Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan kejadian kesakitan/kematian yang bermakna


secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu. Penyakit menular merupakan
masalah diIndonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Penyakit menular timbul
karena adanya mikro organisme yang beragam terdapat dalam populasi. Di negara sedang
berkembang dan beriklim tropis seperti Indonesia beberapa penyakit menular masih sering
menimbulkan wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) dan akan berdampak terhadap
kehidupan sosial politik diantaranya rabies dan keracunan makanan.

Rabies adalah penyakit menular akut yang menyerang susunan saraf pusat disebabkan
oleh Virus (Lyssa virus). Penyakit ini menyerang manusia dan hewan. Rabies ditularkan
kepada manusia melalui gigitan atau jilatan pada luka terbuka oleh hewan yang menderita
rabies. Penyakit ini bersifat fatal atau selalu diakhiri dengan kematian namun dapat di cegah.
Hewan yang dapat menularkan rabies adalah hewan berdarah panas terutama anjing, kucing,
kera, dan kelelawar. Sapi, kambing dan domba dapat menderita apabila digigit oleh hewan
penular rabies.

World Health Organization (WHO) memeperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini
terdapat sekurang kurangnya 50.000 korban yang meninggal karena rabies. Jumlah ini
terhitung sangat besar, dan angka ini menurut WHO diperkirakan jauh dari jumlah korban
yang sebenarnya. Kematian yang diakibatkan oleh rabies ini dialami oleh berbagai negara
walaupun memang terbilang relatif kecil seperti di negara Thailand, laos, srilangka, Kamboja,
Filipina, Banglades, Myanmar, Vietnam dan termasuk Indonesia serta negaraberkembang
lainnya (Akoso, 2007)

Di Indonesia 98% kasus rabies ditularkan akibat gigitan anjing dan 2% adalah akibat
gigitan kucing dan kera. Gejala rabies pada manusia biasanya diawali dengan demam, nyeri
kepala, sulit menelan, hipersalivasi, takut air, peka terhadap rangsang angin dan suara,
kemudian diakhiri dengan kematian. Di Indonesia, rabies pada hewan sudah ditemukan sejak
tahun 1884, dan kasus rabies pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa
Barat. Jadi sesungguhnya penyakit ini sudah ada di Indonesia sejak lama. Sampai dengan
tahun 2012 ini kasus rabies menyebar di 24 provinsi di Indonesia, dengan Provinsi Sulawesi
Utara, Sumatera Utara, Bali, Maluku, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Bengkulu,
Nusa Tenggara Timur, Lampung merupakan daerah ditemukan kasus rabies pada manusia.
Hanya 9 provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas yaitu Provinsi Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB,
Papua dan Papua Barat. Rata-rata selama 5 tahun terakhir (2008 - 12 September 2012)
tercatat di Kementerian Kesehatan, terdapat 44.981 kasus gigitan hewan penular rabies dan
40.552 kasus diantaranya mendapat Vaksin Anti Rabies dan sebanyak 51 orang positif rabies
(Kemenkes, Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI, 2012).

Selain rabies penyakit yang sering menimbulkan KLB salah satunya adalah keracunan
makanan. Keracunan makanan adalah masuknya zat toxic (racun) dari bahan yang kita makan
ke dalam tubuh baik dari saluran cerna, kulit, inhalasi, atau dengan cara lainnya yang
menimbulkan tanda dan gejala klinis. Menurut data World Health Organization (WHO), ada
dua juta orang meninggal tiap tahun akibat keracunan makanan dan minuman. Di Afrika
diperkirakan memiliki angka keracunan makanan yang paling tinggi di dunia dengan korban
sebanyak 91 juta orang per tahun. Angka kematiannya mencapai 137.000 orang. Sementara
itu, 150 juta kasus keracunan makanan terjadi di Asia Tenggara dengan angka kematian
sebanyak 175.000 orang. Sedangkan Di Indonesia, sekitar 200 kasus keracunan makanan
terjadi tiap tahunnya. Untuk 2015, Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) merilis ada 100 kasus keracunan pangan yang dilaporkan terjadi
hingga akhir triwulan ketiga 2015. Pada bulan April hingga Juni 2016, terdapat 35 berita
insiden keracunan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang diperoleh dari 138 media
massa online. Keracunan akibat pangan mendominasi sebanyak 29 insiden, satu insiden
keracunan akibat tumbuhan, satu insiden keracunan akibat binatang dan empat insiden
keracunan akibat pencemar lingkungan. Total korban keracunan sedikitnya berjumlah 2.869
korban dengan delapan belas korban meninggal dunia (BPOM, 2016).

Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular, penanggulangan Kejadian


Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak menular
diperlukan suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya
program dalam daerah kerja Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama
antar program dan sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional dan
internasional (Kemenkes, 2003). Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pasal 154 uu kesehatan no 36 tahun 2009 tentang
kesehatan bahwa alam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.

Praktikum Kesehatan Masyarakat (PKM) yang merupakan salah satu matakuliah


wajib dari Fakultas Kesehatan Masyarakat. Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman mahasiswa dalam bidang
kesehatan masyarakat serta mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat saat belajar
di Fakultas Kesehatan Masyarakat sehingga ketika di dunia pekerjaan dapat melakukan
pendekatan pemecahan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian dalam melakukan
Praktikum Kesehatan Masyarakat penulis memilih tempat di Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Kelas I Palembang untuk mengambil
topik Pelaksanaan Program penyelidikan Epidemiologi Rumor KLB Rabies dan sistem
pembelajaran pembuatan laporan KLB sebagai fokus utama kegiatan sehingga penulis
memilih unit surveilance Epidemiologi Instalasi Pengendalian Penyakit Menular.
1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman mahasiswa dalam unit
kerja Surveilance Epidemiologi instalasi pengendalian Penyakit Menular yang terdapat di
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Kelas I
Palembang.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Menambah pengetahuan tentang Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi rumor KLB
Rabies dan Sistem Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan.
2. Menambah pengetahuan tentang pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi
rumor KLB Rabies dan Sistem Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan.
3. Menambah pengalaman dalam melaksanakan Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi
rumor KLB Rabies dan Sistem Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan.
4. Mengetahui distribusi frekuensi yang diduga menderita Rabies dan keracunan makanan
dalam pembuatan laporan KLB.
5. Mengetahui pentingnya tatalaksana dalam pencegahan penyakit rabies akibat gigitan
hewan
1.3. Manfaat
1.1.1 Bagi Penulis
1. Menambah wawasan berpikir secara teoritis Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi
rumor KLB Rabies dan Sistem Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan
2. Memberikan kesempatan pengalaman kerja nyata secara terpadu mengenai
pelaksanaan kerja surveilance epidemiologi bagian pengendalian penyakit
menular,terutama pada Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi rumor KLB Rabies dan
Sistem Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan.
3. Memberikan kesempatan untuk menganalisa secara detil mengenai Bagaimana
pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi rumor KLB Rabies dan Sistem
Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan
1.1.2 Bagi Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-
PP) Kelas 1 Palembang
1. Menjadi suatu langkah yang baik untuk menciptakan kerjasama yang baik saling
menguntungkan dan bermanfaat dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Kelas I Palembang.
2. Mengetahui kemampuan mahasiswa ketika mengaplikasikan ilmu yang di telah
diperoleh dalam melakukan Praktikum Kesehatan Masyarakat.
1.3.3 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
1 Menjadi suatu langkah yang baik untuk menciptakan kerjasama yang baik saling
menguntungkan dan bermanfaat dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Kelas I Palembang
2 Memperoleh informasi mengenai kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan
ilmu yang di telah diperoleh ketika melakukan Praktikum Kesehatan Masyarakat.
3 Menambah referensi mengenai pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi Verifikasi
rumor KLB Rabies dan Sistem Pembuatan laporan KLB Keracunan Makanan yang
dilakukan pihak Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BTKL-PP) Kelas I Palembang sebagai bentuk sistem surveilans epidemiologi.

1.2 Waktu dan Lokasi PKM


1.2.1 Lingkup Waktu
Waktu pelaksanaankegiatan Praktikum Kesehatan Masyarakat yaitu dimulai pada
tanggal 6 februari 2017 sampai dengan 6 maret 2017.
1.2.2 Lingkup Lokasi
Kegiatan Praktikum Kesehatan Masyarakat dilakukan oleh penulis di Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL-PP) Kelas I Palembang.
yang terletak di JL. Sultan Mahmud Badaruddin II KM. 11 No. 55, Palembang Di
bagian Surveilance Epidemiologi instalasi Pengendalian Penyakit Menular.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejadian Luar Biasa

KLB sama dengan wabah adalah terjadinya sejumlah kasus penyakit, yang diketahui
atau diduga disebabkan oleh infeksi atau infestasi parasit yang melampau jumlah wajar
atau yang tidak selayaknya ada ditempat atau pada waktu tertentu(1,16,17). Yang
membedakan antara KLB dan wabah yaitu KLB tanpa ad pernyataan dari Menteri
Kesehatan. Kriteria kerja KLB menururt Depkes (1991) yaitu :

a. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal


b. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan
periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun)
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih
bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya
e. Angka rata-rata perbulan selama satutahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat
atau lebih dibanding dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
f. CFR dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan
50 % atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
g. Proportional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu/tahun
sebelumnya
h. Beberapa penyakit khusus: cholera, DHF/DSS
1) Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)
2) Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu
sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.
i. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita:
1) Keracunan makanan
2) Keracunan Pestisida

2.2 Rabies
2.2.1 Pengertian Rabies

Penyakit rabies atau dikenal juga dengan penyakit anjing gila merupakan salah satu
penyakit zoonosa (penyakit hewan yang dapat menular ke manusia) dan penyakit hewan
menular yang akut dari susunan syarat pusat yang dapat menyerang hewan berdarah
panas serta manusia yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit rabies menular pada
manusia melalui gigitan hewan penderita atau dapat pula melalui luka karena air liur
hewan penderita rabies.

Hewan utama sebagai penyebar/penular rabies adalah anjing, oleh karenanya


perhatian utama dalam upaya pemberantasan penyakit rabies adalah terhadap hewan
tersebut. Penyakit ini menyerang otak dan selalu berakhir dengan kematian pada manusia
maupun hewan, apabila telah timbul gejala klinis. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan
dapat menginfeksi semua hewan menyusui (mamalia) walaupun ditularkan oleh anjing,
serigala, kelelawar, dan carnivora lainnya (Depkes RI, 2000).

2.1.2. Cara Penularan

Penyakit rabies disebabkan oleh virus Lysavirus dari family Rhapdoviridae. Virus
rabies ini masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan melalui luka gigitan hewan
penderita rabies dan luka terkena air liur hewan atau manusia penderita rabies, maka
selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian
bergerak mencapai ujung-ujung serabut syaraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-
perubahan fungsinya.

Masa inkubasi bervariasi yaitu antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya
2-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum
mencapai otak. Sesampainya di otak, virus memperbanyak diri dan menyebar luas dalam
semua bagian neuron sentral, kemudian ke arah perifer dalam serabut syaraf eferen dan
pada syaraf volunteer maupun syaraf otonom. Virus ini menyerang hampir tiap organ dan
jaringan dalam tubuh dan berkembangbiak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah,
ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000).

2.1.3. Pola Penyebaran


Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang
tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di
pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan, hal ini merupakan
suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan
menjadi daerah endemis rabies.

Pada umumnya, manusia merupakan terminal akhir dari korban gigitan, karena
sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Sementara itu anjing liar,
anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling menggigit satu sama
lainnya. Apabila salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif (+) rabies,
maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi (Depkes RI, 2000).

Secara alami dan yang sering terjadi, pola penyebaran rabies adalah seperti

gambar di bawah ini:

Gambar 2.1. Pola Penyebaran Rabies di Lapangan

(Departemen Pertanian, 2003)

2.1.4. Tipe dan Tanda-Tanda Penyakit Rabies Pada Hewan dan Manusia

1. Tipe Rabies

Tipe rabies pada hewan penular rabies ada dua tipe dengan gejala-gejala

sebagai berikut:

a. Rabies Ganas

Gejala-gejalanya adalah: Tidak menuruti lagi perintah pemilik, air liur keluar berlebihan,
hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemukan dan ekor
dilengkungkan ke bawah perut di antara dua paha, kejangkejang kemudian lumpuh, biasanya
mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

b. Rabies Tenang

Gejala-gejalanya adalah: Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk, kejang-kejang


berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat, kelumpuhan, tidak mampu menelan, mulut
terbuka dan air liur keluar berlebihan, kematian terjadi dalam waktu singkat.

2. Tanda Rabies Pada Anjing dan Pada Manusia


a. Tanda Rabies Pada Anjing

Tanda rabies pada anjing: Menggonggong, menyerang secara tiba-tiba anjing tidak lagi
kenal tuannya, banyak mengeluarkan air liur, menggigit segala sesuatu, kesulitan melihat,
berjalan tanpa arah, rahang turun, tidak mampu menelan, makan tanah dan batang kayu,
sukar bernafas, muntah, susah berjalan, kelumpuhan, ekor menggantung terletak di antara
kedua kaki belakang (Hiswani, 2003).

b. Tanda Rabies Pada Manusia

a) Stadium Prodromal

Gejala awal berupa demam, sakit kepala, malaise, sakit, kehilangan nafsu makan, mual,
rasa nyeri di tenggorokan, batuk, dan kelelahan luar biasa selama beberapa hari (1-4 hari).
Gejala ini merupakan gejala yang spesifik dari orang yang terinfeksi virus rabies yang
muncul 1-2 bulan setelah gigitan hewan penular rabies.

b) Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada bekas luka gigitan dan secara
bertahap terus berkembang menyebar ke anggota badan yang lain, kemudian disusul
dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan sensorik.

c) Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktivasi simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis,
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupildilatasi. Bersama dengan stadium eksitasi ini
penyakit mencapai puncaknya. Keadaan yang khas pada stadium ini adalah adanya
macam-macam fobia, yang sangat sering diantaranya adalah hidrofobia (ketakutan
terhadap air). Kontraksi otot faring dan otot-otot pernafasan dapat pula ditimbulkan oleh
rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke wajah penderita atau menjatuhkan sinar
ke mata atau dengan menepuk tangan di dekat telinga penderita.

d) Stadium Paralisis

Predisposisi terjadinya ragam gejala klinis rabies pada manusia dipengaruhi antara lain
oleh perbedaan galur virus yang menginfeksi, jenis hewan penular, dan letak gigitan di
anggota badan (Budi Tri Akoso, 2007). Ditinjau dari segi jumlahnya, stadium paralisis
rabies pada manusia dijumpai kurang lebih hanya sekitar seperlima dari kasus yang
terjadi, tetapi untuk hewan merupakan gejala paling sering dijumpai sebelum terjadi
kematian. Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala eksitasi, melainkan gejala-gejala paresis, yaitu
otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot yang bersifat asenden, yang selanjutnya
meninggal karena kelumpuhan otot-otot pernafasan (Depkes RI, 2000).

2.1.5. Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan Kasus Rabies

Menurut Levi (2004), tindakan pencegahan dan pemberantasan kasus rabies

yang dapat dilakukan adalah:

a. Anjing peliharaan, tidak boleh dilepas berkeliaran, harus didaftarkan ke kantor


Kepala Desa atau Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
b. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter.
c. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai yang
panjangnya tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus
(berongsong).
d. Pemilik anjing harus memvaksinasi anjingnya.
e. Anjing liar atau anjing yang diliarkan harus segera dilaporkan kepada petugas Dinas
Peternakan atau pos kesehatan hewan untuk diberantas atau dimusnahkan.
f. Kurangi sumber makanan ditempat terbuka untuk mengurangi anjing liar atau anjing
yang diliarkan.
g. Daerah yang terbebas dari penyakit rabies harus mencegah masuknya anjing, kucing,
kera, dan hewan sejenis dari daerah tertular rabies.
h. Masyarakat harus waspada terhadap anjing yang diliarkan dan segera melaporkan
kepada petugas Dinas Peternakan atau posko rabies.

2.2. Kebijakan Program dan Strategi Pemberantasan Rabies

2.2.1. Pemberantasan Rabies secara Nasional

Program pemberantasan rabies di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu


secara lintas sektoral antara Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, dan
Departemen Dalam Negeri berdasarkan SKB antara Menteri Kesehatan RI, Menteri
Pertanian RI, Menteri Dalam Negeri No.279/SK/VIII/1978, No.522/KPTS/UM/8/78,
No.143 Tahun 1978 tentang peningkatan pemberantasan penanggulangan rabies.

Langkah operasional pembebasan rabies garis besarnya telah dituangkan dalam surat
keputusan bersama tiga Direktur (Peternakan, PUOD, dan PPM & PLP) yang mencakup
antara lain:

a) Vaksinasi dan eliminasi hewan penular rabies.


b) Penyuluhan dan peningkatan peran serta masyarakat.
c) Pengamatan, penyelidikan, observasi, dan diagnosa hewan tersangka.
d) Penertiban dan pengawasan pemeliharaan hewan penular rabies serta pengawasan lalu
lintas hewan.
e) Pertolongan orang yang digigit hewan penderita rabies.
f) Peningkatan kerjasama pemberantasan antara negara tetangga (Depkes RI, 2003).

2.2. Keracunan Makanan


2.2.1 Definisi Keracunan Makanan

Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan
memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Adapun
pengertian makanan yaitu semua substansi yang diperlukan tubuh, kecuali air dan obat-
obatan dan semua substansi-substansi yang dipergunakan untuk pengobatan (Depkes RI,
1989).

Racun adalah suatu zat yang memiliki kemampuan untuk merusak sel dan sebagian fungsi
tubuh secara tidak normal (Arisman, 2009). Junaidi (2011) menyatakan racun adalah suatu
zat atau makanan yang menyebabkan efek bahaya bagi tubuh. Keracunan makanan dapat
disebabkan oleh pencemaran bahan-bahan kimia beracun, kontaminasi zat-zat kimia,
mikroba, bakteri, virus dan jamur yang masuk kedalam tubuh manusia (Suarjana, 2013).
Akibat keracunan makanan bisa menimbulkan gejala pada sistem saraf dan saluran
cerna. Tanda gejala yang biasa terjadi pada sitem saraf adalah adanya rasa lemah, kesemutan
(parastesi), dan kelumpuhan (paralisis) otot pernapasan (Arisman, 2009). Suarjana (2013)
menyatakan tanda gejala yang biasa terjadi pada saluran cerna adalah sakit perut,
mual, muntah, bahkan dapat menyebabkan diare.
2.2.1 Penyebab Keracunan Makanan
Makanan yang menjadi penyebab keracunan biasanya telah tercemar oleh unsur-unsur fisika,
mikroba ataupun kimia dalam dosis yang membahayakan. Adapun yang menjadi
penyebabnya adalah :
a. Bahan makanan alami, yaitu makanan yang secara alami telah mengandung racun,
seperti jamur beracun, ikan, buntel, ketela hijau, gadung atau umbi racun.
b. Infeksi mikroba (Bacterial Food Infection), yaitu disebabkan bakteri pada saluran
pencernaan makanan yang masuk ke dalam tubuh atau tertelannya mikroba dalam
jumlah besar, yang kemudian hidup dan berkembang biak, seperti Salmonellosis dan
Streptoccocus.
c. Racun/toxin mikroba (BacterialFood Poisoning), yaitu racun atau toksin yang
dihasilkan oleh mikroba dalam makanan yang masuk ke dalam tubuh dengan jumlah
yang membahayakan, seperti racun Botulism yang disebabkan oleh Clostridium
botulism, Staphylococcus dan keracunan tempe bongkrek, disebabkan oleh
Pseudomonas cocovenenas.
d. Kimia, yaitu bahan berbahaya dalam makanan yang masuk ke dalam tubuh dalam
jumlah yang membahayakan, seperti arsen, antimon, cadmium, pestisida dengan
gejala depresi pernafasan sampai koma dan dapat meninggal.
e. Alergi, yaitu bahan allergen di dalam makanan yang menimbulkan reaksi sensitif
kepada orang-orang yang rentan, seperti histamin pada udang, tongkol, bumbu masak
dan sebagainya.

2.2.1 Mekanisme Keracunan Makanan Ke Dalam tubuh


Terjadinya pencemaran dapat dibagi dalam 3 (tiga) cara (Depkes RI,2001), yaitu :
a. Pencemaran langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan pencemar yang
masuk ke dalam makanan secara langsung, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Contoh : masuknya rambut ke dalam nasi, penggunaan zat pewarna makanan dan
sebagainya.
b. Pencemaran silang (cross contamination), yaitu pencemaran yang terjadi secara tidak
langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan makanan. Contoh: makanan
bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, menggunakan pisau pada
pengolahan bahan mentah untuk bahan makanan jadi (makanan yang sudah terolah).
c. Pencemaran ulang (recontamination), yaitu pencemaran yang terjadi terhadap
makanan yang telah dimasak sempurna. Contoh : nasi yang tercemar dengan debu
atau lalat karena tidak dilindungi dengan tutup.

2.3. Surveilans Kesehatan

Surveilans Kesehatan didefinisikan sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis dan


terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien. Surveilans Kesehatan diselenggarakan agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan
data, pengolahan data, analisis data, dan diseminasi kepada pihak-pihak terkait yang
membutuhkan.
Surveilans Kesehatan mengedepankan kegiatan analisis atau kajian epidemiologi serta
pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan
data dan pengolahan data. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus mampu memberikan
gambaran epidemiologi antara lain komponen pejamu, agen penyakit, dan lingkungan yang
tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat dan orang. Karakteristik pejamu, agen penyakit, dan
lingkungan mempunyai peranan dalam menentukan cara pencegahan dan penanggulangan
jika terjadi gangguan keseimbangan yang menyebabkan sakit.
Kegiatan Surveilans Kesehatan meliputi:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Jenis data Surveilans Kesehatan
dapat berupa data kesakitan, kematian, dan faktor risiko. Pengumpulan data dapat diperoleh
dari berbagai sumber antara lain individu, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, unit statistik dan
demografi, dan sebagainya. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui wawancara,
pengamatan, pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran. Dalam melaksanakan kegiatan
pengumpulan data, diperlukan instrumen sebagai alat bantu. Instrumen dibuat sesuai dengan
tujuan surveilans yang akan dilakukan dan memuat semua variabel data yang diperlukan.
b. Pengolahan data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan cek ulang, selanjutnya data diolah
dengan cara perekaman data, validasi, pengkodean, alih bentuk (transform) dan
pengelompokan berdasarkan
variabel tempat, waktu, dan orang. Hasil pengolahan dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta
menurut variabel golongan umur, jenis kelamin, tempat dan waktu, atau berdasarkan faktor
risiko tertentu. Setiapvariabel tersebut disajikan dalam bentuk ukuran epidemiologi yang
tepat (rate,rasio dan proporsi). Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi
spesifik suatu penyakit dan atau masalah kesehatan. Selanjutnya adalah penyajian hasil
olahan data dalam bentuk yang informatif, dan menarik. Hal iniakan membantu pengguna
data untuk memahami keadaan yang disajikan.
c. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologideskriptif dan/atau
analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan surveilans yang ditetapkan.
Analisis dengan metode epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran tentang
distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
menurut waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis dengan metode epidemiologi analitik
dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variable yang dapat mempengaruhi peningkatan
kejadian kesakitan atau masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan analisis dengan
metode epidemiologi analitik dapat menggunakan alat bantu statistik. Hasil analisis akan
memberikan arah dalam menentukan besaran masalah, kecenderungan suatu keadaan, sebab
akibat suatu kejadian, dan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan hasil analisis harus
didukung dengan teori dan kajian ilmiah yang sudah ada.
d. Diseminasi informasi.
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran, laporan berkala,
forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi informasi dilakukan dengan
memanfaatkan sarana teknologi informasi yang mudah diakses. Diseminasi informasi dapat
juga dilakukan apabila petugas surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil
analisis.
2.3.2 Bentuk Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan

a. Surveilans Berbasis Indikator


Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh gambaran penyakit, faktor
risiko dan masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan yang
menjadi indikator program dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Pelaksanaan
surveilans berbasis indikator dilakukan mulai dari puskesmas sampai pusat, sesuai dengan
periode waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan dan tahunan).

b. Surveilans Berbasis Kejadian

Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap dan memberikan informasi


secara cepat tentang suatu penyakit, faktor risiko, dan masalah kesehatan, dengan
menggunakan sumber data selain data yang terstruktur. Surveilans berbasis kejadian
dilakukan untuk menangkap masalah kesehatan yang tidak tertangkap melalui surveilans
berbasis indikator. Sebagai contoh, beberapa KLB campak diketahui dari media massa, tidak
tertangkap melalui surveilans PD3I terintegrasi (Penyakit yang dapat Dicegah Dengan
Imunisasi).
Pelaksanaan surveilans berbasis kejadian dilakukan secara terus menerus (rutin) seperti
halnya surveilans berbasis indikator, dimulai dari puskesmas sampai pusat. Sumber laporan
didapat dari sektor kesehatan (instansi/sarana kesehatan, organisasi profesi kesehatan,
asosiasi kesehatan, dan lain-lain), dan di luar sektor kesehatan (instansi pemerintah non
kesehatan, kelompok masyarakat, media, jejaring sosial dan lain-lain).
Penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dan berbasis kejadian diaplikasikan antara lain
dalam bentuk PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) yang didukung dengan pencarian rumor
masalah kesehatan. Setiap unit penyelenggaraan Surveilans Kesehatan melakukan
Pemantauan Wilayah Setempat dengan merekam data, menganalisa perubahan kejadian
penyakit dan atau masalah kesehatan menurut variable waktu, tempat dan orang (surveilans
berbasis indikator). Selanjutnya disusun dalam bentuk tabel dan grafik pemantauan wilayah
setempat untuk menentukan kondisi wilayah yang rentan KLB. Bila dalam pengamatan
ditemukan indikasi yang mengarah ke KLB, maka dilakukan respon yang sesuai termasuk
penyelidikan epidemiologi. Selain itu dilakukan juga pencarian rumor masalah kesehatan
secara aktif dan pasif (surveilans berbasis kejadian) untuk meningkatkan ketajaman hasil
PWS.
2.3.3 Format Laporan Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Sebagai seorang epidemiolog, tentunya pernah turun ke lapangan untuk mengadakan
investigasi kasus penyakit atau Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun tak jarang ahli
epidemiologi tidak membuat atau lupa membuat laporan hasil penyelidikan epidemiologi
(PE) sebagai bahan rujukan atau rekomendasi untuk melakukan langkah-langkah pencegahan
ataupun penanggulangan penyakit selanjutnya. Hal ini bisa jadi karena tidak adanya format
laporan penyelidikan epidemiologi yang baku. Hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan
laporan PE antara lain (Yasir, 2011) :

a. Jelas, Meyakinkan, rekomendasi (Tepat & meyakinkan)


b. Ilmiah (kesimpulan dan saran)
c. Laporan lisan harus disertai dengan laporan tertulis
d. Merupakan cetak biru untuk mengambil keputusan
e. Merupakan bahan rujukan

Adapun Sistematika Penulisan PE yang baik adalah :

1. Judul Laporan Tentukan judul


Judul laporan seharusnya Mampu menjawab Pertanyaan Apa, dimana dan Kapan.
2. Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang dan tujuan penyelidikan.
3. Metodologi
Terdiri dari Metoda PE, bagaimana Pengambilan Sampel dilakukan, bagaimana
Kunjungan rumah ke rumah/ Mengumpulkan masyarakat dilakukan, Responden, Tim
PE dan Peralatannya.
4. Hasil Penyelidikan
Pada hasil penyelidikan terdapat Gambaran wilayah, Data primer dan sekunder, dan
Sajian data (grafik, Tabel, Chart atau peta)
5. Pembahasan
Di bahas Ulasan Hasil PE, Analisis statistik dan ,membandingkan data.
6. Kesimpulan dan Saran
Berisi Kesimpulan berdasarkan temuan serta Tegas dan dapat dimengerti
7. Abstrak
Terdiri dari 1 paragraf, 22 baris, 2 spasi, dan Istilah umum dapat disingkat.
8. Daftar Pustaka
Daftar pustaka berisi referensi-referensi bahan atau materi yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai