Anda di halaman 1dari 7

TUGAS AKHIR

MATA KULIAH ANTROPOLOGI KESENIAN


Pengampu : Dr. G. R. Lono Lastoro Simatupang

Oleh

Arif Syaripudin

11/318386/SA/15922

JURUSAN ANTROPOLOGI BUDAYA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2013
Telaah Seni Berdasarkan Perspektif Antropologi

Pengantar

Seni mulai berkembang menjadi isu, terlihat pada awal tahun 1980-an ketika orang Eropa
Barat bepergian ke daerah asing. Dalam menjalankan kegiatan itu, mereka sebenarnya turut
mengamati gejala-gejala yang hadir pada masyarakat seperti tarian, ukiran, nyanyian dan
sebagainya. Tidak sedikit dari mereka menghubungkan hal-hal seperti di atas sebagai bagian dari
suatu ritual, agama, struktur sosial, bahkan magis. Ketika orang Eropa Barat memilih untuk
tinggal lebih lama di tempat okupasinya, semakin banyak juga mereka mendapatkan
pengetahuan akan realitas yang terdapat di masyarakat. Termasuk salah satunya adalah
mengetahui aspek-aspek simbolik yang ada seperti artefak-artefak, tanda-tanda, barang seni dan
sebagainya. Bahkan tidak sedikit juga para penjelajah/etnografer membawa artefak/barang tadi
untuk dipamerkan di suatu museum, sehingga orang lain pun dapat melihat. Museum erat
hubungannya dengan antropologi terlihat ketika akhir abad ke – 19 dan awal abad ke – 20, di
mana koleksi-koleksi etnografi mulai dipamerkan di lembaga museum terkenal seperti
Smithsonian Peabody, British Museum, Pitt Rivers Museum dan Berlin Museum1. Tulisan saya
kali ini dimaksudkan untuk mengangkat sudut pandang atau perspektif antropologi dalam rangka
memahami realitas yang ada. Termasuk dalam melibatkan perhatian terhadap salah satu realitas
kebudayaan, seperti kesenian dan berbagai persoalan yang melekat padanya.

Apa itu Seni?

Istilah ―seni‖, di antara pemilik bahasa sebenarnya tidak memiliki gejala yang setara2, dan
kemungkinannya adalah karena bahasa. Bahasa diyakini sebagai sistem penandaan di mana
kemudian mereka justru memakai dan mengelompokannya secara berlainan. Sekarang ini, kata
seni seringkali disepadankan dengan ―art”. Kata ―seni‖ sendiri merupakan bahasa Melayu, dan
bagi Orang Melayu memiliki pandangan umum tentang seni sebagai sesuatu yang indah. Pada
awalnya, seni tidak hanya memiliki sesuatu yang indah, tetapi juga sesuatu yang kecil. Karena
sesuatu menjadi terlihat kecil itu diidentifikasikan sebagai suatu yang rumit, halus dan indah yang
dihasilkan berdasarkan teknik tertentu.

Sementara, kata “art”, mengarah pada sesuatu yang berkenaan dengan muatan
pendidikan keterampilan, seperti grammar, logic, rhetoric, geometric, aritmathic, music dan
astronomy. Orang-orang yang terampil dari hal di atas tadi dikatakan sebagai artist atau artisan.
Namun, kata “art” sendiri rupanya telah mengalami penyempitan arti, menjadi sesuatu yang
berhubungan dengan melukis, menggambar, memahat dan membuat patung. Baik seni dan kata

1
Pernyataan Spencer and Gillen (1904) dalam Howard Morphy and Morgan Perkins (ed). 2006. The Anthropology of
Art : A Reader Blackwell Anthologist in Social and Cultural Anthropology. Blackwell Publishing.
2
Pernyataan G.R. Lono Lastoro Simatupang, Perspektif Antropologi dalam Seni dan Estetika—dalam Jurnal
Penelitian Budaya Vol.2 No. 1 , Juni 2010.
“art” sekarang ini dimengerti karena adanya ―penyamarataan‖ 3atas pola-pola atau ciri-ciri yang
serupa, serta sifat tindakan dan hasil tindakan yang lazim kita kategorikan sebagai seni.

Kesenian juga sering dikaitkan dengan ―estetika‖. Dalam hal ini estetika dapat dipahami
sebagai kualitas atau sifat tertentu yang terdapat pada suatu bentuk /form tadi. Estetika di sini
sebenarnya merupakan persepsi manusia tentang pengalamannya terhadap realitas. Sifat pada
elemen-elemen tersebut kemudian diberikan penilaian, misalnya apakah itu baik, buruk dan
sebagainya. Estetika atau keindahan itu terdapat pada gejala atau wujud kesenian. Secara umum,
orang memang berpendapat bahwa kesenian adalah hasil ekspresi jiwa manusia akan keindahan.
Sebenarnya, tidak semua hasil karya seni dapat dinyatakan demikian, karena ada juga karya seni
yang lebih mengutamakan peran budaya yang mengandung sistem budaya dari masyarakat yang
bersangkutan. 4

Seni Sebagai Wujud Kebudayaan

Koentjaraningrat (1990) berpendirian, pada dasarnya wujud kebudayaan dari masing-


masing kelompok etnik dapat berupa sistem ide, sistem sosial, serta benda-benda karya manusia.
Dalam hal ini, seni termasuk ke dalam wujud kebudayaan sebagai hasil karya manusia yang
paling konkret meliputi hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.

Selanjutnya, berkaitan dengan peran budaya dalam karya seni, menurut Melalatoa
(Sempulur, 1997) menerangkan, bahwa kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksud
menjawab dan menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan,
mencapai tujuan bersama seperti kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan dan rasa aman
ketika berkoneksi dengan yang gaib (supernatural). Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahan
mengandung pesan-pesan budaya dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni rias,
seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal dan lain sebagainya.

Kaplan dan Manners (2002) kemudian turut mengemukakan pemikirannya mengenai apa
yang bisa disebut kebudayaan. Keduanya mengatakan kebudayaan atau kultur sebagai suatu
golongan fenomen yang diberikan muatan makna tertentu oleh antropolog dalam rangka
menghadapi segala persoalan untuk dipecahkan. Fenomena yang disebutkan dalam hal ini, salah
satunya adalah perilaku manusia yang tradisional dan terlembagakan. Seorang antropolog secara
leluasa dapat meneliti sistem budaya atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam usahanya
tersebut mencoba untuk mengaitkan perhatian terhadap nilai-nilai budaya, norma dan hukum,
pengetahuan dan keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat. Termasuk dengan
meneliti pada tindakan, aktivitas-aktivitas dan hasil karya manusia itu sendiri yang melingkupi
benda peralatan dan khususnya benda-benda kesenian.

3
Ibid.
4
Sempulur, Swasti. 1997. Fungsi Kesenian Tradisional : Kontinuitas dan Perubahannya.Jurusan Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Berbicara mengenai kebudayaan lokal, hal-hal yang harus kita ketahui adalah bahwa nilai
dan norma tadi dijadikan petunjuk hidup dan tingkah lakunya. Perilaku berfungsi untuk pemacu
semangat hidup pemiliknya agar menjadi manusia yang baik, etos kerja tangguh dan semangat
berkarya. Kemudian, pada kebudayaan masyarakat lokal, materi atau benda yang dihasilkan
tersebut berdasarkan kepada pengetahuan, keterampilan, tradisi dan kepercayaan yang diterima
dan diwariskan. Salah satu contoh hasil kebudayaan lokal yang saya angkat di sini misalnya,
―keris‖. Sebagai benda seni, keris bisa dilihat berdasarkan elemen formal/kebentukan (material,
teknik, garap tempa), ruang (sebaran keris di nusantara, identitas daerah, adat istiadat, upacara,
ikon dan jati diri), serta berdasarkan waktunya (tangguh umur absolute dan umur relatif).

Keris menurut (UNESCO, 2003) merupakan karya budaya sebagai hasil representasi,
ekspresi, pengetahuan, teknologi yang diwariskan dari generasi ke generasi dan secara terus
menerus diciptakan kembali, dipupuk oleh masyarakat dan kelompok dalam beradaptasi dengan
lingkungan, berinteraksi dengan alam, latar belakang sejarah, serta mampu memberikan jati diri
dan bersifat berkesinambungan/berlanjut. Dari pernyataan tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa
keris saat ini sudah diakui dunia sebagai salah satu warisan kebudayaan. Di dalamnya terbentang
makna mengenai sistem budaya (nilai-nilai, norma-norma, aturan), sistem sosial (aktivitas
manusia yang berpola terkait dengan pembuatan senjata) dan kebudayaan fisik (senjata dan benda
peralatan lainnya). Dari sebuah benda seperti keris misalnya, sudah mampu merepresentasikan
kebudayaan lokal, di dalamnya mencakup sistem peralatan hidup, sistem pengetahuan dan
teknologi, keindahan/estetika dan sistem kepercayaan (magis-religius).

Pendekatan Antropologi Terhadap Seni : Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme,


Fungsionalisme Struktural dan Strukturalisme

Pada bagian ini, saya akan menjelaskan mengenai pendekatan.atau bisa disebut sebagai
orientasi teori Antropologi terhadap kebudayaan (seni). Kali ini saya akan mengangkat beberapa
pendekatan yang mengarah pada apa yang sebenarnya menjadi ciri utama dalam antropologi
sejak masa awal pertumbuhannya sebagai suatu bidang studi tersendiri.

Pendekatan yang pertama adalah Evolusionisme. Tokoh pertama yang merumuskan


tentang konsep Evolusionisme adalah Edward Burnett Tylor pada abad ke-19. Paradigma ini
berangkat dari asumsi dasar bahwa kebudayaan itu mengalami perubahan atau perkembangan
dari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks. Selain Tylor, seorang Julian H. Steward.
muncul sebagai evolusionis periode mutakhir menyebutkan bahwa kebudayaan itu berinteraksi
dengan lingkungan. Karena sebelumnya, Tylor tidak menyinggung tentang pengaruh lingkungan,
maka dengan pernyataan ini tentulah faktor eksternal turut mengambil bagian dalam proses
perubahan kebudayaan. Selain itu, sebuah perkembangan lainnya dilakukan oleh Steward adalah
dengan melakukan penelitian lapangan dan studi komparatif untuk mengumpulkan data mengenai
gejala-gejala kehidupan manusia seperti halnya dilakukan terhadap artefak-artefak kesenian.
Soemardjan (1980) mengatakan bahwa perkembangan kesenian pada umumnya
mengikuti proses perubahan yang terjadi dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai salah satu
unsur kebudayaan, maka kesenian akan mengalami hidup statis karena diliputi oleh suasana
tradisionalistik. Sebaliknya, kesenian akan selalu berkembang apabila kebudayaannya juga selalu
bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Karenanya, kebudayaan itu bersifat dinamis,
akan selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Dalam setiap kebudayaan akan selalu
ada kebebasan kepada para individunya untuk memperkenalkan variasi-variasi dalam cara hidup,
baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk maupun
karena penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

Sempulur (1997) turut menyebutkan, permasalahan kemudian muncul ketika ada wacana
untuk mempertahankan kesenian tradisional sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan
tradisional. Ini merupakan hal yang dilematis, di satu sisi kata ―mempertahankan‖ dimengerti
sebagai usaha memelihara sesuatu yang telah ada agar tetap eksis dan tidak berubah. Dengan
pengertian tersebut, bukankah akan menghambat kreativitas manusia?. Sementara, perkembangan
zaman tentu akan mempengaruhi pola perilaku manusia, maka kesenian tradisional jelas akan
mengalami perubahan dari berbagai segi, termasuk dari segi artistiknya dan maknanya. Serta,
apakah seni atau sesuatu yang sederhana itu ada pada masyarakat yang sederhana juga?.

Pendekatan kedua adalah Difusi. Difusi kebudayaan berarti penyebaran kebudayaan.


Mengapa bisa dikatakan penyebaran kebudayaan, karena seringkali adanya persamaan-persamaan
unsur – unsur kebudayaan ditemukan di berbagai tempat yang berbeda, bahkan jauh sekali
jaraknya. Persamaan – persamaan tersebut bisa berwujud benda-benda bersifat sama, atau yang
dikenal sebagai Kulturkreis. Dengan adanya keadaan seperti itu, Koentjaraningrat (1990)
kemudian menjelaskan dengan alasan yang baik bahwa hal-hal tersebut dikarenakan di berbagai
tempat itu memiliki atau sedang melakukan proses evolusi dalam tingkatan yang sama. Mengenai
penyebaran kebudayaan ini, sebenarnya berangkat dari suatu asumsi dasar bahwa kebudayaan
manusia memiliki satu pangkal, yang tempatnya berada di suatu lokasi tertentu. Ada anggapan
bahwa pangkal kebudayaan itu merupakan induk kebudayaan yang kemudian berkembang,
menyebar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yakni kondisi lingkungan dan waktu. Untuk
mendapatkan gambaran yang konkret, maka harus melakukan penelitian lapangan disertai dengan
mengaplikasikan metode komparatif. Misalnya, teori difusi menurut aliran Jerman telah
menetapkan dua kriteria, yakni kualitas (semakin/hampir sama fungsinya, hubungannya semakin
dekat), serta kuantitas (semakin banyak unsur-unsur yang sama, semakin dekat kebudayaannya).

Proses difusi kebudayaan sangat memungkinkan terjadinya kontak/pertemuan kebudayaan


(akulturasi). Konsep akulturasi seni tentunya memperhatikan keberadaan antara seni budaya asli
dan seni budaya asing bercampur bahkan sampai menciptakan perubahan dalam seni. Ketika
perubahan itu masuk ke ranah masyarakat, lantas mereka tidak langsung menerima begitu saja.
Masih ada beberapa proses yang dilakukan masyarakat seperti halnya, menerima karena seleksi,
menerima dengan re-interpretasi dan bahkan menggabungkannya, sehingga sifatnya menjadi
hibrid dan silang.
Pendekatan ketiga adalah Fungsionalisme kebudayaan. Dalam antropologi sendiri,
Fungsionalisme dikatakan sebagai perspektif teoretik bertumpu pada masyarakat yang
dimodelkan sebagai organisme. Hal demikian adalah sebuah pemikiran yang datang dari seorang
Malinowski. Masyarakat seperti halnya suatu organisme, yakni dapat tumbuh dan berkembang,
dengan adanya pertambahan kompleksitas dan progresif. Pandangan lainnya tentang
Fungsionalisme kebudayaan bahwa kebudayaan memiliki fungsi. Fungsi di sini dikatakan sebagai
kebutuhan dasar dari suatu organisme itu yang semuanya harus dipenuhi agar bisa tetap lestari.

Pendekatan selanjutnya kemudian muncul dari seorang ahli bernama Radcliffe - Brown ,
yang pemikirannya dipengaruhi oleh ahli sosiologi Emile Durkheim. Brown lebih banyak
menyajikan teorisasi, dan salah satunya mengenai Fungsionalisme Struktural. Brown
menjelaskan fungsi pada struktur sosial. Struktur sosial disini dapat dimaknai sebagai relasi-relasi
antar individu, sama juga memiliki kebutuhan dan kondisi yang mendukung untuk tetap bertahan.

Seni juga bisa dianalogikan sebagai organisme yang memiliki kebutuhan dan fungsinya
untuk mencapai keteraturan dan bertahan. Pertama adalah relasinya antara seni dengan
pelakunya. Pelaku di sini saya menggambarkannya terdiri dari struktur sosial. Struktur sosial
yang saya maksud dimengerti sebagai suatu kelompok tertentu yang memiliki kesatuan ―style‖
seni. Mereka ini lah sebagai suatu konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap dalam
melestarikan seni melalui tindakan sosial, interaksi sosial, dan perilaku peran yang dipusatkan
untuk mempertahankan kesenian tadi. Kedua, kita juga perlu mengaitkan seni dengan fungsi
sosialnya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk-bentuk seni tadi seringkali terkait
dengan fakta-fakta etnisitas (lokalitas). Karena dari seni tersebut dalam penyelenggaraannya
melibatkan masyarakat, juga tarian-tarian yang ada misalnya, memiliki hubungan dengan ritual,
agama, struktur sosial, bahkan magis. Ketiga, saya mencoba mengaitkan seni dalam pembentukan
lapisan sosial. Hal demikian misalnya terlihat sejak masa penjajahan, ternyata tanda-tanda
pelapisan sosial sudah tampak. Perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas
secara bertingkat (hirarkis) turut menentukan perbedaan ketertarikannya terhadap kesenian sesuai
dengan kemampuan dan aksesnya.

Pendekatan terakhir yang saya jelaskan adalah Strukturalisme. Beberapa asumsi dasar dari
pemikiran Strukturalisme Levi Strauss ini menurut Lane (Kaplan dan Manners, 2002) adalah
pertama, bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya seperti seni secara formal dapat dinyatakan
sebagai bahasa-bahasa. Lebih tepatnya dijelaskan sebagai perangkat tanda dan simbol yang
menyampaikan pesan tertentu. Kedua adalah ada anggapan bahwa dalam diri manusia terdapat
kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada semua
manusia yang normal, seperti adanya kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur,
menyusun struktur dan menempelkan suatu struktur pada gejala-gejala yang dihadapinya. Seperti
tadi, keris sebagai benda seni sekaligus warisan dunia di mana keterampilan, tadisi dan
kepercayaan orang tersebut diterima dan diwariskan. Asumsi ketiga dengan menuruti anggapan
de Saussure bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh karena adanya relasi-relasi pada satu
titik tertentu, yaitu sinkronis. Dalam hal menjelaskan suatu gejala kebudayaan seperti kesenian,
penganut Strukturalisme tidak mengacu pada adanya hubungan kausalitas yang merupakan relasi
diakronis, tetapi lebih kepada hukum-hukum transformasi atau alih rupa tadi. Seperti orang
melakukan pararel pada sesuatu non seni (kebutuhan sosial, politik dan agama). Asumsi dasar
yang ke-empat menjelaskan relasi-relasi yang terdapat pada struktur dalam dapat disederhanakan
menjadi oposisi berpasangan (biner), misalnya oposisi seni dan tari, seni dan drama serta lainnya.

Sebagai penutup, antropologi sebagai suatu disiplin berkembang pesat setelah Perang
Dunia II dan ini diperbolehkan atau bahkan mendorong kemunculan spesialisasi baru.
Ketertarikan baru antropologi terhadap kesenian telah muncul tahun 1980-an, ditandai dengan
bermunculannya teori-teori tentang seni oleh Orang Eropa dan Amerika. Antropologi kesenian
sebagai spesialisasi baru menggunakan pendekatan interdisipliner, yakni kerjasama di antara
beberapa ilmu seperti antropologi dan ilmu kesenian untuk mencapai suatu maksud tertentu,
meninggalkan sudut pandang yang terbataas sehingga melebur ke dalam satu pandangan
menyeluruh.

Daftar Pustaka

Ahimsa – Putra, H. S. 2001. Strukturalisme Levi Strauss : Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.

Dradjat, Hari Untoro. Kebudayaan Lokal dan Industri Ekonomi Kreatif. Makalah Seminar
Nasional ―Pemuda dan Kebangkitan Kebudayaan Nasional‖, 22 Mei 2013. Kementrian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Howard Morphy and Morgan Perkins (ed). 2006. The Anthropology of Art : A Reader Blackwell
Anthologist in Social and Cultural Anthropology. Blackwell Publishing.
Kaplan, D. dan Manners, A.R. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta, 1990.


Sempulur, Swasti. 1997. Fungsi Kesenian Tradisional : Kontinuitas dan Perubahannya.Jurusan
Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Simatupang, G.R. Lono Lastoro, Perspektif Antropologi dalam Seni dan Estetika—dalam Jurnal
Penelitian Budaya Vol.2 No. 1 , Juni 2010.
Soemardjan, Selo. 1980. Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan, dalam Analisis Kebudayaan.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai