Dari hasil sensus penduduk tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah
179,4 juta. Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara Negara -negara
yang sedang berkembang setelah Gina dan India.Dibanding dengan jumlah
sensus tahun 1980 maka akan terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata
1,98% pertahun. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 1995 sebanyak 195,3 juta jiwa.
Bila dilihat dari luas wilayah pada peta penyebaran penduduknya terlihat
tidak merata di 27 propinsi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1990 sekitar
60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas
wilayah Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hanya
ditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya.
Di Indonesia dari tingkat partisipasi anak usia sekolah baru mencapai 53%
meskipun wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan oleh
pemerintah. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita tergolong
rendah. Hongkong misalnya tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan 88%
dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 1995).
Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masih
berpendidikan rendah. Dampaknya terhadap pendapatan perkapita yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Juga terhadap kehidupan
rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan yang akan berpengaruh terhadap
angka kelahiran dan kematian yang dalam banyak hal dijadikan indikator bagi
kesejahteraan suatu negara.
Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi
yang tidak merata. Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka
fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini dianggap tidak
menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat dengan kenyataan
bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih diposisikan sebagai
beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara makro digunakan sebagai
landasan kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Secara mikro hal
itu juga digunakan untuk memberikan justifikasi mengenai pentingnya suatu keluarga
melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.
Pada awalnya masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan
treatment terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran kuantitatif. Hal
ini sangat jelas dari target atau sasaran di awal program keluarga berencana dilaksanakan
di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi separuhnya sebelum
tahun 2000. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila program keluarga berencana di
Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif. Dari sisi ini tidak dapat diragukan
lagi keberhasilannya.
Indikasi keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR yang
signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 . Selama periode
tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi 2,788 (SDKI 1997). Atau dengan
kata lain selama periode tersebut TFR menurun hingga lima puluh persen. Bahkan pada
tahun 1998 angka TFR tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu menjadi
2,6.Penurunan fertilitas tersebut terkait dengan (keberhasilan) pembangunan sosial dan
ekonomi, yang juga sering diklaim sebagai salah satu bentuk keberhasilan kependudukan,
khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia.
Namun kritik tajam yang sering dikemukakan berkaitan dengan program keluarga
berencana adalah masih rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan),
khususnya dalam level operasional di lapangan. Kritik terhadap kualitas pelayanan (salah
satunya tercermin dalam hal cara pemerintah mempopulerkan alat kontrasepsi, misalnya
melalui berbagai jenis safari) sejak awal sudah muncul, tetapi hal itu dapat diredam
sehingga tidak meluas melalui berbagai cara .Dalam pespektif yang lebih luas, persoalan
fertilitas tidak hanya berhubungan dengan jumlah anak sebab aspek yang terkait di
dalamnya sebenarnya sangat kompleks dan variatif, misalnya menyangkut perilaku
seksual, kehamilan tak dikehendaki, aborsi, PMS, kekerasan seksual, dan lain sebagainya
yang tercakup di dalam isu kesehatan reproduksi. Respons terhadap hal ini sebenarnya
sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan
(lihat Country Report, 1998 dan Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih
belum menyentuh persoalan mendasar yang ada di dalamnya sehingga isu-isu tersebut
belum sepenuhnya tertangani dengan baik.
Kebijakan kependudukan pada masa Orde Baru meskipun dari sisi kuantitatif telah
menunjukkan kemajuan yang berarti, namun masih meninggalkan banyak persoalan yang
mempunyai kemungkinan meningkat secara signifikan setelah krisis ekonomi.Indikasi
kehamilan tak dikehendaki menjadi isu yang penting dalam fertilitas. Sebagai contoh,
ketika angka fertiliitas mencapai angka yang rendah sebagai akibat internalisasi norma
keluarga kecil di dalam masyarakat, maka setiap kehamilan besar kemungkinannya
adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya kehamilan tersebut berkaitan dengan
kegagalan kontrasepsi.
Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa insiden kehamilan yang tidak dikehendaki
berkaitan dengan pencapaian keluarga berencana. Dalam konteks inilah isu mengenai
kualitas pelayanan menjadi penting, khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah
yang bertanggung jawab terhadap kegagalan alat kontrasepsi dan bagaimana menangani
hal tersebut.
Penanganan kehamilan yang tidak dikehendaki bukanlah hal yang mudah sebab
kehamilan tak dikehendaki juga berkaitan dengan isu aborsi. Hal ini terjadi khususnya
apabila kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut hanya mistiming dan terjadi pada
wanita yang sudah menikah. Akan tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa kehamilan
yang tidak dikehendaki sering terjadi pada wanita yang belum menikah sebagai akibat
dari hubungan seks pranikah. Dalam kasus ini maka solusi yang sering muncul adalah
yang kedua yaitu aborsi. Apabila solusi ini yang dipilih oleh si wanita, penyelesaiannya
dihadapkan pada undang-undang kesehatan yang tidak membolehkan aborsi kecuali
dengan alasan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Banyak kasus menunjukkan bahwa
aborsi masih menjadi pilihan untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki, terutama bagi wanita lajang, meskipun hal itu bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku. Akibatnya adalah bahwa terjadi aborsi illegal yang seringkali
membahayakan nyawa ibu karena dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai
kompetensi. Hal ini menjadi agenda penting yang perlu dicari pemecahannya dalam isu
kesehatan reproduksi.
Sementara itu, isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus
pemerkosaan yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional, misalnya
pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain isu mengenai marital
rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah penderita HIV/AIDS, yang cenderung
meningkat secara tajam Situasi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah penderita
HIV/AIDS pada tahun 1987 hanya 9 orang, namun pada akhir tahun 2005 meningkat
tajam menjadi 9.370 orang (Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional).
Illustrasi ini sekedar memberikan pemahaman bahwa ada banyak masalah yang terkait
dengan kesehatan reproduksi yang belum tertangani dengan baik.
Pergeseran masalah fertilitas dari sekedar masalah kuantitatif ke masalah yang lebih
mendasar sekaligus merupakan cerminan dari pergeseran pemahaman terhadap fertilitas
itu sendiri. Ketika orang mendiskusikan fertilitas semata-mata mengenai jumlah anak,
maka banyak aspek yang berkaitan, dengan hasil dari perilaku reproduksi yang
mempresentasikan lebih kepada faktor internal daripada faktor eksternal. Sebab
persoalan-persoalan yang muncul kemudian adalah lebih banyak ke perilaku reproduksi
itu sendiri, bukan pada hasil dari perilaku. Pada saat membicarakan perilaku reproduksi
maka di dalamnya bekerja faktor eksternal dan internal secara bersama-sama. Faktor
eksternal yang dimaksud adalah faktor yang berada di luar individu, termasuk di
dalamnya faktor-faktor ekonomi sosial dan politik yang dalam skala tertentu bahkan telah
melewati batas ruang dan waktu. Sebagai contoh, masalah berkembangnya kasus
HIV/AIDS tidak semata-mata hanya dapat dijelaskan dari perilaku individu, tetapi sudah
menyangkut liberalisasi pasar yang tercermin dengan semakin bebasnya arus barang dan
manusia antar negara.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap usaha untuk mengatasi persoalan tersebut
harus memperhatikan faktor eksternal (masalah struktural) Keterkaitan antara masalah
kependudukan dengan pembangunan sosial ekonomi terasa lebih kental ketika krisis
ekonomi mulai melanda negara-negara Asia. Krisis ekonomi yang telah menyebabkan
kenaikan harga barang dan menurunkan daya beli penduduk telah menggeser skala
prioritas bagi rumahtangga dalam membelanjakan uang.. Sebelum krisis karena proses
internalisasi nilai (value) mengenai keluarga berencana sudah sangat mendalam,
kebutuhan alat kontrasepsi sudah masuk kedalam prioritas dalam rumah tangga. Akan
tetapi ketika krisis terjadi prioritas tersebut bergeser karena harga alat kontrasepsi
meningkat dengan tajam. Hal ini akan menyebabkan dua kemungkinan, pertama adalah
terjadinya peningkatan kasus drop out pemakai alat kontrasepsi, dan kedua adalah
perubahan penggunaan alat kontrasepsi dari yang efektif ke kurang efektif. Hal ini
ditunjang oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan subsidi terhadap harga
kontrasepsi karena keterbatasan dana, atau yang lebih kritis lagi adalah berkurangnya
persediaan alat kontrasepsi. Dalam jangka panjang hal ini bermuara pada efek yang sama,
yaitu peningkatan angka kelahiran. Dengan demikian, krisis ekonomi dikhawatirkan akan
mengganggu kesuksesan program keluarga berencana.
Bahasan tersebut menjelaskan bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan keterbatasan
akses masyarakat terhadap alat kontrasepsi, padahal peningkatan akses tersebut
merupakan salah satu kesepakatan Konferensi Internasional mengenai Kependudukan
dan Pembangunan di Cairo ((ICPD) tahun 1994, dan Indonesia bersungguh-sungguh
untuk melaksanakannya. Artinya usaha Indonesia untuk memperluas akses masyarakat,
salah satunya terhadap alat kontrasepsi, akan terhambat.
Penjelasan tersebut hanya menyentuh salah satu sisi akibat dari krisis ekonomi, padahal
akibat menurunnya daya beli masyarakat juga telah menyebabkan begitu banyak anak
yang kekurangan gizi, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan mempengaruhi
kualitas penduduk Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hal ini juga akan
berdampak pada meningkatnya risiko kematian, khususnya bayi dan anak.
Sementara itu kombinasi antara ketidakinginan mempunyai anak disertai
ketidakmampuan membeli alat kontrasepsi tidak mustahil akan menghasilkan lebih
banyak lagi kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, pada umumnya kasus kehamilan
yang tidak dikehendaki terjadi pada ibu yang berstatus sosial ekonomi rendah. Ini akan
menimbulkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Sementara itu, sebagaimana telah
disebutkan diatas, kasus kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terbatas terjadi
pada perempuan dengan status menikah, tetapi juga perempuan yang tidak menikah.
Untuk kasus terakhir ini besar kemungkinan menghasilkan kasus aborsi. Hal ini akan
menambah persoalan aborsi yang pada dasarnya sudah sangat serius di Indonesia.
Aborsi merupakan problem yang serius karena di satu pihak aborsi adalah illegal, tetapi
di pihak lain demand terhadap aborsi cenderung meningkat. Akibatnya, banyak aborsi
dilakukan secara illegal di tempat-tempat yang (mungkin) mengandung risiko tinggi
terhadap keselamatan ibu dan anak. Bayi yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak
dikehendaki akan mengalami masalah psikologis dalam perkembangannya, dan hal itu
tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga/orang tua, tetapi juga menjadi tanggung
jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah..
BAB I PENDAHULUAN
Dari hasil sensus penduduk tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah
179,4 juta. Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara Negara -negara
yang sedang berkembang setelah Gina dan India.Dibanding dengan jumlah
sensus tahun 1980 maka akan terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata
1,98% pertahun. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 1995 sebanyak 195,3 juta jiwa.
Bila dilihat dari luas wilayah pada peta penyebaran penduduknya terlihat
tidak merata di 27 propinsi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1990 sekitar
60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas
wilayah Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hanya
ditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa kepadatan penduduk Indonesia tidak
seimbang. Kondisi tersebut memerlukan upaya pemerataan dan upaya tersebut telah
dilaksanakan melalui program transmigrasi dan gerakan kembali ke Desa.
Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya Indonesia masih tergolong
tinggi, hal ini bila tidak diupayakan pengendalianya akan menimbulkan banyak
masalah.
Di Indonesia dari tingkat partisipasi anak usia sekolah baru mencapai 53%
meskipun wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan oleh
pemerintah. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita tergolong
rendah. Hongkong misalnya tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan 88%
dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 1995).
Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masih
berpendidikan rendah. Dampaknya terhadap pendapatan perkapita yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Juga terhadap kehidupan
rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan yang akan berpengaruh terhadap
angka kelahiran dan kematian yang dalam banyak hal dijadikan indikator bagi
kesejahteraan suatu negara.
Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi
yang tidak merata. Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka
fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini dianggap tidak
menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat dengan kenyataan
bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih diposisikan sebagai
beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara makro digunakan sebagai
landasan kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Secara mikro hal
itu juga digunakan untuk memberikan justifikasi mengenai pentingnya suatu keluarga
melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.
Pada awalnya masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan
treatment terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran kuantitatif. Hal
ini sangat jelas dari target atau sasaran di awal program keluarga berencana dilaksanakan
di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi separuhnya sebelum
tahun 2000. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila program keluarga berencana di
Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif. Dari sisi ini tidak dapat diragukan
lagi keberhasilannya.
Indikasi keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR yang
signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 . Selama periode
tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi 2,788 (SDKI 1997). Atau dengan
kata lain selama periode tersebut TFR menurun hingga lima puluh persen. Bahkan pada
tahun 1998 angka TFR tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu menjadi
2,6.Penurunan fertilitas tersebut terkait dengan (keberhasilan) pembangunan sosial dan
ekonomi, yang juga sering diklaim sebagai salah satu bentuk keberhasilan kependudukan,
khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia.
Namun kritik tajam yang sering dikemukakan berkaitan dengan program keluarga
berencana adalah masih rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan),
khususnya dalam level operasional di lapangan. Kritik terhadap kualitas pelayanan (salah
satunya tercermin dalam hal cara pemerintah mempopulerkan alat kontrasepsi, misalnya
melalui berbagai jenis safari) sejak awal sudah muncul, tetapi hal itu dapat diredam
sehingga tidak meluas melalui berbagai cara .Dalam pespektif yang lebih luas, persoalan
fertilitas tidak hanya berhubungan dengan jumlah anak sebab aspek yang terkait di
dalamnya sebenarnya sangat kompleks dan variatif, misalnya menyangkut perilaku
seksual, kehamilan tak dikehendaki, aborsi, PMS, kekerasan seksual, dan lain sebagainya
yang tercakup di dalam isu kesehatan reproduksi. Respons terhadap hal ini sebenarnya
sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan
(lihat Country Report, 1998 dan Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih
belum menyentuh persoalan mendasar yang ada di dalamnya sehingga isu-isu tersebut
belum sepenuhnya tertangani dengan baik.
Kebijakan kependudukan pada masa Orde Baru meskipun dari sisi kuantitatif telah
menunjukkan kemajuan yang berarti, namun masih meninggalkan banyak persoalan yang
mempunyai kemungkinan meningkat secara signifikan setelah krisis ekonomi.Indikasi
kehamilan tak dikehendaki menjadi isu yang penting dalam fertilitas. Sebagai contoh,
ketika angka fertiliitas mencapai angka yang rendah sebagai akibat internalisasi norma
keluarga kecil di dalam masyarakat, maka setiap kehamilan besar kemungkinannya
adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya kehamilan tersebut berkaitan dengan
kegagalan kontrasepsi.
Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa insiden kehamilan yang tidak dikehendaki
berkaitan dengan pencapaian keluarga berencana. Dalam konteks inilah isu mengenai
kualitas pelayanan menjadi penting, khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah
yang bertanggung jawab terhadap kegagalan alat kontrasepsi dan bagaimana menangani
hal tersebut.
Penanganan kehamilan yang tidak dikehendaki bukanlah hal yang mudah sebab
kehamilan tak dikehendaki juga berkaitan dengan isu aborsi. Hal ini terjadi khususnya
apabila kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut hanya mistiming dan terjadi pada
wanita yang sudah menikah. Akan tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa kehamilan
yang tidak dikehendaki sering terjadi pada wanita yang belum menikah sebagai akibat
dari hubungan seks pranikah. Dalam kasus ini maka solusi yang sering muncul adalah
yang kedua yaitu aborsi. Apabila solusi ini yang dipilih oleh si wanita, penyelesaiannya
dihadapkan pada undang-undang kesehatan yang tidak membolehkan aborsi kecuali
dengan alasan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Banyak kasus menunjukkan bahwa
aborsi masih menjadi pilihan untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki, terutama bagi wanita lajang, meskipun hal itu bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku. Akibatnya adalah bahwa terjadi aborsi illegal yang seringkali
membahayakan nyawa ibu karena dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai
kompetensi. Hal ini menjadi agenda penting yang perlu dicari pemecahannya dalam isu
kesehatan reproduksi.
Sementara itu, isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus
pemerkosaan yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional, misalnya
pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain isu mengenai marital
rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah penderita HIV/AIDS, yang cenderung
meningkat secara tajam Situasi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah penderita
HIV/AIDS pada tahun 1987 hanya 9 orang, namun pada akhir tahun 2005 meningkat
tajam menjadi 9.370 orang (Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional).
Illustrasi ini sekedar memberikan pemahaman bahwa ada banyak masalah yang terkait
dengan kesehatan reproduksi yang belum tertangani dengan baik.
Pergeseran masalah fertilitas dari sekedar masalah kuantitatif ke masalah yang lebih
mendasar sekaligus merupakan cerminan dari pergeseran pemahaman terhadap fertilitas
itu sendiri. Ketika orang mendiskusikan fertilitas semata-mata mengenai jumlah anak,
maka banyak aspek yang berkaitan, dengan hasil dari perilaku reproduksi yang
mempresentasikan lebih kepada faktor internal daripada faktor eksternal. Sebab
persoalan-persoalan yang muncul kemudian adalah lebih banyak ke perilaku reproduksi
itu sendiri, bukan pada hasil dari perilaku. Pada saat membicarakan perilaku reproduksi
maka di dalamnya bekerja faktor eksternal dan internal secara bersama-sama. Faktor
eksternal yang dimaksud adalah faktor yang berada di luar individu, termasuk di
dalamnya faktor-faktor ekonomi sosial dan politik yang dalam skala tertentu bahkan telah
melewati batas ruang dan waktu. Sebagai contoh, masalah berkembangnya kasus
HIV/AIDS tidak semata-mata hanya dapat dijelaskan dari perilaku individu, tetapi sudah
menyangkut liberalisasi pasar yang tercermin dengan semakin bebasnya arus barang dan
manusia antar negara.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap usaha untuk mengatasi persoalan tersebut
harus memperhatikan faktor eksternal (masalah struktural) Keterkaitan antara masalah
kependudukan dengan pembangunan sosial ekonomi terasa lebih kental ketika krisis
ekonomi mulai melanda negara-negara Asia. Krisis ekonomi yang telah menyebabkan
kenaikan harga barang dan menurunkan daya beli penduduk telah menggeser skala
prioritas bagi rumahtangga dalam membelanjakan uang.. Sebelum krisis karena proses
internalisasi nilai (value) mengenai keluarga berencana sudah sangat mendalam,
kebutuhan alat kontrasepsi sudah masuk kedalam prioritas dalam rumah tangga. Akan
tetapi ketika krisis terjadi prioritas tersebut bergeser karena harga alat kontrasepsi
meningkat dengan tajam. Hal ini akan menyebabkan dua kemungkinan, pertama adalah
terjadinya peningkatan kasus drop out pemakai alat kontrasepsi, dan kedua adalah
perubahan penggunaan alat kontrasepsi dari yang efektif ke kurang efektif. Hal ini
ditunjang oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan subsidi terhadap harga
kontrasepsi karena keterbatasan dana, atau yang lebih kritis lagi adalah berkurangnya
persediaan alat kontrasepsi. Dalam jangka panjang hal ini bermuara pada efek yang sama,
yaitu peningkatan angka kelahiran. Dengan demikian, krisis ekonomi dikhawatirkan akan
mengganggu kesuksesan program keluarga berencana.
Bahasan tersebut menjelaskan bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan keterbatasan
akses masyarakat terhadap alat kontrasepsi, padahal peningkatan akses tersebut
merupakan salah satu kesepakatan Konferensi Internasional mengenai Kependudukan
dan Pembangunan di Cairo ((ICPD) tahun 1994, dan Indonesia bersungguh-sungguh
untuk melaksanakannya. Artinya usaha Indonesia untuk memperluas akses masyarakat,
salah satunya terhadap alat kontrasepsi, akan terhambat.
Penjelasan tersebut hanya menyentuh salah satu sisi akibat dari krisis ekonomi, padahal
akibat menurunnya daya beli masyarakat juga telah menyebabkan begitu banyak anak
yang kekurangan gizi, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan mempengaruhi
kualitas penduduk Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hal ini juga akan
berdampak pada meningkatnya risiko kematian, khususnya bayi dan anak.
Sementara itu kombinasi antara ketidakinginan mempunyai anak disertai
ketidakmampuan membeli alat kontrasepsi tidak mustahil akan menghasilkan lebih
banyak lagi kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, pada umumnya kasus kehamilan
yang tidak dikehendaki terjadi pada ibu yang berstatus sosial ekonomi rendah. Ini akan
menimbulkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Sementara itu, sebagaimana telah
disebutkan diatas, kasus kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terbatas terjadi
pada perempuan dengan status menikah, tetapi juga perempuan yang tidak menikah.
Untuk kasus terakhir ini besar kemungkinan menghasilkan kasus aborsi. Hal ini akan
menambah persoalan aborsi yang pada dasarnya sudah sangat serius di Indonesia.
Aborsi merupakan problem yang serius karena di satu pihak aborsi adalah illegal, tetapi
di pihak lain demand terhadap aborsi cenderung meningkat. Akibatnya, banyak aborsi
dilakukan secara illegal di tempat-tempat yang (mungkin) mengandung risiko tinggi
terhadap keselamatan ibu dan anak. Bayi yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak
dikehendaki akan mengalami masalah psikologis dalam perkembangannya, dan hal itu
tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga/orang tua, tetapi juga menjadi tanggung
jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah..
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut jumlah penduduknya,
Indonesia termasuk negara yang besar dan menduduki urutan terbesar ke tiga di
antara negara-negara berkembang setelah Gina dan India.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 1990 penduduk Indonesia berjumlah
179,4 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat sekitar 1,98% per tahunnya.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 1995 adalah 195,3 juta jiwa. Dari
kondisi semacam ini timbul berbagai masalah kependudukan antara lain: Ketidak
merataan penyebaran penduduk di setiap Propinsi. Di Indonesia berdasarkan SP
1990 kurang lebih 60% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya
hanya 7% dari luas seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya Kalimantan yang
mempunyai luas 28 persen dari seluruh daratan Indonesia hanya dihuni oleh lebih
kurang lebih 5% penduduk sehingga secara regional kepadatan penduduk sangatlah
timpang.
Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja, tampak masih rendah di mana
tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SD, yaitu 37,6% dari seluruh penduduk
yang bekerja. Hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan
akan tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja pada suatu tingkat upah
tertentu. Pada tahun 1993, dari sekitar 1,2 juta orang yang terdapat sebagal
PENCARI KERJA HANYA SEKITAR 328.000 atau 27 % yang memperoleh
penempatan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 1994, Profil Kependudukan Propinsi Jawa Timur, BPS, Jakarta.
BPS, 1994, Trend Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, BPS, Jakarta.
BPS, 1994, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Kabupaten/Kodya 1990-2000
BPS,Jakarta
Daldjoeni N, 1986, Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka, Alumni Bandung
Goeltenboth, F. 1996, Applied Geography and Development, Volume 47 Institute
for Scientific Co-operation, tumbingen Federal Republic of Germany.
Lembaga Demografi, FEU I, 1981, Dasar-dasar Demografi FEUI, Jakarta.
Tji Suharyanto, P, Urbanisasi, Surabaya Post, 23 September 1996.
http://nafesaluphkor.ngeblogs.com/2009/11/21/analisa-masalah-masalah-sosial/