Anda di halaman 1dari 22

Analisa Masalah-Masalah Sosial

Dari hasil sensus penduduk tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah
179,4 juta. Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara Negara -negara
yang sedang berkembang setelah Gina dan India.Dibanding dengan jumlah
sensus tahun 1980 maka akan terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata
1,98% pertahun. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 1995 sebanyak 195,3 juta jiwa.

Bila dilihat dari luas wilayah pada peta penyebaran penduduknya terlihat
tidak merata di 27 propinsi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1990 sekitar
60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas
wilayah Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hanya
ditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya.

Kondisi tersebut menunjukan bahwa kepadatan penduduk Indonesia tidak


seimbang. Kondisi tersebut memerlukan upaya pemerataan dan upaya tersebut telah
dilaksanakan melalui program transmigrasi dan gerakan kembali ke Desa.
Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya Indonesia masih tergolong
tinggi, hal ini bila tidak diupayakan pengendalianya akan menimbulkan banyak
masalah.

Di Indonesia dari tingkat partisipasi anak usia sekolah baru mencapai 53%
meskipun wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan oleh
pemerintah. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita tergolong
rendah. Hongkong misalnya tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan 88%
dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 1995).
Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masih
berpendidikan rendah. Dampaknya terhadap pendapatan perkapita yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Juga terhadap kehidupan
rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan yang akan berpengaruh terhadap
angka kelahiran dan kematian yang dalam banyak hal dijadikan indikator bagi
kesejahteraan suatu negara.

Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa manusia adalah sebagai


subjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak diantisipasi
mungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatu
negara.

Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi
yang tidak merata. Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka
fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini dianggap tidak
menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat dengan kenyataan
bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih diposisikan sebagai
beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara makro digunakan sebagai
landasan kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Secara mikro hal
itu juga digunakan untuk memberikan justifikasi mengenai pentingnya suatu keluarga
melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.

Pada awalnya masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan
treatment terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran kuantitatif. Hal
ini sangat jelas dari target atau sasaran di awal program keluarga berencana dilaksanakan
di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi separuhnya sebelum
tahun 2000. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila program keluarga berencana di
Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif. Dari sisi ini tidak dapat diragukan
lagi keberhasilannya.

Indikasi keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR yang
signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 . Selama periode
tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi 2,788 (SDKI 1997). Atau dengan
kata lain selama periode tersebut TFR menurun hingga lima puluh persen. Bahkan pada
tahun 1998 angka TFR tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu menjadi
2,6.Penurunan fertilitas tersebut terkait dengan (keberhasilan) pembangunan sosial dan
ekonomi, yang juga sering diklaim sebagai salah satu bentuk keberhasilan kependudukan,
khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia.

Namun kritik tajam yang sering dikemukakan berkaitan dengan program keluarga
berencana adalah masih rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan),
khususnya dalam level operasional di lapangan. Kritik terhadap kualitas pelayanan (salah
satunya tercermin dalam hal cara pemerintah mempopulerkan alat kontrasepsi, misalnya
melalui berbagai jenis safari) sejak awal sudah muncul, tetapi hal itu dapat diredam
sehingga tidak meluas melalui berbagai cara .Dalam pespektif yang lebih luas, persoalan
fertilitas tidak hanya berhubungan dengan jumlah anak sebab aspek yang terkait di
dalamnya sebenarnya sangat kompleks dan variatif, misalnya menyangkut perilaku
seksual, kehamilan tak dikehendaki, aborsi, PMS, kekerasan seksual, dan lain sebagainya
yang tercakup di dalam isu kesehatan reproduksi. Respons terhadap hal ini sebenarnya
sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan
(lihat Country Report, 1998 dan Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih
belum menyentuh persoalan mendasar yang ada di dalamnya sehingga isu-isu tersebut
belum sepenuhnya tertangani dengan baik.

Kebijakan kependudukan pada masa Orde Baru meskipun dari sisi kuantitatif telah
menunjukkan kemajuan yang berarti, namun masih meninggalkan banyak persoalan yang
mempunyai kemungkinan meningkat secara signifikan setelah krisis ekonomi.Indikasi
kehamilan tak dikehendaki menjadi isu yang penting dalam fertilitas. Sebagai contoh,
ketika angka fertiliitas mencapai angka yang rendah sebagai akibat internalisasi norma
keluarga kecil di dalam masyarakat, maka setiap kehamilan besar kemungkinannya
adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya kehamilan tersebut berkaitan dengan
kegagalan kontrasepsi.

Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa insiden kehamilan yang tidak dikehendaki
berkaitan dengan pencapaian keluarga berencana. Dalam konteks inilah isu mengenai
kualitas pelayanan menjadi penting, khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah
yang bertanggung jawab terhadap kegagalan alat kontrasepsi dan bagaimana menangani
hal tersebut.
Penanganan kehamilan yang tidak dikehendaki bukanlah hal yang mudah sebab
kehamilan tak dikehendaki juga berkaitan dengan isu aborsi. Hal ini terjadi khususnya
apabila kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut hanya mistiming dan terjadi pada
wanita yang sudah menikah. Akan tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa kehamilan
yang tidak dikehendaki sering terjadi pada wanita yang belum menikah sebagai akibat
dari hubungan seks pranikah. Dalam kasus ini maka solusi yang sering muncul adalah
yang kedua yaitu aborsi. Apabila solusi ini yang dipilih oleh si wanita, penyelesaiannya
dihadapkan pada undang-undang kesehatan yang tidak membolehkan aborsi kecuali
dengan alasan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Banyak kasus menunjukkan bahwa
aborsi masih menjadi pilihan untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki, terutama bagi wanita lajang, meskipun hal itu bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku. Akibatnya adalah bahwa terjadi aborsi illegal yang seringkali
membahayakan nyawa ibu karena dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai
kompetensi. Hal ini menjadi agenda penting yang perlu dicari pemecahannya dalam isu
kesehatan reproduksi.

Sementara itu, isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus
pemerkosaan yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional, misalnya
pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain isu mengenai marital
rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah penderita HIV/AIDS, yang cenderung
meningkat secara tajam Situasi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah penderita
HIV/AIDS pada tahun 1987 hanya 9 orang, namun pada akhir tahun 2005 meningkat
tajam menjadi 9.370 orang (Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional).
Illustrasi ini sekedar memberikan pemahaman bahwa ada banyak masalah yang terkait
dengan kesehatan reproduksi yang belum tertangani dengan baik.

Pergeseran masalah fertilitas dari sekedar masalah kuantitatif ke masalah yang lebih
mendasar sekaligus merupakan cerminan dari pergeseran pemahaman terhadap fertilitas
itu sendiri. Ketika orang mendiskusikan fertilitas semata-mata mengenai jumlah anak,
maka banyak aspek yang berkaitan, dengan hasil dari perilaku reproduksi yang
mempresentasikan lebih kepada faktor internal daripada faktor eksternal. Sebab
persoalan-persoalan yang muncul kemudian adalah lebih banyak ke perilaku reproduksi
itu sendiri, bukan pada hasil dari perilaku. Pada saat membicarakan perilaku reproduksi
maka di dalamnya bekerja faktor eksternal dan internal secara bersama-sama. Faktor
eksternal yang dimaksud adalah faktor yang berada di luar individu, termasuk di
dalamnya faktor-faktor ekonomi sosial dan politik yang dalam skala tertentu bahkan telah
melewati batas ruang dan waktu. Sebagai contoh, masalah berkembangnya kasus
HIV/AIDS tidak semata-mata hanya dapat dijelaskan dari perilaku individu, tetapi sudah
menyangkut liberalisasi pasar yang tercermin dengan semakin bebasnya arus barang dan
manusia antar negara.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap usaha untuk mengatasi persoalan tersebut
harus memperhatikan faktor eksternal (masalah struktural) Keterkaitan antara masalah
kependudukan dengan pembangunan sosial ekonomi terasa lebih kental ketika krisis
ekonomi mulai melanda negara-negara Asia. Krisis ekonomi yang telah menyebabkan
kenaikan harga barang dan menurunkan daya beli penduduk telah menggeser skala
prioritas bagi rumahtangga dalam membelanjakan uang.. Sebelum krisis karena proses
internalisasi nilai (value) mengenai keluarga berencana sudah sangat mendalam,
kebutuhan alat kontrasepsi sudah masuk kedalam prioritas dalam rumah tangga. Akan
tetapi ketika krisis terjadi prioritas tersebut bergeser karena harga alat kontrasepsi
meningkat dengan tajam. Hal ini akan menyebabkan dua kemungkinan, pertama adalah
terjadinya peningkatan kasus drop out pemakai alat kontrasepsi, dan kedua adalah
perubahan penggunaan alat kontrasepsi dari yang efektif ke kurang efektif. Hal ini
ditunjang oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan subsidi terhadap harga
kontrasepsi karena keterbatasan dana, atau yang lebih kritis lagi adalah berkurangnya
persediaan alat kontrasepsi. Dalam jangka panjang hal ini bermuara pada efek yang sama,
yaitu peningkatan angka kelahiran. Dengan demikian, krisis ekonomi dikhawatirkan akan
mengganggu kesuksesan program keluarga berencana.
Bahasan tersebut menjelaskan bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan keterbatasan
akses masyarakat terhadap alat kontrasepsi, padahal peningkatan akses tersebut
merupakan salah satu kesepakatan Konferensi Internasional mengenai Kependudukan
dan Pembangunan di Cairo ((ICPD) tahun 1994, dan Indonesia bersungguh-sungguh
untuk melaksanakannya. Artinya usaha Indonesia untuk memperluas akses masyarakat,
salah satunya terhadap alat kontrasepsi, akan terhambat.

Penjelasan tersebut hanya menyentuh salah satu sisi akibat dari krisis ekonomi, padahal
akibat menurunnya daya beli masyarakat juga telah menyebabkan begitu banyak anak
yang kekurangan gizi, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan mempengaruhi
kualitas penduduk Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hal ini juga akan
berdampak pada meningkatnya risiko kematian, khususnya bayi dan anak.
Sementara itu kombinasi antara ketidakinginan mempunyai anak disertai
ketidakmampuan membeli alat kontrasepsi tidak mustahil akan menghasilkan lebih
banyak lagi kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, pada umumnya kasus kehamilan
yang tidak dikehendaki terjadi pada ibu yang berstatus sosial ekonomi rendah. Ini akan
menimbulkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Sementara itu, sebagaimana telah
disebutkan diatas, kasus kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terbatas terjadi
pada perempuan dengan status menikah, tetapi juga perempuan yang tidak menikah.
Untuk kasus terakhir ini besar kemungkinan menghasilkan kasus aborsi. Hal ini akan
menambah persoalan aborsi yang pada dasarnya sudah sangat serius di Indonesia.
Aborsi merupakan problem yang serius karena di satu pihak aborsi adalah illegal, tetapi
di pihak lain demand terhadap aborsi cenderung meningkat. Akibatnya, banyak aborsi
dilakukan secara illegal di tempat-tempat yang (mungkin) mengandung risiko tinggi
terhadap keselamatan ibu dan anak. Bayi yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak
dikehendaki akan mengalami masalah psikologis dalam perkembangannya, dan hal itu
tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga/orang tua, tetapi juga menjadi tanggung
jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah..

2. MASALAH KEPENDUDUKAN DI INDONESIA


A. Masalah Akibat Angka Kelahiran
1. Total Fertility Rate (TFR)
Hasil perkiraan tingkat fertilitas (metode anak kandung) menunjukan bahwa
penurunan tingkat fertilitas Indonesia tetap berlangsung dengan kecepatan yang
bertambah seperti nampak pada tabel di bawah ini :
Periode (tahun) TFR % Penurunan/tahun
1967 -1970 5,605 1,7
1971 -1975 5,200 2,3
1976 -1979 4,680 2,8
1980 -1984 4,055 3,9
1987 -1990 3,222 2,1
© 2003 Digited by USU Digital Library 2
Sumber : BPS Jawa Timur, 1996
Tingkat fertilitas secara keseluruhan dari periode 1981- 1984 ke periode 1986
-1989 turun sebesar 18 % atau sekitar 3,9% pertahun. Namun tingkat penurunan
fertilitas mulai melambat atara periode 1986-1989 dan 1987-1990 yaitu menjadi
2,1% rata-rata pertahun.
2. Age Spesific Fertility Rate (ASFR)
Hasil SP71 dan SP80 masih menunjukan bahwa tingkat kelahiran untuk
kelompok umur wanita 20-24 tahun adalah yang tertinggi. Namun demikian terjadi
pergeseran ke kelompok umur (25 -29) tahun pada hasil SP80 dan ini akan
memberikan dampak terhadap penurunan tingkat gfertilitas secara keseluruhan
(Trend Fertilitas, Mortalitas dan Demografi, 1994: 18)
Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan beberapa masalah (terkait
dengan SDM) sebagai berikut :
1) Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban pemerintah dalam hal
penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatanketimbang aspek intelektual.
2) Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat tinggi
akibatnya bagi suatu negara berkembang akan menunjukan korelasi negatif
dengan tingkat kesejahteraan penduduknya.
Jika ASFR 20- 24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi SDM
yang semakin menurun.
B. Masalah akibat Angka Kematian
Selama hampir 20 tahun terakhir, Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami
penurunan sebesar 51,0 pada periode 1967-1986. Tahun 1967 AKB adalah 145 per
1000 kelahiran, kemudian turun menjadi 109 per 1000 kelahiran pada tahun 1976.
Selama 9 tahun terjadi penurunan sebesar 24,8 persen atau rata-rata 2,8 persen per
tahun. Berdasarkan SP90, AKB tahun 1986 diperkirakan sebesar 71 per 1000
kelahiran yang menunjukan penurunan sebesar 34,9 persen selama 10 tahun
terakhir atau 3,5 persen pertahun (Trend Mortalitas, 66).
Tabel Perkiraan Angka Harapan Hidup (AHH)
Tahun Nilai
SP1971 45,7
SP 1980 52,2
SP 1990 59,8
Sumber: BPS Jatim, 1996.
Sejalan dengan penurunan AKB, AHH menunjukan kenaikan. Pada tahun
1971 AHH adalah 45,7 yang kemudian naik 6,5 tahun menjadi 52,2 pada SP80 dan
mengalami kenaikan 7,6 menjadi 59,8 pada SP90.
Masalah yang muncul akibat tingkat mortalitas adalah :
1) Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya peran
pemerintah di dalam menyediakan fasilitas penampungan.
2) Perlunya perhatian keluarga dan pemerintah didalam penyediaan gizi yang
memadai bagi anak-anak (Balita).
3) Sebaliknya apabila tingkat mortalitas tinggi akan berdampak terhadap reputasi
Indonesia dimata dunia.
Pemecahan masalah angka kelahiran dan kematian :
a) Kelahiran
Angka kelahiran perlu ditekan melalui :
Partisipasi wanita dalam program KB.
© 2003 Digited by USU Digital Library 3
Tingkat pendidikan wan ita wanita mempengaruhi umur kawin pertama dan
penggunaan kontrasepsi.
Partisipasi dalam angkatan kerja mempunyai hubungan negatif dengan
fertilitas
Peningkatan ekonomi dan sosial.
b) Kematian
Angka kematian perlu ditekan :
Pelayanan kesehatan yang lebih baik
Peningkatan gizi keluarga
Peningkatan pendidikan (Kesehatan Masyarakat)
C. Masalah Komposisi Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 1990 berjumlah
179246785 dari jumlah tersebut komposisi usianya tidak berimbang yang
menyebabkan timbulnya masalah-masalah baru.
Katagori Berdasarkan Usia Sebagai Berikut :
U S I A (Thn) Jumlah (Jiwa)
0 – 4 20.985.144
5 – 9 23.223.058
10 – 14 21.482.141
15 – 19 18.926.983
20 – 24 16.128.352
25 – 29 15.623.530
30 – 34 13.245.794
35 – 39 11.184.217
40 – 44 8.081.636
45 – 49 7.565.664
50 – 54 6.687.586
55 – 59 4.831.697
60 – 64 4.526.451
65 – 69 2.749.724
70 – 74 2.029.026
>75 4.415
Sumber : Kantor BPS Jawa Timur
Berdasarkan angka-angaka tersebut tampak penumpukan jumlah penduduk
pada usia muda, yaitu usia 0 -4 tahun berjumlah 20985144 jiwa, usia 5-9 tahun
sebesar 23223058 jiwa dan 10 -14 tahun 21428141 jiwa yang mana pada usia
tersebut belum produktif masih tergantung pada orang-orang lain terutama
keluarga.
Masalah-masalah yang dapat timbul akibat keadaan demikian adalah :
1) Aspek ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Banyaknya beban
tanggungan yang harus dipenuhi biaya hidupnya oleh sejumlah manusia
produktif yang lebih sedikit akan mengurangi pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan hayat hidup.
2) Aspek pemenuhan gizi.
Kemampuan ekonomi yang kurang dapat pula berakibat pada pemenuhan
makanan yang dibutuhkan baik jumlah makanan (kuantitatif) sehingga dampak
lebih lanjut adalah adanya rawan atau kurang gizi (malnutrition). Pada gilirannya
nanti bila kekurangan gizi terutama pada usia muda ( 0 -5 tahun). Akan
mengganggu perkembangan otak bahkan dapat terbelakang mental ( mental
retardation ). Ini berarti mengurangi mutu SDM masa yang akan datang.
© 2003 Digited by USU Digital Library 4
3) Aspek Pendidikan
Pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga diperlukan dukungan
kemampuan ekonomi semua termasuk orang tua. Apabila kemampuan ekonomi
kurang mendukung maka fasilitas pendidikan juga sukar untuk dipenuhi yung
mengakibatkan pada kualitas pendidikan tersebut kurang
4) Lapangan Kerja
Penumpukan jumlah penduduk usia muda atau produktif memerlukan persiapan
lapangan kerja masa mendatang yang lebih luas. Hal ini merupakan bom waktu
pencari kerja atau penyedia kerja. Apabila tidak dipersiapkan SDMnya dan
lapangan kerja akan berdampak lebih buruk pada semua aspek kehidupan.
Alternatif Pemecahan yang diperlukan :
(a) Pengendalian angka kelahiran melalui KB.
(b) Peningkatan masa pendidikan.
(c) Penundaaan usia perkawinan
D. Masalah Kependudukan dan Angkatan Kerja.
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun
keatas. Mereka terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja (BPS :
1994,30). Penduduk yang tergolong angkatan kerja dikenal dengan Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).
TPAK menurut umur mengikuti pola huruf “U” terbalik. Angkatan rendah pada
usia-usia muda karena sekolah, kemudian naik sejalan kenaikan umur sampai
mencapai 25 -29 tahun, kemudian turun secara perlahan pada umur-umur
berikutnya (antara lain karena pensiun).
Angka kesempatan kerja yang merupakan pebandingan antara penduduk
yang bekerja dengan angkatan kerja pada tahun 1993 cukup tinggi yaitu sekitar
97,2%. Ini berarti angka penganguran kurang lebih hanya 2,8 0/00 (BPS:1994,30).
Berdasarkan hasil sensus tahun 1994 jumlah TPAK sebesar 19.254.554
(Sensus PBS; 1990,417) sedangkan jumlah penduduk mencapai 179.247.283 jiwa
sehingga TPAK meskipun mungkin termasuk angkatan kerja. Melihat rasio TPAK dan
Non TPAK tampaknya jauh tidak seimbang hal ini kemungkinan dapat menyebabkan
masalah antara lain:
(a) Produktifitas yang dihasilkan oleh sebagian kecil manusia kemungkinan bisa
habis dikonsumsi sebagian besar penduduk.
(b) Pendapatan perkapita akan rendah sehingga berpengaruh pada sektor ekonomi
masyarakat.
Alternatif Pemecahan Masalah :
(a) Penyediaan lapangan kerja
(b) Peningkatan mutu SDM melalui pendidikan dan keterampilan.
E. Masalah Mobilitas Penduduk di Indonesia
Masalah migrasi penduduk di Indonesia menjadi isu politik kependudukan di
Indonesia.
Mobilitas Antar Pulau
Mobilitas antar pulau didominasi mobilitas penduduk di Pulau Jawa. Penduduk
yang keluar dari Jawa sebanyak 3,6 juta jiwa tahun 1980 dan 5,3 juta jiwa tahun
1990. Sebagian besar migrasi menuju Sumatera, yaitu 79,75% pada tahun 1980 dan
68,70% pada tahun 1990.
Migran keluar dari Pulau Sumatera tahun 1980 sebanyak 0,8 juta, dan
sebesar 92,97% menuju Pulau Jawa, sedang pada tahun 1990 sebesar 1,6 juta dan
92,62 % juga menuju Pulau Jawa. Migran dari Kalimantan sebagian besar menuju
© 2003 Digited by USU Digital Library 5
Pulau Jawa. Dari 0,2 juta jiwa pada tahun 1980 adaa 73,32% menuju Pulau Jawa
dan pada tahun 1990 ada sebanyak 0,5 juta ternyata yang 76,49 % juga menuju
Pulau Jawa. (BPS:107,110)
Dapat dimaklumi bahwa Pulau Jawa sebagai tujuan utama para migran,
karena di Pulau Jawa merupakan pusat perekonomian, pusat pendidikan, pusat
pemerintahan dan pusat kegiatan sosial ekonomi lainnya. Migran terbesar yang
masuk ke Pulau Jawa berasal dari Sumatera, karena Pulau Sumatera secara
geografis berdekatan dengan Pulau Jawa dan sistim transportasi yang
menghubungkan kedua pulau ini lebih bervariasi dan lebih banyak frekuensinya
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.
Mobilitas Penduduk antar Pulau Propinsi
Pola mobilitas di Jawa masih sangat besar. Di Jawa Timur jumlah pendatang
masih didominasi migran sekitarnya terutama Jawa Tengah. Keadaan ini
menunjukan bahwa pekembangan mobilitas terjadi karena peningkatan peranan lalu
lintas di Pulau Jawa dan Sekitarnya termasuk Lampung, Sumatera Selatan sebagai
akibat pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat. Sedang migran yang keluar dari
Jawa Timur mayoritas menuju wilayah Indonesia Barat terutama Sumatera dan
daerah pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jakarta.
Propinsi pengirim migran total terbesar adalah Jawa Tengah, yaitu 3,1 juta
jiwa pada tahun 1980 dan 4,4 juta tahun 1990. Jawa Timur sebanyak 1,6 juta pada
tahun 1980 dan 2,5 juta tahun 1990, disusul Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
(BPS 1994; 111).
Mobilitas Penduduk dari Desa ke Kota
Urbanisasi pada dasarnya adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang
disebabkan perpindahan dari desa ke kota, dari kota ke kota, serta akibat proses
perluasan wilayah perkotaan (Reklamasi).
Permasalah yang Timbul :
Pertumbuhan penduduk perkotaan selalu menunjukan peningkatan yang
terus menerus, hal ini disebabkan pesatnya perkembangan ekonomi dengan
perkembangan industri, pertumbuhan sarana dan prasarana jalan perkotaan.
Upaya Pencegahan:
Pertumbuhan penduduk di perkotaan periode 1971-1980 jauh lebih pesat
dibandingkan dengan periode 1980-1990, hal ini disebabkan periode 1971-1980
pertumbuhan ekonomi masih terpusat didaerah perkotaan, sehingga penduduk
banyak pindah ke perkotaan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak.
Pada periode 1980-1990 pemeratan pembangunan mulai terasa sampai ke
daerah pedesaan. Keadaan ini memungkinkan penduduk tidak lagi membangun
daerah perkotaan, akan tetapi cendrung menciptakan lapangan pekerjaan sendiri di
pedesaan. (BPS 1994: 18).
Sejalan dengan arah pembangunan yang diharapkan persentase penduduk
perkotaan cendrung meningkat. Proyeksi yang diharapkan ada peningkatan dari
31,10 persen tahun 1990 menjadi 41,46 % pada tahun 2000.
Menurut Prigno Tjiptoheriyanto upaya mempercepat proses pengembangan
suatu daerah pedesaan menjdadi daerah perkotaan yang disesuaikan dengan
harapan dan kemampuan masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan upaya
peningkatan jumlah penduduk yang berminat tetap tinggal di desa. Yang perlu
diusahakan perubahan status desa itu sendiri, dari desa “desa rural” menjadi “desa
urban”. Dengan demikian otomatis penduduk yang tinggal didaerahnya menjadi
“orang kota” daalam arti statistik (Surabaya Post, 23 September 19996). Guna
menekan derasnya arus penduduk dari desa ke kota, maka pola pembangunan yang
© 2003 Digited by USU Digital Library 6
beroreantasi pedesaan perlu digalakan dengan memasukan fasilitas perkotaan ke
pedesaan, sehingga merangsang kegiatan ekonomi pedesaan.
F. Masalah Kepadatan Penduduk di Indonesia
Dilihat dari jumlah penduduknya Indonesia termasuk negara terbesar ketiga
diantara negara-negara sedang berkembang setelah Gina dan India. Hasil
pencacahan lengkap sensus penduduk 1990, penduduk Indonesia berjumlah 179,4
juta jiwa. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, julah penduduk pada tahun 1995
mencapai 195,3 juta jiwa.
Kepadatan di 27 Propinsi masih belum merata. Berdasarkan sensus penduduk
tahun 1990 sekitar 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal luas Pulau Jawa
hanya sekitar 7% dari seluruh wilayah daratan Indonesia. Dilain pihak, Kalimantan
yang memiliki 28% dari luas total, hanya dihuni oleh 5% penduduk Indonesia.
Dengan demikian kepadatan penduduk secara regional juga sangat timpang,
sementara kepadatan per kilometer persegi di Pulau Jawa mencapai 814 orang, di
Maluku dan Irian Jaya hanya 7 orang (BPS, 1994:29).
Permasalahan yang timbul:
Ketidakseimbangan kepadatan penduduk ini mengakibatkan ketidakmerataan
pembangunan baik phisik maupun non phisik yang selanjutnya mengakibatkan
keinginan untuk pindah semakin tinggi. Arus perpindahan penduduk biasanya
bergerak dari daerah yang agak terkebelakang pembangunannya ke daerah yang
lebih maju, sehingga daerah yang sudah padat menjadi semakin padat.
Pemecahan Masalah:
Untuk memecahkan masalah ini dilaksanakan program pepindahan penduduk
dari daerah padat ke daerah kekurangan penduduk, yaitu program transmigrasi.
Sasaran utama program transmigrasi semula adalah untuk mengurangi
kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Tetapi ternyata jumlah penduduk yang berhasil di
transmigrasikan keluar Jawa sangat kecil jumlahnya. Pada tahun 1953 direncanakan
100.000 penduduk, tetapi hanya sebanyak 40.000 orang yang berhasil dipindahkan
(BPS 1994:90)
Walaupun demikian, program transmigrasi sudah menunjukan hasilnya
dimana penduduk yang tinggal di Pulau Jawa turun dari 60% pada tahun 1990,
diproyeksikan menjadi 57,7% pada tahun 2000. Sebaliknya diluar Jawa
diproyeksikan akan terjadi kenaikan tahun 1990-2000. Di Pulau Sumatera naik dari
21% pada tahun 1990 menjadi 21,65 % pada tahun 2000 (BPS 1990:6-7).
G. Masalah Perkawinan dan Perceraian
Perkawinan bukan merupakan komponen yang langsung mempengaruhi
pertumbuhan penduduk akan tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap fertilitas, karena dengan adanya perkawinan dapat meningkatkan angka
kelahiran. Sebaliknya perceraian adalah merupalkan penghambat tingkat fertilitas
karena dapat menurunkan angka kelahiran.
Di Indonesia status perkawinan (kawin) masih jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan status perceraian hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
JENIS KELAMIN KAWIN CERAI HIDUP/MATI
Pria 25.312.260 1.322.446
Wanita 26.448.577 6.176.904
© 2003 Digited by USU Digital Library 7
Dari data di atas memberikan gambar bahwa jumlah perkawina baik pia maupun
wanita sebesar 5.176.837 masih jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah
perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati yang hanya sekitar 7.499.340.
Masalah yang timbul akibat perkawinan antara lain:
1. Perumahan
2. Fasilitas kesehatan
Masalah yang timbul akibat perceraian meningkat adalah :
1. Sosial Ekonomi
2. Nilai agama yang lemah
Alternatif Pemecahan :
Perkawinan
1. Menambah masa lajang.
2. Meningkatkan masa pendidikan.
Peceraian :
1. Konsultasi Keluarga.
2. Pendalaman Agama.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut jumlah penduduknya,
Indonesia termasuk negara yang besar dan menduduki urutan terbesar ke tiga di
antara negara-negara berkembang setelah Gina dan India.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 1990 penduduk Indonesia berjumlah
179,4 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat sekitar 1,98% per tahunnya.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 1995 adalah 195,3 juta jiwa. Dari
kondisi semacam ini timbul berbagai masalah kependudukan antara lain: Ketidak
merataan penyebaran penduduk di setiap Propinsi. Di Indonesia berdasarkan SP
1990 kurang lebih 60% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya
hanya 7% dari luas seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya Kalimantan yang
mempunyai luas 28 persen dari seluruh daratan Indonesia hanya dihuni oleh lebih
kurang lebih 5% penduduk sehingga secara regional kepadatan penduduk sangatlah
timpang.
Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja, tampak masih rendah di mana
tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SD, yaitu 37,6% dari seluruh penduduk
yang bekerja. Hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan
akan tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja pada suatu tingkat upah
tertentu. Pada tahun 1993, dari sekitar 1,2 juta orang yang terdapat sebagal
PENCARI KERJA HANYA SEKITAR 328.000 atau 27 % yang memperoleh
penempatan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 1994, Profil Kependudukan Propinsi Jawa Timur, BPS, Jakarta.
BPS, 1994, Trend Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, BPS, Jakarta.
BPS, 1994, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Kabupaten/Kodya 1990-2000
BPS,Jakarta
Daldjoeni N, 1986, Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka, Alumni Bandung
Goeltenboth, F. 1996, Applied Geography and Development, Volume 47 Institute
for Scientific Co-operation, tumbingen Federal Republic of Germany.
Lembaga Demografi, FEU I, 1981, Dasar-dasar Demografi FEUI, Jakarta.
Tji Suharyanto, P, Urbanisasi, Surabaya Post, 23 September 1996.

BAB I PENDAHULUAN

Dari hasil sensus penduduk tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah
179,4 juta. Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara Negara -negara
yang sedang berkembang setelah Gina dan India.Dibanding dengan jumlah
sensus tahun 1980 maka akan terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata
1,98% pertahun. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 1995 sebanyak 195,3 juta jiwa.

Bila dilihat dari luas wilayah pada peta penyebaran penduduknya terlihat
tidak merata di 27 propinsi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1990 sekitar
60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas
wilayah Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hanya
ditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa kepadatan penduduk Indonesia tidak
seimbang. Kondisi tersebut memerlukan upaya pemerataan dan upaya tersebut telah
dilaksanakan melalui program transmigrasi dan gerakan kembali ke Desa.
Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya Indonesia masih tergolong
tinggi, hal ini bila tidak diupayakan pengendalianya akan menimbulkan banyak
masalah.

Di Indonesia dari tingkat partisipasi anak usia sekolah baru mencapai 53%
meskipun wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan oleh
pemerintah. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita tergolong
rendah. Hongkong misalnya tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan 88%
dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 1995).
Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masih
berpendidikan rendah. Dampaknya terhadap pendapatan perkapita yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Juga terhadap kehidupan
rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan yang akan berpengaruh terhadap
angka kelahiran dan kematian yang dalam banyak hal dijadikan indikator bagi
kesejahteraan suatu negara.

Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa manusia adalah sebagai


subjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak diantisipasi
mungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatu
negara.

Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi
yang tidak merata. Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka
fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini dianggap tidak
menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat dengan kenyataan
bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih diposisikan sebagai
beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara makro digunakan sebagai
landasan kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Secara mikro hal
itu juga digunakan untuk memberikan justifikasi mengenai pentingnya suatu keluarga
melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.

Pada awalnya masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan
treatment terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran kuantitatif. Hal
ini sangat jelas dari target atau sasaran di awal program keluarga berencana dilaksanakan
di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi separuhnya sebelum
tahun 2000. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila program keluarga berencana di
Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif. Dari sisi ini tidak dapat diragukan
lagi keberhasilannya.

Indikasi keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR yang
signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 . Selama periode
tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi 2,788 (SDKI 1997). Atau dengan
kata lain selama periode tersebut TFR menurun hingga lima puluh persen. Bahkan pada
tahun 1998 angka TFR tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu menjadi
2,6.Penurunan fertilitas tersebut terkait dengan (keberhasilan) pembangunan sosial dan
ekonomi, yang juga sering diklaim sebagai salah satu bentuk keberhasilan kependudukan,
khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia.

Namun kritik tajam yang sering dikemukakan berkaitan dengan program keluarga
berencana adalah masih rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan),
khususnya dalam level operasional di lapangan. Kritik terhadap kualitas pelayanan (salah
satunya tercermin dalam hal cara pemerintah mempopulerkan alat kontrasepsi, misalnya
melalui berbagai jenis safari) sejak awal sudah muncul, tetapi hal itu dapat diredam
sehingga tidak meluas melalui berbagai cara .Dalam pespektif yang lebih luas, persoalan
fertilitas tidak hanya berhubungan dengan jumlah anak sebab aspek yang terkait di
dalamnya sebenarnya sangat kompleks dan variatif, misalnya menyangkut perilaku
seksual, kehamilan tak dikehendaki, aborsi, PMS, kekerasan seksual, dan lain sebagainya
yang tercakup di dalam isu kesehatan reproduksi. Respons terhadap hal ini sebenarnya
sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan
(lihat Country Report, 1998 dan Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih
belum menyentuh persoalan mendasar yang ada di dalamnya sehingga isu-isu tersebut
belum sepenuhnya tertangani dengan baik.

Kebijakan kependudukan pada masa Orde Baru meskipun dari sisi kuantitatif telah
menunjukkan kemajuan yang berarti, namun masih meninggalkan banyak persoalan yang
mempunyai kemungkinan meningkat secara signifikan setelah krisis ekonomi.Indikasi
kehamilan tak dikehendaki menjadi isu yang penting dalam fertilitas. Sebagai contoh,
ketika angka fertiliitas mencapai angka yang rendah sebagai akibat internalisasi norma
keluarga kecil di dalam masyarakat, maka setiap kehamilan besar kemungkinannya
adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya kehamilan tersebut berkaitan dengan
kegagalan kontrasepsi.

Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa insiden kehamilan yang tidak dikehendaki
berkaitan dengan pencapaian keluarga berencana. Dalam konteks inilah isu mengenai
kualitas pelayanan menjadi penting, khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah
yang bertanggung jawab terhadap kegagalan alat kontrasepsi dan bagaimana menangani
hal tersebut.
Penanganan kehamilan yang tidak dikehendaki bukanlah hal yang mudah sebab
kehamilan tak dikehendaki juga berkaitan dengan isu aborsi. Hal ini terjadi khususnya
apabila kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut hanya mistiming dan terjadi pada
wanita yang sudah menikah. Akan tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa kehamilan
yang tidak dikehendaki sering terjadi pada wanita yang belum menikah sebagai akibat
dari hubungan seks pranikah. Dalam kasus ini maka solusi yang sering muncul adalah
yang kedua yaitu aborsi. Apabila solusi ini yang dipilih oleh si wanita, penyelesaiannya
dihadapkan pada undang-undang kesehatan yang tidak membolehkan aborsi kecuali
dengan alasan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Banyak kasus menunjukkan bahwa
aborsi masih menjadi pilihan untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki, terutama bagi wanita lajang, meskipun hal itu bertentangan dengan undang-
undang yang berlaku. Akibatnya adalah bahwa terjadi aborsi illegal yang seringkali
membahayakan nyawa ibu karena dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai
kompetensi. Hal ini menjadi agenda penting yang perlu dicari pemecahannya dalam isu
kesehatan reproduksi.

Sementara itu, isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus
pemerkosaan yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional, misalnya
pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain isu mengenai marital
rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah penderita HIV/AIDS, yang cenderung
meningkat secara tajam Situasi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah penderita
HIV/AIDS pada tahun 1987 hanya 9 orang, namun pada akhir tahun 2005 meningkat
tajam menjadi 9.370 orang (Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional).
Illustrasi ini sekedar memberikan pemahaman bahwa ada banyak masalah yang terkait
dengan kesehatan reproduksi yang belum tertangani dengan baik.

Pergeseran masalah fertilitas dari sekedar masalah kuantitatif ke masalah yang lebih
mendasar sekaligus merupakan cerminan dari pergeseran pemahaman terhadap fertilitas
itu sendiri. Ketika orang mendiskusikan fertilitas semata-mata mengenai jumlah anak,
maka banyak aspek yang berkaitan, dengan hasil dari perilaku reproduksi yang
mempresentasikan lebih kepada faktor internal daripada faktor eksternal. Sebab
persoalan-persoalan yang muncul kemudian adalah lebih banyak ke perilaku reproduksi
itu sendiri, bukan pada hasil dari perilaku. Pada saat membicarakan perilaku reproduksi
maka di dalamnya bekerja faktor eksternal dan internal secara bersama-sama. Faktor
eksternal yang dimaksud adalah faktor yang berada di luar individu, termasuk di
dalamnya faktor-faktor ekonomi sosial dan politik yang dalam skala tertentu bahkan telah
melewati batas ruang dan waktu. Sebagai contoh, masalah berkembangnya kasus
HIV/AIDS tidak semata-mata hanya dapat dijelaskan dari perilaku individu, tetapi sudah
menyangkut liberalisasi pasar yang tercermin dengan semakin bebasnya arus barang dan
manusia antar negara.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap usaha untuk mengatasi persoalan tersebut
harus memperhatikan faktor eksternal (masalah struktural) Keterkaitan antara masalah
kependudukan dengan pembangunan sosial ekonomi terasa lebih kental ketika krisis
ekonomi mulai melanda negara-negara Asia. Krisis ekonomi yang telah menyebabkan
kenaikan harga barang dan menurunkan daya beli penduduk telah menggeser skala
prioritas bagi rumahtangga dalam membelanjakan uang.. Sebelum krisis karena proses
internalisasi nilai (value) mengenai keluarga berencana sudah sangat mendalam,
kebutuhan alat kontrasepsi sudah masuk kedalam prioritas dalam rumah tangga. Akan
tetapi ketika krisis terjadi prioritas tersebut bergeser karena harga alat kontrasepsi
meningkat dengan tajam. Hal ini akan menyebabkan dua kemungkinan, pertama adalah
terjadinya peningkatan kasus drop out pemakai alat kontrasepsi, dan kedua adalah
perubahan penggunaan alat kontrasepsi dari yang efektif ke kurang efektif. Hal ini
ditunjang oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan subsidi terhadap harga
kontrasepsi karena keterbatasan dana, atau yang lebih kritis lagi adalah berkurangnya
persediaan alat kontrasepsi. Dalam jangka panjang hal ini bermuara pada efek yang sama,
yaitu peningkatan angka kelahiran. Dengan demikian, krisis ekonomi dikhawatirkan akan
mengganggu kesuksesan program keluarga berencana.
Bahasan tersebut menjelaskan bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan keterbatasan
akses masyarakat terhadap alat kontrasepsi, padahal peningkatan akses tersebut
merupakan salah satu kesepakatan Konferensi Internasional mengenai Kependudukan
dan Pembangunan di Cairo ((ICPD) tahun 1994, dan Indonesia bersungguh-sungguh
untuk melaksanakannya. Artinya usaha Indonesia untuk memperluas akses masyarakat,
salah satunya terhadap alat kontrasepsi, akan terhambat.

Penjelasan tersebut hanya menyentuh salah satu sisi akibat dari krisis ekonomi, padahal
akibat menurunnya daya beli masyarakat juga telah menyebabkan begitu banyak anak
yang kekurangan gizi, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan mempengaruhi
kualitas penduduk Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hal ini juga akan
berdampak pada meningkatnya risiko kematian, khususnya bayi dan anak.
Sementara itu kombinasi antara ketidakinginan mempunyai anak disertai
ketidakmampuan membeli alat kontrasepsi tidak mustahil akan menghasilkan lebih
banyak lagi kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, pada umumnya kasus kehamilan
yang tidak dikehendaki terjadi pada ibu yang berstatus sosial ekonomi rendah. Ini akan
menimbulkan masalah tersendiri yang cukup rumit. Sementara itu, sebagaimana telah
disebutkan diatas, kasus kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terbatas terjadi
pada perempuan dengan status menikah, tetapi juga perempuan yang tidak menikah.
Untuk kasus terakhir ini besar kemungkinan menghasilkan kasus aborsi. Hal ini akan
menambah persoalan aborsi yang pada dasarnya sudah sangat serius di Indonesia.
Aborsi merupakan problem yang serius karena di satu pihak aborsi adalah illegal, tetapi
di pihak lain demand terhadap aborsi cenderung meningkat. Akibatnya, banyak aborsi
dilakukan secara illegal di tempat-tempat yang (mungkin) mengandung risiko tinggi
terhadap keselamatan ibu dan anak. Bayi yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak
dikehendaki akan mengalami masalah psikologis dalam perkembangannya, dan hal itu
tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga/orang tua, tetapi juga menjadi tanggung
jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah..

2. MASALAH KEPENDUDUKAN DI INDONESIA


A. Masalah Akibat Angka Kelahiran
1. Total Fertility Rate (TFR)
Hasil perkiraan tingkat fertilitas (metode anak kandung) menunjukan bahwa
penurunan tingkat fertilitas Indonesia tetap berlangsung dengan kecepatan yang
bertambah seperti nampak pada tabel di bawah ini :
Periode (tahun) TFR % Penurunan/tahun
1967 -1970 5,605 1,7
1971 -1975 5,200 2,3
1976 -1979 4,680 2,8
1980 -1984 4,055 3,9
1987 -1990 3,222 2,1
© 2003 Digited by USU Digital Library 2
Sumber : BPS Jawa Timur, 1996
Tingkat fertilitas secara keseluruhan dari periode 1981- 1984 ke periode 1986
-1989 turun sebesar 18 % atau sekitar 3,9% pertahun. Namun tingkat penurunan
fertilitas mulai melambat atara periode 1986-1989 dan 1987-1990 yaitu menjadi
2,1% rata-rata pertahun.
2. Age Spesific Fertility Rate (ASFR)
Hasil SP71 dan SP80 masih menunjukan bahwa tingkat kelahiran untuk
kelompok umur wanita 20-24 tahun adalah yang tertinggi. Namun demikian terjadi
pergeseran ke kelompok umur (25 -29) tahun pada hasil SP80 dan ini akan
memberikan dampak terhadap penurunan tingkat gfertilitas secara keseluruhan
(Trend Fertilitas, Mortalitas dan Demografi, 1994: 18)
Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan beberapa masalah (terkait
dengan SDM) sebagai berikut :
1) Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban pemerintah dalam hal
penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatanketimbang aspek intelektual.
2) Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat tinggi
akibatnya bagi suatu negara berkembang akan menunjukan korelasi negatif
dengan tingkat kesejahteraan penduduknya.
Jika ASFR 20- 24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi SDM
yang semakin menurun.
B. Masalah akibat Angka Kematian
Selama hampir 20 tahun terakhir, Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami
penurunan sebesar 51,0 pada periode 1967-1986. Tahun 1967 AKB adalah 145 per
1000 kelahiran, kemudian turun menjadi 109 per 1000 kelahiran pada tahun 1976.
Selama 9 tahun terjadi penurunan sebesar 24,8 persen atau rata-rata 2,8 persen per
tahun. Berdasarkan SP90, AKB tahun 1986 diperkirakan sebesar 71 per 1000
kelahiran yang menunjukan penurunan sebesar 34,9 persen selama 10 tahun
terakhir atau 3,5 persen pertahun (Trend Mortalitas, 66).
Tabel Perkiraan Angka Harapan Hidup (AHH)
Tahun Nilai
SP1971 45,7
SP 1980 52,2
SP 1990 59,8
Sumber: BPS Jatim, 1996.
Sejalan dengan penurunan AKB, AHH menunjukan kenaikan. Pada tahun
1971 AHH adalah 45,7 yang kemudian naik 6,5 tahun menjadi 52,2 pada SP80 dan
mengalami kenaikan 7,6 menjadi 59,8 pada SP90.
Masalah yang muncul akibat tingkat mortalitas adalah :
1) Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya peran
pemerintah di dalam menyediakan fasilitas penampungan.
2) Perlunya perhatian keluarga dan pemerintah didalam penyediaan gizi yang
memadai bagi anak-anak (Balita).
3) Sebaliknya apabila tingkat mortalitas tinggi akan berdampak terhadap reputasi
Indonesia dimata dunia.
Pemecahan masalah angka kelahiran dan kematian :
a) Kelahiran
Angka kelahiran perlu ditekan melalui :
Partisipasi wanita dalam program KB.
© 2003 Digited by USU Digital Library 3
Tingkat pendidikan wan ita wanita mempengaruhi umur kawin pertama dan
penggunaan kontrasepsi.
Partisipasi dalam angkatan kerja mempunyai hubungan negatif dengan
fertilitas
Peningkatan ekonomi dan sosial.
b) Kematian
Angka kematian perlu ditekan :
Pelayanan kesehatan yang lebih baik
Peningkatan gizi keluarga
Peningkatan pendidikan (Kesehatan Masyarakat)
C. Masalah Komposisi Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 1990 berjumlah
179246785 dari jumlah tersebut komposisi usianya tidak berimbang yang
menyebabkan timbulnya masalah-masalah baru.
Katagori Berdasarkan Usia Sebagai Berikut :
U S I A (Thn) Jumlah (Jiwa)
0 – 4 20.985.144
5 – 9 23.223.058
10 – 14 21.482.141
15 – 19 18.926.983
20 – 24 16.128.352
25 – 29 15.623.530
30 – 34 13.245.794
35 – 39 11.184.217
40 – 44 8.081.636
45 – 49 7.565.664
50 – 54 6.687.586
55 – 59 4.831.697
60 – 64 4.526.451
65 – 69 2.749.724
70 – 74 2.029.026
>75 4.415
Sumber : Kantor BPS Jawa Timur
Berdasarkan angka-angaka tersebut tampak penumpukan jumlah penduduk
pada usia muda, yaitu usia 0 -4 tahun berjumlah 20985144 jiwa, usia 5-9 tahun
sebesar 23223058 jiwa dan 10 -14 tahun 21428141 jiwa yang mana pada usia
tersebut belum produktif masih tergantung pada orang-orang lain terutama
keluarga.
Masalah-masalah yang dapat timbul akibat keadaan demikian adalah :
1) Aspek ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Banyaknya beban
tanggungan yang harus dipenuhi biaya hidupnya oleh sejumlah manusia
produktif yang lebih sedikit akan mengurangi pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan hayat hidup.
2) Aspek pemenuhan gizi.
Kemampuan ekonomi yang kurang dapat pula berakibat pada pemenuhan
makanan yang dibutuhkan baik jumlah makanan (kuantitatif) sehingga dampak
lebih lanjut adalah adanya rawan atau kurang gizi (malnutrition). Pada gilirannya
nanti bila kekurangan gizi terutama pada usia muda ( 0 -5 tahun). Akan
mengganggu perkembangan otak bahkan dapat terbelakang mental ( mental
retardation ). Ini berarti mengurangi mutu SDM masa yang akan datang.
© 2003 Digited by USU Digital Library 4
3) Aspek Pendidikan
Pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga diperlukan dukungan
kemampuan ekonomi semua termasuk orang tua. Apabila kemampuan ekonomi
kurang mendukung maka fasilitas pendidikan juga sukar untuk dipenuhi yung
mengakibatkan pada kualitas pendidikan tersebut kurang
4) Lapangan Kerja
Penumpukan jumlah penduduk usia muda atau produktif memerlukan persiapan
lapangan kerja masa mendatang yang lebih luas. Hal ini merupakan bom waktu
pencari kerja atau penyedia kerja. Apabila tidak dipersiapkan SDMnya dan
lapangan kerja akan berdampak lebih buruk pada semua aspek kehidupan.
Alternatif Pemecahan yang diperlukan :
(a) Pengendalian angka kelahiran melalui KB.
(b) Peningkatan masa pendidikan.
(c) Penundaaan usia perkawinan
D. Masalah Kependudukan dan Angkatan Kerja.
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun
keatas. Mereka terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja (BPS :
1994,30). Penduduk yang tergolong angkatan kerja dikenal dengan Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).
TPAK menurut umur mengikuti pola huruf “U” terbalik. Angkatan rendah pada
usia-usia muda karena sekolah, kemudian naik sejalan kenaikan umur sampai
mencapai 25 -29 tahun, kemudian turun secara perlahan pada umur-umur
berikutnya (antara lain karena pensiun).
Angka kesempatan kerja yang merupakan pebandingan antara penduduk
yang bekerja dengan angkatan kerja pada tahun 1993 cukup tinggi yaitu sekitar
97,2%. Ini berarti angka penganguran kurang lebih hanya 2,8 0/00 (BPS:1994,30).
Berdasarkan hasil sensus tahun 1994 jumlah TPAK sebesar 19.254.554
(Sensus PBS; 1990,417) sedangkan jumlah penduduk mencapai 179.247.283 jiwa
sehingga TPAK meskipun mungkin termasuk angkatan kerja. Melihat rasio TPAK dan
Non TPAK tampaknya jauh tidak seimbang hal ini kemungkinan dapat menyebabkan
masalah antara lain:
(a) Produktifitas yang dihasilkan oleh sebagian kecil manusia kemungkinan bisa
habis dikonsumsi sebagian besar penduduk.
(b) Pendapatan perkapita akan rendah sehingga berpengaruh pada sektor ekonomi
masyarakat.
Alternatif Pemecahan Masalah :
(a) Penyediaan lapangan kerja
(b) Peningkatan mutu SDM melalui pendidikan dan keterampilan.
E. Masalah Mobilitas Penduduk di Indonesia
Masalah migrasi penduduk di Indonesia menjadi isu politik kependudukan di
Indonesia.
Mobilitas Antar Pulau
Mobilitas antar pulau didominasi mobilitas penduduk di Pulau Jawa. Penduduk
yang keluar dari Jawa sebanyak 3,6 juta jiwa tahun 1980 dan 5,3 juta jiwa tahun
1990. Sebagian besar migrasi menuju Sumatera, yaitu 79,75% pada tahun 1980 dan
68,70% pada tahun 1990.
Migran keluar dari Pulau Sumatera tahun 1980 sebanyak 0,8 juta, dan
sebesar 92,97% menuju Pulau Jawa, sedang pada tahun 1990 sebesar 1,6 juta dan
92,62 % juga menuju Pulau Jawa. Migran dari Kalimantan sebagian besar menuju
© 2003 Digited by USU Digital Library 5
Pulau Jawa. Dari 0,2 juta jiwa pada tahun 1980 adaa 73,32% menuju Pulau Jawa
dan pada tahun 1990 ada sebanyak 0,5 juta ternyata yang 76,49 % juga menuju
Pulau Jawa. (BPS:107,110)
Dapat dimaklumi bahwa Pulau Jawa sebagai tujuan utama para migran,
karena di Pulau Jawa merupakan pusat perekonomian, pusat pendidikan, pusat
pemerintahan dan pusat kegiatan sosial ekonomi lainnya. Migran terbesar yang
masuk ke Pulau Jawa berasal dari Sumatera, karena Pulau Sumatera secara
geografis berdekatan dengan Pulau Jawa dan sistim transportasi yang
menghubungkan kedua pulau ini lebih bervariasi dan lebih banyak frekuensinya
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.
Mobilitas Penduduk antar Pulau Propinsi
Pola mobilitas di Jawa masih sangat besar. Di Jawa Timur jumlah pendatang
masih didominasi migran sekitarnya terutama Jawa Tengah. Keadaan ini
menunjukan bahwa pekembangan mobilitas terjadi karena peningkatan peranan lalu
lintas di Pulau Jawa dan Sekitarnya termasuk Lampung, Sumatera Selatan sebagai
akibat pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat. Sedang migran yang keluar dari
Jawa Timur mayoritas menuju wilayah Indonesia Barat terutama Sumatera dan
daerah pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jakarta.
Propinsi pengirim migran total terbesar adalah Jawa Tengah, yaitu 3,1 juta
jiwa pada tahun 1980 dan 4,4 juta tahun 1990. Jawa Timur sebanyak 1,6 juta pada
tahun 1980 dan 2,5 juta tahun 1990, disusul Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
(BPS 1994; 111).
Mobilitas Penduduk dari Desa ke Kota
Urbanisasi pada dasarnya adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang
disebabkan perpindahan dari desa ke kota, dari kota ke kota, serta akibat proses
perluasan wilayah perkotaan (Reklamasi).
Permasalah yang Timbul :
Pertumbuhan penduduk perkotaan selalu menunjukan peningkatan yang
terus menerus, hal ini disebabkan pesatnya perkembangan ekonomi dengan
perkembangan industri, pertumbuhan sarana dan prasarana jalan perkotaan.
Upaya Pencegahan:
Pertumbuhan penduduk di perkotaan periode 1971-1980 jauh lebih pesat
dibandingkan dengan periode 1980-1990, hal ini disebabkan periode 1971-1980
pertumbuhan ekonomi masih terpusat didaerah perkotaan, sehingga penduduk
banyak pindah ke perkotaan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak.
Pada periode 1980-1990 pemeratan pembangunan mulai terasa sampai ke
daerah pedesaan. Keadaan ini memungkinkan penduduk tidak lagi membangun
daerah perkotaan, akan tetapi cendrung menciptakan lapangan pekerjaan sendiri di
pedesaan. (BPS 1994: 18).
Sejalan dengan arah pembangunan yang diharapkan persentase penduduk
perkotaan cendrung meningkat. Proyeksi yang diharapkan ada peningkatan dari
31,10 persen tahun 1990 menjadi 41,46 % pada tahun 2000.
Menurut Prigno Tjiptoheriyanto upaya mempercepat proses pengembangan
suatu daerah pedesaan menjdadi daerah perkotaan yang disesuaikan dengan
harapan dan kemampuan masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan upaya
peningkatan jumlah penduduk yang berminat tetap tinggal di desa. Yang perlu
diusahakan perubahan status desa itu sendiri, dari desa “desa rural” menjadi “desa
urban”. Dengan demikian otomatis penduduk yang tinggal didaerahnya menjadi
“orang kota” daalam arti statistik (Surabaya Post, 23 September 19996). Guna
menekan derasnya arus penduduk dari desa ke kota, maka pola pembangunan yang
© 2003 Digited by USU Digital Library 6
beroreantasi pedesaan perlu digalakan dengan memasukan fasilitas perkotaan ke
pedesaan, sehingga merangsang kegiatan ekonomi pedesaan.
F. Masalah Kepadatan Penduduk di Indonesia
Dilihat dari jumlah penduduknya Indonesia termasuk negara terbesar ketiga
diantara negara-negara sedang berkembang setelah Gina dan India. Hasil
pencacahan lengkap sensus penduduk 1990, penduduk Indonesia berjumlah 179,4
juta jiwa. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, julah penduduk pada tahun 1995
mencapai 195,3 juta jiwa.
Kepadatan di 27 Propinsi masih belum merata. Berdasarkan sensus penduduk
tahun 1990 sekitar 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal luas Pulau Jawa
hanya sekitar 7% dari seluruh wilayah daratan Indonesia. Dilain pihak, Kalimantan
yang memiliki 28% dari luas total, hanya dihuni oleh 5% penduduk Indonesia.
Dengan demikian kepadatan penduduk secara regional juga sangat timpang,
sementara kepadatan per kilometer persegi di Pulau Jawa mencapai 814 orang, di
Maluku dan Irian Jaya hanya 7 orang (BPS, 1994:29).
Permasalahan yang timbul:
Ketidakseimbangan kepadatan penduduk ini mengakibatkan ketidakmerataan
pembangunan baik phisik maupun non phisik yang selanjutnya mengakibatkan
keinginan untuk pindah semakin tinggi. Arus perpindahan penduduk biasanya
bergerak dari daerah yang agak terkebelakang pembangunannya ke daerah yang
lebih maju, sehingga daerah yang sudah padat menjadi semakin padat.
Pemecahan Masalah:
Untuk memecahkan masalah ini dilaksanakan program pepindahan penduduk
dari daerah padat ke daerah kekurangan penduduk, yaitu program transmigrasi.
Sasaran utama program transmigrasi semula adalah untuk mengurangi
kelebihan penduduk di Pulau Jawa. Tetapi ternyata jumlah penduduk yang berhasil di
transmigrasikan keluar Jawa sangat kecil jumlahnya. Pada tahun 1953 direncanakan
100.000 penduduk, tetapi hanya sebanyak 40.000 orang yang berhasil dipindahkan
(BPS 1994:90)
Walaupun demikian, program transmigrasi sudah menunjukan hasilnya
dimana penduduk yang tinggal di Pulau Jawa turun dari 60% pada tahun 1990,
diproyeksikan menjadi 57,7% pada tahun 2000. Sebaliknya diluar Jawa
diproyeksikan akan terjadi kenaikan tahun 1990-2000. Di Pulau Sumatera naik dari
21% pada tahun 1990 menjadi 21,65 % pada tahun 2000 (BPS 1990:6-7).
G. Masalah Perkawinan dan Perceraian
Perkawinan bukan merupakan komponen yang langsung mempengaruhi
pertumbuhan penduduk akan tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap fertilitas, karena dengan adanya perkawinan dapat meningkatkan angka
kelahiran. Sebaliknya perceraian adalah merupalkan penghambat tingkat fertilitas
karena dapat menurunkan angka kelahiran.
Di Indonesia status perkawinan (kawin) masih jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan status perceraian hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
JENIS KELAMIN KAWIN CERAI HIDUP/MATI
Pria 25.312.260 1.322.446
Wanita 26.448.577 6.176.904
© 2003 Digited by USU Digital Library 7
Dari data di atas memberikan gambar bahwa jumlah perkawina baik pia maupun
wanita sebesar 5.176.837 masih jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah
perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati yang hanya sekitar 7.499.340.
Masalah yang timbul akibat perkawinan antara lain:
1. Perumahan
2. Fasilitas kesehatan
Masalah yang timbul akibat perceraian meningkat adalah :
1. Sosial Ekonomi
2. Nilai agama yang lemah
Alternatif Pemecahan :
Perkawinan
1. Menambah masa lajang.
2. Meningkatkan masa pendidikan.
Peceraian :
1. Konsultasi Keluarga.
2. Pendalaman Agama.

PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut jumlah penduduknya,
Indonesia termasuk negara yang besar dan menduduki urutan terbesar ke tiga di
antara negara-negara berkembang setelah Gina dan India.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 1990 penduduk Indonesia berjumlah
179,4 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat sekitar 1,98% per tahunnya.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 1995 adalah 195,3 juta jiwa. Dari
kondisi semacam ini timbul berbagai masalah kependudukan antara lain: Ketidak
merataan penyebaran penduduk di setiap Propinsi. Di Indonesia berdasarkan SP
1990 kurang lebih 60% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya
hanya 7% dari luas seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya Kalimantan yang
mempunyai luas 28 persen dari seluruh daratan Indonesia hanya dihuni oleh lebih
kurang lebih 5% penduduk sehingga secara regional kepadatan penduduk sangatlah
timpang.
Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja, tampak masih rendah di mana
tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SD, yaitu 37,6% dari seluruh penduduk
yang bekerja. Hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan
akan tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja pada suatu tingkat upah
tertentu. Pada tahun 1993, dari sekitar 1,2 juta orang yang terdapat sebagal
PENCARI KERJA HANYA SEKITAR 328.000 atau 27 % yang memperoleh
penempatan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 1994, Profil Kependudukan Propinsi Jawa Timur, BPS, Jakarta.
BPS, 1994, Trend Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, BPS, Jakarta.
BPS, 1994, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Kabupaten/Kodya 1990-2000
BPS,Jakarta
Daldjoeni N, 1986, Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka, Alumni Bandung
Goeltenboth, F. 1996, Applied Geography and Development, Volume 47 Institute
for Scientific Co-operation, tumbingen Federal Republic of Germany.
Lembaga Demografi, FEU I, 1981, Dasar-dasar Demografi FEUI, Jakarta.
Tji Suharyanto, P, Urbanisasi, Surabaya Post, 23 September 1996.

http://nafesaluphkor.ngeblogs.com/2009/11/21/analisa-masalah-masalah-sosial/

Anda mungkin juga menyukai