Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis, vertebralis, dan
lumbalis akibat dari suatu trauma (meliputi: kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka
tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras) yang mengenai tulang belakang. Trauma
pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu
ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang/medula
spinalis (Muttaqin, 2008).
Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medulla oblongata yang menjulur
ke arah kaudal melalui foramen magnum, selanjutnya berakhir diantara vertebra lumbal
pertama dan kedua. Fungsi medulla spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara otak
dan semua bagian tubuh serta bergerak refleks. Cedera medulla spinalis dapat diartikan
sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah
medulla spinalis. Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah
lesi, cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomlplet. Pembagian
ini penting untuk menentukan prognosis dan penanganan selanjutnya (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun,
sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan
kecacatan permanent pada usia produktif. Quadriplegia sedikit lebih umum daripada
paraplegia. Di antara kelompok usia ini, kejadian lebih sering pada laki-laki (82%) dari
pada wanita (18%). Penyebab paling umum adalah kecelakaan kendaraan
bermotor (39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan (25%), dan olahraga 7% (Morton,
2005).
Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya
di Amerika Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per
100.000 penduduk(Pinzon, 2007).
Oleh karena cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf yang sering terjadi, maka sebagai seorang perawat
1
hendaknya mengetahui dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera tulang belakang (cedera medula spinalis).
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?
b. Bagaimana etiologi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?
c. Apa manifestasi klinis cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?
d. Apa evaluasi diagnostik cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?
e. Bagaimana patofisiologi atau WOC cedera tulang belakang (cedera medula
spinalis)?
f. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan pada cedera tulang
belakang (cedera medula spinalis)?
g. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan cedera tulang belakang
(cedera medula spinalis)?
h. Bagaimana penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi cedera tulang
belakang (cedera medula spinalis)?
i. Apa pendidikan kesehatan (penkes) yang perlu diberikan pada klien dengan
cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah KK IX.
Meningkatkatkan pengetahuan penulis serta pembaca dalam asuhan keperawatan
terutama pada klien dengan cedera medula spinalis sehingga mampu memahami dan
mengaplikasikannya dalam praktik profesional keperawatan secara holistik.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2
Tulang belakang bekerja sebagai penunjang utama bagi sumsum tulang belakang
dan jalur saraf yang membawa informasi dari lengan, kaki, dan seluruh tubuh, dan
membawa sinyal dari otak ke tubuh.
Punggung tersusun dari 33 tulang yang disebut vertebra, 31 pasang saraf, 40 otot
dan banyak tendon dan ligament yang menghubungkan mulai dari dasar tengkorak
hingga sepanjang tulang ekor. Diantara tulang belakang terdapat serat, tulang rawan
elastis yang disebut cakram, yang berfungsi untuk mempertahankan agar tulang
punggung fleksibel dan sebagai bantalan tulang belakang keras saat bergerak.
(Sumber: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/images/ency/fullsize/9561.jpg)
3
daerah servikal atau lumbal. Hal ini membuat tulang belakang torakal memiliki
risiko lebih besar jika ada patah tulang.
Gerak yang terjadi pada tulang belakang torakal sebagian besar
rotasi. Adanya tulang rusuk mencegah menekuk ke samping. Sejumlah kecil
gerakan tulang belakang torakal yang terjadi yaitu membungkuk ke depan dan ke
belakang.
d. Os. Sacrum
Sacrum terdiri dari 5 vertebra yang menyatu. Tulang sacrum disebut pula
dengan tulang kelangkang.
e. Os. Coccygis
Tulang kecil berbentuk segitiga, disebut juga tulang ekor. Terdiri dari 4 tulang
yang bergabung menjadi satu. Tulang ini berartikulasi dengan sacrum dan
membentuk sebagian dinding posterior pelvis.
4
(Sumber: http://www.spinalinjury.net/assets/images/anatomy2.jpg)
Sama halnya seperti tulang belakang yang dibagi menjadi daerah servikal,
thoraks, dan lumbar, begitu pula sumsum tulang belakang (Medula spinalis). Setiap
bagian dari sumsum tulang belakang dibagi menjadi segmen neurologis spesifik.
5
Sumsum tulang belakang servikal dibagi menjadi delapan pasang saraf. Setiap
tingkat memberikan kontribusi untuk fungsi yang berbeda di leher dan lengan.
Sensasi dari tubuh sama-sama diangkut dari kulit dan area lain dari tubuh dari leher,
bahu, dan lengan hingga ke otak.
Pada daerah torakal, terdiri dari 12 pasang saraf. Saraf dari sumsum tulang
belakang menyuplai otot-otot dada yang membantu dalam bernafas dan
batuk .Wilayah ini juga berisi saraf dalam sistem saraf simpatik.
Sumsum tulang belakang lumbosakral dan saraf menyuplai kaki, panggul, usus
dan kandung kemih. Sensasi dari kaki, tungkai, panggul, dan perut bagian bawah
ditransmisi melalui saraf lumbosakral dan sumsum tulang belakang untuk segmen
yang lebih tinggi dan akhirnya otak.
Isyarat-isyarat sensoris dihantarkan melalui syaraf spinalis ke dalam tiap segmen
medula spinalis, dan saraf ini dapat menyebabkan reaksi motorik setempat di dalam
segmen tubuh dari mana informasi sensoris diterima atau didalam segmen-segmen
yang berdekatan.
Pada dasarnya semua reaksi motorik medula spinalis bersifat otomatis dan
terjadi hampir segera sebagai reaksi terhadap isyarat sensoris. Di samping itu,
mereka terjadi dalam pola reaksi khusus yang disebut refleks (Guyton, 2000).
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel
dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada
karnu pasterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf
motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua
anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
6
Saraf-saraf spinal
a. Motorik
Otot (asal inervasi) Fungsi
M. deltoideus dan biceps brachii (C5) Abduksi bahu dan fleksi siku
M. extensor carpi radialis longus dan Ekstensi pergelangan tangan
brevis
(C6)
M. flexor carpi radialis (C7) Fleksi pergelangan tangan
M. flexor digitorum superfisialis dan
profunda (C8) Fleksi jari-jari tangan
M. interosseus palmaris (T1) Abduksi jari-jari tangan
M. illiopsoas (L2) Fleksi panggul
M. quadricep femoris (L3) Ekstensi lutut
M. tibialis anterior (L4) Dorsofleksi kaki
M. extensor hallucis longus (L5) Ekstensi ibu jari kaki
M. gastrocnemius-soleus (S1) Plantarfleksi kaki
b. Sensoris protopatik
Asal inervasi Dermatom
c. Saraf otonom
Saraf-saraf yang bekerjanya tidk dapat disadari dan bekerja secara otomatis.
Organ Rangsangan simpatis Rangsangan
parasimpatis
Jantung Denyut dipercepat Denyut diperlambat
Arteri koronari Dilatasi Kontriksi
Pembuluh darah perifer Vasokontriksi Vasodilatasi
Tekanan darah Naik Turun
Bronkus Dilatasi Kontriksi
Kelenjar ludah Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Kelenjar lakrimalis Sekresi berkurang Seekresi bertambah
7
Pupil mata Dilatasi Kontriksi
Sistem pencernaan Peristaltik berkurang Peristaltik bertambah
makanan (SPM)
Kelenjar-kelenjar SPM Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Kelenjar keringat Ekskresi bertambah Eksresi berkurang
8
vertebralis. Pasien-pasien ini memiliki kontrol motorik pada kepala, sehingga
bergantung pada ventilator.
b. Etiologi
9
Penyebab terjadinya cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) (cedera
medula spinalis), antara lain:
1. Kecelakaan di jalan raya
2. Olahraga
3. Menyelam pada air yang dangkal
4. Luka tembak atau luka tekan
5. Cedera medulla spinalis dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada
vertebra, misalnya arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan
fraktur patologik, infeksi, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular.
Cedera medula spinalis traumatik lebih sering terjadi di daerah servikal.
c. Klasifikasi
Trauma cedera medula spinalis diklasifikasikan kedalam 5 kategori oleh
The American Spinal Cord Injury Classification System (modifikasi dari
klasifikasi Frankel) (Dawodu, 2008):
1. A - komplet adalah tidak ada fungsi sensori atau motorik.
Mempertahankan segmen sacral S4-S5.
2. B - Inkomplet adalah sensori, tidak motorik, fungsinya mempertahankan
dibawah level neurologi dan meluas pada segmen sacral S4-S5.
3. C - Inkomplet adalah fungsi motorik adalah mempertahankan dibawah
level neurologi, dan paling penting otot dibawah level neurology
mempunyai tingkatan lebih kecil dari 3.
4. D - Inkomplet adalah fungsi motorik adalah menjaga dibawah level
neurology, dan paling penting dibawah level neurology mempunyai
tingkatan lebih dari atau sama dengan 3.
5. E – Normal adalah fungsi sensori dan motorik adalah normal.
Sedangkan menurut American Spinal Injury Association (ASIA):
1) Grade A: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik di bawah
tingkat lesi.
2) Grade B: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik
di bawah tingkat lesi.
10
Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi lesi cedera medula spinalis dapat
dibagi menjadi komplet dan tidak komplet yaitu:
a) Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
b) Inkomplet (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik)
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut
American Spinal Cord Injury Associatio yaitu:
1. Central Cord Syndrome, kerusakan medula spinalis pada bagian sentral.
a) Disebabkan hiperekstensi spinal servikal.
b) Gejala khas paralisis pada lengan dan tangan, tidak dengan deficit
pada kaki atau kandung kemih.
c) Adanya indikasi edema
2. Anterior Cord Syndrome, kerusakan pada bagian anterior dari medula
spinalis.
a) Disebabkan trauma hiperfleksi.
b) Mengalami paralisis motorik komplet dibawah batas luka atau
trauma (bagian kortikospinal).
c) Kehilangan sensasi nyeri, dan suhu dibawah batas luka (bagian
spinotalamik).
d) Sensasi posisi, sentuhan dan popriosepsi masih baik (kolumna
posterior).
3. Brown Sequard Syndrome, kerusakan pada salah satu sisi dari medula
spinalis.
a) Terjadi akibat trauma pada bagian anterior dan posterior pada satu
sisi
b) Terdapat hemiparesis
c) Ipsilateral paralisis dibawah trauma
d) Ipsilateral hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioseption dibawah
trauma
e) Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah lesi
11
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat jarang
12
komplet dan 27 inkomplet) Kontusi (11%) normal (15%)
(Pinzon, 2007)
(Sumber: http://www.asia-spinalinjury.org/publications/59544_sc_Exam_Sheet_r4.pdf)
d. Manifestasi Klinik
Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang
menyebabkan kelemahan dan kehilangan sensori pada dan di bawah titik
cedera. Tingkat keparahan gejala tergantung pada apakah sumsum seluruh
terluka parah (lengkap) atau hanya sebagian yang terluka (tidak lengkap).
a) Cedera Servikal
Ketika cedera tulang belakang terjadi di daerah servikal, gejala dapat
mempengaruhi lengan, kaki, dan tengah tubuh. Gejala dapat terjadi pada satu
atau kedua sisi tubuh. Gejala dapat termasuk:
13
1. Kesulitan pernapasan (dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera
yang tinggi di leher)
2. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kontrol kandung kemih
(mungkin termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih)
3. Kebas (numbness)
4. Perubahan sensory
5. Nyeri
6. Spasticity (tonus otot meningkat)
7. Kelemahan (Quadriparese) / kelumpuhan (Quadriplegia)
b) Cedera Torakal
Ketika cedera tulang belakang terjadi pada tingkat torakal, gejala dapat
terjadi pada kaki (ekstremitas bawah). Gejala lain termasuk:
1. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kandung kemih (mungkin
termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih).
2. Kebas (numbness)
3. Perubahan sensory
4. Nyeri
5. Spasticity (tonus otot meningkat)
6. Kelemahan, kelumpuhan (paraplegia).
7. Adanya masalah tekanan darah, keringat abnormal, dan kesulitan
mempertahankan suhu tubuh normal.
14
6. Kelemahan, kelumpuhan (paraplegia).
(Sumber: http://www.texastriallawyer.com/images/spine3.jpg)
e. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan neurologis lengkap juga diperlukan. Pada setiap trauma tulang
belakang harus dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap trauma yang
mungkin menyertainya seperti trauma pada kepala, toraks, rongga perut serta
panggul. Pemeriksaan diagnostik mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Rontgen
Foto Rontgen sering kali digunakan untuk mengidentifikasi adanya
fraktur, dislokasi, dan abnormalitas tulang lainnya, terutama dalam
penatalaksaan trauma akut.
Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medulla spinalis
mengharuskan klien dalam posisi yang cermat dan secara relative tidak
menimbulkan sakit. Peran perawat mencakup pemantauan klien dan
peralatan yang digunakan selama prosedur dan selalu waspada terhadap
komplikasi yang berhubungan dengan posisi klien dan lamanya prosedur.
15
CT scan merupakan suatu teknik diagnostik dengan menggunakan
sinar. Pemeriksaan terutama untuk melihat fragmentasi, pergeseran fraktur
dalam kanal spinal. Juga dapat menentukan tempat luka / jejas,
mengevaluasi ganggaun struktural.
(Sumber: http://www.sci-recovery.org/images/ctscan.jpg)
3. Mielografi
Myelography adalah teknik pencitraan yang melibatkan suntikan
intratekal media kontras dan menunjukkan bagian dalam ruang
subarachnoid lumbar atau servikal sekitar saraf tulang belakang dan akar
saraf. Myelography menggunakan bentuk real-time dari sinar-X disebut
fluoroskopi. Media kontras adalah larut dalam air diformulasikan khusus
bahan yang mengandung yodium.
CT myelography: CT scan dilakukan setelah myelography.
Menggabungkan CT scan dengan myelography memberikan pandangan
yang lebih baik dari sumsum tulang belakang dan akar dalam ruang
subarachnoid.
Myelography dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan sumsum
tulang belakang, kanal tulang belakang dan akar saraf tulang
belakang. Myelography juga dapat mendiagnosis stenosis tulang belakang
dan herniasi dari disk intervertebralis ke dalam kanal tulang belakang.
16
Trauma mengenai tulang belakang
18
yang bunyinya intercostal mengganggu aktivitas
menurun atau tidak batuk yang efektif, napas panjang
adanya suara napas dan kemampuan napas dalam.
adventisius (ronki,
mengi, dan
krekels). 4. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
5. Catat kemampuan menyebabkan akumulasi/atelektasis
(kekuatan) dan atau pneumonia (komplikasi yang
keefektifan dari sering terjadi).
fungsi batuk.
9. Ubah posisi/balik
secara teratur,
hindari/batasi posisi
telungkup jika 7. Menggambarkan akan terjadinya
diperlukan. gagal napas yang memerlukan
evaluasi dan intervensi medis dengan
segera.
19
dan anjurkan pasien sekret/sebagai ekspektoran.
untuk melakukan
napas dalam,
fokuskan perhatian
pada prnapasan. 11. Kelemahan secara umum dan
gangguan pernapasan membuat
14. Pantau gerakan resiko tinggi bagi pasien
diafragma jika alat mendapatkan infeksi saluran
pacu frenik telah pernapasan atas.
dipasang.
4. Rujuk/konsultasika
n pada ahli terapi 14. Stimulasi pada saraf frenikus
pernapasan dan meningkatkan usaha pernapsan,
fisik. mengurangi ketergantungan pada
ventilator mekanik.
5. Bantu dengan
fisioterapi dada
(seperti perkusi
dada) dan gunakan
alat-alat bantu 1. Menentukan fungsi otot pernapasan.
pernapasan (seperti Pengkajian yang terus menerus daat
spirometri, botol dilakukan untuk memperkirakan
tiup, dan terjadinya gagal napas (trauma akut)
sebagainya). atau menetukn keadaan fungsi tubuh
setelah fase syok spinal dan setelah
proses penyapihan ventilator.
20
3. Metode yang akan dipilih
tergantung dari lokasi trauma,
keadaan insufisiensi pernapasan, dan
banyaknya fungsi otot pernapsan
yang sembuh setelah fase syok
spinal.
2. Resiko tinggi TJ: Mempertahankan 1. Pertahankan tirah 1. Menjaga kestabilan dari kolumna
terhadap cedera kesejajaran yang baring dan alat-alat vertebra dan membantu proses
spinal tambahan tepat dari spinal tanpa imobilisasi seperti penyembuhan.
berhubungan cedera medula traksi, halo
dengan spinalis lanjut. brace,kollar leher,
ketidakstabilan bantal pasir dan
kolumna spinalis. KH: sebagainya.
3. Periksa pemberat
untuk menark traksi 3. Pemberat tergantung pada berat
(iasanya 10-20 pon). pasien dan besarnya reduksi yang
diperlukan untuk
mempertahankan posisi kolumna
4. Tinggikan bagian atas vertebralis.
dari kerangka traksi
atau tempat tidur jika 4. Membuat keseimbangan untuk
diperlukan. mempertahankan posisi pasien
dan tarikan traksi.
5. Ganti posisi, gunakan
alat bantu untuk
miring dan menahan, 5. Mempertahankan posisi kolumna
seperti alat pemutar, spninalis yang tepat sehingga
selimut tergulung, dapat mengurangi resiko
bantal dan sebagainya. terjadinya trauma. Catatan:
Minta bantuan perawat menyentuh brace/traksi halo
lain sewaktu sewaktu memiringkan atau
memiringkan pasien. mengubah posisi pasien dapat
Ikuti instruksi khusus mengakibatkan trauma.
untuk peraatan traksi
halo.
21
Kolaborasi:
1. Pertahankan traksi
skeletal dengan
tang/jepitan, jangka
lengkung, atau halo jika
diperlukan. 1. Mengurangi fraktur/dislokasi
vertebra.
2. Siapkan pasien untuk
tindakan operasi, seperti
laminektomi spinal atau
fusi spinal jika
diperlukan.
2. Operasi mungkin diperlukan pada
kompresi spinal atau
adanyapemindahan fragmen-
fragmen tulang yang fraktur.
22
papan kaki, sepatu
dengan hak yang tinggi
dan sebagainya,
gunakan rol trokhanter
di bawah bokong
selama brbaring di
tempat tidur.
6. Tinggikan ekstermitas
bawah beberapa saat 6. Hilangnya tonus pembuluh darah
sewaktu duduk atau dan gerakan otot mengakibatkan
angkat kaki/bagian bendungan darah dan vena akan
bawah tempat tidur jika menjadi stastis dibgian bawah
diinginkan pada abdomen, ekstermitas bawah,
keadaan tertentu. Kaji meningkatnya resiko terjadinya
adanya edema pada hipotensi dan pembentukan
kaki/pegelangan tangan. trombus.
7. Buat rencana aktivitas 7. Mecegah kelelahan, memberikan
untuk pasien sehingga kesempatan untuk berperan
pasien dapat beristirahat serta/melakukan uapaya yang
tanpa terganggu. maksimal.
Anjurkan pasien untuk
erperan serta dalam
aktivitas sesuai dengan
kemampuan 8. Hipotensi ortostatik dpat terjadi
pasien/sesua dengan sebagai akibat dari bendungan vena
toleransi. (sekunder akibat hilangnya tonus
otot vaskuler).
8. Ukur/pantau tekanan Memiringkan/meninggikan kepala
darah sebelum dan dapat menyebabkan hipotensi dan
sesudah meakukan bahkan pingsan.
aktivitas dalam fase
akut atau sampai
keadaan pasien stabil
ganti posisi dengan
perlahan. Gunakan
“tempat tidur kardiak”
atau meja atau tempat
tidur sirkoelektrik
(dapat berputar). Jika
ingin meningkatkan
pola aktivitas.
9. Mengurangi tekanan pada salah satu
area dan meningkatkan sirkulasi
9. Gantilah posisi secara
perifer.
periodik walaupun
dalam fase akut atau
sampai keadaan duduk.
Ajarkan pasien untuk
menggunakan teknik
“memindahkan berat
badan”.
10. Latihan berat badan sendiri dapat
10. Persiapkan pasien mengurangi terjadinya osteoporosis
pada saat akan pada tulang panjang dan
melakukan aktivitas mengurangi terjadinya infeksi
membebani tubuh, saluran kemih dan batu ginjal.
misalnya gunakan “meja
pengangkat” untuk
posisi tegak lurus,
23
latihan untuk
menguatkan/mengkondi
sikan bagian bagian
tubuh yang normal.
Kolaborasi:
24
4. Berikan relaksan otot 3. Membantu dalam merencanakan
sesuai kebutuhan dan dan melaksanakan latihan secara
diazepam (valium), individual dan
baklopen (lioresal), mengidentifikasi/mengembangkan
serta kantrolen alat-alat bantu untuk
(dantrium). mempertahankan fungsi, mobilisasi
dan kemandirian pasien.
2. Evaluasi peningkatan
iritabiltas, tegangan
otot, gelisah, dan 2. Petunjuk nonverbal dari
perubahan tanda vital nyeri/ketidaknyamanan
yang tidak dapat memerlukan intervensi.
dijelaskan.
Kolaborasi:
25
misalnya; dantren
(dantrium), analgesik
dan antiansietas,
misalnya; diazepam
(valium). 1. Dibutuhkan untuk menghilangkan
spasme/nyeri otot atau untuk
menghilangkan ansietas dan
meningkatkan istirahat.
5. Bersihkan daerah
perineum dan jaga 5. Menurunkan risiko
agar tetap kering, terjadinya iritasi kulit/ kerusakan
lakukan perawatan kulit atau infeksi keatas menuju
kateter bila perlu. ginjal.
Kolaborasi:
6. Jangan biarkan
kandung kemih
penuh. Jika awalnya 6. Kateter Volley digunakan
memakai kateter selama fase akut untuk
mulai melakukan mencegah retensi urin dan
program katerisasi memantau haluaran. Kateter
26
secara intermitten jika intermitten digunakan untuk
diperlukan. mengurangi komplikasi yang
biasanya berhubungan dengan
penggunaan kateter yang lama,
kateter suprapubik dapat
digunakan dalam jangka waktu
7. Pantau BUN, lama.
kreatinin, SDP.
7. Menggambarkan fungsi
ginjal, dan mengidentifikasikan
8. Berikan pengobatan komplikasi.
sesuai indikasi,
seperti vitamin dan 8. Mempertahankan
atau antiseptik lingkungan asam dan
urinarius, contohnya menghambat pertumbuhan
methenamin bakteri (kuman).
mandelete
(Mandelamine)
27
gejala yang
berhubungan dengan
sakit dada,
pandangan kabur,
mual, rasa metalik,
sindrom Horner.
Kolaborasi:
6. Berikan pengobatan
sesuai indikasi dan
pantau respons:
28
mungkin efektif jika tidak
ada Hyperstat yang
dimasukkan lewat IV.
- Antihipertensi,
contoh: prazosin - Penggunaan jangka waktu
(Minipress), yang lama dapat merilekskan
fenoksibenzamin leher kandung kemih/
(Dibenzyline) meningkatkan pengosongan
kandung kemih,
menghilangkan penyebab
yang paling umum
disrefleksia autonomik
kronik.
7. Resiko gangguan Tujuan : a. Kaji faktor resiko a. Salah satunya yaitu immobilisasi,
integritas kulit b.d Mempertahankan terjadinya gangguan hilangnya sensasi, Inkontinensia
ketidakadekuatan Intergritas kulit integritas kulit bladder /bowel.
sirkulasi perifer
immobilisasi Kriteria Hasil :
Keadaan kulit b. Kaji keadaan pasien b. Mencegah lebih dini terjadinya
pasien utuh, bebas setiap 8 jam. dekubitus.
dari kemerahan,
bebas dari c. Mengurangi tekanan 1 tekanan
infeksi pada lokasi c. Gunakan tempat sehingga mengurangi resiko
yang tertekan. tidur khusus (dengan dekubitas.
busa)
h. Mempercepat proses
g. Kaji status nutrisi penyembuhan
pasien dan berikan
makanan dengan
tinggi protein.
29
h. Lakukan perawatan
kulit pada daerah
yang lecet / rusak
setiap hari.
30
5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam
pertama cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida
mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi
sensorik, motorik, dan penting untuk melacak defisit yang progesif atau
asenden.
6. Mempertahankan fungsi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak
keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji
dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses transversus, spinosus, dan
lainnya. Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang),
imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara
bertahap.
8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a. Metode reabduksi antara lain:
1) Traksi memakai sepit (tang) metal yang dipasang pada tengkorak.
Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai
sekitar 2,5 kg pada fraktur C1.
2) Manipulasi dengan anestesi umum.
3) Reabduksi terbuka melalui operasi.
b. Metode imobilisasi antara lain:
1) Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester.
2) Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera
yang sudah direabduksi.
3) Plester paris dan splin eksternal lain.
4) Operasi
31
3) Pemeriksaan penunjang MRI.
4) Cedera neurologis tak lengkap konservatif.
5) Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal,
traksi tengkorak, dan metil pednisolon.
6) Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
7) Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk
maka lakukan mielografi.
8) Cedera tulang tak stabil.
9) Bila lesi total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi.
Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan
paraplegia.
10) Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti
imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.
11) Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat
yang sama.
12) Cedera yang menyertai dan komplikasi:
a) Cedera mayor berupa cedera kepala aatau otak, toraks,
berhubungan dengan ominal, dan vaakular.
b) Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi, dan
syok.
Pengelolaan cedera
1. Pengelolaan hemodinamika
a) Bila terjadi hipotensi, cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik
akibat hilangnya aliran adrenergik dari sistem saraf simpatis pada
jantung dan vaskuler perifer setelah cedera di atas tingkat T6. Terjadi
hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik lebih
mengganggu distribusi volume intravaskular daripada menyebabkan
hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan pemberian terapi atropin,
dopamin, atau fenilefrin jika penggantian volume intravaskular tidak
bereaksi.
b) Pada fase akut setelah cedera, dipasang beberapa jalur intravena perifer
(No.16) dan pengamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan
resusitasi cairan dimulai
c) Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian transfusi, lakukan
kateterisasi pada arteri pulmonal untuk mengarahkan ke perbedaan
mekanisme hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik.
2. Pengelolaan sistem pernapasan
a) Ganti posisi tubuh berulang
b) Perangsangan batuk
32
c) Pernapasan dalam
d) Spirometri intensif
e) Pernapasan bertekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker
adalah cara mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas residual
fungsional
f) Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi
3. Pengelolaan nutrisional dan sistem percernaan
a) Lakukan pemeriksaan CT-scan berhubungan dengan omen atau lavasi
peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera berhubungan dengan
ominal
b) Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian
elektrolit dan pengamatan status cairan
c) Terapi nutisional awal harus dimetabolisme (50-100% diatas normal)
d) Bila ada hiperalimentasi internal elemental. Pasang Duoclenol yang
fleksibel melalui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus)
e) Pencegahan ulkus dengan antagonis hz (simetidin, ranitidin) atau antasid
f) Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT)
g) Bila difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT
untuk mencegah diare
h) Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax.
4. Pengelolaan gangguan koagulasi
a) Untuk mencegah terjadinya trombosis vena dan emboli paru beri heparin
dosis minimal (500 untuk subkutan, 2-3 x sehari)
b) Ranjang yang berosilasi
c) Ekspansi volume
d) Stoking elastis setinggi paha
e) Stoking prenmatis anti emboli
f) Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan
5. Pengelolaan genitourinaria
a) Pasang kateter Dower (dower catheter- DC)
b) Amati urine output (UO)
6. Pengelolaan ulkus dekubitus
a) Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan,dan
berkurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit kambing penyangga
tonjolan tulang
b) Putar atau ganti posisi tubuh berulang
c) Perawatan kulit yang baik
d) Gunakan ranjang berosilasi
7. Pengelolaan klien paraplegia
a) Respirasi dengan pemasangan endotrakea, kemudian trakeostomi serta
perbaikan keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi
b) Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam
c) Kandung kemih
33
1) Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih
secara teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overflow dam
dribbling.
2) Kateterisasi intermitten
3) Katerisasi indwelling
4) Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal.
d) Buang air besar (BAB)
Untuk mendapatkan pengosongan rektum mendadak dilakukan dengan
cara:
1) Tambahkan diet serat
2) Gunakan laksatif
3) Pemberian supositoria
4) Enema untuk BAB atau pengosongan rektum teratur tanpa
inkontinensia mendadak.
e) Anggota gerak
1) Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot
berlawanan dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah
pemisahan tendo tertentu
2) Nutrisi umum tinggi kalori.
BAB III
KASUS
34
A. Uraian Kasus
Nn. GA usia 24 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan tangan dan kakinya
tidak bisa digerakkan (Quadriparese). Klien sebelumnya lompat ke kolam renang
yang dikira dalam ternyata dangkal. Pada pemeriksaan MRI terlihat jejas pada
tulang belakang tepatnya pada servikalis 5. Saat ini klien mengalami hiperventilasi
RR 35x/menit, TD: 130/80 mmHg, N: 98 x/menit, S: 37,3 o C. Klien koma dan
terjadi robekan pada medula spinalis.
B. Pengkajian
1. Anamnesa
a) Identitas Klien
Nama: Nn. GA
Umur: 24 tahun
b) Alasan Masuk
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan tangan dan kakinya tidak bisa
digerakkan. Klien sebelumnya lompat ke kolam renang yang dikira dalam
ternyata dangkal.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat kesadaran : Koma
b. TTV:
- TD: 130/80 mmHg
- RR: 35 x/menit
- HR: 98 x/menit
- S: 37,3 0C
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan MRI terlihat jejas tulang belakang tepatnya pada C-5.
C. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
35
Keperawatan
1 DS : - Trauma mengenai tulang Pola napas tidak
belakang efektif
DO :
a. TTV
- RR: 35 x/menit Cedera Columna vertebralis,
(hiperventilasi) cedera medula spinalis
- N: 98 x/menit
- TD: 130/80 x/menit
- S: 37,3 0C Blok saraf parasimpatis
b. Pasien dalam keadaan koma
36
Gangguan atau kerusakan
mobilitas fisik
Quadriparese
37
Penekanan jaringan setempat
Dekubitus
MK:Resiko terhadap
koma Kematian
kerusakan integritas
kulit E. Asuhan Keperawatan
Diagnosa Tujuan/
No Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Pola napas tidak TJ: 1. Pertahankan jalan 1. Pasien dengan trauma
efektif Mempertahankan napas: posisi kepala servikal bagian atas
berhubungan ventilasi yang dalam posisi netral, dan gangguan
38
dengan resiko adekuat tinggikan sedikit muntah/batuk akan
tinggi terhadap KH: kepala tempat tidur membutuhkan bantuan
kerusakan - Pernapasan jika dapat ditoleransi untuk mencegah
persarafan dari kembali pasien. Gunakan aspirasi/mempertahank
diafragma (lesi normal (16- tambahan/beri jalan an jalan napas.
pada atau di atas 24 x/mnt) napas buatan jika ada
C-5). indikasi.
2. Lakukan penghisapan
2. Jika batuk tidak
Dimanifestasikan bila perlu. Catat
efektif, prnghisapan
oleh: jumlah, jenis, dan
dibutuhkan untuk
karakteristik sekresi.
- Pasien dalam mengeuarkan sekret,
keadaan koma meingkatkan distribusi
- Pasien udara, dan mengurangi
mengalami resiko infeksi
hiperventilasi pernapasan. Catatan:
dengan RR Penghisapan yang utin
35x/menit dapat meningkatkan
resiko terjadinya
hipoksia, bradikardi
(karena repon vagal),
trauma jaringan oleh
3. Auskultasi suara
karenanya kebutuhan
napas. Catat bagian-
penghisapan
bagian paru yang
didasarkan pada
bunyinya menurun
adanya ketidak
atau tidak adanya
mampuan untuk
suara napas
mengeluarkan sekret.
adventisius (ronki,
3. Hipoventilasi biasanya
mengi, dan krekels)
4. Observasi warna terjadi atau
kulit: adanya menyebabkan
sianosis, keabu- akumulasi/atelektasis
abuan. atau pneumonia
5. Kaji adanya distensi
(komplikasi yang
abdomen dan spasme
sering terjadi).
otot.
4. Menggambarkan akan
39
terjadinya gagal napas
6. Pantau/batasi yang memerlukan
pengunjung jika evaluasi dan intervensi
dipelukan. medis dengan segera.
5. perasaan penuh pada
abdomen dapat
Kolaborasi
1. Lakukan menggambarkan
1. Menentukan fungsi
otot pernapasan.
Pengkajian yang terus
menerus daat dilakukan
3. Berikan oksigen untuk memperkirakan
dengan cara yang terjadinya gagal napas
tepat seperti dengan (trauma akut) atau
kanul oksigen, menetukn keadaan
masker, intubasi dan fungsi tubuh setelah
sebagainya. fase syok spinal dan
setelah proses
4. Rujuk/konsultasikan penyapihan ventilator.
pada ahli terapi 2. Menyatakan keadaan
pernapasan dan fisik. ventilasi atau
oksigenasi.
Mengidentifikasi
masalah pernapasan.
40
Contoh: Hiperventilasi
(PaO2 rendah/PaCO2
menigkatkan) atau
adanya kompilkasi
paru.
3. Metode yang akan
dipilih tergantung dari
lokasi trauma, keadaan
insufisiensi
pernapasan, dan
banyaknya fungsi otot
pernapsan yang
sembuh setelah fase
syok spinal.
4. Membantu dalam
mengidentifikasi
latihan-latihan yang
tepat untuk
menstimulasi dan
menguatkan oto-otot
pernapasan/tenaga
2. Gangguan atau TJ: 1. Bantu/lakukan latihan 1. Catatan: pasien
Mempertahankan
kerusakan room pada semua quadriplegia dengan
posisi fungsi
mobilitas fisik ekstermitas dan memakai ventilator
tubuh.
berhubungan lembut. Lakukan memerlukan observasi
dengan kerusakan KH: hiperekstensi pada ynag teratur dalam
neuromuscular. - Tidak adanya paha secara teratu perawatan diri.
kontraktur. 2. Meningkatkan
(periodik).
Dimanifestasikan - Footdrop. 2. Letakkan tangan sirkulasi,
oleh: - Meningkatkan dalam posisi (melipat) mempertahankan tonus
kekuatan ke dalam menuju otot dan moblisasi
- Pasien dalam
bagian tubuh pusaran 90 derajat sendi dan mencegah
keadaan koma
yang dengan teratur. kontraktur dan atrofi
- Terdapat jejas
sakit/kompens otot.
pada tulang 3. Mencegah kotraktur
asi. 3. Pertahankan sendi
belakang pada daerah bahu.
- Mendemonstra
tepatnya pada pada 90 derajat
sikan teknik
C5 terhadap papan kaki,
/perilakuyang
41
- Terdapat memungkinka sepatu dengan hak
robekan pada n yang tinggi dan
- Melakukan
medula spinalis sebagainya, gunakan
kembali
rol trokhanter di
aktivitas.
bawah bokong selama
4. Mencegah footdrop
brbaring di tempat
dan rotasi eksternal
tidur.
4. Tinggikan ekstermitas pada paha.
bawah beberapa saat
sewaktu duduk atau
angkat kaki/bagian
5. Mengurangi
bawah tempat tidur
ketegangan
jika diinginkan pada
otot/kelelahan dapat
keadaan tertentu. Kaji
membantu mngurangi
adanya edema pada
nyeri, spasme otot,
kaki/pegelangan
spastisitas/kejang.
tangan.
5. Inspeksi kulit setiap
hari. Obserpasi
adanya daerah yang 6. Imobilisasi/tirah
tertekan dan lakukan baring meingkatan
perawatan kulit resiko terjadinya
dengan benar. infeksi paru.
6. Kaji rasa nyeri, 7. Banyak sekali pasien
kemerahan, bengkak, dengan trauma saraf
dan ketegangan otot srevikal mengalami
jari. pembentukan
7. Amati adanya trombus karena
dispnea tiba- gangguan sirkulasi
tiba,sianosis dan perifer, imobilisasi
tanda-tanda lain dari dan kelumpuhan
distres pernapasan. flaksid.
1. Imobilisasi yang
efektif dari kolumna
Kolaborasi: spinal dapat
1. Tempatkan pasien
menstabilkan kolumna
pada tempat tidur
spinal dan
kinetik jika
meningkatkan sirkulasi
42
diperlukan. sitemik, yang dapat
mengurangi komplikasi
karena imobilisasi.
2. Gunakan kaos 2. Membatasi bendungan
(sequential selanjutnya
43
infeksi pada hipoksia, perubahan
5. Pertahankan posisi meningkatkan
lokasi yang
kebersihan dan sirkulasi darah.
tertekan. kekeringan tempat 5. Lingkungan yang
tidur dan tubuh lembab dan kotor
pasien. mempermudah
terjadinya kerusakan
6. Lakukan pemijatan Kulit
khusus / lembut
diatas daerah tulang 6. Meningkatkan
yang menonjol sirkulasi darah
setiap 2 jam dengan
gerakan memutar.
7. Mempertahankan
7. Kaji status nutrisi integritas kulit dan
pasien dan berikan proses penyembuhan
makanan dengan
tinggi protein. 8. Mempercepat proses
penyembuhan
8. Lakukan perawatan
kulit pada daerah
yang lecet / rusak
setiap hari.
44
Dosis metilprednisolon 30 mg/kgBB diberikan secara bolus IV dalam 8 jam
setelah cedera, di ikuti dengan dosis maintenace 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam
kemudian. Metilprenidsolon menghambat lipid peroxidase dan hidrolisis yang
menghambat destruksi membran sel. Kerusakan membransel mencapai puncaknya
kira-kira 8 jam dan alasan inilah mengapa harus diberikan dalam waktu
tersebut. Lipidperoksidasi mengacu pada degradasi oksidatif lipid . Ini adalah proses
di mana radikal bebas "mencuri" elektron dari lipid pada membran sel ,
mengakibatkan kerusakan sel.
b) Non-Farmakologi
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Beberapa tindakan non-farmakologi yang dapat
dilakukan adalah:
a. Memakai penyangga eksternal untuk mengontrol posisi tulang belakang,
menerapkan korektif forces, menstabilkan tulang belakang ketika jaringan
lunak (misalnya, ligamen) tidak bisa dan membatasi gerakan.
b. Karena luka trauma pada sumsum tulang belakang biasanya melibatkan
cedera pada tulang dan ligamen tulang belakang, operasi dapat
dilakukan. Tujuan dari beberapa operasi adalah untuk menghilangkan tulang
(ini disebut "dekompresi") yang menekan pada atau ke sumsum tulang
belakang.
c. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-
hari/ activities of daily living (ADL).
d. Fisioterapi. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM
(Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi
otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome/ CSS biasanya
mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga
dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. CCS adalah salah satu tipe
acute cervical spinal cord injury (SCI) yang terjadi akibat injuri inkomplit
pada medula spinalis segmen servikal dan ditandai oleh kelemahan motorik
yang lebih parah pada ekstremitas atas dibandingkan pada ekstremias bawah,
disfungsi kandung kemih dan gangguan sensori yang bervariasi di bawah
level lesi.
45
G. Health Education ( Pendidikan Kesehatan )
a) Pencegahan
Mengikuti saran ini dapat mengurangi resiko dari cedera tulang belakang:
- Mengemudi dengan aman. Kecelakaan mobil adalah salah satu penyebab paling
umum dari cedera tulang belakang. Kenakan sabuk pengaman setiap kali Anda
mengemudi atau naik di dalam mobil. Pastikan bahwa anak-anak Anda mengenakan
sabuk pengaman atau menggunakan usia dan berat badan yang sesuai kursi
keselamatan anak.
- Periksa kedalaman air sebelum menyelam. Untuk memastikan Anda tidak menyelam
ke dalam air dangkal, tidak menyelam ke dalam kolam kecuali jika 9 kaki atau lebih
dalam, jangan menyelam ke dalam kolam di atas tanah, dan tidak menyelam ke
dalam setiap air yang anda tidak tahu kedalaman.
- Mencegah jatuh. Mis. gunakan bangku/alat bantu untuk menjangkau benda-benda di
tempat tinggi. Tambahkan pegangan tangan di sepanjang tangga.
- Berhati-hati saat bermain olahraga. Selalu memakai peralatan keselamatan yang
direkomendasikan.
b) Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)
ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera
sekunder. Untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan
memanfaatkan alas yang keras. pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa
menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Selalu harus
diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi. Bila dicurigai cedera didaerah servikal harus
diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan
bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan. Perawatan penderita
memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.
Perawatan ditujukan pada pencegahan :
1. Perawatan kulit: agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu
dengan cara miring kanan, kiri, telentang dan telungkup
2. Anggota gerak: agar tidak timbul kontraktur. Karena kelainan saraf maka
timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot. Pencegahan
ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan
46
fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam
posisi netral.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula
spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke
lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh
disitus intervertebralis.
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal
pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong dan apabila saraf
frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan
mekanik dapat digunakan.
B. Saran
Mahasiswa diharapakan mampu mengasah kemampuannya dan pengetahuannya
melalui media diskusi yang telah direncanakan dalam mata kuliah ini. Bagi para
dosen agar dapat memberikan bimbingan yang lebih intensif agar mahasiswa lebih
faham mengenai asuhan keperawatan terutama pada klien dengan cidera medula
spinalis.
47
DAFTAR PUSTAKA
48
Smeltzer & Bare.(2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah volume 3 edisi
8.Jakarta: EGC.
49