ABSTRAK
Makalah ini memaparkan perbandingan respon spektra desain berdasarkan SNI 03-1726-2002
dengan SNI 1726:2012 untuk Kota Tarutung. Lokasi kajian dibatasi pada koordinat 2,010986o LU
dan 98,959381o BT. Pedoman SNI 03-1726-2002 mengacu pada UBC 1997 yang menggunakan
gempa 500 tahun (10 % terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) sementara SNI 1726:2012
menggunakan gempa 2500 tahun (2% terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) yang didesain
untuk menghindari keruntuhan pada maximum considered earthquake (MCE) dibandingkan dengan
gempa 500 tahun yang menyediakan kondisi life safety. Hasil kajian respon spektra desain Kota
Tarutung berdasarkan SNI 1726:2012 menunjukkan adanya kenaikan nilai spectral acceleration
dibandingkan SNI 03-1726-2002. Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai spectral acceleration
maksimum adalah 0,85 sedangkan berdasarkan SNI 1726:2012 nilai maksimumnya 1,0. Bangunan di
Kota Tarutung yang dibangun dengan mengacu pada SNI 1726:2012 akan lebih aman apabila dilanda
gempa di masa depan dibandingkan dengan bangunan yang dibangun berdasarkan SNI 03-1726-
2002. Oleh sebab itu dalam upaya mitigasi bencana gempa di Kota Tarutung, diperlukan evaluasi
terhadap rumah dan bangunan yang dibangun berdasarkan SNI-03-1726-2002.
Kata kunci: respon spektra desain, Tarutung, bangunan tahan gempa, SNI 03-1726-2002, SNI
1726:2012
1. PENDAHULUAN
Daratan Sumatera dilalui oleh patahan-patahan yang sering menyebabkan terjadinya gempa. Peristiwa-peristiwa
gempa pada jalur patahan yang pernah terjadi di beberapa daerah di Sumatera Utara diantaranya di Sibolga pada 11
November 1852 dengan kekuatan 6,8 SR, kemudian pada 17 Mei 1892 di Barat Danau Toba, pada 28 Desember
1935 di Sibolga (7,9 SR), 9 September 1936 di Tanah Karo (7,2 SR), 27 Agustus 1984 di Tarutung (5,2 SR), 25
April 1987 di Tarutung (6.6 SR), 17 Desember 2006 di Muara Siponggi (5,8 SR) dan 14 Juni 2011 di Tarutung (5,5
SR). Dari catatan data tersebut menunjukkan Kota Tarutung termasuk kota yang rawan bencana gempa bumi,
kondisi fisik kota yang rawan bencana gempa disebabkan oleh keadaan geoteknik dan geologis kota tersebut yang
dilalui oleh jalur patahan aktif (Sitinjak, 2011).
Kajian terhadap kejadian-kejadian gempa besar yang akhir-akhir ini melanda Indonesia seperti gempa Aceh (2004)
dan gempa Nias (2005) salah satunya memberikan kesimpulan bahwa magnitude gempa yang terjadi ternyata lebih
besar dari magnitude maksimum yang diperkirakan sebelumnya dalam standar perencanaan struktur tahan gempa
(Irsyam, dkk., 2010) dan berdasarkan kajian tersebut, SNI 03-1726-2002 dinilai sudah tidak sesuai lagi untuk
diterapkan sebagai pedoman perencanaan struktur tahan gempa, sehingga diperlukan revisi pedoman yang baru
disahkan yaitu menjadi SNI 1726:2012. Pedoman SNI 03-1726-2002 mengacu pada UBC 1997 yang menggunakan
gempa 500 tahun (10% terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) sementara peraturan-peraturan gempa modern
saat ini telah menggunakan gempa 2500 tahun (2% terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) seperti pada
NEHRP 1997, ASCE 7-98 dan IBC 2000 (Imran, 2010). Pedoman SNI 1726:2012 yang baru disahkan sebelumnya
merupakan RSNI 03-1726-201x yang mengacu pada ASCE 7-10. Perbedaan yang mendasar dalam SNI 1726:2012
adalah penggunaan gempa 2500 tahun yang didesain untuk menghindari keruntuhan pada Maximum Considered
Earthquake (MCE) dibandingkan dengan gempa 500 tahun yang menyediakan kondisi life safety (Ghosh, 2008).
Peta gempa 2500 tahun dibuat dengan suatu estimasi faktor aman minimum terhadap keruntuhan yang disepakati
berdasarkan pengalaman dan keputusan konservatif sebesar 1,5, sehingga dalam analisis ini akan digunakan nilai 2/3
(1/1,5). Artinya, jika suatu struktur terkena suatu gempa 1,5 kali lebih besar dari gempa rencana, maka kecil
kemungkinan struktur tersebut mengalami keruntuhan (Naeim, 2001). Akan tetapi, faktor aman sesungguhnya masih
dipengaruhi oleh tipe struktur, detailing dan lain-lain (Bozorgnia and Bertero, 2004). Dengan pertimbangan bahwa
pencegahan terhadap runtuhnya suatu bangunan yang dikenai gempa besar yang relatif jarang terjadi (gempa 2500
tahun) serta faktor aman 1,5 terhadap keruntuhan, maka ASCE (dan IBC serta NEHRP) mendefinisikan desain
gerakan tanah sebagai 1/1,5 (atau 2/3) kali gempa 2500 tahun (Naeim, 2001). Penggunaan percepatan 0,2 dan 1
detik dikarenakan pada interval tersebut mengandung energi gempa terbesar (AISC, 2005). Selain itu, periode 0,2
detik umumnya mewakili periode getar struktur terpendek (bangunan 2 tingkat) yang direncanakan menurut
ketentuan ASCE yang telah mempertimbangkan efek dari tanah, goyangan pada fondasi dan faktor lain yang
biasanya diabaikan dalam analisis struktur (Taranath, 2010).
Respon spektra adalah suatu spektra yang disajikan dalam bentuk plot antara periode getar struktur T terhadap
respon-respon maksimum berdasarkan rasio redaman dan gempa tertentu. Respon-respon maksimum dapat berupa
simpangan maksimum, kecepatan maksimum atau percepatan maksimum massa struktur single degree of freedom
(SDOF), (Widodo, 2001). Respon spektra berdasarkan SNI 1726:2012 mengacu pada respon spektra elastik yang
direduksi dengan suatu nilai R dan redaman 5% (FEMA 451B, 2007). Nilai R tersebut diperhitungkan terhadap
suplai daktilitas yang diantisipasikan, kuat lebih (overstrength), redaman (jika berbeda dari 5 %), kinerja struktur
yang sama yang telah lalu dan redundansi.
Studi perbandingan respon spektra sebelumnya telah dilakukan oleh Sunardi, dkk., (2013) yang melakukan kajian
perbandingan respon spektra berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan RSNI-201x (saat belum disahkan menjadi SNI
1726:2012) untuk evaluasi pelaksanaan bangunan tahan gempa untuk Kota Bantul. Hasil kajian yang diperoleh yaitu
bahwa respon spektra desain Kota Bantul berdasarkan rancangan RSNI-201x menunjukkan adanya kenaikan nilai
spectral acceleration dibandingkan SNI 03-1726-2002 untuk ketiga jenis tanah. Secara umum, bangunan di Kota
Bantul yang dirancang berdasarkan SNI 1726:2012 akan lebih aman terhadap gempa yang mungkin terjadi di masa
datang dibandingkan dengan bangunan yang dirancang dengan mengacu RSNI-201x. Mengingat besarnya
kerusakan rumah dan kerugian yang timbul akibat gempa, maka perencanaan bangunan-bangunan tahan gempa
sangat diperlukan. Kajian ini bertujuan untuk membandingkan respon spektra berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan
berdasarkan SNI 1726:2012 sebagai evaluasi pelaksanaan bangunan tahan gempa di Kota Tarutung.
2,010986o LU;
98,959381o BT
Peristiwa gempa yang kerap terjadi di Daratan Sumatera selain disebabkan oleh aktivitas tektonik lempeng bumi di
Pantai Barat Sumatera, juga dapat disebabkan oleh aktivitas patahan/sesar aktif. Rangkaian patahan di Daratan
Sumatera terbentang dari paling barat Pulau Sumatera yaitu Kota Banda Aceh sampai Kota Agung di Bandar
Lampung. Kota Tarutung termasuk salah satu daerah yang dilalui oleh jalur patahan yang menjadi sumber ancaman
bencana gempa yaitu patahan aktif Toru (Sitinjak, 2011) seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 2. Secara khusus
untuk Kota Tarutung sendiri memiliki tingkat keaktifan yang tinggi karena telah terjadi gempa sebanyak 3 kali
dengan periode ulang yang tidak terlalu lama. Gempa di Tarutung yang terjadi tahun 1987 mengakibatkan
lumpuhnya Kota Tarutung, dan ketika gempa terjadi lagi tahun 2011 ternyata masih mengakibatkan kerusakan-
kerusakan yang berarti pada bangunan di daerah tersebut dan menyebabkan kerugian miliaran rupiah. Hal ini berarti
perencanaan bangunan-bangunan yang tahan gempa sangat diperlukan.
6N
1B
Banda Aceh
1A Lhokseumawe
100km
Meulaboh 1C
4N
Soesoh
Medan
Tapaktuan
Singkil 1D
Tarutung 2N
1E
Sibolga
Pekanbaru
Natal 1G
1F
0 1H
Payakumbuh
PadangPanjang Sawahlunto
1J
Padang
1K Jambi
1L
2S
Sungaipenuh
1
Mukomuko
1A.Aceh (200km) 1K.Suliti (95km)
1B Seulimeum (120km) 1L.Siulak (70km) Kataun 1N
1O Palembang
1C Tripa (180km) 1M.Dikit (60km)
Lahat
1D Renun (220km) 1N.Ketahun (85km) Bengkulu
4N 1P
1E Toru (95km) 1O.Musi (70km) Manna
1F Angkola (160km) 1P.Manna (85km)
1G Barumun (125km) 1Q Kumering (150km) Bintuan 1Q
Kroet BandarLampung
1H Sumpur (35km) 1R.Semangko (65km) 1R
Kotaagung
1I Sianok (90km) 1S Sunda
6N
3. RESPON SPEKTRA
3.1 SNI 03-1726-2002
Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar berdasarkan SNI 03-1726
03-1726-2002 dengan periode
ulang 500 tahun ditunjukkan oleh Gambar 3. Kota Tarutung, berdasarkan SNI 03
03-1726-2002
-2002 masuk dalam wilayah
4 (warna kuning).
Tarutung
Gambar 5. Peta hazard gempa Indonesia di batuan dasar pada spektra T = 0.2 detik
untuk 2% PE 50 tahun (SNI 1726:2012).
Gambar 6. Peta
hazard gempa Indonesia di batuan dasar pada spektra T = 1 detik
untuk 2% PE 50 tahun (SNI 1726:2012).
Untuk membuat respon spektra diperlukan juga faktor site coefficient Fa dan Fv. Fa adalah site coefficient periode
pendek 0,2 detik dan Fv adalah site coefficient periode 1 detik. Diketahui untuk Kota Tarutung dengan Ss 1,5 g
maka faktor site coefficient Fa untuk tanah keras (SC) sebesar 1,0; tanah sedang (SD) sebesar 1,0; dan tanah lunak
(SE) sebesar 0,9 g. Sedangkan S1 Kota Tarutung 0,6 maka faktor site coefficient Fv untuk tanah keras (SC) sebesar
1,3; tanah sedang (SD) sebesar 1,5; dan tanah lunak (SE) sebesar 2,4.
Sebagaimana respon spektra wilayah 4 dalam SNI 03-1726-2002, maka respon spektra berdasarkan SNI 1726:2012
juga bisa dibuat untuk tiga (3) jenis tanah yaitu tanah keras (SC), tanah sedang (SD) dan tanah lunak (SE). Hubungan
koefisien-koefisien situs dan parameter respon spektra dinyatakan dalam persamaan berikut ini.
Tabel 1. Rangkuman komponen perhitungan untuk membuat respon spektra Kota Tarutung
4. METODOLOGI
Kajian diawali dengan identifikasi masalah yang berkaitan dengan terbitnya SNI 1726:2012 yang dimaksudkan
sebagai pengganti SNI 03-1726-2002, kemudian dilanjutkan dengan studi pustaka hal-hal yang terkait. Tahap
berikutnya adalah penentuan respon spektra desain Kota Tarutung berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI
1726:2012 dengan excel. Selanjutnya kedua hasil tersebut dibandingkan untuk melihat seberapa besar perubahan
yang terjadi. Dari perbandingan kedua hasil tersebut kemudian ditarik kesimpulan. Secara umum langkah-langkah
dalam penelitian ini dapat dirangkum dalam diagram alir penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.
Tanah Keras
Tanah Sedang
Tanah Lunak
Seismic Coefficient C
T (detik)
Gambar 8. Respon spektra desain Kota Tarutung yang masuk dalam wilayah 4 (SNI 03-1726-2002).
Gambar 10. Perbandingan respon spektra desain Gambar 11. Perbandingan respon spektra desain
Kota Tarutung untuk jenis tanah keras (SC) berdasarkan Kota Tarutung untuk jenis tanah sedang (SD)berdasarkan
SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012. SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012
Nilai spectral acceleration SA maksimum Kota Tarutung berdasarkan SNI 03-1726-2002 untuk jenis tanah keras
(SC) adalah 0,6 sedangkan berdasarkan SNI 1726:2012 nilainya 1,0. Dengan demikian ada kenaikan nilai spectral
acceleration maksimum sebesar 0,4. Untuk jenis tanah sedang (SD) ada kenaikan nilai spectral acceleration sebesar
0,3 dari semula 0,7 (SNI 03-1726-2002) menjadi 1,0 (SNI 1726:2012) dan untuk jenis tanah lunak (SE) terdapat
kenaikan nilai spectral acceleration maksimum sebesar 0,05 dari semula 0,85 (SNI 03-1726-2002) menjadi 0,9 (SNI
1726:2012).
Bangunan di Kota Tarutung yang dibangun di atas tanah keras (SC), sedang (SD) maupun lunak (SE) yang mengacu
SNI 1726:2012 akan jauh lebih aman terhadap gempa dibandingkan dengan bangunan yang dirancang dengan SNI
03-1726-2002. Pedoman SNI 1726:2012 telah didesain lebih spesifik dan mendetail untuk menghindari risiko
bangunan runtuh (collaps) dibandingkan dengan pedoman SNI 03-1726-2002 yang hanya menyediakan kondisi life
safety, sehingga persyaratan yang digunakan dalam SNI 1726:2012 sudah jauh lebih tinggi. Bangunan yang
dirancang dengan mengacu SNI 1726:2012 akan lebih spesifik dan detail dalam perhitungan dan perancangannya,
baik pada lokasi yang berbeda maupun jenis tanah yang berbeda (Sunardi dkk., 2013). Respon spektra yang
diperoleh berdasarkan SNI 1726:2012 juga lebih akurat karena melibatkan peta respon spektra 0,2 dan 1 detik.
Dengan kenyataan tersebut tentu saja diperlukan evaluasi terhadap bangunan-bangunan di Kota Tarutung yang
mengacu pada standar SNI 03-1726-2002 terutama bangunan-bangunan publik atau fasilitas umum sebagai salah
satu upaya dalam mitigasi terhadap bencana gempa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Mengingat Kota Tarutung merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana
gempa, maka selain perlunya evaluasi terhadap bangunan yang telah ada, maka pembangunan bangunan-bangunan
baru di sekitar Kota Tarutung sebaiknya mulai mengacu pada SNI 1726:2012 karena secara umum, bangunan yang
dirancang dengan mengacu SNI 1726:2012 tentu akan lebih aman terhadap gempa di masa mendatang dibandingkan
dengan bangunan yang dirancang berdasarkan SNI 03-1726-2002.
6. KESIMPULAN
1. Respon spektra desain Kota Tarutung berdasarkan rancangan SNI 1726:2012 menunjukkan adanya kenaikan
nilai spectral acceleration maksimum dibandingkan SNI 03-1726-2002. Untuk jenis tanah keras (SC) naik 0,4;
untuk jenis tanah sedang (SD) naik 0,3; dan untuk jenis tanah lunak (SE) naik 0,05.
2. Secara umum, bangunan di Kota Tarutung yang dirancang berdasarkan SNI 1726:2012 akan lebih aman
terhadap gempa yang mungkin terjadi di masa datang dibandingkan dengan bangunan yang dirancang dengan
mengacu SNI 03-1726-2002.
DAFTAR PUSTAKA
ASCE Standard ASCE/SEI. (2010). Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures (ASCE 7-10).
Virginia.
American Institute of Steel Construction, Inc., AISC. (2005). Seismic Design Manual (AISC 327-05). Chicago
Bozorgnia, Y. dan Bertero, V. (2004). Earthquake Engineering, From Engineering Seismology to Performance
Based Engineering. CRC Press, New York.
Farzad Naeim. (2001). The Seismic Design Handbook, 2nd ed. Kluwer Academic Publishers, Boston.
FEMA 451B. (2007). NEHRP Recommended Provisions for New Buildings & Others Structures, Training &
Instructional Materials. Washington.
Imran, I. dan Boediono, B. (2010). Mengapa Gedung-Gedung Kita Runtuh Saat Gempa. Shortcourse HAKI, Jakarta.
Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H. et al. (2010). Ringkasan
Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010.
Sitinjak, F., (2011). Adaptasi Dan Antisipasi Bencana Gempa Berdasarkan Persepsi Masyarakat Studi Kasus: Kota
Tarutung. Tesis S2 Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Medan.
SNI 03-1726-2002. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Ketahanan Bangunan Gedung.
SNI 1726:2012. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung Dan Non Gedung.
Sunardi, B., Aribowo B.S., Teguh, M. (2013). Studi Perbandingan Respon Spektra Kota Bantul Berdasarkan SNI
03-1726-2002 Dan RSNI-201X Untuk Evaluasi Pelaksanaan Bangunan Tahan Gempa. Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Taranath, B. S. (2010). Reinforced Concrete Design of Tall Buildings. CRC Press, New York.
Widodo. (2001). Respon Dinamik Struktur Elastik. Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Universitas Islam Indonesia.
Widodo. (2012). Seismic Hazard Assessment Conditional Probability. Manajemen Rekayasa Kegempaan. Magister
Teknik Sipil. Universita Islam Indonesia. Jogjakarta