Anda di halaman 1dari 6

Tugas Etika Profesi Kelompok 1

Nama kelompok:

1) Novi Cahyani (30116076)


2) Putri Nurmalasari (30116082)
3) Sri Puji Lestari (30116094)
4) Umi Maratus (30116098)
5) Yhoan Meyko P (30116104)
6) Yustiarini Dian K. C. D (30116105)

1. Bolehkah rumah sakit menolak pasien dengan alasan keterbatasan alat? Jelaskan
alasanmu dengan berbagai undang-undang yang terkait?
Jawab:
Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang
kesehatan(“UU Kesehatan”).

Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 85 UU Kesehatan yang berbunyi:

1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun


swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka terlebih dahulu.
Mengenai ketersediaan alat medis, pada dasarnya, rumah sakit harus memenuhi
persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan
peralatan, demikian yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU Rumah Sakit”).
Adapun persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan
mutu, keamanan, keselamatan dan laik pakai (Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit).
Yang dimaksud dengan peralatan medis berdasarkan penjelasan Pasal 16 ayat (1)
UU Rumah Sakit adalah peralatan yang digunakan untuk keperluan diagnosa, terapi,
rehabilitasi dan penelitian medik baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang
dimaksud dengan peralatan nonmedis adalah peralatan yang digunakan untuk mendukung
keperluan tindakan medis. Yang dimaksud dengan standar peralatan medis disesuaikan
dengan standar yang mengikuti standar industri peralatan medik.
Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan (termasuk persyaratan tersedianya
peralatan medis) yang dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 16, maka berdasarkan Pasal
17 UU Rumah Sakit, rumah sakit tersebut tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau
tidak diperpanjang izin operasionalnya.
2. Dalam pelayanan rumah sakit terdapat layanan IGD, IRD, dan UGD.
a. Apa pengertiannya?
b. Jelaskan persamaannya?
c. Jelaskan perbedaannya?

Jawab:

a. Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang
menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang
dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Di UGD dapat ditemukan dokter dari
berbagai spesialisasibersama sejumlah perawat dan juga asisten dokter.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah layanan yang disediakan untuk
kebutuhan pasien yang dalam kondisi gawat darurat dan harus segera dibawa ke
rumah sakit untuk mendapatkan penanganan darurat yang cepat. Sistem pelayanan
yang diberikan menggunakan sistem triage, dimana pelayanan diutamakan bagi
pasien dalam keadaan darurat (emergency)bukan berdasarkan antrian.
Instalasi Rawat Darurat (IRD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang
menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang
dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Di IRD dapat ditemukan dokter dari
berbagai spesialisasi sebagai dokter konsulen bersama sejumlah perawat dan
dokter umum serta asisten dokter dengan pelayanan 24 jam.
b. Kabag Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito, Trisno Heru Nugroho menjelaskan
bahwa UGD (Unit Gawat Darurat), IGD(Instalasi Gawat Darurat) serta IRD
(Instalasi Rawat Darurat) memiliki fungsi yang sama, yakni sama-sama
memberikan penanganan pada pasien gawat darurat.cHeru menambahkan,
umumnya UGD terdapat di rumah sakit skala kecil hingga sedang. Dokter yang
berjaga selama 24 jam di UGD adalah dokter umum. Selanjutnya, berhubung
bentuknya adalah unit, lingkupnya lebih kecil daripada IGD. "Kalau IGD
biasanya ada di Rumah Sakit besar. Ada dokter dengan empat keahlian besar yang
berjaga selama 24 jam di IGD. Mulai dari ahli kebidanan, ahli anak, ahli penyakit
dalam, dan ahli bedah.
c. Perbedaannya adalah UGD berada pada skala kecil karena bentuknya adalah unit,
sehingga ruang lingkupnya masih lebih kecil dibandingkan IGD. UGD biasanya
terdapat pada puskesmas, klinik dan rumah sakit kecil, sedangkan IGD biasanya
terdapat pada rumah sakit besar baik milik pemerintah maupun swasta. Umumnya
UGD dijaga oleh dokter umum. Sedangkan IGD dijaga oleh dokter berkeahlian
tertentu. Seperti spesialis anak, ahli kebidanan, penyakit dalam, maupun bedah.
Namun pada prinsip pelayanan maupun alur pelayanan diantara keduanya sama
saja, tidak ada yang membedakan. Semua merupakan tempat penanganan awal
dari suatu kasus kegawatdaruratan.
3. Kejadian di suatu rumah sakit. Pasien C mengalami salah diagnose tumor. Pemeriksaan I
tumor tidak ganas, pemeriksaan II tumor ganas. Setahun berikutnya ada keluhan benjolan
perut, nyawa pasien C tidak tertolong.
a. Bagaimana analisis dari pasien tersebut?
b. Apakah sanksi yang diberikan untuk tenaga kesehatan dan rumah sakit?
c. Bagaimana tanggungjawab rumah sakit terhadap pasien?

Jawab:

a. Ketika seseorang ingin memeriksakan dirinya karena mengalami sakit, maka orang
tersebut akan mengikatkan dirinya kepada tenaga kesehatan yaitu rumah sakit ataupun
dokter. Saat orang tersebut memiliki niat untuk memeriksakan sakitnya kepada rumah
sakit atau dokter, maka orang tersebut secara tidak langsung telah melakukan sebuah
pemberian kepercayaan kepada rumah sakit atau dokter untuk melakukan sebuah upaya
penyembuhan penyakit yang dialami orang tersebut. Dan pada saat itulah orang tersebut
mengikatkan dirinya untuk dilakukan pemeriksaan.
Dokter sebagai tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya penyembuhan
berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum agar ia dapat berkerja sesuai
dengan standar profesinya dengan tenang tanpa diganggu perasaan was-was bahwa
kemungkinan ia akan digugat oleh pasiennya sepanjang ia benar-benar melakukan
tugasnya sesuai dengan standar profesinya.
Saat kedua subjek ini saling berhadapan, dokter berhak menerima identitas,
riwayat dan segala keluhan dari pasien, dokter akan menerima sebuah identitas dan
informasi keluhan kesehatannya untuk dijadikan dasar dalam menentukan tindakan lebih
lanjut dalam upaya pelayanan medis. Setelah dokter mendengarkan berbagai keluhan dari
pasien maka dokter merencanakan dan menganalisis penyakit serta merencanakan
pengobatan, perawatan dan tindakan medis yang harus diberikan kepada pasien. Dokter
dapat yakin memberikan sebuah terapi dan obat sebagai bentuk upaya untuk kesembuhan
pasien.
Setelah rekam medis dilakukan secara baik, maka dokter menawarkan persetujuan
tindakan kedokteran (informed consent). Persetujuan tindakan medis ini dilakukan setelah
ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin
terjadi. Walaupun dalam kenyataannya untuk pelaksanaan pemberian informasi guna
mendapatkan persetujuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan, Namun setidak-
tidaknya persoalan telah diatur secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah
pihak untuk melakukan tindakan secara hukum. Adapun alasan lain yang menyebabkan
timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang
sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter karena situasi lain
yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang
menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini
dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagai mana
diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul
karena adanya “persetujuan tindakan medis” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan
yang memaksa atau keadaan darurat.
Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari
segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diizinkan oleh pasien
tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang
tak terduga dan bersifat negatif.
b. Atas tindakan yang dilakukannya, tersangka ( dokter ) yang salah mendiagnosa
dikenakan pasal 45 ayat 1 undang-undangnomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran dan pasal 2 ayat 1 undang-undangnomor 290 tahun 2008 tentang persetujuan
tindakan kedokteran yang menjelaskan tentang segala tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter harus mendapat persetujuan pasien. Selain itu untuk pihak rumah sakit dikenakan
pasal 1354 KUHPerdata tentang suatu bentuk hubungan hukum yang timbul karena
adanya “persetujuan tindakan medis” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang
memaksa atau keadaan darurat. Atas dasar ini tersangka terancam hukuman paling lama
15 tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 ( Lima Ratus Juta Rupiah )
pada pihak rumah sakit.
c. Pada pasal Pasal 32 huruf q undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit secara jelas mengatakan bahwa pasien memiliki hak untuk menggugat dan
menuntut rumah sakit apabila rumah sakit tidak dapat memberikan pelayanan secara baik.
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan menanggung kewajiban untuk
ikut bertanggung jawab jika terjadi kasus kelalaian ataupun kesalahan yang dilakukan
oleh dokter di lingkungan rumah sakitnya. Hal ini disebabkan karena hubungan
kontraktual antara rumah sakit dengan pihak dokter atau pihak kesehatan lainnya .
Disebutkan dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Direktur
Rumah Sakit ikut berbagi tanggung jawab bila ada kesalahan dari dokter yang menjadi
tanggung jawabnya, hal ini disebut sebagai vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokterdokternya
(sub-ordinat), asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka
melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Gugatan yang diajukan pasien untuk dapat meminta pertanggung jawaban rumah
sakit juga tertera dalam Pasal 46 undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
apabila kerugian yang ditimbulkan dilakukan oleh tenaga kesehatan atau dokternya.
Dalam hal ini rumah sakit yang dipimpin oleh Direktur ikut bertanggung jawab terhadap
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh dokter kepada pasien.
Apabila pasien menggunakan ranah hukum sebagai cara penyelesaiannya maka
rumah sakit juga dapat dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana
yang diatur dalam 1367 KUHPerdata, dengan alasan karena kesalahan yang dilakukan
oleh dokter adalah dalam kapasitasnya sebagai tenaga medis rumah sakit dan dokter juga
melaksanakan kewajibannya atas nama rumah sakit. Terhadap kesalahannya rumah sakit
sudah sepantasnya dapat juga dipertanggunggugatkan.

Anda mungkin juga menyukai