PENDAHULUAN
Komposisi kimiawi dari atmosfer sedang mengalami peubahan sejalan dengan penambahan gas rumah
kaca, terutama karbon dioksida, metan dan asam nitrat. Khasiat menyaring panas dari gas tersebut tidak
berfungsi. Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi, sebaliknya
bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmsfer (uap air, karbon dioksida dan
gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek
rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti ini tidak
mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar
60oF/15oC.
Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah.
Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsentrasi
metan lebih dari dua kali, dan konsentrasi asam nitrat bertambah 15%.
Perubahan iklim merupakan tantangan yang paling serius dihadapi dunia di abad 21. Sejumlah bukti baru
dan kuat yang muncul dalam studi muktakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun
terakhir disebabkan oleh tindakan manusia.
Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca,
yang terus bertambah di udara. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya
CO2 dan Chlorofluorocarbon (CFC). Yang terutama adalah karbo dioksida, yang umumnya dihasilkan oleh
pengguna batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan
oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan petanian.
Chrolofluorcarbon (CFC) merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global.
1. Tujuan
Agar menciptakan kepedulian yang lebih terhadap lingkungan sehingga bisa meminimalkan adanya
pemanasan global.
Mengetahui bahaya dari adanya Pemanasan Global.
Dapat melakukan hal-hal yang bisa bermanfaat dan tidak merusak lingkungan.
Cinta terhadap lingkungan.
Bertanggung jawab dan ikut serta melestarkan atau mencegah pemanasan global dengan hal-hal yang
dapat dikerjakan seperti penanaman pohon,dll.
1. Perumusan Masalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kajian Teori
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari
tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya
emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi
matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global –
termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Terlebih lagi saat ini manusia tidak sadar akan kelestarian hidup lingkungannya sehingga banyak para oknum-
oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab yang mengekploitasi hutan di Kalimantan juga Sulawesi untuk
kepentingan pribadi atau di ekspor ke luar negeri untuk diolah menjadi furniture/perlengkapan rumah tangga
yang di impor kembali ke negara kita dengan harga yang jauh lebih mahal. Selain itu banyak berdirinya pusat
perbelanjaan, pabrik-pabrik dan apartement di pusat kota Jakarta yang menghilangkan lahan yang berfungsi
sebagai daerah serapan air sehingga pada saat musin hujan tiba, kota ini selalu dilanda banjir.
Gbr.1 Gas Rumah Kaca
Kenaikan suhu bumi ini dapat berpengaruh pada perubahan iklim bumi. Beberapa tahun terakhir ini bumi
mengalami musim kemarau yang lebih panjang dari musim hujan. Namun ketika musim penghujan tiba,
intensitas curah hujan semakin tinggi dan terjadi banjir di beberapa daerah di nusantara, hal ini di dukung
dengan hilangnya hutan kota dan hutan di sekitar daerah puncak.
Pemanasan global bisa dirasakan dalam 10 kejadian berikut ini :
Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade
ini, kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan
kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim
semi datang lebih awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih
mudah terbakar.
Akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak
dibandingkan beberapa waktu silam. banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua. Situs
bersejarah berusia 600 tahun di Thailand, Sukhotai, sudah rusak akibat banjir besar belum lama ini.
Tanpa disadari banyak orang, pegunungan Alpen mengalami penyusutan ketinggian. Ini diakibatkan melelehnya
es di puncaknya. Selama ratusan tahun, bobot lapisan es telah mendorong permukaan bumi akibat tekanannya.
Saat lapisan es meleleh, bobot ini terangkat dan permukaan perlahan terangkat kembali.
Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian
terluat atmosfer sangat tipis, tapi dengan jumah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di atmosfer
bagian atas menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi, dan mendinginkan udara sekitarnya.
Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan, dan satelit
bergerak lebih cepat.
Akibat musim yang kian tak menentu, maka hanya mahluk hidup yang kuatlah yang bisa bertahan hidup.
Misalnya, tanaman berbunga lebih cepat tahun ini, maka migrasi sejumlah hewan lebih cepat terjadi. Mereka
yang bergerak lambat akan kehilangan makanan, sementar mereka yang lebih tangkas, bisa bertahan hidup. Hal
serupa berlaku bagi semua mahluk hidup termasuk manusia.
Pelelehan Besar-besaran
Bukan hanya temperatur planet yang memicu pelelehan gununges, tapi juga semua lapisan tanah yang selama
ini membeku. Pelelehan ini memicu dasar tanah mengkerut tak menentu sehingga menimbulkan lubang-lubang
dan merusak struktur seperti jalur kereta api, jalan raya, dan rumah-rumah. Imbas dari ketidakstabilan ini pada
dataran tinggi seperti pegunungan bahkan bisa menyebabkan keruntuhan batuan.
Hilangnya 125 danau di Kutub Utara beberapa dekade silam memunculkan ide bahwa pemanasan global terjadi
lebih “heboh” di daerah kutub.Riset di sekitar sumber airyang hilang tersebut memperlihatkan kemungkinan
mencairnya bagian beku dasar bumi.
Sejak awal dekade 1900-an, manusia harus mendaki lebihtinggi demi menemukan tupai, berang-berang atau
tikus hutan. Ilmuwan menemukan bahwa hewan-hewan ini telah pindah ke dataran lebih tinggi akibat pemanasan
global. Perpindahan habitat ini mengancam habitat beruang kutub juga, sebab es tempat dimana mereka tinggal
juga mencair.
Sering mengalami serangan bersin-bersin dan gatal di matasaat musim semi, maka salahkanlah pemanasan
global. Beberapa dekade terakhir kasus alergi dan asma di kalangan orang Amerika alami peningkatan. Pola
hidupdan polusi dianggap pemicunya. Studi para ilmuwan memperlihatkan bahwa tingginya level karbondioksida
dan temperatur belakangan inilah pemicunya. Kondisi tersebut juga membuat tanaman mekar lebih awal dan
memproduksi lebih banyak serbuk sari.
BAB III
PEMBAHASAN
A.Pengertian Global warming
Global warming adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi (terutama yang mengalami kenaikan suhu
yang menyebabkan perubahan iklim). Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena
peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang
disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O)
dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan
temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan
es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim,
punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas
sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b)
gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan
terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker
dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan
global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
B.Penyebab Terjadinya Pemanasan Global
Penyebab terjadinya global warming yaitu gas rumah kaca.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-
geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut :
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan
yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat
terjadinya efekbackwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali
lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan
Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume
air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan
frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga
mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat
mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha
(1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun
waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula.
Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi
karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak
adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh
terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan
pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta
Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan
terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan
terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot
pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove
seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’
apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari
keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan,
seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka
air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat
mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan
asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang
mencapai 202.500 ha.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas
hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang
dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa
pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan
Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni
antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat
maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada
kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas
kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang
berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah
ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang
Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola
dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat :
1. arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti
kawasan rawan gelombang pasang dan banjir)
2. arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan,
pariwisata, permukiman, dsb).
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya
kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat
merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada
Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan
dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan
yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN
khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni
kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir,
(c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi
dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum
terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir
diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spotpada
pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki
peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan
ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami
ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam,
Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai.
(Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan
banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon
periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana
wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap
dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ±
1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km)
serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250
km).
beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas
(Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi
bagian Selatan.
Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan
bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan
pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin
terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut
dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada
kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan
oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air
laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai.
Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan
yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang
mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air
payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan
ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan
penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti
revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap
perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses
alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan
sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-
kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan
yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki
fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan
sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka
pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis – perlu pula mendapatkan perhatian.
Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak
pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan
Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang
dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun
demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata
ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan
segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota
sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari
ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan
keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan
pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan
dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM)
untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah – khususnya untuk penataan ruang dan
pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-
produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan
sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e)
penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan
pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan
strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun
dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan
pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata
ruang kawasan pesisir.
Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam
pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif
terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan
dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan
pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik
lintas wilayah
Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda – untuk
menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-
unsur stakeholders.
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan :
1. Mengenai pengertian Global warming (Pemanasan Global), bahwa Global warming adalah
peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi (terutama yang mengalami kenaikan suhu yang menyebabkan
perubahan iklim) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana
(CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
2. Penyebab terjadinya Global warming adalah penyebab efek rumah kaca terjadi yaitu karena penggunaan
kendaraan yang kurang bijaksana yang mengakibatkan polusi udara semakin meningkat secara drastis,
menimbulkan karbon dioksida yang berlebihan sehingga cahaya matahari yang masuk ke bumi dan
dipantulkan lagi tidak dapat menembus atmosfer bumi karena terhalang oleh karbon dioksida yang
ditimbulkan dari polusi udara tersebut sehingga akan terasa lebih hangat.
3. Dampak dari pemanasan global antara lain adalah ketinggian gunung berkurang, pelelehan besar-besaran
yang terjadi di kutub-kutub, menggaggu kehidupan di bumi baik kehidupan manusia maupun ekologi yang
berada di bumi, timbul berbagai penyakit, terutama penyakit kulit dan kelaparan serta malnutrisi karena
musim panas yang berkepanjangan akan mengakibatkan gagal panen pada sektor pertanian
B.Saran
Dari beberapa kesimpulan tersebut di atas, maka penulis memberikan saran yang bermanfaat di kemudian hari
sebagai berikut :
Perlunya kita menggunakan alat transportasi alternative untuk mengurangi emisi karbon
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Susanta,Gatut.dkk. 2007. Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global.
Internet :
www.livescience.com
Fakultas Geografi.UGM.Pemanasan Global.diakses pada 2 oktober 2007
SMAN 1 Garut.Global Warming diakses 22 Januari 2010
http://www.suprememastertv.com/
http://www.worldwatch.org/node/6294
http://vegclimatealliance.org/livestock-and-climate-change-qa
wordnetweb.princeton.edu
www.mdbc.gov.au
Secara umum iklim merupakan hasil interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik dimana
parameter-parameternya adalah seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan yang
terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Iklim merupakan suatu kondisi rata-rata dari cuaca,
dan untuk mengetahui kondisi iklim suatu tempat, diperlukan nilai rata-rata
parameterparameternya selama kurang lebih 10 sampai 30 tahun. Iklim muncul setelah
berlangsung suatu proses fisik dan dinamis yang kompleks yang terjadi di atmosfer bumi.
Kompleksitas proses fisik dan dinamis di atmosfer bumi ini berawal dari perputaran planet
bumi mengelilingi matahari dan perputaran bumi pada porosnya. Pergerakan planet bumi ini
menyebabkan besarnya energi matahari yang diterima oleh bumi tidak merata, sehingga
secara alamiah ada usaha pemerataan energi yang berbentuk suatu sistem peredaran udara,
selain itu matahari dalam memancarkan energi juga bervariasi atau berfluktuasi dari waktu ke
waktu. Perpaduan antara proses-proses tersebut dengan unsur-unsur iklim dan faktor
pengendali iklim menghantarkan kita pada kenyataan bahwa kondisi cuaca dan iklim
bervariasi dalam hal jumlah, intensitas dan distribusinya.
Secara alamiah sinar matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar matahari yang dipantulkan itu akan diserap
oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi –disebut gas rumah kaca, sehingga sinar
tersebut terperangkap dalam bumi. Peristiwa ini dikenal dengan efek rumah kaca (ERK)
karena peristiwanya sama dengan rumah kaca, dimana panas yang masuk akan terperangkap
di dalamnya, tidak dapat menembus ke luar kaca, sehingga dapat menghangatkan seisi rumah
kaca tersebut.