Anda di halaman 1dari 44

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

JUDUL :

MANUSIA, NILAI, MORALITAS DAN HUKUM

DISUSUN OLEH :

IMAM HIDAYAT 2015430025

NANDA AMELIA 2015430036

NABIL MAHASIN 2015430070

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2017
Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat


karunia dan rahmat-Nya kami telah menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Manusia, Nilai, Moralitas dan Hukum”, yang disusun dalam rangka
menyelesaikan tugas makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar.

Hal yang mendasari kami untuk menyelesaikan makalah ini yaitu tugas
mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD), dengan dosen pengajar kami
Dr.rer.med Nurjannah Achmad sehingga kami bisa untuk mendapatkan nilai yang
memenuhi syarat untuk mata kuliah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan yang mungkin tidak dapat kami sadari. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan
Makalah ini dan akan sangat kami terima dengan senang hati. Diharapkan hasil
Makalah ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat, terutama dalam
tingkah dan perilaku masyarakat yang sudah banyak berubah di era globalisasi ini.

Jakarta, 17 April 2017

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar................................................................................ i
Daftar Isi........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG................................................................. 1
1.2.RUMUSAN MASALAH............................................................. 2
1.3.TUJUAN...................................................................................... 2
1.4.MANFAAT.................................................................................. 3

BAB II LANDASAN TEORI


2.1.HAKIKAT, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP ILMU SOSIAL BUDAYA
DASAR............................................................................................. 4

2.1.1.Ilmu Alamiah (natural sciences).................................. 5


2.1.2.Ilmu Sosial (social sciences)........................................ 5
2.1.3.Pengetahuan Budaya (the humanities)......................... 5
2.2. PENGERTIAN MANUSIA, NILAI, MORALITAS DAN HUKUM 5
2.3.HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MORAL......................... 13
2.4.HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HUKUM........................ 14
2.5. PERAN NILAI DALAM PEMEBENTUKAN KARAKTER.. 17

BAB III PEMBAHASAN


3.1.PROBLEMATIKA HUKUM.......................................... 21
3.2.PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA.... 22
3.3.STUDY KASUS.............................................................. 32
3.4.SOLUSI............................................................................ 34

BAB IV PENUTUP
4.1.KESIMPULAN................................................................ 36

4.2. SARAN........................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 38

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Ilmu sosial budaya dasar merupakan suatu susunan dari rangkaian
dalam pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling mendasar dan
menonjol yang berada dikehidupan manusia sebagai mahkluk sosial yang
mempunyai kebudayaan serta permasalahan-permasalahan sosial. Ilmu Sosial
Budaya Dasar mempunyai pokok yaitu hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungannya (Junnaedy,dkk, 2012).
Secara umum, Ilmu Sosial Budaya Dasar bertujuan sebagai
pengembangan kepribadian manusia dalam lingkungan sosial (zoon politicon)
dan sebagai mahkluk berbudaya, sehingga mampu menghadapi secara kritis
dan mempunyai wawasan luas dalam mengenai sosial budaya dan
permasalahan lingkungan sosial budaya, serta daoat menyelesaikannya dengan
baik, tujuan umum Ilmu Sosial Budaya Dasar ada beberapa yaitu pertama
pengembangan kepribadian manusia sebagai mahkluk sosial dan makhluk
berbudaya, kemampuan seseorang menanggapi secara kritis dan berwawasan
luas terhadap permasalahan sosial budaya dan permasalahan lingkungan sosial
budaya, dan kemampuan di dalam menyelesaikan secara baik, bijaksana dan
obyektif permasalahn-permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Makadari itu Ilmu Sosial Budaya Dasar merupakan program umum yang
bersifat mengatur mahasiswa yang memiliki kemampuan personal.
Kemampuan personal merupakan kaitan dengan kemampuan individu untuk
menempatkan diri sebagai anggota masyarakat yang tidak terpisahkan dari
masyarakat itu sendiri (Abdillah, 2015).
Manusia, nilai, moral dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dan masalah-masalah serius yang berkaitan dengan nilai, moral
dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan
negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral

1
karena adanya panutan, nilai, bimbingan dan moral dalam diri manusia.
Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk menjadikan manusia
berbudaya, dalam pengertian yang luas budaya mencakup segala aspek
kehidupan manusia yang dimulai dari cara berpikir manusia dalam bentuk
benda (materil) maupun bentuk sistem nilai (in-materil). Pendidikan nilai
mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran bagi
pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial. Pendidikan moral
yaitu lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat. Pendidikan moral
tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan siapa
saja dan dimana saja.( M. Yunus Nabbi, 2011)

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian manusia, nilai, moral dan hukum ?
2. Bagaimana hubungan antara manusia dengan nilai ?
3. Bagaimana hubungan antara manusia dengan moral ?
4. Bagaimana hubungan antara manusia dengan hukum ?

1.3. TUJUAN
Adapun tujuan penyusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hakikat, hubungan, dan definisi manusia, nilai,
moralitas dan hukum,
2. Untuk mengetahui Ilmu Sosial Budaya Dasar dalam poin manusia,
nilai, moralitas dan hukum,
3. Untuk mengetahui permasalahan seputar manusia, nilai, moralitas dan
hukum serta berupaya memberi solusi,
4. Mengemukakan hakikat, fungsi moral dan hukum,
5. Mengemukakan problematika nilai, moral dan hukum dalam
masyarakat dan negara,
6. Memahami pengertian tentang manusia, nilai, moral dan hukum.

2
1.4. MANFAAT
1. Mengetahui hakikat, hubungan, dan definisi manusia, nilai, moralitas
dan hukum,
2. Mengetahui Ilmu Sosial Budaya Dasar dalam poin manusia, nilai,
moralitas dan hukum,
3. Mengetahui permasalahan dan berupaya menyelesaikan permasalahan
seputar manusi, nilai, moralitas dan hukum.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. HAKIKAT, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP ILMU SOSIAL


BUDAYA DASAR

Ilmu Sosial Budaya Dasar adalah bertujuan untuk mengembangkan


kepribadian manusia sebagai mahkluk sosial dan sebagai makhluk budaya yang
berwawasan luas serta kritis dan dapat menyelesaikan sebuah permasalahan
dengan baik, memahami dan mengerti konsep-konsep dasar tentang manusia
sebagai mahkluk sosial. Secara umum ilmu dan pengetahuan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu (Abdillah, 2015) :

a. Ilmu alamiah (natural sciences),


b. Ilmu sosial (social sciences),
c. Pengetahuan budaya (the humanistic). (Abdillah, 2015)

Ilmu sosial dasar termasuk kedalam kelompok ilmu sosial. Namun, Ilmu
Sosial Dasar tidak bersifat sebagai pengantar kearah suatu bidang disiplin ilmu
sosial sebagaimana pengantar ilmu politik, pengantar antropologi pengantar
sosiologi, dan lain-lain. Ilmu Sosial Dasar menggunakan pengertian yang berasal
dari berbagai disiplin ilmu untuk menanggapi masalah-masalah sosial, khususnya
yang dihadapi masyarakat Indonesia. Ilmu sosial dasar mempunyai tema pokok,
yaitu hubungan yang menghasilkan timbal balik manusia dengan lingkungannya.
Adapun objek sasaran atau objek kajian ilmu sosial budaya adalah sebagai
berikut. Berbagai kenyataan bersama merupakan masalah sosial yang dapat
ditanggapi melalui pendekatan sendiri maupun pendekatan antar bidang (Siti Irene
Dwiningrum, 2010).

4
2.1.1. Ilmu Alamiah (Natural Sciences)

Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang


terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode
ilmiah. Caranya ialah dengan menentukan hukum yang berlaku mengenai
keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan suatu
kualitas. Hasil analisis ini kemudian digeneralisasikan. Atas dasar ini lalu
dibuat prediksi. (Hasbulloh, 2012)

2.1.2. Ilmu Sosial (Social Sciences)

Ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan


yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Untuk mengkaji hal ini
digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu-ilmu alamiah. Tetapi
hasil pengkajian ini lebih bersifat kualitatif, sebab hal ini menyangkut pola
perilaku dan tingkah laku manusia di masyarakat yang cenderung berubah-
ubah. ( Bertens, K. 2013)

2.1.3. Pengetahuan Budaya (The Humanities)

Ilmu yang bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-


kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal ini digunakan
metode pengungkapan peristiwa-peristiwa dan kenyataan-kenyataan yang
bersifat unik, kemudian diberi arti. (Herabudin, 2010).

2.2. PENGERTIAN MANUSIA, NILAI, MORALITAS DAN HUKUM

2.2.1 Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mess”
(Latin) yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah, dapat diartikan
sebagai konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah
kelompok atau seorang individu. Manusia merupakan makhluk yang
tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya
dan manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan hubungan seperti

5
itu, diperlukan keteraturan (hukum) dengan tujuan setiap individu dapat
berhubungan secara harmoni dengan individu lainnya. Oleh karena itu
diperlukan aturan atau disebut dengan hukum.( M. Friedman &
Lawrence. 2011) .

Perbedaan Manusia Secara Biologis:

a) Ciri-Ciri Fisik

Rata-rata tinggi badan perempuan dewasa Indonesia adalah 155 cm


dan rata-rata berat 53 kg. Pria umumnya lebih besar yaitu 168 cm dan
60 kg. Tentu saja angka tersebut hanya rata rata, bentuk fisik manusia
sangat bervariasi, tergantung pada faktor tempat, dan sejarah. Meskipun
ukuran tubuh umumnya dipengaruhi faktor keturunan, faktor
lingkungan dan kebudayaan juga dapat memengaruhinya, seperti gizi
makanan.

Warna kulit orang Indonesia rata-rata berwarna sawo matang,


namun ada juga orang Indonesia yang memiliki kulit berwarna putih
seperti di wilayah Indonesia bagian Barat, serta ada juga yang berkulit
hitam seperti di wilayah Indonesia bagian Timur. (Carl Sagan, The
Dragons of Eden, hal: 38)

b) Ciri-Ciri Mental

Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup ciptaan Allah


Subhanuwata’ala yang dapat menemukan suatu teknologi yang canggih
seiring perkembangan zaman. Manusia memiliki perbandingan massa
otak dengan tubuh terbesar di antara semua mamalia besar (Lumba-
lumba memiliki yang kedua terbesar; Hiu memiliki yang terbesar
untuk ikan; dan gurita memiliki yang tertinggi untuk invertebrata).
(Carl Sagan, The Dragons of Eden, hal: 38)

c) Habibat

Pandangan konvensional dari evolusi manusia menyatakan bahwa


manusia berevolusi di lingkungan dataran sabana di Afrika. Teknologi
yang disalurkan melalui kebudayaan telah memungkinkan manusia

6
untuk mendiami semua benua dan beradaptasi dengan semua iklim.
Dalam beberapa dasa warsa terakhir, manusia telah dapat mendiami
sementara benua Antartika, mendiami ke dalaman samudera, dan ruang
angkasa, meskipun pendiaman jangka panjang di lingkungan tersebut
belum termasuk sesuatu yang hemat. Manusia dengan populasi kurang
lebih enam miliar jiwa, adalah salah satu dari mamalia terbanyak di
dunia. (Carl Sagan, The Dragons of Eden, hal: 39)

Sebagian besar manusia (61%) berkediaman di daerah Asia.


Indonesia termasuk negara yang memiliki populasi terbanyak keempat
di dunia sebanyak 258.316.051 juta jiwa (3,5% di dunia). (M. Friedman
& Lawrence. 2011)

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan


berguna bagi manusia. Sesuatu dikatakan bernilai apabila berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai adalah sebagai berikut :

1. Nilai itu suatu relitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai
yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah
objek yang bernilai misalnya orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran
merupakan nilai, tetapi kita tidak bisa menindra kejujuran itu.(Sarinah,
2016)
2. Nilai memiliki sifat normatif, yang artinya nilai mengandung harapan,
cita-cita dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal das sollen.
Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam
bertindak, misalnya nilai keadilan. Semua orang berharap manusia dapat
mencerminkan perilaku dengan nilai keadilan.(Sarinah, 2016)
3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong dan peran manusia merupakan
pendukung nilai itu sendiri. Manusia bertindak berdasarkan dan didorong
oleh nilai yang diyakininya, misalnya nilai ketakwaan. Nilai itu sendiri
menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat
ketakwaan.(Sarinah, 2016)

7
Nilai berperan penting bagi manusia dan apabila dipandang dapat
mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu
menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga
nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, semakin
diyakini oleh setiap individu dan diaplikasikan dalam tingkah laku. Menilai dapat
diartikan suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu
lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu
menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau
sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada
pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan. Nilai
memiliki polaritas dan hirarki, antara lain :

 Nilai dalam aspek positif dan aspek negatif seperti baik dan buruk;
keindahan dan kejelekan. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki
urutan pentingnya. Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata
benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau
kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
 Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani
manusia.
 Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
 Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam :
 Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio
manusia,
 Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada
unsur perasaan estetis manusia,
 Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau
karsa manusia,
 Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia
dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan
nuraninya.
(Ismayani, 2012)

8
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memahami nilai dalam dua
konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila
nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah
ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Baik dan buruk, benar dan salah
bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia, tetapi ada sebagai
sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya. Pandangan kedua
yaitu nilai itu subjektif yang artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang
menilainya. Jadi nilai itu tidak akan ada tanpa adanya penilai. Oleh karena itu
nilai terikat dengan subjek penilai. (Rusmin Tamunggor, 2012)

Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan.
Kata mores ini mempunyai persamaan dari kata mos, moris, manner mores atau
manners, morals. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moral berarti
akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin
atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin
dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang
diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.
(Kholis Ridho, 2012)

Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses


sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang
mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral
itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan
dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari
kebudayaan masyarakat setempat. (Drs.Nurochim, 2012)

Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi


dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa
yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik,
begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Jadi moral

9
adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan
manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang
mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik. (Kholis Ridho, 2012)

Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala


sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak
konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini
perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih
konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa
latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang
digunakan oleh tukang kayu. (Elly M. Setiadi, 2013)

Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran,


aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur
sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai
kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam norma/kaedah
dalam masyarakat, yaitu:

 Norma kepercayaan atau keagamaan


Norma keagamaan adalah peraturan atau kaidah yang sumbernya
dari firman atu perintah Tuhan melalui Nabi atau utusanya. Bagi orang
yang beragama, perintah atau firman Tuhan itu menjadi petunjuk atau
pedoman didalam sikap dan perbuatanya (way of life). Kaidah agama
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhanya tetapi juga
mengatur hubungan antar sesama manusia. Bagi mereka yang melanggar
norma agama akan mendapatkan sanksi yang berupa kemurkaan Tuhan
atau siksaan neraka. Kaidah kepercayaan atu keagamaan ditujukan kepada
kehidupan beriman. Kaidah ini ditujukan terhadap manusia kepada tuhan
dan kepada dirinya sendiri. Tuhanlah yang mengancam pelanggaran-
pelanggaran kaidah kepercayaan atau agama itu dengan sanksi.
( Edywianto, 2011)
Kaidah kepercayaan atau agama ini bertujuan untuk
menyempurnakan manusia oleh karena kaidah ini ditunjukan kepada umat
manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Dengan

10
demikian tidak dikehendaki adanya kejahatan-kejahatan. Kaidah
kepercayaan ini tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi kepada sikap
batin manusia.( Edywianto, 2011)

 Norma kesusilaan
Norma kesusilaan adalah kaidah yang bersumber pada suara hati
atau insan kamil manusia, kaidah itu berupa bisikan-bisikan suara batin
yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang dan menjadi dorongan atau
pedoman dalam perbuatan dan sikapnya. Bangi mereka yanga melanggar
norma kesusilaan akan mendapatkan sanksi yang bersifat otonom yang
datanngnya dari diri oarang itu sendiri berupa penyesalan, siksaan batin
atau sejenisnya. Norma kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai
invidu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Sebagai
pendukung kaidah kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia
sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir.
Kaidah ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi, mencegah
kegelisahan diri sendiri. ( Edywianto, 2011)
Norma atau kaidah kesusilaan ini ditujukan umat mannusia agar
terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna menyyempurnakan manusia dan
melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Membunuh, berzina,
mencuri dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh kaidah kepercayaan
atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan dengan
(kaidah) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Kaidah kesusilaan
hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.
( Edywianto, 2011)

 Norma sopan santun/adab


Norma kesopanan atau tata krama ialah peraturan yang timbul
dalam pergaulan hidup segolongan manusia, kaidah-kaidah ini diikuti dan
ditaati sebagai pedoman dalam tingkah laku semua orang yanng ada
disekelilingnya. Apabila seseorang melanggar norma kesopanan akan
mendapatkan sanksi dari masyarakat yang berupa cemoohan, celaan,

11
tertawaan, diasingkan dari pergaulan hidup dan sejenisnya. Norma
kesopanan dalam kehidupan sehari-hari biasanya dikenal dengan istilah
tata krama, yaitu peraturan yang timbul dari pergaulan segolongan
manusia. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia
melainkan bersifat khusus dan setempat atau regional dan hanya berlaku
bagi segolongnan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap soapan
bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak
demikian. (Elly M. Setiadi, 2013).
Norma atau kaidah didasarkan pada kebiasaan, kepatutan atau
kepantasan yang berlaku didalam masyarakat. Kaidah sopan santun
ditujukan kepada sikap lahir pelakunya yang kongkret demi
penyempurnaan atau keetrtiban masyarakat dan bertujjuan menciptakan
perdamain, tata tertib, atau membuat “sedap” lalu lintas antar manusia
yang bersifat llahiriah. Sopan santun lebih mementingkan yang lahir atau
formal: pergaulan, pakaian, bahasa. Bahkan yidak hanya ditujukan sikap
lahir saja tetapi seringkali sudah puas dengan sikap semu atau pura-pura
saja. Jadi tidak semata-mata menghendaki sikap batin.(Loudy, 2012)

 Norma hukum
Norma hukum ialah peraturan yang dibuat oleh negara dan
berlakunya dipertahankan dengan paksaan oleh alat-alat negara seperti,
polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya. Keistimaewaan norma hukum itu
terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa
ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berdaya upaya agar
peraturan-peraturan itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti
sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat
memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan
ditaati. (Anes Sinaga, 2013)

Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat
karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa
latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan

12
dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah
sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang
baik dan mana yang wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat
pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas
yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral
adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. (Kama A.Hakam, 2013)

2.3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MORAL

Moral memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal
daribahasa kuno yang berarti ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki banyak
artiyaitu tempat tinggal biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, watak sikap, dan
caraberfiki. Dalam bentuj jamak ethos (ta etha) yang artinya adat kebiasaan.
Moralberasal dari bahsa latin yaitu mos (jamaknya mores) yang berarti adat, cara,
dantampat tinggal. Dengan demikian secara etismologi kedua kata tersebut
bermaknasama hannya asal uasul bahasanya yang berbeda dimana etika dari
bahasa yunanisementara moral dari bahasa latin. (Ridwan Effendi, 2013)

Moral yang pengertiaannya sama dengan etika dalam makna nilai-nilaidan


orma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok
dalammengatur tingkah lakunya. Dalam ilmu filsafat moral banyak unsur yang
dikajisecara kritis, di landasi rasionalitas manusia seperti sifat hakiki manusia,
prinsipkebaikan, pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan terhadap
sesuatu dansebagainya. Moral lebih kepada sifat aplikatif yaitu berupa nasehat
tentang hal-hal yang baik. Ada beberapa unsur dari kaidah moral yaitu :

 Hati Nurani merupakan fenomena moral yang sangat hakiki. (Efriawan,


2012)
 Hati nurani merupakanpenghayatan tentang baik atau buruk mengenai
perilaku manusia dan hati nuraniini selalu dihubunngkan dengan
kesadaran manusia dan selalu terkait dalamdengan situasi kongkret.

13
Dengan hati nurani manusia akan sanggupmererfleksikandirinya terutama
dalam mengenai dirinya sendiri atau juga mengenal orang.
Kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan adalah milik individu yang
sangat hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada dasar nya adal;ah
makhluk bebas. Tetapi didalam kebebasanitu juga terbatas karena tidak
boleh bersinggungan dengan kebebasan orang lainketika mereka
melakukan interaksi. Jadi, manusia itu adalah makhluk bebas yang dibatasi
oleh lingkungannya sebagai akibat tidak mampunya ia untuk hidup sendiri.
(Efriawan, 2012)
 Nilai dan Norma Moral. Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada
orang lain dan ia akanbergabung dengan nilai lain seperti agama, hukum,
dan budaya. Nilai moralterkait dalam tanggung jawab seseorang.
(Efriawan, 2012)

Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah
roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang
jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa
disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan
norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral
juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja
kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat. Meskipun
hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan
moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat
ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan
indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum. (Gunawan
Setiardja, 2011)

2.4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HUKUM

Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita


tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat.
Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa
dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya

14
kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan
saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas
lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya. Hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat,
yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. (Soeroso, 2014)

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas
ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam
setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat,
maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas
berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.( Kurniawan Joeni Arianto, 2012)

Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk


suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah
tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan
mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si
pengatur(kekuasaan). Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap
orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus
diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.
(Dahlan, 2010).

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), bukan


berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam
(nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah
menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum. Ketika
memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini
harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus
diselenggarakan secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya
haruslah dikenakan sanksi yang sepadan. (Juanda, 2010)

15
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu
negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan
kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya
ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum
dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan.( Efriawan, 2012)

Substansi hukum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan
haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk
mewujudkan ketertiban bersama. Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat
ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya
tujuan hukum. Budaya Hukum yaitu budaya hukum yang dimaksud adalah
budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk
dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan
bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan
bersama dapat terwujud. Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia
sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini
mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta
kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih
kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap
yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri. (Efriawan, 2012)

Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi
korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum
sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan
namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan
sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas. Dalam suatu
penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai
suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan
budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan
melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan

16
fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan
budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.(Juanda, 2010)

Contoh yang paling aktual misalnya tentang Perda Kawasan Bebas Rokok.
Peraturan ini secara normatif sangat baik karena memiliki perhatian yang besar
terhadap kesehatan masyarakat. Namun, ternyata belum efektif, karena minimnya
fasilitas, dan juga aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh
yang baik. Sama dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di
tempat-tempat publik merupakan suatu budaya yang agak sulit diberantas. Oleh
karena itu, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat
dengan hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal merupakan suatu
kemestian. Misalnya perda kawasan bebas rokok yang harus didukung dengan
memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, menyediakan ruangan khusus
perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan asap.
Masyarakatpun harus senantiasa untuk mendapatkan penyadaran dan
pembelajaran yang kontinyu. Maka program penyadaran, kampanye, pendidikan,
apapun namanya, harus terus menerus dimantapkan dengan metode yang
partisipatif karena setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan
informasi dan pengetahuan yang tepat akan hal-hal yang penting bagi
kelangsungan hidupnya.(Juanda, 2010)

2.5. NILAI DALAM PEMEBENTUKAN KARAKTER

Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the


pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa
Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang
diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku, budi pekerti, tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang
pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral,
berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya
kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun
karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku
yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik,
bukan negatif atau yang buruk (Mansur Muslich, 2011).

17
Karakter merupakan “keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang
telah dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam
keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara
berpikir dan bertindak . Lebih lanjut dijelaskan Diana memetakan dua aspek
penting dalam diri individu, yaitu kesatuan (cara bertindak yang koheren) dan
stabilitas (kesatuan berkesinambungan dalam kurun waktu), karena itu ada proses
strukturisasi psikologis dalam diri individu yang secara kodrati sifatnya reaktif
terhadap lingkungan. Beberapa kriteria seperti halnya: stabilitas pola perilaku;
kesinambungan dalam waktu; koherensi cara berpikir dalam bertindak . Hal
tersebut telah menarik perhatian serius para pendidik dan pedagogis untuk
memikirkan dalam kerangka proses pendidikan karakter. Dengan demikian,
pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang
berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai
sehingga menghasilkan disposisi aktif, stabil dalam diri individu. Dinamika ini
membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi
dimensi yang menjiwai proses formasi setiap inividu. Jadi, karakter merupakan
sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak hanya sekedar
berhenti atas determininasi kodratinya, melainkan sebuah usaha hidup untuk
menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya semakin
proses penyempurnaan dirinya.

(https://www.academia.edu/9180920/PENDIDIKAN_KARAKTER)

Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup


pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah,
mendorong, dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik
dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan
didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan, dan sikap orang yang
bersangkutan. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa
perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya
dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar (Mansur Muslich,
2011).

18
Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-
faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut
faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang
bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun demikian, perlu diingat bahwa
faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat untuk
mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu
maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha
pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat,
fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan,
yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan inilah
peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat sentral,
karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk
melalui proses belajar, baik belajar secara formal maupun informal. (Fatchul
Muin, 2011)

Masalah yang dihadapi dalam mengembangkan karakter adalah


kemampuan untuk tetap menjaga identitas permanen dalam diri manusia yaitu
semakin menjadi sempurna dalam proses penyempurnaan dirinya sebagai
manusia. Oleh karena itu, karakter bukanlah kekuasaan hidup. Karakter dengan
demikian tidak dapat dimaknai sekedar sebagai keinginan untuk mencapai
kebahagiaan, ketentraman, kesenangan, dll. Yang lebih merupakan perpanjangan
kebutuhan psikologis manusia. Karakter merupakan ciri dasar melalui mana
pribadi itu terarah ke depan dalam membentuk dirinya secara penuh sebagai
manusia apapun pengalaman psikologi yang dimilikinya. Dalam hal ini,
pengembangan karakter merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus,
karakter bukan kenyataan melainkan keutuhan perilaku. Karakter bukanlah hasil
atau produk melainkan usaha hidup. Usaha ini akan semakin efektif, ketika
manusia melakukan apa yang menjadi kemampuan yang dimiliki oleh individu.
(Doni Koesuma, 2010).

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan


karakter tidak mudah untuk dibangun oleh setiap individu maupun kelompok,
dikarenakan prosesnya memiliki banyak faktor yang menentukan keberhasilan

19
dalam membentuk karakter manusia. Kekuatan dalam proses pembentukan ini
sangat ditentukan oleh realitas sosial yang bersifat subjektif yang dimiliki oleh
setiap individu dan realitas objektif di luar setiap individu yang memiliki
pengaruh sangat kuat dalam membentuk pribadi yang berkarakter.( Darmiyati
Zuchdi, 2010)

20
BAB III

PEMBAHASAN

3.1.PROBLEMATIKA HUKUM

Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi


atas fungsi hukum oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat
sorotan lain adalah(Efriawan, 2012) :

1. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh


sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat
ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat
dibutuhkan. (Efriawan, 2012)
2. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena
sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi
permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan
aparatur penegak hukum. (Efriawan, 2012)
3. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum
semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat
untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil. (Efriawan,
2012)
4. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak
memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-
undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
(Efriawan, 2012)
5. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah
paradigma dan pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum
tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan tidak
mungkin ada efektivitas peraturan di tingkatmasyarakat. (Efriawan,
2012)
6. Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam
masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya
hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara

21
yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus
adalah kasus ibu Prita Mulyasari. Pekerjaan besar menghadang
bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu
dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang
kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
(Efriawan, 2012)

3.2.PENYEBAB KRISIS KARAKTER DI INDONESIA

Mengurai persoalan krisis karakter bukanlah pekerjaan yang mudah,


karena penyebab krisis Indonesia sudah bersifat struktural dalam dinamika
kehidupan masyarakat. Ada beberapa penyebab yang menjadi pemicu krisis
karakter yang terus bekelanjutan hingga kini, antara lain (Yasa, 2010) :

a. Terlena oleh Sumber Daya Alam yang Melimpah Di setiap pikiran


orang Indonesia sejak puluhan tahun ditanamkan pandangan bahwa
Indonesia adalah negara yang kaya raya. Sumber daya alamnya
melimpah. Hal ini dijadikan salah satu unsur kebanggaan bangsa
kita. Memang memiliki sumber daya alam melimpah perlu
disyukuri, namun dipihak lain hal itu juga bisa membawa
permasalahan. Masalah pertama, merasa bahwa persediaan
sumberdaya alam identik dengan kekayaan. Padahal untuk
mengubahnya menjadi kekayaan sumber daya alam ini harus
diolah melalui proses yang memerlukan kecerdasan manusia.
Artinya: tanpa diintervensi kecerdasan manusia sumber daya tetap
tidak mempunyai nilai atau nilainya sangat rendah, bahkan bisa
menjadi sumber malapetaka. (Yasa, 2010)
b. Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik
Walaupun tidak dinyatakan secara resmi, namun seara tersirat
sangat jelas bahwa pembangunan ekonomi selama tiga dekade
pada jaman pemerintahan Presiden Suharto adalah pembangunan
yang bertumpu pada modal fisik. Ukuran keberhasilan

22
pembangunan yang kita banggakan pun sebagian besar lebih
bersifat fisik. Inilah penyebab utama mengapa selama periode
tersebut kita mengabaikan pengembangan modal yang bukan
bersifat fisik, atau modal yang nirwujud atau modal maya, seperti
tingkat kecerdasan bangsa, pembangunan karakter bangsa, yang
justru menjadi tumpuan utama kemajuan ekonomi bangsabangsa
lain di dunia. (Yasa, 2010)
c. Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme “overdoses”
Kecenderungan yang terlalu mengedepankan keberhasilan
ekonomi (jangka pendek) telah membuat sebagian dari masyarakat
terperangkap dalam pragmatisme yang overdoses, dan kemudian
terjebak dalam sikap atau perilaku „tujuan menghalalkan segala
cara‟. Idealisme saat itu tidak penting, bahkan sering menjadi
bahan cemoohan. Ini adalah era di mana banyak orang percaya
bahwa orang jujur tidak bisa maju secara ekonomik. (Yasa, 2010)
d. Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri Dalam
perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita, untuk mencapai
kemerdekaan ada perubahan cara berjuang dari berjuang dengan
mengandalkan kekuatan atau modal fisik menjadi berjuang dengan
mengandalkan kekuatan atau modal maya. Beberapa pahlawan
nasional kita, seperti Pattimura, Diponegoro, Teuku Umar,
mengangkat senjata, mengobarkan peperangan untuk mengusir
penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang gagah berani yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya
untuk sebuah cita-cita luhur. Namun demikian, mereka belum
berhasil mengalahkan lewat kekuatan senjata.(Yasa, 2010)

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab krisis


karakter bersifat multidimensional, sehingga solusi terhadap masalah krisis
karakter harus diatasi secara terpadu. Dengan demikian peran pendidikan
diharapkan menjadi salah kekuatan yang mampu memberikan kontribusi bagi
pembangunan karakter. Pendidikan harus menjadi “the power in building
character” dalam era globalisasi.(Darmiyati Zuchdi, 2010)

23
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa masalah krisis
karakter sudah bersifat struktural, maka pendidikan karakter harus
dilakukan secara holistik dan kontekstual. Secara holistik artinya
membangun karakter bangsa Indonesia dimulai dari keluarga, masyarakat
dan negara. Model ini adalah sebuah usaha untuk melakukan pendidikan
karakter secara holistik yang melibatkan aspek “knowledge, felling,
loving, dan acting”. Sedangkan aspek kontekstual terkait dengan nilai-nilai
pokok yang diperlukan untuk membentuk kekuatan karakter bangsa mulai
diinternalisasikan pada semua tataran nasyarakat. Dengan pendekatan yang
komprehenaif diharapkan dapat menghasilkan perilaku orang yang
berkarakter. Sebagainaba dijelaskan oleh Thomas Lickona (1991)
mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang
dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang bak, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya. Seperti yang
diungkapkan Aristoteles bahwa karakteristik itu erat kaitannya dengan
habit atau kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Jadi konsep
yang dibangun dari model ini adalah habit of the mind, habit of the heart
dan habit of the hands. (Herimanto, 2011).

 Peran Keluarga Dalam Pendidikan Karakter

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi


seorang anak untuk tumbuh dan berkembang. Keluarga merupakan
dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan
pengertian bahwa lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya.
Setiap keluarga mensosialisasi anak-anaknya sesuai dengan
kebudayaan masyarakatnya di mana mereka hidup, akan tetapi
keluarga itu sendiri mencerminkan subcultures tersendiri dalam
masyarakat yang lebih luas. Hal ini berhubungan dengan keadaan
geografis, kedudukan sosial, etnis, agama dari masing-masing
keluarga yang tidak selalu sama. Ciri utama dari sebuah keluarga

24
ialah bahwa fungsi utamanya yang dapat dipisah-pisahkan. Fungsi
keluarga antara lain :

a. Pengaturan seksual e. Penempatan anak di dalam


b. Reproduksi masyarakat
c. Sosialisasi f. Pemuas kebutuhan
d. Pemeliharaan perseoranganKontrol sosial
(Anes Sinaga, 2013)

Sebagai fungsi sosial, keluarga mempunyai peran penting


dalam membentuk individu yang bermoral. Namun demikian,
dengan pergeseran fungsi tersebut menyebabkan menurunnya
fungsi keluarga dalam pendidikan nilai moral anak. Keluarga tidak
lagi menjadi tempat anak untuk bercerita dan berbagai pengalaman
dengan adanya kecenderungan anak yang kurang dalam memegang
nilai-nilai penting bagi pembentukan moral anak. Keluarga sebagai
basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter
yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu
cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa
dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan
menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orangtua membangun
kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat sulit
menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin
tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur,
namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku
jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting
yang harus dipertahankan matimatian. Ini mungkin bisa dijadikan
satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih
generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu
generasi ke generasi berikutnya.(Eka, 2012)

Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak


usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas,
benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak

25
dia sadar lingkungan, belajar tata nilai atau moral. Karena tata nilai
yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka
di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di
keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam
prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen
terhadap nilai moral tertentu, seperti kejujuran, kedermawanan,
kesederhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia di
sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan
dia – berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda
ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang
mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup
ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup
berhasil, dan wawasan mengenai masa depan.( Sitti M, 2012)

 Peran Sekolah Dalam Pendidikan Karakter


Sekolah mempunyai peran yang sangat strategis dalam
membentuk manusia yang berkarakter. Di sekolah , guru dan dosen
adalah figur yang diharapkan mampu mendidik anak yang
berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan
bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam
pembentukan karakter siswa. Peran pendidik sebagai pembentuk
generasi muda yang berkarakter sesuai UU Guru dan Dosen, UU
no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Lebih jauh Slavin (1994)
menjelaskan secara umum bahwa performa mengajar guru meliputi
aspek kemampuan kognitif, keterampilan profesional dan
keterampilan sosial. Di samping itu, Borich (1990) menyebutkan
bahwa perilaku mengajar guru yang baik dalam proses belajar-
mengajar di kelas dapat ditandai dengan adanya kemampuan
penguasaan materi pelajaran, kemampuan penyampaian materi

26
pelajaran, keterampilan pengelolaan kelas, kedisiplinan,
antusiasme, kepedulian, dan keramahan, guru terhadap siswa.
(Doni Koesuma, 2010)
Dalam menghadapi tantangan global, guru atau pendidik
menjadi agen transformasi. Dalam proses transformasi melalui
pendidikan formal di sekolah, guru atau dosen memegang peran
yang sangat penting. Prestasi guru atau dosen dilihat dari
keberhasilannya dalam membantu para peserta didik
mentrasformasikan diri ke tingkat kualitas pribadi yang lebih tinggi
atau lebih baik. Hal ini dimaknai bahwa guru dan dosen tidak
hanya sebagai agen transformasi pada tatanan individu atau peserta
didik, namun juga secara bersama-sama dapat berperan sangat
besar dalam sebuah transformasi sebuah masyarakat atau bangsa.
Artinya, titik awal dalam transformasi pembentukan karakter
bangsa, maka titik awalnya adalah trasformasi guru atau
transformasi pendidikan. (Doni Koesuma, 2010)
Sebagai agen tranformasi, guru dan dosen diharapkan
memahami dan menerapkan sebelas prinsip yang minimal
diperlukan dalam pendidikan karakter, yang kemudian
disosialisasikan dengan integrated learning dalam proses
pembelajaran. Nilai-nilai yang dibutuhkan dalam pendidikan
karakter sebaiknya sudah menyatu dalam diri seorang pendidik, hal
ini dimaksudkan agar sebagai seorang pendidik memiliki
keyakinan baru , bahwa dalam dirinya sangat dituntut untuk benar-
benar menjadi orang yang memiliki karakter yang kuat, sehingga
dalam proses transformasi kepada anak didik dapat menjadi
“model” atau “tauladan” sebagai orang yang memiliki karakter.
Ibaratnya pendidik adalah sebuah “lilin” , maka pendidik akan
gagal menyalakan “lilin orang lain /anak didik”, artinya : pendidik
akan mengalami kesulitan membentuk generasi yang berkarakter,
jika pendidik belum menjadi manusia berkarakter juga. Aspek lain
yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik adalah tetap

27
mengajarkan nilai-nilai penting yang dibutuhkan dalam proses
pendidikan yakni care (kasih sayang), respect (saling
menghormati), responsible (bertanggung jawab), integrity
(integritas), harmony (keseimbangan), resilience (daya tahan atau
tangguh), creativity (kreativitas), dan lain-lain.(Astuti Purbani
Widya.2010)
Profil guru dan dosen transformasional , yakni pendidik
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Dapat melihat pekerjaan
sebagai guru atau dosen sebagai panggilan; Tidak memandang
siswa atau mahasiswa sebagai deretan gelas kosong , tetapi bibit-
bibit dengan potensi keunggulan yang beragam; Melihat inti dan
fungsi pendidikan adalah mengembangkan potensi insani untuk
kehidupan yang lebih bermakna; Memandang sekolah sebagai
komunitas belajar, bukan mesin; Penuh kepedulian;
Apresiatif;wugiuuugig Pembelajar prima; Berintegritas Gambaran
tentang gederakualitas guru atau dosen transformasional bukan
pekerjaan yang sulit untuk dilakukan oleh seorang pendidik. Jika
dalam diri pendidik muncul suatu kesadaran yang kuat untuk
berkembang menjadi pribadi yang berkarakter kuat yang sangat
dibutuhkan oleh bangsa ini dalam menghasilkan generasi yang
bermartabat dan berkarakter. (Gede Raka, 2010)
 Peran Masyarakat dan Media Massa Dalam Pendidikan
Karakter
Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, salah
yang berpengaruh dalam pembangunan atau sebaliknya juga
perusak karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa,
khususnya media eletronik, dengan pelaku utamanya adalah
televisi. Peran media, media cetak dan radio dalam pembangunan
karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang
kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa
melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan

28
Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan
persatuan melalui radio. Mereka dalam keterbatasannya,
memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat
itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali:
kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaan berkorban, dan rasa
persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah
ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan
media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan
sekarang. Sebagaimana dipaparkan oleh (Gede Raka, 2010) :
“Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama
makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media
massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan
melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu
mengatakan, media elektronik di Indonesia, khususnya televisi,
sekarang ini kontribusinya ‘nihil’ dalam pembangunan karakter
karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa
tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar
program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada
karakter baik. Seringkali pengaruh lingkungan keluarga yang baik
justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak
dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru
penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak dididik untuk
hidup sederhana, namun acara sinetron di televisi Indonesia justru
memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk
hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara
tidak langsung menunjukkan ‘kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang
justru di mata publik dianggap ‘kasar’ atau ‘pangeran-
pangeran’koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa
membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik,
namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan
gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk
berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia

29
banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan
melecehkan guru. Secara umum, banyak tanyangan di televisi
Indonesia, justru ‘membongkar’ anjuran berperilaku baik yang
ditanamkan di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di
sekolah” (Gede Raka, 2010)
Media massa berperan ganda. Di satu sisi memutarkan
iklan-iklan layanan masyarakat atau iklan yang menyentuh hati, di
sisi lain menyiarkan acara/sinetron yang justru malah menampilkan
hal-hal negatif, yang akhirnya bukannya dijauhi, malah ditiru oleh
para penontonnya. Media media harus dikontrol oleh negara.
Negara memiliki kewajiban untuk mengontrol segala aktivitas
media, agar sesuai dengan tujuan negara itu sendiri. Perangkat
hukumnya harus jelas dan adil. Indonesia sendiri mempunyai
Depkominfo, tapi hanya sekedar mengatur kebijakan frekuensi, hak
siar, dsb. Lebih khusus lagi, ada KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia), yang dibentuk lebih independen, namun diakui
pemerintah. KPI diharapkan dapat memfilter aktivitas media
(terutama televisi) agar sesuai dengan tujuan negara, norma,
kebudayaan, adat, dan tentunya agama. Namun sampai saat ini,
KPI dirasa masih cukup lemah dalam bertindak (memfilter), dan
maka daripada itu, sangat dibutuhkan (kekuatan) peran serta
masyarakat dalam mengontrol media-media tersebut.( Nursid
Sumaatmadja, 2011)
Dari pengaruh media massa tersebut, maka ke depan perlu
dipikirkan kembali fungsi media massa sebagai media edukasi
yang memiliki “ cultural of power” dalam membangun masyarakat
yang berkarakter, karena efek media massa sangat kuat dalam
membentuk pola pikir dan pola perilaku masyarakat. Prinsip-
prinsip dalam pendidikan karakter perlu diinternalisasikan dalam
program-program yang ditanyakan oleh media massa, sebagai
bentuk tanggung jawab bersama dalam mengatasi krisis karakter
bangsa. Pengelola media massa perlu untuk mengembangkan

30
dirinya sebagai “agen perubahan” yang mimiliki jiwa yang
berkarakter, sehingga seni dan karya yang dihasilkan dan
ditayangkan akan sarat dengan nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai humanis-religius dan dijauhkan dari
tayangan yang merusak moral bangsa, dan “virus-virus” yang
melemahkan etos dan budaya kerja. (Ratna, 2012)
 Peran Negara dalam Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter tidak hanya idealism, namun
memiliki makna dalam membangun kesejahteraan hidup bangsa
Indonesia. Pembangunan karakter pada tataran individu dan tataran
masyarakat luas perlu dikuatkan agar bangsa Indonesia lebih
mampu cepat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
(Megawati Ratih, 2010).
“Karakter yang perlu diperbaiki adalah kedisiplinan. Bangsa
Indonesia telah dikenal dengan bangsa dengan jam karetnya, jika
tidak terlambat maka dianggap bukan orang Indonesia. Disiplin
nasional perlu digalakkan dengan sungguh-sungguh dalam upaya
mewujudkan masyarakat, bangsa, negara yang bercita-cita luhur.
Disiplin bertujuan memperbaiki tingkah laku dan moral bagi
seluruh manusia yang tinggal di Indonesia, baik bagi kalangan
akademisi dan juga para pelaku bisnis di Indonesia. Pengertian
disiplin adalah disiplin kerja, disiplin cara hidup sehat, disiplin
berlalu-lintas, sanitasi, pelestarian lingkungan. Disiplin nasional
berhasil jika individu melaksanakan disiplin tersebut dengan
kesungguhan hati dan memahami bahwa disiplin diri merupakan
cikal bakal untuk disiplin nasional. Dengan demikian, dengan
adanya pendidikan karakter, budaya dan moral bukan hanya
generasi yang telah menjadi guru, tetapi juga setiap anak, pemuda,
dan orang dewasa yang ada di Indonesia dapat melaksanakannya
dengan sebaik-baiknya. Melalui pendidikan karakter, pendidikan
budaya, dan pendidikan moral akan menghasilkan watak dan
manusia Indonesia yang seutuhnya. Di satu sisi, pihak pemerintah

31
berusaha dengan gigih untuk memberikan teladan bagi warga
masyarakat”. (Megawati Ratih, 2010)

3.3. STUDY KASUS


Dalam bab ini, kami memaparkan beberapa kasus untuk menjadi bahan
pembahasan mengenai hubungan manusia dengan nilai, manusia dengan moral,
manusia dengan hukum dan integrasi diantara manusia, nilai moral dan hukum
dengan mengambil beberapa kasus yang terjadi di internasional, nasional, sampai
ruang lingkup kehidupan di kampus.
 Manusia dengan nilai

Wanita cantik arau kurang cantik, pria yang tampan atau kurang tampan
merupakan contoh kasus nilai dengan manusia di dalam konteks estetika atau
keindahan. Manusia memang diRajin atau malas, sopan atau tidak sopan
merupakan contoh kasus nilai dengan manusia di dalam konteks etika atau
prilaku, konteks ini berkaitan dengan moral yang akan dijelaskan setelah ini.

 Manusia dengan moral

Seperti yang sudah dijelaskan sebeleumnya, etika berkaitan dengan moral.


Dalam ruang lingkup kampus, contohnya adalah mahasiswa berjalan kaki dan
bertemu dengan dosen atau orang yang lebih tua dengan angkuh dan tidak
menundukkan pandangan, biasa disebut dengan sombong. Ini merupakan moral
atau etika yang bernilai buruk bagi manusia dengan moral.

 Manusia dengan hukum

Banyak kasus yang menimpa seseorang yang diakibatkan ulahnya sendiri


maupun ulah oleh orang lain. Manusia berurusan dengan hukum ketika manusia
itu memiliki masalah yang biasanya melanggar peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh suatu pemerintah. Contohnya kasus narkoba, apabila seseorang
ini mendapati barang bukti yang sebagai pengedar narkoba yang skala barang
buktinya banyak maka hukuman yang berlaku adalah ditembak mati. Sedangkan
pengedar narkoba skala kecil akan dipenjara sesuai dengan undang-undang yang

32
berlaku. Sedangkan bagi pengguna berlaku rehabilitasi oleh lembaga negara
seperti Badan Narkotika Nasional (BNN).

 Manusia, nilai, moral dan hukum

Masyarakat baru saja melihat kejadian hukum yang merusak moralitas


sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah tidak ada lagi keadilan di
Lembaga Penegak Hukum. Pertama, putusan hakim terhadap Minah yang diganjar
1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan atas dakwaan pencurian 3
buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas.

(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/14/91492/Runtu
hnya-Moralitas-Hukum)

Kami menganalisa bahwa yang berperan sebagai hakim adalah manusia


(objek) dari kasus ini, hakim di mata masyarakat dalam kasus ini memiliki nilai
buruk pada moralnya. Karena hukum yang berlaku dan terdengar oleh masyarakat
dan kami pula. Bahwa kahim pada kasus ini tidak memiliki moral sehingga tega
menjatuhi hukuman seorang nenek yang renta dan tua. Lain dengan hakim yang di
lain kasus, sebut saja kasus pembakaran hutan di Sumatra untuk pembukaan lahan
pabrik. Hakim tidak menjatuhkan hukuman bagi perusahaan yang melakukan
perusakan alam dan membuat polusi yang besar sampai ke negara tetangga seperti
Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kami menganggap bahwa hukum di
Indonesia ini lancip ke bawah tumpul ke atas, karena rakyat bawah yang tidak
memiliki wewenang, jabatan, uang dan lain sebagainya sehingga cepat diproses.
Terlebih lagi pada kasus Nenek Minah seorang yang tua dan renta tega dijatuhi
hukuman. Moral yang yang bernilai buruk ini membuat jatuhnya hukum di mata
masyarakat maupun negara lain jika menilai hukum di Indonesia

Kejadian – kejadian hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh


sosial yang bermakna bagi masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami,
kejadian hukum itu akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
pengadilan sebagai sumber keadilan. Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri
karena menjadi laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional

33
hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan dan pertarungan antara moral, nilai
dan kepentingan-kepentingan lain.

3.4. SOLUSI
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik
atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang
dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Disinilah
pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan
dipengadilan atas adanya kasus Minah, Basar-Kolil dan Prita Mulyasari. Di sisi
lain, mereka merupakan masyarakan kelas bawah sehingga dapat dilihat bahwa
hukum masih belum dapat dipahami oleh masyarakat awam.

(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/14/91492/Runtu
hnya-Moralitas-Hukum)

Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia


dengan tujuan agar manusia itu selalu baik, tetapi hukum yang murni justru tidak
memberikan kepastian hukum. Seperti hukuman terhadap Amir Mahmud, supir di
BNN hanya karena sebuah pil ekstasi dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, tetapi faktanya jaksa Ester dan Dara yang telah
menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun. Hukum merupakan nilai
moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan,
tanggung jawab dan hati nurani manusia. Hukum adalah legitimasi karena adil
bagi semua orang. Hukum tidak mengikat secara nalar karena tanpa moral yang
mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Moral
merupakan senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan
pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah,
Manisih cs, Basar, dan Kolil secara substansi hukum memang melakukan
pelanggaran hukum berupa pencurian. Namun secara moral, keadilan dalam
hukum modern merupakan penekanan pada struktur rasional, prosedur dan
format. Jika hal ini ditiadakan, masyarakan modern tidak lagi mencari keadilan,
tetapi mencari kemenangan dengan segala cara. Hal demikian dapat dilihat pada
kasus Prita yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International

34
Hospital Alam Sutera Tanggerang. Setelah dituduh, Prita langsung menulis
keluhan pada pelayan rumah sakit melalui email. Semulanya keluhan yang
dikirim dalam email ke beberapa temannya merupakan ranah pribadi, kemudian
email tersebut masuk kedalam mailing list sehingga menjadi ranah publik. Karena
dalam konteks tersebut, moralitas dalam pengadilan tidak membaca adanya Prita
sebagai korban yang membutuhkan keadilan melainkan rumah sakit tersebut
sebagai korban.

(http://www.kompasiana.com/afsee/membentengi-ranah-pribadi-dan-ranah-
publik_5509ca718133117175b1e2f3)

35
BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan
dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati
dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi
keselarasan dan harmoni kehidupan. Manusia adalah individu yg terdiri dari jasad
dan roh dan makhluk yang paling sempurna, paling tertinggi derajatnya, dan
menjadi khalifah di permukaan bumi. Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu
diinginkan, dicita-citakan dan dianggap pentong oleh seluruh manusia sebagai
anggota masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan
kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.(Efriawan, 2012)
Dari kami pribadi, manusia berkaitan dengan nilai, moral, hukum artinya
manusia dalam menjalani hidup melakukan rutinitas prilaku atau kebiasaan dalam
tingkah laku yang disebut moral, dan nilai sebagai parameter prilaku seseorang di
dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum sebagai pembatas seseorang
dalam melakukan yang dikehendaki agar sesuai moral yang bernilai baik.

4.2. SARAN

Dalam penyusunan makalah ini, dapat diketahui bahwa telah banyak


orang-orang intelektual seperti para pejabat tinggi Indonesia saat ini. Namun
ketika intelektual tersebut tidak diimbangi dengan moralitas yang terjadi adalah
banyaknya kasus-kasus tidak bermoral seperti korupsi yang menyeret mereka ke
dalam pengadilan. Oleh sebab itu, kita sebagai mahasiswa yang akan
menggantikan posisi pejabat tinggi Indonesia saat ini, sebaiknya mulai berbenah
diri, tidak hanya menuntut ilmu saja, namun juga harus diimbangi dengan
pendidikan moral agar kelak kita bisa menjadi pemimpin negara yang bermoral.

36
Karena apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki
kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral
yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum terlihat kosong dan hampa.

(https://aristhyar.wordpress.com/2013/.../perkembangan-intelektual-dan-moral-
remaja/)

Dari kami pribadi, kita sebagai mahasiswa berupaya memperbaiki diri agar
dimasa yang akan datang kita sebagai agen perubahan yang lebih baik dan seiring
berjalannya hidup mahasiswa dalam dunia kampus, tentu kita harus mengawasi
penuh tindakan pemerintah dan hukum di Indonesia dengan mengkritisi
pemerintah dan lembaga hukum yang tidak sesuai dengan fungsinya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, N., 2015. Manusia dan Kebudayaan. MAKALAH ILMU


BUDAYA DASAR BAB 2.
Bertens,K. 2013. Etika (Edisi Revisi). Yogyakarta: Kanisius

Dwiningrum, Siti Irene. 2010. Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: UNY

Edywianto. 2011. Norma,Etika, dan macam-macam nya. Kencana Prenada


Group: Jakarta

Effendi, Ridwan. 2013. Ilmu Sosial Budaya Dasar (cet 3). Jakarta:
Prenadamedia Group

Efriawan. 2012. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum. Yogyakarta


Friedman, M. Lawrence. 2011. The Human Rights Culture: A Study in
History and Context. Stanford University : Quid Pro Books

Gede Raka. 2010. Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa.

Hakam, Kama Abdul. 2013. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,Jakarta:


Kencana

Hasbulloh. 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta

Herabudin. 2010. Ilmu Alamiah Dasar. Pustaka Setia: Bandung

Herimanto. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Ismayani. 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta


Joeni Arianto, Kurniawan. 2012. Manusia dan Hukum. Jakarta: UNJ
Juanda. 2010. Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: UNJ.
Junnaedy, M., Nasrun, R., Sitti, M., Hasbullah., Ismayani., 2012. Ilmu
Sosial Budaya Dasar
Koesuma, Doni. 2010. Pendidikan Karakter Bagi Siswa di Era Global.
Yogyakarta: Pendagogia

38
Loudy. 2012. Norma,Etika, dan macam-macam nya. Kencana Prenada
Group: Jakarta

Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter Kontruksi Teoritik dan Praktik.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Muslich, Mansur. 2011. Pendidikan Moral. Jakarta :Bumi Aksara

Nabbi, M. Yunus,. 2011. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta:


Universitas Negeri Yogyakarta

Nurochim. 2012. Ilmu Budaya & Budaya Dasar. Jakarta : Kencana

Ratih, Megawati. 2010. Manusia, Nilai, dan Moral. Yogyakarta :


Universitas Negeri Yogyakarta

Ratna. 2012. Manusia,Nilai,dan Moral. Yogyakarta : Universitas Negeri


Yogyakarta

Ridho, Kholis. 2012. Ilmu Budaya & Budaya Dasar Edisi 2. Jakarta :
Prenada Media Group

Sarinah, 2016. Ilmu Sosial Budaya Dasar (di Perguruan Tinggi).


Yogyakarta: Deepublish

Setiadi, M., Elly. 2013. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Setiardja, Gunawan. 2011. Dialektika Hukum dan Moral : Dalam


Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Kanisius

Sinaga, Anes. 2013. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bogor: Institut Pertanian
Bogor

Sitti, M. 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta

Soeroso. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PN Balai Pustaka.Jakarta.

Sulastriana, Eka. 2012. Konsep Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Terhadap
Keluarga dan Masyarakat dan Perilaku Sosial. Medan : Politeknik Kesehatan
Medan

Sumaatmadja, Nursid. 2011. Media,Hukum, dan Perangkat Hukum.


Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

39
Tamunggor, Rusmin. 2012. Ilmu Budaya & Budaya Dasar Edisi Revisi.
Jakarta : Predana Media Group

Thaib, Dahlan. 2010. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : Raja Grafindo
Persada

Widya, Astuti Purbani. 2010. Manusia berkarakter dalam Perspektif Guru


dan Siswa. Yogyakarta: UNY

Yasa. 2010. Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: UNJ.
Zuchdi, Darmiyati. 2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan
Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press

https://aristhyar.wordpress.com/2013/.../perkembangan-intelektual-dan-
moral-remaja/

https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
(Dikutip dari Carl Sagan dalam buku The Dragons of Eden Hal: 38-39)

https://www.academia.edu/9180920/Pendidikan-karakter

http://www.kompasiana.com/afsee/membentengi-ranah-pribadi-dan-ranah-
publik_5509ca718133117175b1e2f3

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/12/14/91492
/Runtuhnya-Moralitas-Hukum

40

Anda mungkin juga menyukai