat Kuasa dari Penerima

Fidusia, sedangkan wakil disini adalah mereka yang berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan berwenang untuk melakukan Pendaftaran Jaminan Fidusia. Pada

prakteknya, umumnya pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh Notaris sebagai kuasa dari

pihak Penerima Fidusia.

Perlu juga mendapat perhatian, bahwa perjanjian fidusia sebagaimana yang dimaksud

dalam Undang-Undang Fidusia berlaku bukan hanya untuk keperluan yang berkaitan dengan

perjanjian kredit di lingkungan perbankan, tetapi juga mencakup perjanjian kredit/pinjaman

di lingkungan lembaga pembiayaan lainnya. Pembebanan jaminan fidusia dalam aspek

operasionalnya dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu tahap pemberian jaminan fidusia dan

tahap pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 13 ayat

(14) undang-undang Jaminan Fidusia, dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000

tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Karena UU Jaminan Fidusia mengatur bahwa akta fidusia dibuat dengan akta Notaris, maka

berkaitan dengan hal tersebut kita harus mengingat adanya pembedaan dua jenis akta Notaris,
yaitu :

a. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta

pejabat” (Ambtelijke Akte).

b. Akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan “akta para

pihak” (Partij Akte).

Berkaitan dengan adanya dua jenis akta Notaris tersebut, jika dihubungkan dengan

ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, tidaklah jelas apakah akta fidusia termasuk

“Ambtelijke Akte” (akta relaas/akta pejabat) atau termasuk jenis “Partij Akte” (akta para

pihak).

Dari uraian pada pendahuluan, maka dapat disimpulkan dua permasalahan, yaitu sebagai

berikut :

1. Apakah akta jaminan fidusia itu termasuk jenis Ambtelijk Akte atau Partij Akte ?

2. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditor dalam hal tidak didaftarkannya akta

jaminan fidusia oleh notaris ?

Jenis Akta Jaminan Fidusia

Menurut Pasal 6 UU Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa Akta Jaminan Fidusia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 UU Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat :

1. Identitas Pemberi dan Penerima Fidusia.

Dengan melihat kepada kewajiban notaris untuk mencantumkan identitas penghadapnya

sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 UU Jaminan Fidusia, dan dengan mendasarkan kepada

ketentuan Pasal 38 UU Jabatan Notaris, maka ketentuan Pasal 6 huruf a UU Jaminan Fidusia

hanya berfungsi mengingatkan saja. Karena ada kemungkinan, bahwa pemberi fidusia adalah

pihak ketiga, maka adalah logis dengan pertimbangan kepastian hukum bahwa dalam hal
demikian perlu pula disebutkan identitas debitor yang bersangkutan, sebab dalam peristiwa

seperti itu, pemberi fidusia dan debitor adalah dua orang yang berlainan.

Data Perjanjian Pokok.

Dalam Penjelasan Pasal 6 huruf b UU Jaminan Fidusia dikatakan bahwa data perjanjian

pokok adalah mengenai macam perjanjian dan hutang yang dijamin. Karena tujuannya adalah

demi kepastian hukum, maka hubungan hukum pokoknya yang dijamin menjadi tertentu.

Uraian Tentang Benda Jaminan.

Syarat yang disebutkan dalam huruf c mengenai uraian benda jaminan adalah sayarat

yang logis, karena UU Jaminan Fidusia memang hendak memberikan kepastian

hukum yang hanya dapat diberikan kalau data-datanya tersaji dengan pasti dan

tertentu, yang mana syarat tersebut sesuai dengan asas spesialitas yang dianutnya.

Nilai Penjaminan.

Nilai jaminan menunjukkan berapa besar beban yang diletakkan atas benda jaminan.

Syarat penyebutan besarnya nilai penjaminan mempunyai kaitan yang erat dengan

sifat hak jaminan fidusia sebagai hak yang mendahulu atau preferen sebagaimana

tercantum dalam Pasal 1 angka 2 jo Pasal 27 UU Jaminan Fidusia.

Penyebutan nilai penjaminan diperlukan untuk menentukan sampai seberapa besar

kreditor preferen penerima fidusia maksimal dalam mengambil pelunasan atas hasil

penjualan benda jaminan fidusia. Sifat fidusia yang accessoir menyebabkan besarnya

tagihan ditentukan oleh perikatan pokoknya. Dengan kata lain, besarnya beban

jaminan ditentukan berdasarkan besarnya beban yang dipasang (nilai jaminan) tetapi

hak preferensinya dibatasi oleh besarnya (sisa) hutang yang dijamin.

Nilai Benda Jaminan.

Berdasarkan Pasal 13 UU Jaminan Fidusia, yang mengajukan permohonan

pendaftaran adalah penerima fidusia, jadi yang mencantumkan nilai benda jaminan dalam
permohonan pendaftaran adalah penerima fidusia. Mengenai waktu penyebutannya kiranya

adalah patut dan logis kalau penyebutan nilai benda jaminan fidusia adalah pada saat

penandatanganan akta fidusia.

Sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan, akta yang dibuat oleh notaris terbagi

menjadi dua jenis/golongan, yaitu; akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan

akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten), dan akta yang dibuat di hadapan (ten

overstaan) notaris atau yang dinamai akta partij (partij akten).

Perbedaan dari kedua jenis akta itu dapat dilihat dari bentuk akta itu. Pada akta partij/akta

para pihak, undang-undang mengharuskan, dengan ancaman akan kehilangan otentisitasnya

atau dikenakan denda, adanya tandatangan para pihak yang bersangkutan, atau setidaknya di

dalam akta itu diterangkan apa yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta itu oleh

pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta

huruf, atau tangannya lumpuh, atau sebab lainnya. Keterangan mana harus dicantumkan

Notaris dalam akta itu dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti tandatangan.

Dengan demikian penandatanganan dari para pihak merupakan suatu keharusan pada akta

partij/akta para pihak.

Pada akta relaas/akta pejabat tidak menjadi soal apabila orang-orang yang hadir

menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya pada pembuatan berita acara rapat

pemegang saham dalam perseroan terbatas orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat

sebelum akta itu ditanda tangani, maka Notaris cukup menerangkan dalam akta, bahwa para

pemegang saham yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu, dan

dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik.

Pembedaan kedua akta tersebut penting dalam kaitannya dengan beban pembuktian

sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Terhadap kebenaran isi dari akta relaas/akta

pejabat tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan
pada akta partij/akta para pihak dapat digugat isinya tanpa menuduh akan kepalsuannya,

dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan adalah tidak

benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenankan pembuktian sebaliknya

(tegenbewijs).

Pembedaan tersebut juga menimbulkan ciri pada masing-masing akta, maka yang dapat

dipastikan secara otentik dalam akta partij/akta para pihak terhadap pihak lain, adalah :

1. Tanggal dari akta itu.

2. Tandatangan-tandatangan yang ada dalam akta itu.

3. Identitas dari orang-orang yang hadir.

4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa yang

diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam

akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti

antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.

Mengacu pada pendapat atau teori dari Hartkamp yang menyatakan bahwa perjanjian adalah

tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan

perihal aturan bentuk formal oleh perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung

satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak

lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah (semua) pihak bertimbal balik,

diperoleh hasil analisa bahwa tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan

ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal oleh perjumpaan pernyataan

kehendak antara para pihak, yang dalam penelitian ini diawali dengan perjanjian pokok

berupa perjanjian kredit yang kemudian pembebanannya dilakukan dengan akta jaminan

fidusia, dan berpedoman pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, serta ketentuan

mengenai bentuk akta Notaris, yang termuat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 65 UU
Jabatan Notaris, serta mengacu pula pada ketentuan dalam Pasal 6 UU Jaminan Fidusia, hasil

penelitian terhadap jenis akta jaminan fidusia memperoleh suatu kesimpulan bahwa; akta

jaminan fidusia adalah termasuk jenis akta partij atau akta para pihak.

Ciri yang paling menonjol dalam akta jaminan fidusia yang memberikannya kepastian secara

otentik terhadap pihak lain, sehingga dapat digolongkan sebagai jenis partij akte / akta para

pihak, adalah :

1. Tanggal dari akta jaminan fidusia.

2. Tandatangan yang ada dalam akta jaminan fidusia.

3. Identitas dari para pihak maupun saksi.

4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta jaminan fidusia itu adalah sesuai

dengan apa yang diterangkan oleh para pihak/para penghadap kepada notaris

untuk dicantumkan dalam akta itu.

Beberapa asas yang dianut dalam UUJF adalah:

1. asas kepastian hokum.

2. asas publisitas.

3. asas perlindungan yang seimbang.

4. asas menampung kebutuhan praktek.

5. asas tertulis otentik.

6. asas pemberian kedudukan yang kuat kepada kreditor

Jaminan fidusia harus didaftarkan, seperti yang diatur dalam Pasal 11 UUJF. Dengan

adanya pendaftaran tersebut, UUJF memenuhi asas publisitas yang merupakan salah satu asas

utama hukum jaminan kebendaan. Ketentuan tersebut.dibuat dengan tujuan bahwa benda

yang, dijadikan obyek benar-benar merupakan barang kepunyaan debitor atau pemberi

fidusia sehingga kalau ada pihak lain yang hendak mengklaim benda tersebut, ia dapat

mengetahuinya melalui pengumuman tersebut. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan pada


Kantor Pendaftaran Fidusia dilingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

RI, dimana untuk pertama kalinya, kantor tersebut didirikan dengan wilayah kerja mencakup

seluruh wilayah negara RI.

Untuk pertama. sekali dalam sejarah hukum Indonesia, adanya kewajiban untuk

mendaftarkan fidusia ke instansi vang berwenang. Kewajiban tersebut bersumber dan Pasal

11 dari UUJF. Pendaftaran fidusia. dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat

kedudukan pihak pemberi fidusia. Pendaftaran fidusia dilakukan terhadap hal-hal sebagai

berikut:

a. Benda Objek Jaminan Fidusia yang berada di dalam negeri (Pasal 11 ayat (l)).

b. Benda objek jaminan Fidusia yang berada di luar negeri (Pasal 11 ayat (2)).

c. Terhadap perubahan isi sertifikat jaminan fidusia. (Pasal 16 ayat (1)). Perubahan ini tidak

perlu dilakukan dengan akta notaris tetapi perlu diberitahukan kepada para pihak.

Pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai akibat terhadap pihak ketiga. Dengan

pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat pada benda yang

bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan di sana, dan dalam

hal pihak ketiga lalai untuk memperhatikan/ mengontrol register/daftar, maka ia dengan tidak

bias mengharapkan. Adanya perlindungan berdasarkan itikad baik harus memikul risiko

kerugian Namun, sehubungan. dengan adanya KPF hanya terbatas di kota-kota besar dan hal

itu membawa konsekuensi pada biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran dan

checking. Tujuan dari, pendaftaran adalah memberikan kepastian hukum kepada penerima

fidusia dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan

mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia terbuka untuk umum. Kecuali terhadap

barang persediaan, melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempuma dari jaminan

fidusia sehingga memperoleh sifat sebagai hak kebendaan (right in reni) dengan asas droit de

suit.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jenis akta jaminan fidusia adalah termasuk jenis akta partij atau akta para pihak. Ciri

yang paling menonjol dalam akta jaminan fidusia yang memberikannya kepastian secara

otentik terhadap pihak lain, sehingga dapat digolongkan sebagai jenis akta partij/akta para

pihak, adalah adanya kepastian mengenai; tanggal dari akta jaminan fidusia,tandatangan yang

ada dalam akta jaminan fidusia, identitas dari para pihak maupun saksi, dan yang terpenting

adalah bahwa apa yang tercantum dalam akta jaminan fidusia itu adalah sesuai dengan apa

yang diterangkan oleh para pihak/para penghadap kepada notaris untuk dicantumkan dalam

akta itu.

Perlindungan hukum terhadap kreditor dalam hal tidak didaftarkannya akta jaminan

fidusia, diwujudkan dalam surat kuasa pendaftaran/pemasangan akta jaminan fidusia yang

dibuat terpisah dengan akta jaminan fidusia. Selain itu kreditor selaku pemegang jaminan

fidusia dapat meminta pertanggungjawaban notaris yang tidak melaksanakan pendaftaran

jaminan fidusia sesuai surat kuasa yang diberikan. Tanggung jawab hukum notaris yang

dapat dituntut oleh kreditor adalah membayar ganti rugi kepada kreditor berdasarkan alasan

hukum bahwa notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan kreditor.

Saran

Dalam konsep yang paling dasar notarislah yang sebenarnya harus memberikan

arahan pentingnya tindak lanjut berupa pendaftaran terhadap akta jaminan fidusia, karena

dengan tidak didaftarkannya akta jaminan fidusia akan memberikan risiko pada kliennya.

Para Pihak dalam akta jaminan fidusia harus mengetahui bahwa pendaftaran fidusia sangatlah
penting, diharapkan dengan kesadaran yang demikian, praktek akta jaminan fidusia yang

hanya berakhir di meja notaris (sehingga melemahkan perlindungan hukum terhadap kreditor

selaku penerima jaminan fidusia atau tidak terdapat perlindungan kepadanya sebagai kreditor

preferen) tidak terjadi lagi, dan kepentingan para pihak dapat terlindungi.

UU Jaminan Fidusia tidak merinci lebih tegas sampai kapan pendaftaran jaminan

fidusia tersebut harus didaftarkan (setelah Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia

menandatangani akta Jaminan Fidusia dihadapan Notaris), sehingga menyebabkan masih

banyaknya jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Untuk itu selayaknya undang-undang

mengatur secara tegas mengenai batas waktu untuk melakukan pendaftaran tersebut, agar

tidak ada lagi celah bagi Pemberi Fidusia, Penerima Fidusia maupun Notaris untuk tidak

mendaftarkannya kepada instansi yang berwenang.

Walaupun diketahui bersama bahwa pendaftaran jaminan fidusia merupakan suatu

kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang, namun seringkali tidak dilakukan dengan

pertimbangan penghematan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan demikian, selayaknya

pembuat kebijakan mengkaji ulang mengenai besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk

melakukan pendaftaran tersebut, agar dapat mencapai rasa keadilan bagi para pihak,

khususnya kreditor selaku penerima jaminan fidusia sebagai pihak yang berkewajiban untuk

melakukan pendaftaran.
DAFTAR PUSTAKA :

UU NO. 42 TAHUN 1999

Satrio, J. S.H., 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1996, Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, Airlangga University

Press, Surabaya.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1982, Himpunan Karya Tentang Jaminan,, Cetakan

Pertama, Liberty, Yogyakarta.

Usman, Rahman. 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai