JUDUL :
DISUSUN OLEH :
2017
Kata Pengantar
Hal yang mendasari kami untuk menyelesaikan makalah ini yaitu tugas
mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD), dengan dosen pengajar kami
Dr.rer.med Nurjannah Achmad sehingga kami bisa untuk mendapatkan nilai yang
memenuhi syarat untuk mata kuliah ini.
Penyusun
i
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................ i
Daftar Isi........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG................................................................. 1
1.2.RUMUSAN MASALAH............................................................. 2
1.3.TUJUAN...................................................................................... 2
1.4.MANFAAT.................................................................................. 3
BAB IV PENUTUP
4.1.KESIMPULAN................................................................ 36
4.2. SARAN........................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 38
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
karena adanya panutan, nilai, bimbingan dan moral dalam diri manusia.
Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk menjadikan manusia
berbudaya, dalam pengertian yang luas budaya mencakup segala aspek
kehidupan manusia yang dimulai dari cara berpikir manusia dalam bentuk
benda (materil) maupun bentuk sistem nilai (in-materil). Pendidikan nilai
mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran bagi
pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial. Pendidikan moral
yaitu lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat. Pendidikan moral
tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan siapa
saja dan dimana saja.( M. Yunus Nabbi, 2011)
1.3. TUJUAN
Adapun tujuan penyusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hakikat, hubungan, dan definisi manusia, nilai,
moralitas dan hukum,
2. Untuk mengetahui Ilmu Sosial Budaya Dasar dalam poin manusia,
nilai, moralitas dan hukum,
3. Untuk mengetahui permasalahan seputar manusia, nilai, moralitas dan
hukum serta berupaya memberi solusi,
4. Mengemukakan hakikat, fungsi moral dan hukum,
5. Mengemukakan problematika nilai, moral dan hukum dalam
masyarakat dan negara,
6. Memahami pengertian tentang manusia, nilai, moral dan hukum.
2
1.4. MANFAAT
1. Mengetahui hakikat, hubungan, dan definisi manusia, nilai, moralitas
dan hukum,
2. Mengetahui Ilmu Sosial Budaya Dasar dalam poin manusia, nilai,
moralitas dan hukum,
3. Mengetahui permasalahan dan berupaya menyelesaikan permasalahan
seputar manusi, nilai, moralitas dan hukum.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
Ilmu sosial dasar termasuk kedalam kelompok ilmu sosial. Namun, Ilmu
Sosial Dasar tidak bersifat sebagai pengantar kearah suatu bidang disiplin ilmu
sosial sebagaimana pengantar ilmu politik, pengantar antropologi pengantar
sosiologi, dan lain-lain. Ilmu Sosial Dasar menggunakan pengertian yang berasal
dari berbagai disiplin ilmu untuk menanggapi masalah-masalah sosial, khususnya
yang dihadapi masyarakat Indonesia. Ilmu sosial dasar mempunyai tema pokok,
yaitu hubungan yang menghasilkan timbal balik manusia dengan lingkungannya.
Adapun objek sasaran atau objek kajian ilmu sosial budaya adalah sebagai
berikut. Berbagai kenyataan bersama merupakan masalah sosial yang dapat
ditanggapi melalui pendekatan sendiri maupun pendekatan antar bidang (Siti Irene
Dwiningrum, 2010).
4
2.1.1. Ilmu Alamiah (Natural Sciences)
2.2.1 Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mess”
(Latin) yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah, dapat diartikan
sebagai konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah
kelompok atau seorang individu. Manusia merupakan makhluk yang
tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya
dan manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan hubungan seperti
5
itu, diperlukan keteraturan (hukum) dengan tujuan setiap individu dapat
berhubungan secara harmoni dengan individu lainnya. Oleh karena itu
diperlukan aturan atau disebut dengan hukum.( M. Friedman &
Lawrence. 2011) .
a) Ciri-Ciri Fisik
b) Ciri-Ciri Mental
c) Habibat
6
untuk mendiami semua benua dan beradaptasi dengan semua iklim.
Dalam beberapa dasa warsa terakhir, manusia telah dapat mendiami
sementara benua Antartika, mendiami ke dalaman samudera, dan ruang
angkasa, meskipun pendiaman jangka panjang di lingkungan tersebut
belum termasuk sesuatu yang hemat. Manusia dengan populasi kurang
lebih enam miliar jiwa, adalah salah satu dari mamalia terbanyak di
dunia. (Carl Sagan, The Dragons of Eden, hal: 39)
1. Nilai itu suatu relitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai
yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah
objek yang bernilai misalnya orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran
merupakan nilai, tetapi kita tidak bisa menindra kejujuran itu.(Sarinah,
2016)
2. Nilai memiliki sifat normatif, yang artinya nilai mengandung harapan,
cita-cita dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal das sollen.
Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam
bertindak, misalnya nilai keadilan. Semua orang berharap manusia dapat
mencerminkan perilaku dengan nilai keadilan.(Sarinah, 2016)
3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong dan peran manusia merupakan
pendukung nilai itu sendiri. Manusia bertindak berdasarkan dan didorong
oleh nilai yang diyakininya, misalnya nilai ketakwaan. Nilai itu sendiri
menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat
ketakwaan.(Sarinah, 2016)
7
Nilai berperan penting bagi manusia dan apabila dipandang dapat
mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu
menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga
nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, semakin
diyakini oleh setiap individu dan diaplikasikan dalam tingkah laku. Menilai dapat
diartikan suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu
lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu
menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau
sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada
pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan. Nilai
memiliki polaritas dan hirarki, antara lain :
Nilai dalam aspek positif dan aspek negatif seperti baik dan buruk;
keindahan dan kejelekan. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki
urutan pentingnya. Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata
benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau
kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani
manusia.
Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam :
Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio
manusia,
Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada
unsur perasaan estetis manusia,
Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau
karsa manusia,
Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia
dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan
nuraninya.
(Ismayani, 2012)
8
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memahami nilai dalam dua
konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila
nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah
ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Baik dan buruk, benar dan salah
bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia, tetapi ada sebagai
sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya. Pandangan kedua
yaitu nilai itu subjektif yang artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang
menilainya. Jadi nilai itu tidak akan ada tanpa adanya penilai. Oleh karena itu
nilai terikat dengan subjek penilai. (Rusmin Tamunggor, 2012)
Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan.
Kata mores ini mempunyai persamaan dari kata mos, moris, manner mores atau
manners, morals. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moral berarti
akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin
atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin
dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang
diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.
(Kholis Ridho, 2012)
9
adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan
manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang
mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik. (Kholis Ridho, 2012)
10
demikian tidak dikehendaki adanya kejahatan-kejahatan. Kaidah
kepercayaan ini tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi kepada sikap
batin manusia.( Edywianto, 2011)
Norma kesusilaan
Norma kesusilaan adalah kaidah yang bersumber pada suara hati
atau insan kamil manusia, kaidah itu berupa bisikan-bisikan suara batin
yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang dan menjadi dorongan atau
pedoman dalam perbuatan dan sikapnya. Bangi mereka yanga melanggar
norma kesusilaan akan mendapatkan sanksi yang bersifat otonom yang
datanngnya dari diri oarang itu sendiri berupa penyesalan, siksaan batin
atau sejenisnya. Norma kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai
invidu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Sebagai
pendukung kaidah kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia
sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir.
Kaidah ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi, mencegah
kegelisahan diri sendiri. ( Edywianto, 2011)
Norma atau kaidah kesusilaan ini ditujukan umat mannusia agar
terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna menyyempurnakan manusia dan
melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Membunuh, berzina,
mencuri dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh kaidah kepercayaan
atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan dengan
(kaidah) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Kaidah kesusilaan
hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.
( Edywianto, 2011)
11
tertawaan, diasingkan dari pergaulan hidup dan sejenisnya. Norma
kesopanan dalam kehidupan sehari-hari biasanya dikenal dengan istilah
tata krama, yaitu peraturan yang timbul dari pergaulan segolongan
manusia. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia
melainkan bersifat khusus dan setempat atau regional dan hanya berlaku
bagi segolongnan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap soapan
bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak
demikian. (Elly M. Setiadi, 2013).
Norma atau kaidah didasarkan pada kebiasaan, kepatutan atau
kepantasan yang berlaku didalam masyarakat. Kaidah sopan santun
ditujukan kepada sikap lahir pelakunya yang kongkret demi
penyempurnaan atau keetrtiban masyarakat dan bertujjuan menciptakan
perdamain, tata tertib, atau membuat “sedap” lalu lintas antar manusia
yang bersifat llahiriah. Sopan santun lebih mementingkan yang lahir atau
formal: pergaulan, pakaian, bahasa. Bahkan yidak hanya ditujukan sikap
lahir saja tetapi seringkali sudah puas dengan sikap semu atau pura-pura
saja. Jadi tidak semata-mata menghendaki sikap batin.(Loudy, 2012)
Norma hukum
Norma hukum ialah peraturan yang dibuat oleh negara dan
berlakunya dipertahankan dengan paksaan oleh alat-alat negara seperti,
polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya. Keistimaewaan norma hukum itu
terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa
ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berdaya upaya agar
peraturan-peraturan itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti
sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat
memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan
ditaati. (Anes Sinaga, 2013)
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat
karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa
latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan
12
dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah
sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang
baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat
pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas
yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral
adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. (Kama A.Hakam, 2013)
Moral memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal
daribahasa kuno yang berarti ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki banyak
artiyaitu tempat tinggal biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, watak sikap, dan
caraberfiki. Dalam bentuj jamak ethos (ta etha) yang artinya adat kebiasaan.
Moralberasal dari bahsa latin yaitu mos (jamaknya mores) yang berarti adat, cara,
dantampat tinggal. Dengan demikian secara etismologi kedua kata tersebut
bermaknasama hannya asal uasul bahasanya yang berbeda dimana etika dari
bahasa yunanisementara moral dari bahasa latin. (Ridwan Effendi, 2013)
13
Dengan hati nurani manusia akan sanggupmererfleksikandirinya terutama
dalam mengenai dirinya sendiri atau juga mengenal orang.
Kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan adalah milik individu yang
sangat hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada dasar nya adal;ah
makhluk bebas. Tetapi didalam kebebasanitu juga terbatas karena tidak
boleh bersinggungan dengan kebebasan orang lainketika mereka
melakukan interaksi. Jadi, manusia itu adalah makhluk bebas yang dibatasi
oleh lingkungannya sebagai akibat tidak mampunya ia untuk hidup sendiri.
(Efriawan, 2012)
Nilai dan Norma Moral. Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada
orang lain dan ia akanbergabung dengan nilai lain seperti agama, hukum,
dan budaya. Nilai moralterkait dalam tanggung jawab seseorang.
(Efriawan, 2012)
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah
roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang
jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa
disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan
norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral
juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja
kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat. Meskipun
hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan
moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat
ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan
indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum. (Gunawan
Setiardja, 2011)
14
kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan
saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya. Hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat,
yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. (Soeroso, 2014)
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas
ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam
setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat,
maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas
berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.( Kurniawan Joeni Arianto, 2012)
15
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu
negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan
kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya
ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum
dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan.( Efriawan, 2012)
Substansi hukum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan
haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk
mewujudkan ketertiban bersama. Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat
ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya
tujuan hukum. Budaya Hukum yaitu budaya hukum yang dimaksud adalah
budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk
dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan
bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan
bersama dapat terwujud. Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia
sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini
mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta
kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih
kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap
yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri. (Efriawan, 2012)
Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi
korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum
sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan
namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan
sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas. Dalam suatu
penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai
suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan
budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan
melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan
16
fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan
budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.(Juanda, 2010)
Contoh yang paling aktual misalnya tentang Perda Kawasan Bebas Rokok.
Peraturan ini secara normatif sangat baik karena memiliki perhatian yang besar
terhadap kesehatan masyarakat. Namun, ternyata belum efektif, karena minimnya
fasilitas, dan juga aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh
yang baik. Sama dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di
tempat-tempat publik merupakan suatu budaya yang agak sulit diberantas. Oleh
karena itu, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat
dengan hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal merupakan suatu
kemestian. Misalnya perda kawasan bebas rokok yang harus didukung dengan
memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, menyediakan ruangan khusus
perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan asap.
Masyarakatpun harus senantiasa untuk mendapatkan penyadaran dan
pembelajaran yang kontinyu. Maka program penyadaran, kampanye, pendidikan,
apapun namanya, harus terus menerus dimantapkan dengan metode yang
partisipatif karena setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan
informasi dan pengetahuan yang tepat akan hal-hal yang penting bagi
kelangsungan hidupnya.(Juanda, 2010)
17
Karakter merupakan “keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang
telah dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam
keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara
berpikir dan bertindak . Lebih lanjut dijelaskan Diana memetakan dua aspek
penting dalam diri individu, yaitu kesatuan (cara bertindak yang koheren) dan
stabilitas (kesatuan berkesinambungan dalam kurun waktu), karena itu ada proses
strukturisasi psikologis dalam diri individu yang secara kodrati sifatnya reaktif
terhadap lingkungan. Beberapa kriteria seperti halnya: stabilitas pola perilaku;
kesinambungan dalam waktu; koherensi cara berpikir dalam bertindak . Hal
tersebut telah menarik perhatian serius para pendidik dan pedagogis untuk
memikirkan dalam kerangka proses pendidikan karakter. Dengan demikian,
pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang
berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai
sehingga menghasilkan disposisi aktif, stabil dalam diri individu. Dinamika ini
membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi
dimensi yang menjiwai proses formasi setiap inividu. Jadi, karakter merupakan
sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak hanya sekedar
berhenti atas determininasi kodratinya, melainkan sebuah usaha hidup untuk
menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya semakin
proses penyempurnaan dirinya.
(https://www.academia.edu/9180920/PENDIDIKAN_KARAKTER)
18
Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-
faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut
faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang
bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun demikian, perlu diingat bahwa
faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat untuk
mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu
maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha
pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat,
fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan,
yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan inilah
peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat sentral,
karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk
melalui proses belajar, baik belajar secara formal maupun informal. (Fatchul
Muin, 2011)
19
dalam membentuk karakter manusia. Kekuatan dalam proses pembentukan ini
sangat ditentukan oleh realitas sosial yang bersifat subjektif yang dimiliki oleh
setiap individu dan realitas objektif di luar setiap individu yang memiliki
pengaruh sangat kuat dalam membentuk pribadi yang berkarakter.( Darmiyati
Zuchdi, 2010)
20
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.PROBLEMATIKA HUKUM
21
yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus
adalah kasus ibu Prita Mulyasari. Pekerjaan besar menghadang
bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu
dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang
kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
(Efriawan, 2012)
22
pembangunan yang kita banggakan pun sebagian besar lebih
bersifat fisik. Inilah penyebab utama mengapa selama periode
tersebut kita mengabaikan pengembangan modal yang bukan
bersifat fisik, atau modal yang nirwujud atau modal maya, seperti
tingkat kecerdasan bangsa, pembangunan karakter bangsa, yang
justru menjadi tumpuan utama kemajuan ekonomi bangsabangsa
lain di dunia. (Yasa, 2010)
c. Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme “overdoses”
Kecenderungan yang terlalu mengedepankan keberhasilan
ekonomi (jangka pendek) telah membuat sebagian dari masyarakat
terperangkap dalam pragmatisme yang overdoses, dan kemudian
terjebak dalam sikap atau perilaku „tujuan menghalalkan segala
cara‟. Idealisme saat itu tidak penting, bahkan sering menjadi
bahan cemoohan. Ini adalah era di mana banyak orang percaya
bahwa orang jujur tidak bisa maju secara ekonomik. (Yasa, 2010)
d. Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri Dalam
perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita, untuk mencapai
kemerdekaan ada perubahan cara berjuang dari berjuang dengan
mengandalkan kekuatan atau modal fisik menjadi berjuang dengan
mengandalkan kekuatan atau modal maya. Beberapa pahlawan
nasional kita, seperti Pattimura, Diponegoro, Teuku Umar,
mengangkat senjata, mengobarkan peperangan untuk mengusir
penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang gagah berani yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya
untuk sebuah cita-cita luhur. Namun demikian, mereka belum
berhasil mengalahkan lewat kekuatan senjata.(Yasa, 2010)
23
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa masalah krisis
karakter sudah bersifat struktural, maka pendidikan karakter harus
dilakukan secara holistik dan kontekstual. Secara holistik artinya
membangun karakter bangsa Indonesia dimulai dari keluarga, masyarakat
dan negara. Model ini adalah sebuah usaha untuk melakukan pendidikan
karakter secara holistik yang melibatkan aspek “knowledge, felling,
loving, dan acting”. Sedangkan aspek kontekstual terkait dengan nilai-nilai
pokok yang diperlukan untuk membentuk kekuatan karakter bangsa mulai
diinternalisasikan pada semua tataran nasyarakat. Dengan pendekatan yang
komprehenaif diharapkan dapat menghasilkan perilaku orang yang
berkarakter. Sebagainaba dijelaskan oleh Thomas Lickona (1991)
mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang
dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang bak, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya. Seperti yang
diungkapkan Aristoteles bahwa karakteristik itu erat kaitannya dengan
habit atau kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Jadi konsep
yang dibangun dari model ini adalah habit of the mind, habit of the heart
dan habit of the hands. (Herimanto, 2011).
24
ialah bahwa fungsi utamanya yang dapat dipisah-pisahkan. Fungsi
keluarga antara lain :
25
dia sadar lingkungan, belajar tata nilai atau moral. Karena tata nilai
yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka
di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di
keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam
prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen
terhadap nilai moral tertentu, seperti kejujuran, kedermawanan,
kesederhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia di
sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan
dia – berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda
ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang
mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup
ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup
berhasil, dan wawasan mengenai masa depan.( Sitti M, 2012)
26
pelajaran, keterampilan pengelolaan kelas, kedisiplinan,
antusiasme, kepedulian, dan keramahan, guru terhadap siswa.
(Doni Koesuma, 2010)
Dalam menghadapi tantangan global, guru atau pendidik
menjadi agen transformasi. Dalam proses transformasi melalui
pendidikan formal di sekolah, guru atau dosen memegang peran
yang sangat penting. Prestasi guru atau dosen dilihat dari
keberhasilannya dalam membantu para peserta didik
mentrasformasikan diri ke tingkat kualitas pribadi yang lebih tinggi
atau lebih baik. Hal ini dimaknai bahwa guru dan dosen tidak
hanya sebagai agen transformasi pada tatanan individu atau peserta
didik, namun juga secara bersama-sama dapat berperan sangat
besar dalam sebuah transformasi sebuah masyarakat atau bangsa.
Artinya, titik awal dalam transformasi pembentukan karakter
bangsa, maka titik awalnya adalah trasformasi guru atau
transformasi pendidikan. (Doni Koesuma, 2010)
Sebagai agen tranformasi, guru dan dosen diharapkan
memahami dan menerapkan sebelas prinsip yang minimal
diperlukan dalam pendidikan karakter, yang kemudian
disosialisasikan dengan integrated learning dalam proses
pembelajaran. Nilai-nilai yang dibutuhkan dalam pendidikan
karakter sebaiknya sudah menyatu dalam diri seorang pendidik, hal
ini dimaksudkan agar sebagai seorang pendidik memiliki
keyakinan baru , bahwa dalam dirinya sangat dituntut untuk benar-
benar menjadi orang yang memiliki karakter yang kuat, sehingga
dalam proses transformasi kepada anak didik dapat menjadi
“model” atau “tauladan” sebagai orang yang memiliki karakter.
Ibaratnya pendidik adalah sebuah “lilin” , maka pendidik akan
gagal menyalakan “lilin orang lain /anak didik”, artinya : pendidik
akan mengalami kesulitan membentuk generasi yang berkarakter,
jika pendidik belum menjadi manusia berkarakter juga. Aspek lain
yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik adalah tetap
27
mengajarkan nilai-nilai penting yang dibutuhkan dalam proses
pendidikan yakni care (kasih sayang), respect (saling
menghormati), responsible (bertanggung jawab), integrity
(integritas), harmony (keseimbangan), resilience (daya tahan atau
tangguh), creativity (kreativitas), dan lain-lain.(Astuti Purbani
Widya.2010)
Profil guru dan dosen transformasional , yakni pendidik
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Dapat melihat pekerjaan
sebagai guru atau dosen sebagai panggilan; Tidak memandang
siswa atau mahasiswa sebagai deretan gelas kosong , tetapi bibit-
bibit dengan potensi keunggulan yang beragam; Melihat inti dan
fungsi pendidikan adalah mengembangkan potensi insani untuk
kehidupan yang lebih bermakna; Memandang sekolah sebagai
komunitas belajar, bukan mesin; Penuh kepedulian;
Apresiatif;wugiuuugig Pembelajar prima; Berintegritas Gambaran
tentang gederakualitas guru atau dosen transformasional bukan
pekerjaan yang sulit untuk dilakukan oleh seorang pendidik. Jika
dalam diri pendidik muncul suatu kesadaran yang kuat untuk
berkembang menjadi pribadi yang berkarakter kuat yang sangat
dibutuhkan oleh bangsa ini dalam menghasilkan generasi yang
bermartabat dan berkarakter. (Gede Raka, 2010)
Peran Masyarakat dan Media Massa Dalam Pendidikan
Karakter
Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, salah
yang berpengaruh dalam pembangunan atau sebaliknya juga
perusak karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa,
khususnya media eletronik, dengan pelaku utamanya adalah
televisi. Peran media, media cetak dan radio dalam pembangunan
karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang
kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa
melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan
28
Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan
persatuan melalui radio. Mereka dalam keterbatasannya,
memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat
itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali:
kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaan berkorban, dan rasa
persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah
ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan
media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan
sekarang. Sebagaimana dipaparkan oleh (Gede Raka, 2010) :
“Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama
makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media
massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan
melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu
mengatakan, media elektronik di Indonesia, khususnya televisi,
sekarang ini kontribusinya ‘nihil’ dalam pembangunan karakter
karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa
tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar
program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada
karakter baik. Seringkali pengaruh lingkungan keluarga yang baik
justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak
dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru
penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak dididik untuk
hidup sederhana, namun acara sinetron di televisi Indonesia justru
memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk
hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara
tidak langsung menunjukkan ‘kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang
justru di mata publik dianggap ‘kasar’ atau ‘pangeran-
pangeran’koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa
membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik,
namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan
gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk
berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia
29
banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan
melecehkan guru. Secara umum, banyak tanyangan di televisi
Indonesia, justru ‘membongkar’ anjuran berperilaku baik yang
ditanamkan di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di
sekolah” (Gede Raka, 2010)
Media massa berperan ganda. Di satu sisi memutarkan
iklan-iklan layanan masyarakat atau iklan yang menyentuh hati, di
sisi lain menyiarkan acara/sinetron yang justru malah menampilkan
hal-hal negatif, yang akhirnya bukannya dijauhi, malah ditiru oleh
para penontonnya. Media media harus dikontrol oleh negara.
Negara memiliki kewajiban untuk mengontrol segala aktivitas
media, agar sesuai dengan tujuan negara itu sendiri. Perangkat
hukumnya harus jelas dan adil. Indonesia sendiri mempunyai
Depkominfo, tapi hanya sekedar mengatur kebijakan frekuensi, hak
siar, dsb. Lebih khusus lagi, ada KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia), yang dibentuk lebih independen, namun diakui
pemerintah. KPI diharapkan dapat memfilter aktivitas media
(terutama televisi) agar sesuai dengan tujuan negara, norma,
kebudayaan, adat, dan tentunya agama. Namun sampai saat ini,
KPI dirasa masih cukup lemah dalam bertindak (memfilter), dan
maka daripada itu, sangat dibutuhkan (kekuatan) peran serta
masyarakat dalam mengontrol media-media tersebut.( Nursid
Sumaatmadja, 2011)
Dari pengaruh media massa tersebut, maka ke depan perlu
dipikirkan kembali fungsi media massa sebagai media edukasi
yang memiliki “ cultural of power” dalam membangun masyarakat
yang berkarakter, karena efek media massa sangat kuat dalam
membentuk pola pikir dan pola perilaku masyarakat. Prinsip-
prinsip dalam pendidikan karakter perlu diinternalisasikan dalam
program-program yang ditanyakan oleh media massa, sebagai
bentuk tanggung jawab bersama dalam mengatasi krisis karakter
bangsa. Pengelola media massa perlu untuk mengembangkan
30
dirinya sebagai “agen perubahan” yang mimiliki jiwa yang
berkarakter, sehingga seni dan karya yang dihasilkan dan
ditayangkan akan sarat dengan nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai humanis-religius dan dijauhkan dari
tayangan yang merusak moral bangsa, dan “virus-virus” yang
melemahkan etos dan budaya kerja. (Ratna, 2012)
Peran Negara dalam Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter tidak hanya idealism, namun
memiliki makna dalam membangun kesejahteraan hidup bangsa
Indonesia. Pembangunan karakter pada tataran individu dan tataran
masyarakat luas perlu dikuatkan agar bangsa Indonesia lebih
mampu cepat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
(Megawati Ratih, 2010).
“Karakter yang perlu diperbaiki adalah kedisiplinan. Bangsa
Indonesia telah dikenal dengan bangsa dengan jam karetnya, jika
tidak terlambat maka dianggap bukan orang Indonesia. Disiplin
nasional perlu digalakkan dengan sungguh-sungguh dalam upaya
mewujudkan masyarakat, bangsa, negara yang bercita-cita luhur.
Disiplin bertujuan memperbaiki tingkah laku dan moral bagi
seluruh manusia yang tinggal di Indonesia, baik bagi kalangan
akademisi dan juga para pelaku bisnis di Indonesia. Pengertian
disiplin adalah disiplin kerja, disiplin cara hidup sehat, disiplin
berlalu-lintas, sanitasi, pelestarian lingkungan. Disiplin nasional
berhasil jika individu melaksanakan disiplin tersebut dengan
kesungguhan hati dan memahami bahwa disiplin diri merupakan
cikal bakal untuk disiplin nasional. Dengan demikian, dengan
adanya pendidikan karakter, budaya dan moral bukan hanya
generasi yang telah menjadi guru, tetapi juga setiap anak, pemuda,
dan orang dewasa yang ada di Indonesia dapat melaksanakannya
dengan sebaik-baiknya. Melalui pendidikan karakter, pendidikan
budaya, dan pendidikan moral akan menghasilkan watak dan
manusia Indonesia yang seutuhnya. Di satu sisi, pihak pemerintah
31
berusaha dengan gigih untuk memberikan teladan bagi warga
masyarakat”. (Megawati Ratih, 2010)
Wanita cantik arau kurang cantik, pria yang tampan atau kurang tampan
merupakan contoh kasus nilai dengan manusia di dalam konteks estetika atau
keindahan. Manusia memang diRajin atau malas, sopan atau tidak sopan
merupakan contoh kasus nilai dengan manusia di dalam konteks etika atau
prilaku, konteks ini berkaitan dengan moral yang akan dijelaskan setelah ini.
32
berlaku. Sedangkan bagi pengguna berlaku rehabilitasi oleh lembaga negara
seperti Badan Narkotika Nasional (BNN).
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/14/91492/Runtu
hnya-Moralitas-Hukum)
33
hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan dan pertarungan antara moral, nilai
dan kepentingan-kepentingan lain.
3.4. SOLUSI
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik
atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang
dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Disinilah
pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan
dipengadilan atas adanya kasus Minah, Basar-Kolil dan Prita Mulyasari. Di sisi
lain, mereka merupakan masyarakan kelas bawah sehingga dapat dilihat bahwa
hukum masih belum dapat dipahami oleh masyarakat awam.
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/14/91492/Runtu
hnya-Moralitas-Hukum)
34
Hospital Alam Sutera Tanggerang. Setelah dituduh, Prita langsung menulis
keluhan pada pelayan rumah sakit melalui email. Semulanya keluhan yang
dikirim dalam email ke beberapa temannya merupakan ranah pribadi, kemudian
email tersebut masuk kedalam mailing list sehingga menjadi ranah publik. Karena
dalam konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca adanya Prita
sebagai korban yang membutuhkan keadilan melainkan rumah sakit tersebut
sebagai korban.
(http://www.kompasiana.com/afsee/membentengi-ranah-pribadi-dan-ranah-
publik_5509ca718133117175b1e2f3)
35
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan
dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati
dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi
keselarasan dan harmoni kehidupan. Manusia adalah individu yg terdiri dari jasad
dan roh dan makhluk yang paling sempurna, paling tertinggi derajatnya, dan
menjadi khalifah di permukaan bumi. Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu
diinginkan, dicita-citakan dan dianggap pentong oleh seluruh manusia sebagai
anggota masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan
kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.(Efriawan, 2012)
Dari kami pribadi, manusia berkaitan dengan nilai, moral, hukum artinya
manusia dalam menjalani hidup melakukan rutinitas prilaku atau kebiasaan dalam
tingkah laku yang disebut moral, dan nilai sebagai parameter prilaku seseorang di
dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum sebagai pembatas seseorang
dalam melakukan yang dikehendaki agar sesuai moral yang bernilai baik.
4.2. SARAN
36
Karena apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki
kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral
yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum terlihat kosong dan hampa.
(https://aristhyar.wordpress.com/2013/.../perkembangan-intelektual-dan-moral-
remaja/)
Dari kami pribadi, kita sebagai mahasiswa berupaya memperbaiki diri agar
dimasa yang akan datang kita sebagai agen perubahan yang lebih baik dan seiring
berjalannya hidup mahasiswa dalam dunia kampus, tentu kita harus mengawasi
penuh tindakan pemerintah dan hukum di Indonesia dengan mengkritisi
pemerintah dan lembaga hukum yang tidak sesuai dengan fungsinya.
37
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Ridwan. 2013. Ilmu Sosial Budaya Dasar (cet 3). Jakarta:
Prenadamedia Group
Herimanto. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
38
Loudy. 2012. Norma,Etika, dan macam-macam nya. Kencana Prenada
Group: Jakarta
Ridho, Kholis. 2012. Ilmu Budaya & Budaya Dasar Edisi 2. Jakarta :
Prenada Media Group
Setiadi, M., Elly. 2013. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Sinaga, Anes. 2013. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bogor: Institut Pertanian
Bogor
Sulastriana, Eka. 2012. Konsep Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Terhadap
Keluarga dan Masyarakat dan Perilaku Sosial. Medan : Politeknik Kesehatan
Medan
39
Tamunggor, Rusmin. 2012. Ilmu Budaya & Budaya Dasar Edisi Revisi.
Jakarta : Predana Media Group
Thaib, Dahlan. 2010. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Yasa. 2010. Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: UNJ.
Zuchdi, Darmiyati. 2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan
Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press
https://aristhyar.wordpress.com/2013/.../perkembangan-intelektual-dan-
moral-remaja/
https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
(Dikutip dari Carl Sagan dalam buku The Dragons of Eden Hal: 38-39)
https://www.academia.edu/9180920/Pendidikan-karakter
http://www.kompasiana.com/afsee/membentengi-ranah-pribadi-dan-ranah-
publik_5509ca718133117175b1e2f3
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/14/91492
/Runtuhnya-Moralitas-Hukum
40