Anda di halaman 1dari 8

Baru : Bisnis Asap Cair…!

Posted: Desember 19, 2008 by Abidanish in asap cair


Tag:asap cair, bisnis asap cair
41

Rate This

Satu setengah tahun tempurung kelapa itu teronggok tak terjamah. Imam Nurhidayat
membiarkan limbah pengolahan VCO itu membukit. Namun, isu makanan berpengawet formalin
pada 2006 membangkitkan naluri bisnisnya. Ia membakar tempurung, mengalirkan asap melalui
pipa besi nirkarat, dan mengolahnya di tabung kondensasi menjadi asap cair. Kini ia
memasarkan 2.300 liter dan beromzet Rp46-juta sebulan.

Dua tahun lalu, penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan merebak. Padahal, Badan
Pengawasan Obat dan Makanan melarang penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan.
Sebab, formalin berdampak buruk bagi kesehatan seperti memicu depresi susunan saraf,
memperlambat peredaran darah, dan kencing darah. Jebolan Universitas Islam Indonesia itu
menawarkan asap cair yang terbukti aman sebagai pengganti formalin.

Imam Nurhidayat menjual asap cair Rp20.000 per liter. Asap cair hasil pembakaran tempurung
kelapa. Seliter asap cair berasal dari 3 kg tempurung. Dari volume produksi 2.300 liter, 2.000
liter di antaranya terserap pasar Bandung, Semarang, dan Surabaya. Selebihnya habis terserap
para pedagang mi, bakso, tahu, dan ayam potong di Yogyakarta.

Produsen mi tinggal mengencerkan asap cair murni 20 kali alias menambahkan 19 liter air bersih
ke dalamnya. Jadi dari seliter asap cair murni menjadi 20 liter asap cair encer. Untuk pengawetan
mi, produsen hanya menambahkan 2% asap cair encer pada adonan mi. Dengan menambahkan
asap cair, mi atau bakso bertahan 2 hari pada suhu kamar. Lebih singkat memang ketimbang
pengawetan dengan formalin. Namun, penggunaan asap cair sangat aman.

Serapan besar

Asap cair komoditas baru yang mulai sohor setahun terakhir. Produk hasil pembakaran
tempurung kelapa dan kayu keras seperti bakau dan rasamala itu populer lantaran multifungsi.
Produk yang mengandung senyawa asam, fenolat, dan karbonil itu antara lain bermanfaat
sebagai pengawet makanan, pembeku karet, pupuk, desinfektan, antivirus, dan obat. Karena
multimanfaat pantas jika pasar terbuka lebar. Imam Nurhidayat, misalnya, baru sanggup
memasok 2.300 liter dari total permintaan rutin 10 ton sebulan. Karena terbilang baru, pemain
asap cair masih sedikit. Para pemain itu baru menggeluti bisnis asap cair selama 1-2 tahun.

Selain asap cair, ‘limbah’ kelapa lain yang dicari pasar adalah cocofiber alias serat sabut dan
arang aktif. Yang disebut pertama bahan baku tempat tidur pegas, jok kursi, atau papan partikel.
Mari lihat Roeswan Roesli yang 10 tahun terakhir mengekspor serat sabut ke Belgia dan Korea
Selatan masing-masing 1 kontainer setara 22 ton. Alumnus Teknik Elektro Institut Teknologi
Bandung itu bekerja sama dengan produsen skala rumahan di Banten dan Ciamis.

Roeswan memberikan mesin pengolah sabut kepada mereka. Lalu, seluruh produksi berupa serat
sabut ia tampung untuk memenuhi pasar ekspor. Di pasar internasional, harga cocofiber alias
serat sabut US$200-US$205 per ton setara Rp2-juta pada kurs Rp10.000. Pendapatannya Rp44-
juta. Omzet pria kelahiran 8 September 1933 itu bakal menggelembung pada bulan mendatang.
Ketika Trubus mewawancarai pada 17 November 2008, ia tengah bersiap terbang ke Shanghai,
China, untuk meneken kontrak dengan Shengyang Xudong.

Shengyang, produsen kasur pegas dan mebel, meminta pasokan 700 ton serat sabut untuk masa
kontrak 12 bulan. Artinya, ia mesti menyiapkan rata-rata 58 ton tiap bulan selama setahun.
‘Setelah itu kontrak masih mungkin diperpanjang,’ kata ayah 5 anak itu. Ia lebih berkonsentrasi
untuk memenuhi permintaan Shengyang Xudong ketimbang importir lain. Di luar permintaan
Korea dan Belgia, ‘Sebetulnya saya masih dapat menjual 5-10 kontainer per bulan,’ ujar
Roeswan, pemilik PT Roesmetrix.

Pasar karbon dan arang aktif tak kalah besar. Ari Hardono, contohnya, memasarkan 20 ton arang
aktif per bulan. Satu kg arang aktif hasil pembakaran 9-10 tempurung kelapa. Konsumennya
rumah makan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mereka menggunakan arang aktif sebagai bahan
bakar. Dengan harga Rp1.200 per kg omzetnya Rp24- juta. Menurut produsen di Kabupaten
Sleman, Yogyakarta, itu biaya produksi sekilo arang aktif Rp600 sehingga laba bersihnya Rp12-
juta tiap bulan.

Langka?

Peluang bisnis asap cair, serat sabut, dan arang-semua ‘limbah’ kelapa-terbukti bagus. Para
pemain bisnis komoditas itu bergelimang laba. Namun, untuk memperoleh laba itu tak semudah
memejamkan mata saat kantuk. Bagi produsen asap cair, memasarkan komoditas itu relatif sulit
pada mulanya. Itu karena acap cair komoditas baru di sini. Kendala klise adalah bahan baku
terbatas. Susilo Wirawan mengoperasikan sebuah mesin terpadu berkapasitas 30.000 sabut per
hari. Namun, karena terbatasnya bahan baku pemilik CV Wukir Jaya Makmur itu cuma sanggup
mengolah 10.000 sabut.

Hasilnya cuma 1 ton cocofiber. Artinya total produksi 7 ton sepekan. Padahal, setiap pekan ia
harus mengirimkan 18 ton serat sabut ke Korea Selatan. Itulah sebabnya ia memburu serat sabut
ke Kabupaten Purworejo, Kebumen, dan Surabaya. Eksportir di Kulonprogo, Yogyakarta, itu
kewalahan memenuhi permintaan riil yang mencapai 1.000 ton per bulan. Keluhan langkanya
bahan baku jamak terdengar dari produsen serat dan serbuk sabut.

Benarkah bahan baku langka? Menurut Amrizal Idroes dari Asian Pasific Coconut Community
bahan baku sabut dan tempurung sebetulnya memadai. Di beberapa sentra kelapa seperti
Sulawesi Utara dan Riau, kedua bahan itu belum diolah. Direktorat Perkebunan mencatat pada
2007 luas lahan kelapa di Provinsi Riau 627.978 ha dengan produksi 456.475 ton; Sulawesi
Utara, 268.737 ha (223.262 ton).

Total jenderal luas lahan kelapa Indonesia 3,8- juta ha dengan produksi 3,03-juta ton pada 2007.
Selama ini sebagian besar pekebun hanya mengolah daging buah menjadi minyak. Sedangkan
sabut dan tempurung sekadar sebagai bahan bakar. ‘Jumlah yang diolah masih sangat kecil
dibanding limbah yang dihasilkan,’ kata Dr Ir Hengky Novarianto, periset dari Balai Penelitian
Kelapa dan Palma Lain.

Jika kontinuitas bahan baku terjaga, bukan berarti urusan lancar. Di fase produksi, pisau mesin
pembuat cocofiber sepanjang 30 cm kerap patah meski terbuat dari baja setebal 2 cm. ‘Kalau
sudah patah, produksi berhenti 4-5 jam,’ ujar Jahari B Iskak, produsen di Wanasalam, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Setiap hari rata-rata 2 pisau patah di mesin berkapasitas 2 ton terdiri atas
12 pasang pisau. Untuk mengatasinya, Jahari mengelas. Ia melengkapi pabriknya dengan mesin
las.

Denda & menghilang

Standar mutu juga menjadi batu sandungan bagi produsen. Usai mengikuti pameran tanaman
hias Floriade di Aalsmeer, Belanda, pada 2002, Zulhaidir Rawawi girang bukan kepalang. Ia
memperoleh pasar baru karena importir di negeri Kincir Angin itu bersedia menyerap berapa pun
pasokan cocopeat alias serbuk sabut dari Zulhaidir. Cocopeat adalah cocodust atau butiran sabut
yang sudah mendapat perlakuan tertentu sehingga sesuai untuk media tanam.

Importir antara lain menginginkan standar mutu serbuk sabut ber-pH 5,5, maksimal kadar air
10%, kadar garam 1%, dan EC 1. Untuk memenuhi syarat itu Zulhaidir bekerja sama dengan
beberapa periset. ‘Ada sabut yang direndam dalam tawas, ada pula cocodust yang disteam, tapi
hasilnya nihil,’ kata Zul. Hingga kini pasar Belanda yang gemuk dan harga 2 kali lipat lebih
mahal ketimbang Korea itu belum terpasok.

Soal pembayaran atas barang ekspor juga menjadi hambatan. Pada 30 September 2008, 2 hari
sebelum libur Lebaran, importir di Mapo-gu, Gongdeok, Korea Selatan, berjanji mentransfer
biaya serbuk sabut senilai US$22.883 setara Rp220-juta ke rekening Zul. Namun, hingga 21
November 2008 transfer itu belum ia terima. Ia berkali-kali menelepon perusahaan itu, tapi tak
ada jawaban. Zulhaidir memasok serbuk ke perusahaan itu sejak Mei 2008.

Roeswan Roesli, eksportir di Jakarta, beberapa tahun silam bagai menelan pil getir gara-gara
bobot serbuk sabut yang ia kirim ke Taiwan tak sesuai dengan dokumen ekspor. Saat itu ia
mempercayakan pasokan dan penimbangan balok serbuk sabut kepada perusahaan plasma.
Setelah serbuk sabut tiba di Taiwan, ternyata terdapat selisih minus 8 ton sehingga importir
mendenda Roeswan US$2.000 setara Rp18-juta.

Calon produsen juga mesti berhati-hati atas penawaran kerja sama seperti pada 1999. Saat itu 2
perusahaan menawarkan mesin berkapasitas 200 kg per hari seharga Rp80-juta tunai. Perusahaan
itu menjamin pemasaran berapa pun produksi serat dan serbuk sabut produsen plasma. Janji itu
terpenuhi memang, tetapi cuma 6 bulan. Setelah itu perusahaan inti menghilang.

Akibatnya produksi terhenti. Ada produsen mitra yang mesti merintis pasar; sebelumnya tak
pernah dipikirkannya. ‘Yang tertipu bukan hanya 1-2 orang, tapi ratusan orang,’ ujar Zulhaidir.
Itulah sebabnya calon plasma sebaiknya mengecek kredibilitas perusahaan ke lembaga
perkelapaan seperti MAPI (Masyarakat Perkelapaan Indonesia) atau Dewan Kelapa Indonesia.

Laba mengalir

Berbisnis ‘limbah’ kelapa seperti asap cair, serat sabut, dan arang aktif terbukti penuh kendala.
Dari hulu hingga hilir, dari produksi hingga pemasaran. Namun, ketika berbagai hambatan itu
teratasi para produsen seperti Puji Wiyono menangguk laba besar. Produsen di Lampung itu
memproduksi 1.200 liter asap cair per bulan. Berbagai alat seperti tungku pembakaran dan
kondensasi menyita lahan seluas lapangan voli.

Setiap hari pria 42 tahun itu membakar 109 kg tempurung kelapa. Hasilnya 40 liter asap cair
yang ia jual Rp12.500 per liter. Itu lebih rendah ketimbang harga asap cair pada umumnya yang
rata-rata Rp20.000-an. Maklum, Puji memperoleh bahan baku gratis dari produsen kopra. Ia
menikmati bahan baku gratis hingga 3 bulan ke depan. Puji yang sehari-hari bekerja di
Politeknik Lampung itu menangguk laba bersih Rp6,6-juta per bulan.

Puji memasarkan asap cair kepada para pekebun karet di Lampung. Mereka memanfaatkan asap
cair sebagai penggumpal lateks. Setidaknya 2 faedah besar mereka peroleh. Pertama, aroma
busuk karet hilang. Biasanya para pekebun membekukan lateks dengan asam semut atau asam
format. Penambahan asam semut justru memicu pertumbuhan bakteri sehingga muncul amonia
dan sulfida yang berbau busuk.

Karena bersifat anticendawan, antibakteri, dan antioksidan maka pembekuan dengan asap cair
menghilangkan bau busuk itu. Dengan asap cair, tak ada lagi protes dari masyarakat di sekitar
pabrik pengolahan karet. Penggunaan asap cair juga ekonomis. Untuk menggumpalkan 200 liter
getah karet, pekebun cuma perlu 1 liter asap cair. Faedah lain, kualitas meningkat lantaran karet
lebih putih.

Imam Nurhidayat pernah mensurvei kebutuhan asap cair di pelelangan ikan di berbagai kota di
Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pelabuhan Muaraangke, Jakarta Utara, misalnya, memerlukan
5 ton asap cair; Tuban, Jawa Timur, 5,7 ton per hari. ‘Rata-rata sebuah pelabuhan ikan
memerlukan 5 ton asap cair per hari. Ini pasar potensial untuk menjual asap cair,’ kata Imam
Nurhidayat.

Sebagai produsen asap cair, Puji Wiyono juga memperoleh 2 produk sampingan berupa: tar dan
arang aktif. Puji tak perlu lagi mengeluarkan biaya produksi untuk memperoleh keduanya. Tar
terkumpul dan keluar melalui kran sebelum asap memasuki tangki kondensasi karena bobot jenis
lebih tinggi ketimbang asap. Setiap bulan pria kelahiran 6 Juni 1966 itu menuai 300 liter tar yang
habis diborong para produsen kusen.

Tar bermanfaat mengawetkan kayu lantaran bersifat antirayap. Dengan harga jual Rp6.000 per
liter, tambahan labanya mencapai Rp1,8-juta per bulan. Satu produk tambahan lagi adalah arang
aktif yang mencapai 750 kg per bulan. Harga jual arang itu Rp3.000 per kg sehingga
mempergemuk rekeningnya hingga Rp2,25-juta saban bulan.
Bisnis empuk

Pasar cocofiber alias serat sabut kelapa tak kalah empuk. Seperti halnya asap cair, serat sabut
juga multiguna antara lain sebagai pengisi jok mobil, jok kursi, kasur pegas, papan partikel, dan
filter air. ‘Dibanding busa, cocofiber lebih kuat melindungi per dan tidak mengundang kutu,’
kata Ir Omar Sidik, produsen di Depok, Jawa Barat, membandingkan cocofiber dan busa sebagai
bahan baku kasur pegas.

Berdasarkan lacakan Trubus, pelaku bisnis serat sabut di berbagai kota kewalahan memenuhi
tingginya permintaan. Asli Malin, salah satu contoh. Produsen serat sabut di Pariaman, Sumatera
Barat, itu memproduksi 1,2 ton serat hasil olahan 18.000 sabut per hari. Jangankan memenuhi
permintaan importir di Korea Selatan mencapai 10.000 ton per tahun, order eksportir di Jakarta
saja belum ia layani sepenuhnya. Setiap pekan, eksportir di Jakarta memborong serat Rp1.800
per kg.

Pria kelahiran 17 April 1946 itu, memetik laba bersih Rp300 per kg. Kecil? Tunggu dulu.
Dengan produksi 8,4 ton per pekan, laba bersihnya Rp2,5- juta atau Rp10-juta per bulan. Itu baru
dari cocofiber. Produsen serat sabut berarti juga produsen cocopeat alias serbuk. Sebab, 70% dari
kulit kelapa terdiri atas serbuk; 30% serat. Asli Malin menuai 90 ton cocopeat yang memberikan
laba bersih Rp27-juta sebulan.

Artinya total jenderal laba bersih Malin dari pengolahan sabut mencapai Rp37-juta sebulan.
Siapa tak tergiur laba menjulang? Mungkin karena itulah Zulhaidir Rawawi berhenti bekerja di
perusahaan asing di Jakarta meski bergaji besar, fasilitas memadai, dan jabatan tinggi. Ia
memilih menekuni bisnis cocopeat. Semua bermula dari tugas Zulhaidir sebagai general
manager yang kerap memaparkan laporan keuangan kepada pemegang saham di Seoul, Korea
Selatan.

Saat bertugas ke sana, ia menyempatkan diri mengunjungi sentra tanaman hias di Inchon, mirip
Rawabelong, Jakarta Barat. Di sanalah ia melihat cocopeat bikinan Sri Lanka. Ia menawarkan
diri untuk memasok dan diluluskan. Pada 1999 Zul memutuskan berhenti bekerja setelah rutin
mengekspor cocopeat selama setahun. Kini ia rutin mengirimkan 22 ton cocopeat per bulan
memenuhi permintaan seorang importir di Inchon, Korea Selatan.

Balok cocopeat yang ia ekspor berukuran 80 cm x 80 cm x 80 cm berbobot 5 kg. Satu kg


cocopeat berasal dari 2,5 kg sabut kelapa. Menurut dia biaya produksi 1 kg cocofibre dan 2 kg
cocopeat-dari 5 kg sabut-Rp1.600. Itu total biaya karena cocopeat dan cocofibre dihasilkan dari
satu kesatuan bahan. Bila memproduksi cocopeat, pasti menghasilkan cocofiber atau sebaliknya.
Harga jual cocopeat di pasar ekspor mencapai Rp2.600 per kg sehingga omzetnya Rp57,2-juta.

Zulhaidir memperoleh 17 ton cocofiber per bulan. Serat sabut itu ludes terserap produsen kasur
pegas di pasar domestik. Dengan harga jual Rp2.200 per kg, ia menangguk omzet Rp37,4-juta
saban bulan. Laba bersih penjualan cocopeat dan cocofiber mencapai Rp22-juta sebulan. Zul
sebetulnya masih mampu memasarkan hingga 3 kontainer cocopeat lagi. Sayang, produksinya
masih terbatas. Ia bisa memasarkan produk cocopeat milik produsen lain asal sesuai standar
mutu. Apalagi sejak Desember 2008 ia juga mesti memenuhi order Garden Landscape. Importir
di Singapura itu meminta pasokan rutin papan tempat tumbuh anggrek berbahan baku cocopeat.

Garden Landscape meminta kiriman 10.000 papan berukuran 50 cm x 20 cm x 2 cm per bulan.


Soal peluang bisnis cocopeat menurut Zul pasar terbuka luas. ‘Saya kewalahan melayani
permintaan cocofiber,’ ujar Zul yang menginvestasikan Rp200-juta ketika memulai bisnis.
Sebagai gambaran, sebuah produsen springbed memerlukan 20 ton cocofiber per bulan. Belum
lagi produsen springbed asing yang mengajak bekerja sama. Setidaknya ada 4 produsen asal
China dan 2 asal Vietnam yang minta pasokan rutin cocofiber kepada Zul.

Gosong oke

Selain asap cair, cocofiber, dan cocopeat, olahan ‘limbah’ kelapa lain adalah arang aktif.
Idealnya pengolahan arang aktif terpadu dengan asap cair. Namun, beberapa produsen hanya
mengolah arang aktif. Boleh jadi lantaran teknologi produksi asap cair terbilang baru di
Indonesia. Djaya Suryana sejak 2002 memasok arang aktif ke sebuah perusahaan di
Tanjungbintang, Provinsi Lampung.

Ia membersihkan arang hasil pembakaran tempurung kelapa di mesin diesel 30 PK. Melalui ban
berjalan arang lolos sortir masuk ke mesin penghancur. Ketika keluar arang melewati saringan
baja sehingga hasilnya seragam. Djaya memasarkan 3.000 ton arang aktif per bulan. Masih ada
5.000 ton permintaan rutin per bulan yang belum dapat Djaya penuhi. Sayang, ia merahasiakan
harga jual ke produsen karbon aktif. ‘Minimal ambil untung Rp50 per kg,’ kata Djaya.

Lima puluh rupiah tak bisa dibilang kecil karena secara akumulasi laba bersihnya Rp150-juta.
Memang dibanding laba Doddy Suparno dan Oka Bagus Panuntun, keuntungan Djaya lebih
kecil. Doddy mengutip laba Rp1.500 per kg arang aktif. Harga jual saat ini Rp4.500 per kg.
Menurut Doddy biaya produksi per kg briket Rp3.000. Dari pembakaran 15 ton tempurung ia
memperoleh 5 ton arang aktif per bulan.

Mereka lalu menghancurkan arang dan mengolahnya menjadi briket. Margin perniagaan barang
gosong itu Rp7,5-juta sebulan. Mestinya laba Doddy lebih besar jika saja setiap bulan mampu
memenuhi permintaan rutin dari Yunani dan Timur Tengah masing-masing 22 ton dan 88 ton. Di
luar olahan ‘limbah kelapa’ itu sebetulnya masih ada produk turunan lagi seperti tepung
tempurung seperti digeluti oleh Agus Setiawan.

Pria kelahiran 11 Agustus 1971 itu menggiling tempurung kelapa menjadi tepung. Rendemen
90%-10 kg tempurung menjadi 9 kg tepung. Volume produksi ‘baru’ 50 ton sebulan terserap
sebuah pabrik obat nyamuk. Tepung batok bahan baku obat nyamuk bakar. Dengan harga jual
Rp2.500 dan biaya produksi Rp1.000, laba bersihnya Rp75- juta. Menurut Agus pasar tepung
terbentang luas. Ia belum sanggup melayani order rutin 1.350 ton tepung per bulan.

Pasar olahan ‘limbah’ kelapa terbukti luas. Kepala Bidang Pemasaran Dewan Kelapa Indonesia,
Djaja Putra Rachmat, membuktikannya. Selama sebulan sejak 23 Agustus 2008 ia berkeliling
Belanda dan Jerman menemui para importir olahan ‘limbah’ kelapa. ‘Asal kontinuitas dan
kualitas terjaga, pasar sangat besar,’ kata Djaja.

Ia bersedia menjembatani produsen cocopeat atau cocofiber untuk memasarkan produk ke


mancanegara. Menurut Djaja pesaing Indonesia adalah Sri Lanka yang lebih dulu serius
menekuni bisnis itu. Sabut dan tempurung kelapa yang selama ini dipandang sebelah mata
ternyata komoditas prospektif yang menjanjikan laba besar. (Sardi Duryatmo/Peliput:
Andretha Helmina, Ari Chaidir, Faiz Yajri, Imam Wiguna, Niken Anggrek Wulan)

From Trubus-online.co.id

1 desember 2008

Pemurnian Asap Cair


Posted: Desember 21, 2008 by Abidanish in asap cair
5

1 Votes

cara menghilangkan senyawa benzoapiren dalam asap cair bagaimana? karena disinyalir pada
asap cair grade 1 pun masih mengandung senyawa benzoapiren. hal ini dapat menyebabkan
kanker masih bahaya bukan untuk pengawet bagi makanan.? mohon balasan dikirim melalui e-
mail saya terimakasih.

>
>
benzopiren memang sangat berbahaya bagi tubuh jika masuk melalui makanan atau minuman.
kandungan benzopiren memang masih sangat banyak dalam asap cair grade 1 (tanpa treatment).
nah, untuk menghilangkan senyawa benzpiren sangat gampang mas,
ada beberapa langkah treatment pada asap cair grade 1 untuk dapat layak dikonsumsi sebagai
pengawet.
1. melakukan sedimentasi / settling pada asap cair grade 1 selama 1 minggu. endapan
benzxopiren yang terdapat dalam tar akan mengendap dan dipisahkan.
2. lakukan penyaringan dengan zeoilit.
3. lakukan distilasi ulang pada asap cair grade 1.
mudah bukan..?
hasil uji lab, pada grade 2, menunjukan kandungan benzopiren yang sangat kecil (undetected).
so aman, untuk dikonsumsi sebagai pengawet.
gmana..?

Asap Cair (3) Membuat Asap Cair


Posted: Desember 19, 2008 by Abidanish in asap cair
Tag:pirolisis
36

1 Votes

Anda mungkin juga menyukai