Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

‘’KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM’’

DISUSUN OLEH

ADINDA RISQIA FADHILA

FATIMAH AZ-ZAHRAH

ALVERINA WIKKE ANGGRAINI

ALIF ATHALLAH WIRACHWANDYA

TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan

kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam

bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis

tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan

gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang

tak terlihat (baca: wujud Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan

perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke

dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di

bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler

melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi

ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam

penafsiran Islam.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan

Rasul yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit,

bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:

1. Apa itu Filsafat Ketuhanan Dalam Islam ?

2. Bagaimana Pembuktian Wujud Tuhan Dalam Islam ?

3. Bagaimana Proses Terbentuknya Iman?

4. Apa yang dimaksud Keimanan dan Ketakwaan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Mengetahui Filsafat Ketuhanan Dalam Islam.

2. Mengetahui Pembuktian Wujud Tuhan dalam Islam.

3. Mengetahui Proses Terbentuknya Iman.

4. Mengetahui Arti Keimanan dan Ketakwaan.


BAB II

PEMBAHASAN

1. FILSAFAT KETUHANAN ISLAM

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan

kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta

terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani

mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap

hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan

menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa

filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan

akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. (Ahmad

Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45)

Dalam Islam, jika merujuk kepada al-Quran, didapati satu per- delapan

dari keseluruhan ayat membicarakan tentang alam jadi maupun alam tabii.

Peranan penting alam tabii dari segi kehidupan rohaniah dan intelektual juga

merangsang umatnya berusaha menghasilkan berbagai bidang ilmu yang berkaitan

dengannya (Hairudin Harun 2007: 143).

Alam tabii mampu merangsang manusia yang berkeinginan memahami

kaedah ciptaan di sebaliknya dengan penuh mendalam. Ilmu yang dikaji bukanlah

hanya ilmu sains dan teknologi saja, tetapi termasuklah ilmu yang menjadi

panduan kehidupan mereka yaitu ilmu wahyu atau dikenali sebagai ilmu agama.
Alam mempunyai nilai falsafah ketuhanan karena ia bukanlah dijadikan secara

sia-sia. Meskipun begitu, walaupun alam diakui memberikan manfaat yang

banyak kepada umat manusia, adakah mereka memahami secara batin mengapa

alam itu juga wajib dikekalkan kewujudannya? Melihat dari sudut agama,

jawaban paling tepat adalah pelestarian alam bertujuan agar manusia sentiasa

bersaksikan bahawa semuanya adalah ciptaan dan di bawah pentadbiran Tuhan.

Gesaan ayat al-Quran sepertimana dalam surah al-Ghasyiah (88:17-20)

merupakan antara tuntutan yang dimaksudkan:

Tidakkah mereka memperhatikan keadaan unta, bagaimana ia diciptakan?

Dan keadaan langit, bagaimana ia ditinggikan binaannya? Dan keadaan gunung-

ganang, bagaimana ia ditegakkan? Dan keadaan bumi, bagaimana ia

dihamparkan?

Hamka menegaskan, alam sekeliling telah mempengaruhi unsur-unsur

ketuhanan dalam diri manusia. Walau bagaimanapun, semua itu hanyalah bagi

mereka yang menyaksikan alam sekeliling dengan pancaindera masing-masing

tetapi dengan satu syarat paling utama iaitu mereka sentiasa menggunakan akal

fikiran mereka. Jelas sekali hubungan alam sekitar dengan falsafah ketuhanan

menurut Hamka memberikan gambaran bagaimana alam adalah objek teramat

penting yang perlu disaksikan oleh pancaindera dan akal manusia. Alam

mempunyai sifat dan kelakuan yang bernilai termasuklah nilai keagungan,

keajaiban, malah kegerunan (menakutkan) sehingga memberikan kesan mendalam

dalam hati dan fikiran manusia untuk bertindak secara respon seperti pemujaan

dan sembahyang.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan

filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun

membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan

dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari

keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang

dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam.

Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian

terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan

spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya

pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya

dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-

Rum: 30).

Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu

kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar

kepercayaan umat Muslim.

A. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan illah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai

untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,

misalnya dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:


‫ّللاه َعلَى ِع ْلم َو َخت َ َم َعلَى‬
َ ‫ضلَهه‬
َ َ ‫ْت َم ِن ات َ َخذَ إِلَ َهه َه َواه َوأ‬
َ ‫أَفَ َرأَي‬
‫َاوة فَ َم ْن‬
‫س ْم ِع ِه‬
َ َ َ‫علَى ب‬
َ ‫ص ِر ِه ِغش‬ َ ‫َوقَ ْل ِب ِه َو َجعَ َل‬
)٢٣( َ‫ّللاِ أَفَال تَذَ َك هرون‬
َ ‫يَ ْه ِدي ِه ِم ْن بَ ْع ِد‬
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai

Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah

mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas

penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah

(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk

dirinya sendiri:

َ ‫َوقَا َل ِف ْر َع ْو هن َيا أَيُّ َها ْال َمأل َما َع ِل ْمته لَ هك ْم ِم ْن إِلَه‬


‫غ ْي ِري فَأ َ ْو ِق ْد ِلي َيا هَا َم ه‬
‫ان‬
‫سى َوإِ ِنِّي أل ه‬
َ‫ظنُّهه ِمن‬ َ َ ‫ص ْرحا لَ َع ِلِّي أ‬
َ ‫ط ِل هع ِإ َلى ِإ َل ِه همو‬ ْ َ‫ين ف‬
َ ‫اج َع ْل ِلي‬ ِ ‫الط‬ ِّ ِ ‫َعلَى‬
)٣٨( َ‫ْال َكا ِذ ِبين‬
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan

bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian

buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan

Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-

orang pendusta".

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa

mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)

maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan
ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda

(mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Derifasi makna dari kata

ilah tersebut mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheisme adalah tidak

mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,

berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:

Tuhan (Illah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh

manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-

Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di

dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan

kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan

mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:

Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,

merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat

berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk

kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan

ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin,

1989 : 56)

Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan

manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-

tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang

dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-


tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia)

mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illallah”. Susunan kalimat

tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru

diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang

muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,

sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.

Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa

menjelaskan dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibnu Sina wa

Ibnu Rusyd” yang telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-

segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau mengatakan : Dalam ajaran Islam,

Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa

kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya. Allah

SWT mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Ia

yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada ada, tanpa perantara dari siapa

pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.

B. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah

konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah

maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin.
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang

menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan

meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max

Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan

Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori

evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya

kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang

berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh

pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh

negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,

seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India).

b. Animisme

Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif

sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu

yang selalu hidup, mempunyai rasa senang apabila kebutuhannya dipenuhi.

Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh

tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai

dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan

kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang

lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan

kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab

terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin

dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum

cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi,

karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan

kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa

hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih

mengakui tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa

disebut dengan Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi Monoteisme.

Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan

bersifat internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi

dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan

oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898)
yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia

mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama

monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan

pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap tuhan mereka, yang

tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan

evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di

Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru

untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan

tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan

tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan

yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan

didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah

monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul

Yusuf, 1993 : 26-27).

2. Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau

Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah

wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim

antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyyah. Secara garis

besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di

antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan
metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan

kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat

Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual

sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Aliran-aliran

tersebut yaitu :

a. Mu’tazilah

Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan

pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam

Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika

Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan.

Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah

adalah pecahan dari Khawarij.

b. Qodariah

Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan

berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin

dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas

perbuatannya.

c. Jabariah

Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak

dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.

Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah


d. Asy’ariyah dan Maturidiyah

Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah

dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam

kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di

atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam

yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana

yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan

perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan

koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh

kepentingan politik tertentu.

2. PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN

Adanya alam organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik,

tidak boleh memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah

menciptakannya, suatu akal yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal

percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan

dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan

kehidupan.

Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya

tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: percaya adanya

makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq adalah suatu pernyataan yang tidak benar.

Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa
diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh

karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya,

ada dengan sendirinya tanpa pencipta ?

Dalam al-Quran, penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan

dapat ditemukan dalam Q.S al-Ankabut, 29: 61-63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan

bahwa: “bangsa arab yang penyembah berhala tidak menolak eksistensi pencipta

langit dan bumi.

Berdasarkan kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa arab

sesungguhnya telah memahami dan meyakini akan eksistensi Tuhan sebagai

pencipta langit dan bumi serta pengaturnya. Namun menurut al-Quran, ada

segelintir anak manusia yang menolak eksistensi tuhan, seperti penggambaran al-

Quran dalam Q.S. al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini menegaskan bahwa: “mereka

berkata: “ kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan

kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan

eksistensi tuhan oleh sebagian kecil manusia itu, hanya didasarkan pada dugaan

semata dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang meyakinkan seperti

ditegaskan dalam klausa penutup ayat 24 tersebut, yaitu:”mereka sekali kali tidak

mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga

saja.

Banyak sekali ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang menjelaskan

tentang keberadaan Allah sebagai tuhan semesta alam seperti yang terkandung

dalam surah Ali-Imran ayat 62 yang artinya “sesungguhnya ini adalah kisah yang
benar. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan sungguh Allah Maha Perkasa ,

Maha Bijaksana.

Keesaan Allah SWT adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau

disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat

syahadat Laa ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah SWT sebagai prioritas

utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.

Banyak sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan

bahwa Tuhan adalah Wujud (ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah

tentang adanya alam semesta. Setiap sesuatu yang ada tentu diciptakan dan

pencipta adalah Allah SWT Tuhan pencipta alam semesta. Pembuktian dengan

pendekatan seperti diatas sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Jauh sebelum umat

Islam menggunakan pembuktian semacam itu, Plato telah mengemukakan teori

dalam bukunya Timaeus yang mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi

mesti ada yang menjadikan.

3. PROSES TERBENTUKNYA IMAN

Benih iman yang dibawah sejak dalam kandungan memerlukan

pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai

pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula

halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan

mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari lingkungan

keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda

mati seperti cuaca, tanah , air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung,

baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman

seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan

contoh dan teladan bagi anak-anak. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap

anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak

tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau majusi”.

Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan

proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal

ajaran Allah SWT adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah SWT.

Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah SWT, maka orang tersebut tidak

mungkin beriman kepada Allah SWT.

Disamping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan,

karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi

senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang

diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah

dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.

4. KEIMANAN DAN KETAKWAAN

Kata iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan yang

secara etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah 165, yang

artinya “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.

Iman kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu Al-

Qur’an dan Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang
yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan apa saja

untuk mewujudkan harapan dan kemauan yang menuntut Allah kepadanya.

Dalam hadits dinyatakan bahwa iman adalah hati membenarkan,lisan

mengucapkan dan dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari (tashdiiqun bil qolbi

waiqroru bil lisan wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam termaktub dalam

rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun islam.

Iman itu mengikat orang islam, ia terikat dengan segala aturan hukum

yang ada dalam islam sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh

karenanya, orang Islam itu harus Iman, sehingga ia meyakini ajaran Islam dan

secara totalitas mengamalkannya dalam seluruh kehidupannya.

Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama dalam memeluk suatu

agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk melakukan apa yang

diperintahkan dan apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau dengan kata

lain iman dapat membentuk orang jadi bertaqwa.

Dalam surah Al-Baqarah 165 dikatakan bahwa orang beriman adalah

orang yang amat sangat cinta kepada Allah. Oleh karena itu beriman kepada Allah

berarti amat sangat cinta dan yakin terhadap ajaran Allah yaitu Al-Quran. Jika kita

ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan adalah pondasi yang menopang

segala sesuatu yang berada diatasnya, yang kokoh tidaknya bangunan itu sangat

tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut. Meskipun demikian keimanan

saja tidak cukup ia harus diwujudkan dengan amal perbuatan yang baik, yang

sesuai dengan ajaran agama yang kita anut. Keimanan tidaklah sempurna jika
hanya diyakini dalam hati tapi juga harus diwujudkan dengan diikrarkan oleh lisan

dan dibuktikan dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

Keimanan adalah perbuatan yang bila diibaratkan pohon, mempunyai

pokok dan cabang. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan yang

mendorong seorang muslim berbuat amal shaleh. Seseorang dikatakan beriman

bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan mendorongnya untuk

mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinannya.

Berbicara masalah keimanan , kita bisa melihat takaran keimanan

seseorang dari tanda-tandanya seperti :

1. Jika menyebut atau mendengar nama Allah SWT hatinya bergetar, dan berusaha

agar

Allah SWT tidak lepas dari ingatannya.

2. Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan keimanan

3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu melaksanakan perintahnya

4. Menafkahkan rizky yang diperolehnya di jalan Allah

5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan

6. Memelihara amanah dan menepati janji

Manfaat dan pengaruh Iman dalam kehidupan manusia :

1. Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda

2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut

3. Iman memberikan ketentramann jiwa

4. Iman mewujudkan kehidupan yang baik

5. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen


Demikianlah manfaat iman dalam kehidupan manusia, bukan hanya

sekedar kepercayaan yang berada dalam hati manusia, tetapi dapat menjadi

kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup Islami.

Apabila suatu masyarakat terdiri dan orang-orang yang beriman, akan terbentuk

masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.

Kata taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang berati takut, menjaga,

memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan memelihara keimanan yang

diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara utuh dan konsisten

(istiqomah).

hakikat takwa sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib,

“Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur

(petunjuk) dari Allah SWT karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau

meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut

akan siksa-Nya."

Kata takwa juga sering digunakan untuk istilah menjaga diri atau menjauhi

hal-hal yang diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah Radhiallaahu

anhu ketika ditanya tentang takwa, beliau mengatakan, “Apakah kamu pernah

melewati jalanan yang berduri?” Si penanya menjawab, ”Ya”. Beliau balik

bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika aku melihat

duri, maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku tahan

langkah”. Maka berkata Abu Hurairah, ”Seperti itulah takwa.”

Karakteristik orang yang bertakwa secara umum dapat dikelompokkan ke

dalam 5 kategori / indikator ketaqwaan:


1. Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, Kitab-kitab dan para nabi, iman

kepada hari kiamat, serta qada dan qadar dengan kata lain instrumen ketaqwaan

yang pertama ini dikatakan dengan memelihara Fitrah Iman.

2. Mengeluarkan harta yang dikasihinya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang

miskin, orang-orang yang putus di perjalanan, Atau dengan kata lain mencintai

umat manusia.

3. Mendirikan shalat, puasa dan zakat

4. Menepati janji

5. Sabar disaat kepayahan, dan memiliki semangat perjuangan

6. Menahan amarah dan memaafkaan orang lain.

Hubungan Takwa dengan Allah SWT

Seseorang yang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang menghambakan

dirinya kepada Allah dan selalu menjaga hubungan dengan-Nya setiap saat.

Memelihara hubungan dengan Allah terus menerus akan menjadi kendali dirinya

sehingga dapat menghindari dari kejahatan dan kemungkaran dan membuatnya

konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Karena itu inti ketaqwaan adalah

melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Memelihara hubungan dengan Allah SWT dimulai dengan melaksanakan

tugas (ibadah) secara sungguh-sungguh dan ikhlas, dan memelihara hubungan

dengan Allah SWT dilakukan juga dengan menjauhi perbuatan yang dilarang

Allah SWT.
Hubungan Takwa dengan sesama manusia

Hubungan dengan Allah menjadi dasar bagi sesama manusia yang

bertakwa akan dapat dilihat dari peranannya ditengah-tengah masyarakat. Sikap

takwa tercermin dalam bentuk kesediaan untuk mendorong orang lain, melindungi

yang lemah dan berpihak pada kebenaran dan keadilan

Hubungan Takwa dengan Diri sendiri :

1. Sabar, yaitu sikap diri menerima apa saja yang datang kepada dirinya,

baik perintah, larangan, maupun musibah yang menimpanya. Sabar terhadap

perintah adalah menerima dan melaksanakan perintah dengan ikhlas. Dalam

melaksanakan perintah terhadap upaya untuk mengendalikan diri agar perintah itu

dapat dilaksanakan dengan baik.

2. Tawakkal, yaitu menyerahkan keputusan segala sesuatu, ikhtiar dan usaha

kepada Allah. Tawakkal bukanlah menyerah, tetapi sebaliknya usaha maksimal

tetapi hasilnya diserahkan seluruhnya kepada Allah SWT yang menentukan.

3. Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas apa saja yang diberikan Allah

atau sesame manusia. Bersyukur kepada Allah adalah sikap berterima kasih

terhadap apa saja yang telah diberikan Allah, baik dengan ucapan maupun

perbuatan. Bersyukur dengan perbuatan adalah mengucapkan hamdalah

sedangkan bersyukur dengan perbuatan adalah menggunakan nikmat yang

diberikan Allah sesuai dengan keharusannya.

4. Berani, yaitu sikap diri yang mampu menghadapi resiko sebagai

konsekuensinya dari komitmen dirinya terhadap kebenaran. Jadi berani berkaitan

dengan nilai – nilai kebenaran. Kebenaran lahir dari hubungan seseorang dengan
dirinya terutama berkaitan dengan pengendalian dari sifat – sifat buruk yang

datang dari dorongan hawa nafsunya.

Keterkaitan Antara Keimanan Dan Ketakwaan

Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan pada hakikatnya

keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan diperlukan manusia agar dapat

meraih ketakwaan. Karena setiap perbuatan atau amalan yang baik, akan diterima

oleh Allah tanpa didasari oleh Iman.

Semua bentuk ketakwaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji merupakan

bagian dan kesempurnaan iman seseorang. Amal saleh tersebut merupakan

konsekuensi dari keimanan seseorang harus menterjemahkan keyakinannya

menjadi kongkret dan menjadi satu sikap budaya untuk mengembangkan amal

saleh.

Dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara “orang

yang beriman” dengan “orang yang beramal saleh”. Iman dan amal saleh atau

iman dan takwa sangat dekat. Seolah hampa dan kosong iman seseorang kalau

tanpa amal saleh yang menyertainya. Yang secara kongkrit membuktikan bahwa

ada iman dalam hatinya. Iman adalah pondasi dasar seseorang hamba yang

menghendaki bangunan kesempurnaan taqwa dirinya.

Keterkaitan antara iman dan taqwa ini, juga disampaikan oleh Rasulullah

dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun walibasuhu at-taqwa” (iman itu telanjang

dan pakaiannya adalah taqwa). Maksud hadits ini adalah iman harus diikuti

dengan melakukan amal saleh (taqwa). Iman tanpa disertai amal saleh maka

imannya masih telanjang tanpa pakaian.


Oleh karenanya, seseorang baru dinyatakan beriman dan taqwa apabila

telah punya keyakinan yang mantap dalam hati, kemudian mengucapkan kalimat

tauhid dan kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah dan

meninggalkan segala larangan-Nya.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep

Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang

dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun

konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang

fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Kata iman berasal dari

bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan, yang secara ethimologi berarti yakin

atau percaya. Sedangkan takwa berasal dari bahasa Arab, yaitu waqa-yuwaqi-

wiqayah, secara ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri, memelihara,

dan melindungi. Pengertian Takwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits,

yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-

Nya.

Tuhan (illah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh

manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-

Nya. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la illaha illallah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan. Yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru

diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal ini berarti bahwa seorang

muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,

sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.

B. Saran

Sebagai pemula di bangku perkuliahan, kami menyadari bahwa makalah

ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan

kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi

kami untuk lebih memperbaiki atau memperdalam kajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al Karim

Yakoob,Z.A. 2012. Falsafah Alam Sekitar dalam Konteks Falsafah Ketuhanan

menurut Hamka. International Journal of Islamic Thought, 1 (6) 74- 86.

Azra, Azyumardi, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam

Perguruan Tinggi umum. Jakarta: Departemen Agama RI

Dr. M. Yusuf Musa, 1984, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (editor : DR.

Ahmad

Prof. Dr. H. M Rasjidi, 1978, Filsafat Agama, Cetakan keempat, Jakarta : Bulan

Bintang
Sayyid Mujtaba Musawwi Lari, 1989. God and His Attributes: Lessons on Islamic

Doctrine.

Cet. 1. (Terj. Ilham Mashuri dan Mufid Ashfahani). Mengenal Tuhan dan Sifat-

SifatNya. Jakarta: PT. Lentera Basritama.

Anda mungkin juga menyukai