Anda di halaman 1dari 2

Author :: Bungko Dewa

Date :: Sen 03/07/2011 @ 02:16


Dalam kesempatan kunjungan ke Provinsi Kepualau Riau dan terlibat perbincangan dengan
berbagai kalangan di penghujung bulan Februari kemarin, saya melihat ada satu pokok
masalah yang perlu mendapat perhatian yang cukup serius di Provinsi Kepulauan Riau,
yaitu kesenjangan pembangunan daerah di kawasan perbatasan. Baik dibandingkan dengan
ibu kota provinsi apalagi untuk membandingkannya dengan negara-negara tetangga di
perbatasan.
Di Provinsi Kepri terdapat 2804 pulau (yang bernama maupun yang belum bernama), tetapi
yang tercatat di PBB hanya 1704 pulau. PBB rupanya tidak mencatat pulau-pulau yang
tenggelam saat air laut pasang. Dari pulau-pulau yang tersebar tersebut terdapat 19 pulau
terluar (terdepan), yaitu; Pulau Iyu Kecil, Pulau Karimun Kecil, Pulau Nipah, Pulau
Pelampong, Pulau Batu Barhanti, Pulau Nongso, Pulau Sentut, Pulau Tongkong Malangbiru,
Pulau Damar, Pulau Mangkai, Pulau Tokong Nanas, Pulau Tokong Belayar, Pulau Tokong
Boro, Pulau Semiun, Pulau Sebetul, Pulau Sekatung, Pulau Senua, Pulau Subi Kecil, dan
Pulau Kepala.
Kesenjangan daerah kawasan perbatasan tersebut menjadi sangat rawan karena
kemampuan infrastruktur pembangunan belum menjangkau daerah perbatasan secara
maksimal. Pulau-pulau terluar kurang mendapatkan akses informasi yang diperlukan
masyarakat di perbatasan, walapun di Provinsi Kepri terdapat 4 (empat) stasiun televisi lokal
(Barelang TV, Batam TV, Semenanjung TV, dan Urban TV). Televisi swasta nasional seperti
RCTI, SCTV, Trans TV, TPI, Indosiar, dan Metro TV juga telah merambah siarannya ke
Provinsi Kepri tetapi dengan audio dan gambar yang kurang sempurna walaupun telah
dipasangkan antena parabola. Sementara siaran televisi negara tetangga dari kelompok
Mediacorp Singapura maupun siaran televisi Malaysia dapat ditangkap dengan jernih hanya
dengan menancapkan antenna TV biasa.
Agar tidak tertinggal jauh dari negara tetangga, Presiden SBY pada tanggal 21 Desember
2010 telah meresmikan pemancar siaran digital pada TVRI Batam dengan harapan
masyarakat di perbatasan yang terbiasa menonton siaran negara tetangga dapat beralih ke
televisi nasional. Tetapi persoalan kesenjangan ternyata bukan hanya soal kualitas audio
dan gambar, melainkan juga kualitas isi siaran. Masyarakat perbatasan lebih senang
menonton film kartun Singapura dan film anak-anak dari Malaysia ketimbang sinetron
Indonesia. Untuk itu harus ada langkah berani untuk menjadikan masyarakat perbatasan
sebagai target pemirsa dengan suguhan isi siaran sesuai kebutuhan dan budaya asli
Indonesia.
Wilayah blankspot di Provinsi Kepri memang masih banyak. Radio Republik Indonesia (RRI)
stasiun Tanjung Pinang dan Stasiun Batam sendiri sulit untuk menjangkau daerah-daerah
perbatasan, walapun telah didirikan stasiun transmisi di beberapa kabupaten. Menurut
Syahrul Razi, Kepala Seksi Pelayanan dan Usaha LPP RRI Tanjung Pinang, menurut
perhitungan jangkau siaran seharusnya RRI bias menembus beberapa daerah perbatasan,
tetapi ternyata siaran RRI tidak mampu memasuki wilayah perbatasan. Mungkin frekuensi
siaran kita di blok oleh frekuensi negara tetangga, begitu kata Syahrul.
Lemahnya akses pemerintah menjangkau daerah perbatasan dapat berimplikasi pada
gangguan aspek pancagatra, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan negara. Dengan akses informasi yang begitu kuat dari negara tetangga akan
memudahkan masuknya pemahaman ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila.
Begitupun juga masyarakat di perbatasan lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan politik
negara tetangga. Belum lagi jika dilihat dari aspek penyebaran budaya yang disodorkan oleh
negara tetangga lewat siaran-siaran yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
terinternalisasi dalam benak masyarakat perbatasan, terutama bagi generasi muda dan
anak-anak yang baru tumbuh kembang. Mengingat luasnya wilayah pulau-pulau terluar yang
tidak terintegrasi dengan pola distribusi penduduk yang tidak merata menye

Anda mungkin juga menyukai