Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana saat ini

menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal tersebut berdampak pada

meningkatnya kebutuhan pekerja, khususnya pekerja konstruksi. Terbukti dari

tahun ke tahun jumlah pekerja konstruksi semakin meningkat yaitu tercatat

sebanyak sebanyak 6,18% pada tahun 2012, menjadi 6,97% pada tahun 2013 dan

7,21% pada tahun 2014 (BPS, 2014). Hal ini juga didukung oleh data dari

Gabungan Pelaksanaan Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI, 2010),

menunjukkan kebutuhan tenaga kerja konstruksi cukup tinggi, terlihat dari

perusahaan jasa konstruksi di Jawa Timur sebanyak 3.693 perusahaan.

Peran pekerja konstruksi dalam hal ini tukang sebagai tenaga pelaksana

utama pada proyek konstruksi sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan.

Kualifikasi pekerja konstruksi tersebut dapat dinilai salah satunya dari tingkat

pendidikan yang telah diperoleh oleh tukang-tukang tersebut. Umumnya tingkat

pendidikan tukang-tukang yang bekerja pada proyek kontruksi hanya menempuh

pendidikan tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Hal tersebut tentunya

perlu perhatian khusus, karena dengan memperhatikan tingkat pendidikan maka

kemampuan dari tukang-tukang tersebut dapat dinilai. Rasionalnya adalah dengan

semakin tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh tukang, maka

1
kemampuan tukang tersebut seharusnya lebih tinggi dari pada tukang yang

memiliki kemampuan lebih rendah.

Tingkat pendidikan tukang bangunan secara lebih detail diantaranya adalah

tidak tamat SD, Tamat SD, Tamat SLTP/SMP, Tamat SLTA/SMA, dan Perguruan

tinggi. Hasil penelitian dari pratiwi (2009) menunjukkan dari total 72 tukang

bangunan 6 orang diantaranya tidak tamat SD, 24 orang tamatan SD, 25 orang

tamatan SMP, 15 orang tamatan SMA, dan 2 orang tamatan perguruan tinggi. Hal

tersebut juga didukung uleh kajian yang dilakukan oleh Ronald (2015) dimana

59% pekerja kontruksi tingkat pendidikannya adalah SMA. Selain tingkat

pendidikan pada jenjang formal tersebut, tukang sebagai tenaga terampil

sebaiknya perlu mengembangkan kompetensinya melalui pendidikan non formal

semisal pelatihan-pelatihan untuk mendapatkan pengakuan terhadap kompetensi

yang dimilikinya.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Undang-undang RI No.

20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menjelaskan bahwa pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tingkat

pendidikan berupa pendidikan formal dan non formal mempunyai tujuan untuk

mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang terarah, terpadu dan

menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif dalam membentuk

manusia seutuhnya agar manusia menjadi sadar akan dirinya dan dapat

dimanfaatkan lingkungannya untuk meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu

melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan

dan penguasaan terhadap perkembangan teknologi yang pesat.

2
Kualifikasi selanjutnya yang harus dimiliki tukang adalah pengalaman

bekerja dalam bidang keterampilan yang ditekuninya. Pengalaman kerja disini

juga dapat menjadi factor pendukung dalam mengkalsifikasikan tukang tersebut

kompeten dan produktif dalam bidang pekerjaannya. Beberapa hal yang berkaitan

dengan pengalaman kerja diantaranya adalah waktu, frekuensi, jenis tugas,

penerapan dan hasil. Ditinjau dari segi waktu, pengalaman tukang dalam bekerja

dapat dikalsifikasikan dalam ukuran tahun. Sehingga dengan mengetahui lama

waktu bekerja tukang tersebut maka produktivitasnya dapat dinilai. Pengalaman

kerja umumnya diklasifikasikan dalam rentan 0-5 tahun, 6-10 tahun, 11-15 tahun,

16-20 tahun dan 20 tahun lebih. Hasil kajian yang dilakukan Nizar (2016) rata-

rata pengalaman kerja tukang yang diamatinya berkisar antara 11-12 tahun dengan

prosentase 50% dari keseluruhan sampel.

Merujuk dari beberapa uraian tersebut, peneliti mengangkat penelitian

dengan judul “Analisis Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja Tukang

Bangunan Pada Proyek Pemerintahan di Kota Malang”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diambil rumusan masalah

sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tingkat pendidikan tukang bangunan pada proyek

pemerintahan di Kota Malang?


2. Bagaimanakah pengalaman kerja tukang bangunan pada proyek

pemerintahan di Kota Malang?

C. Kegunaan Penelitian

1. Bagi Perusahaan

3
Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan penilaian terhadap SDM

yang dimiliki perusahaan tersebut, sehingga dapat menjadi penilaian yang

berkaitan dengan kulaitas pekerja, hasil pekerjaan dan perusahaan itu

sendiri.
2. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan cerminan dalam mengukur kualitas

SDM yang ada, terlebih dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia

(MEA) dimana tingkat pendidikan dan pengalaman kerja berpengaruh

dalam menentukan kebijakan salah satunya tenaga kerja Indonesia yang

akan dikirim ke luar negeri.

D. Batasan Penelitian

Keterbatasan penelitian digunakan untuk membatasi penelitian agar lebih

fokus, adapun keterbatasan penelitian adalah sebagai berikut:


1. Penelitian ini dibatasi pada tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki tukang

baik secara formal ataupun non formal.


2. Penelitian dilakukan di proyek pemerintahan dalam hal ini proyek yang

dilaksanakan oleh instansi kampus negeri (UM, UB, dan UIN)

E. Definisi Operasional

1. Tingkat Pendidikan
Satuan pendidikan yang pernah diikuti dan diselesaikan oleh seseorang

mulai dari tingkat dasar hingga tingkat menengah.


2. Pengalaman Kerja
Lama waktu berdasarkan tahun, yang telah dilalui seseorang dalam bekerja

pada bidang yang ditekuninya.

Anda mungkin juga menyukai