Anda di halaman 1dari 17

PAJAK TANGGUHAN

Bagi rekan-rekan yang mengalami kesulitan dalam memahami penghitungan pajak


tangguhan (deferred tax), bisa mencoba membaca tulisan ini. Uraian dalam tulisan
ini mungkin (sangat) berbeda dengan yang selama ini ada di texbook apalagi PSAK,
sehingga bisa dijadikan alternatif dalam upaya memahami pajak tangguhan. Tulisan
ini dimulai dengan konsep dasar pajak tangguhan yang kemudian diikuti dengan
penerapannya untuk beberapa jenis aset/liabilitas.

Jika ada pertanyaan, komentar atau ingin menjawab pertanyaan yang ada, terkait
tulisan ini, silahkan ditulis di bagian comment.

A. KONSEP PAJAK TANGGUHAN

Di Indonesia pajak tangguhan diatur dalam PSAK 46: Pajak Penghasilan. Pajak
tangguhan adalah beban pajak (deferred tax expense) atau manfaat pajak (deferred
tax income) yang akan menambah atau mengurangi jumlah pajak yang harus
dibayar di masa depan. Pajak tangguhan ini timbul karena perbedaan saat
pengakuan pendapatan atau beban antara peraturan perpajakan (fiskal) dengan
standar akuntansi keuangan (komersial). Perbedaan saat pengakuan ini
mengakibatkan pendapatan/beban yang diakui pada masing-masing periode
berbeda, namun secara keseluruhan pada akhirnya jumlah total pendapatan/beban
yang diakui sama antara fiskal dan komersial. Oleh karena itu perbedaan ini biasa
disebut sebagai beda sementara (temporary different). Beban/manfaat pajak
tangguhan tidak akan mempengaruhi jumlah pajak terutang yang dihitung sesuai
dengan peraturan perpajakan (pajak kini).

Beban pajak adalah jumlah pajak yang dihitung dengan cara dan tarif sesuai
ketentuan perpajakan dengan saat pengakuan pendapatan/beban sesuai standar
akuntansi keuangan. Jumlah beban pajak ini bisa berbeda dengan pajak kini (pajak
yang dihitung sesuai dengan ketentuan perpajakan). Jika jumlah beban pajak dan
jumlah pajak kini tidak sama maka selisihnya merupakan pajak tangguhan. Beban
pajak dapat dirumuskan sbb:

Pajak tangguhan dapat berupa beban pajak tangguhan (debet) atau manfaat pajak
tangguhan (kredit). Berdasarkan rumus di atas, jika pajak tangguhan berupa beban
maka jumlah pajak terutang (dibayarkan)/pajak kini lebih kecil dari beban pajak yang
berarti kekurangannya harus dibayarkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu
pengakuan beban pajak tangguhan mengakibatkan harus diakuinya liabilitas pajak
tangguhan. Sebailknya Jika pajak tangguhan berupa manfaat (income) maka jumlah
pajak terutang (dibayarkan)/pajak kini lebih besar dari beban pajak yang berarti
kelebihannya dapat dikurangkan dari pajak yang harus dibayarkan di masa yang
akan datang. Oleh karena itu pengakuan manfaat pajak tangguhan mengakibatkan
harus diakuinya aset pajak tangguhan.
Pajak tangguhan dapat dihitung dengan pendekatan neraca dan pendekatan laba
rugi. Dalam kondisi normal kedua pendekatan tersebut akan menghasilkan angka
yang sama. PSAK 46 mengharuskan untuk menggunakan pendekatan neraca.

A.1 Pendekatan Neraca

Sesuai dengan namanya pendekatan ini menggunakan akun-akun neraca dalam


penghitungan pajak tangguhan. Terlebih dahulu dihitung angka saldo aset/liabilitas
pajak tangguhan per tanggal neraca, kemudian angka ini dibandingkan dengan
angka yang sama di periode sebelumnya untuk mendapatkan angka beban/manfaat
pajak tangguhan.

Gambar A.1.1 Laporan Posisi Keuangan (Neraca)


Gambar di atas merupakan laporan posisi keuangan yang disederhanakan. Dari
gambar di atas dapat dilihat bahwa dari total aset entitas yang pada akhirnya
menjadi hak pemilik (net aset) adalah sebesar total aset dikurangi bagian yang
digunakan untuk melunasi kewajiban entitas (liabilitas). Net aset yang jumlahnya tak
lain adalah sebesar ekuitas dapat dirumuskan dengan formula berikut:

Net aset ini bisa diambil oleh pemilik atau dibiarkan tetap berada diperusahaan dan
digunakan oleh entitas untuk melakukan kegiatan usahanya. Untuk memudahkan
pemahaman mengenai pajak tangguhan kita asumsikan semua net aset dibiarkan
tetap berada diperusahaan dan digunakan oleh entitas untuk melakukan kegiatan
usahanya. Jika net aset ini digunakan untuk melakukan kegiatan usaha, maka pada
akhirnya semua dari net aset ini akan menjadi beban.
Gambar A.1.2. Konsep Dasar Pajak Tangguhan
Ilustrasi di atas menggambarkan konsep dasar penghitungan pajak tangguhan.
Perbedaan saat pengakuan pendapatan/beban antara standar akuntansi dan
ketentuan perpajakan akan menyebabkan per tanggal tertentu (tanggal neraca)
jumlah net aset fiskal (NAF) berbeda dengan jumlah net aset komersial (NAK).
Akibatnya di masa yang akan datang jumlah beban yang akan terjadi akan berbeda
pula. Jika posisinya seperti gambar di atas, dimana NAF lebih besar dari NAK, maka
di masa depan jumlah beban fiskal akan lebih besar dari jumlah beban komersial.

Pada jumlah pendapatan tertentu (yg sama), hal ini akan mengakibatkan jumlah laba
fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan laba komersial. Ini berarti di masa yang
akan datang jumlah pajak terutang (yang dibayarkan) akan lebih kecil dibandingkan
dengan beban pajaknya. Dengan demikian posisi keuangan saat ini menyebabkan
entitas memiliki manfaat ekonomi yang bisa dipakai untuk “membayar” beban pajak
di masa depan sehingga harus diakui adanya aset (aset pajak tangguhan). Besarnya
aset pajak tangguhan sebesar selisih net aset dikali tarif pajak yang berlaku di masa
depan.

Jika terjadi kejadian sebaliknya, yaitu NAF lebih kecil dari NAK. Maka efek yang
berkebalikan dengan uraian di atas akan terjadi yang akan berujung pada harus
diakuinya liabilitas pajak tangguhan. Dengan mendasarkan pada gambar di atas
maka untuk kedua kondisi tersebut dapat digambarkan secara lebih sederhana
sebagai berikut.
Gambar A.1.3. NAF vs NAK dan Pajak Tangguhan
Setelah memahami konsep dasar pajak tangguhan di atas, sekarang kita lihat
penerapan konsep tersebut pada masing-masing komponen net aset yaitu aset dan
liabilitas. Seperti telah dijelaskan di atas net aset adalah jumlah aset setelah
dikurangi dengan jumlah liabilitas. Berikut ilustrasi yang menggambarkan penerapan
konsep dasar pajak tangguhan pada aset dan liabilitas.

Gambar A.1.4. Penerapan Konsep Pajak Tangguhan pada Aset dan Liabilitas
Seperti terlihat pada gambar di atas, untuk aset karena aset berbanding lurus
dengan net aset, maka jika nilai buku fiskal (NBF) aset lebih besar dari nilai
komersial (NBK) aset akan menyebabkan NAF lebih besar dari NAK dan berujung
pada harus diakuinya aset pajak tangguhan. Sedangkan untuk liabilitas karena
liabilitas berbanding terbalik dengan net aset, maka jika NBF liabilitas lebih besar
dari NBK liabilitas akan menyebabkan NAF lebih kecil dari NAK dan berujung pada
harus diakuinya liabilitas pajak tangguhan.
Bagaimana dengan rugi fiskal? Untuk mengetahui pengaruh rugi fiskal terhadap
penghitungan pajak tangguhan, perhatikan gambar berikut.
Gambar A.1.5. Pajak Tangguhan Rugi Fiskal
Rugi yang dialami oleh suatu entitas akan mengurangi ekuitas (saldo laba). Di
bagian awal telah ditunjukan bahwa net aset sama dengan ekuitas. Secara fiskal
kerugian tidak diakui pada saat tahun terjadinya, tetapi diakui setelah entitas
memperoleh laba (dilakukan kompensasi). Dengan demikian akumulasi kerugian
yang belum dikompensasi secara komersial sudah mengurangi net aset (ekuitas)
tetapi secara fiskal belum diakui. Hal ini mengakibatkan net aset fiskal menjadi lebih
besar dari net aset komersial. Seperti ditunjukan oleh gambar di atas kondisi
tersebut akan berujung pada harus diakuinya aset pajak tangguhan.

Setelah mengetahui penghitungan aset/liabilitas pajak tangguhan tahap berikutnya


adalah mengitung beban/manfaat pajak tangguhan. Beban/manfaat pajak tangguhan
diperoleh dengan membandingkan aset/liabilitas pajak tangguhan per tanggal
neraca periode sekarang dengan aset/liabilitas pajak tangguhan per tanggal neraca
periode sebelumnya.

Perhatikan gambar/rumus berikut.

Gambar A.1.6. Penghitungan Beban (Manfaat) Pajak Tangguhan


Jika hasil penghitungan sebelumnya menghasilkan angka berupa aset pajak
tangguhan maka besarnya manfaat pajak tangguhan sama dengan aset pajak
tangguhan hasil penghitungan dikurangi saldo aset pajak tangguhan periode
sebelumnya. Jika saldo periode sebelumnya berupa liabilitas pajak tangguhan maka
angka ini ditambahkan (bukan dikurangkan). Jika penghitungan menghasilkan angka
positip berarti angka yang diperoleh merupakan angka manfaat pajak
tangguhan (deferred tax income). Sebaliknya jika penghitungan menghasilkan angka
negatif berarti angka yang diperoleh merupakan angka beban pajak
tangguhan (deferred tax expense).

Berikut ayat jurnal untuk mencatat manfaat pajak tangguhan:

Jika hasil penghitungan sebelumnya menghasilkan angka berupa liabilitas pajak


tangguhan maka besarnya beban pajak tangguhan sama dengan liabilitas pajak
tangguhan hasil penghitungan dikurangi saldo liabilitas pajak tangguhan periode
sebelumnya. Jika saldo periode sebelumnya berupa aset pajak tangguhan maka
angka ini ditambahkan (bukan dikurangkan). Jika penghitungan menghasilkan angka
positip berarti angka yang diperoleh merupakan angka beban pajak
tangguhan (deferred tax expense). Sebaliknya jika penghitungan menghasilkan
angka negatif berarti angka yang diperoleh merupakan angka manfaat pajak
tangguhan (deferred tax income).

Berikut ayat jurnal untuk mencatat beban pajak tangguhan:

Berikut disajikan tiga contoh penghitungan pajak tangguhan.

Contoh A1.1 Pajak tangguhan aset

Pada tanggal 1 Januari 2xx1 dibeli sebuah aset dengan harga


perolehan Rp.24.000.000,-. Menurut ketentuan perpajakan aset ini masuk kelompok
1 (masa manfaat 4 tahun) dan mendapatkan fasilitas penyusutan dipercepat menjadi
2 tahun. Sesuai dengan standar akuntansi keuangan aset ini diestimasi memiliki
masa manfaat 3 tahun dengan nilai sisa 0 pada akhir masa manfaat. Penghitungan
penyusutan fiskal dan komersial menggunakan metode garis lurus. Tarif pajak tahun
ini dan tahun-tahun berikutnya adalah 25%.
Berikut tabel perbandingan nilai buku fiskal dan nilai buku komersial selama masa
manfaatnya:

Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat


jurnal terkait.
Karena perbedaan angka-angka fiskal dan komersial tersebut pada dasarnya
bersifat sementara maka saldo akun Liabilitas Pajak Tangguhan bersaldo nol pada
akhir tahun 2xx3 seperti terlihat pada T account di bawah ini.
Contoh A1.2 Pajak tangguhan liabilitas

Suatu Perusahaan pada akhir tahun 2xx1 memutuskan untuk memberikan bonus
kepada karyawan sebesar Rp.100.000.000,-. Besaran angka tersebut masih berupa
angka global sehingga belum ada rincian berapa bonus yang akan diterima oleh
masing-masing karyawan. Bonus tersebut dibayarkan kepada karyawan pada tahun
berikutmya yaitu di tahun 2xx2. Tarif pajak tahun 2xx1, 2xx2 dan tahun-tahun
berikutnya adalah 25%.

Perusahaan mencatat beban bonus dengan mengkredit akun Hutang Bonus


sebesar Rp.100.000.000,-.
Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat
jurnal terkait.

Karena perbedaan angka-angka fiskal dan komersial tersebut pada dasarnya


bersifat sementara maka saldo akun Aset Pajak Tangguhan bersaldo nol pada akhir
tahun 2xx2 seperti terlihat pada T account di bawah ini.
Contoh A1.3 Pajak tangguhan rugi fiskal

Sebuah perusahaan mengalami rugi fiskal pada tahun 2xx1 dan tahun 2xx3 masing-
masing sebesar Rp.200.000.000,- dan Rp.100.000.000,-. Pada tahun 2xx3
perusahaan mengalami laba fiskal sebesar Rp.500.000.000,-.Tarif pajak tahun 2xx1,
2xx2, 2xx3 dan tahun-tahun berikutnya adalah 25%.
Pada kondisi seperti itu maka perusahaan mengkompensi seluruh akumulasi rugi
sebesar Rp.300.000.000,- pada tahun 2xx3.
Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat
jurnal terkait.
Karena perbedaan angka-angka fiskal dan komersial tersebut pada dasarnya
bersifat sementara maka saldo akun Aset Pajak Tangguhan bersaldo nol pada akhir
tahun 2xx3 seperti terlihat pada T account di bawah ini.

A.2 Pendekatan Laba Rugi

Berbeda dengan pendekatan neraca yang menggunakan akun-akun neraca dalam


penghitungan pajak tangguhan, pendekatan laba rugi sesuai dengan namanya
menggunakan akun-akun laba rugi dalam penghitungan laba rugi.
Seperti telah dijelaskan di bagian awal tulisan ini, beban pajak adalah jumlah pajak
yang dihitung dengan cara dan tarif sesuai ketentuan perpajakan tetapi dengan saat
pengakuan pendapatan/beban sesuai standar akuntansi keuangan. Jumlah beban
pajak ini bisa berbeda dengan pajak kini (pajak yang dihitung sesuai dengan
ketentuan perpajakan).

Untuk memudahkan pemahaman mengenai pajak tangguhan kita asumsikan bahwa


dalam kaitannya dengan penghitungan pajak terutang, hanya terdapat beda
sementara (temporary different), tidak ada beda tetap (permanent different) dan
tidak ada objek pajak yang bersifat final, semua objek pajak dihitung dengan cara
biasa (tidak final).

Dalam penghitungan pajak terutang, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian atas


angka laba komersial agar menjadi angka laba yang sesuai dengan ketentuan
perpajakan atau biasa disebut laba fiskal. Penyesuaian ini bisa berupa penyesuaian
yang menyebabkan laba fiskal menjadi lebih besar atau biasa disebut sebagai
penyesuaian fiskal positif atau berupa penyesuaian yang menyebabkan laba fiskal
menjadi lebih kecil atau biasa disebut sebagai penyesuaian fiskal negatif.

Karena menyebabkan laba fiskal naik, maka penyesuaian fiskal positif akan
mengakibatkan pajak yang dibayarkan lebih besar dari beban pajak. Selisih lebih
tersebut merupakan aset pajak tangguhan karena dapat digunakan untuk
“membayar” beban pajak periode lainnya. Sedangkan penyesuaian fiskal negatif
karena menyebabkan laba fiskal turun, maka akan mengakibatkan pajak yang
dibayarkan lebih kecil dari beban pajak. Selisih kurang tersebut merupakan liabilitas
pajak tangguhan karena harus dibayarkan pada periode lainnya. Selisih lebih atau
kurang tersebut yang juga merupakan aset/liabilitas pajak tangguhan adalah
sebesar angka penyesuaian fiskal dikalikan dengan tarif pajak.
Ilustrasi berikut menggambarkan pengaruh penyesuaian fiskal terhadap
penghitungan pajak tangguhan.

Gambar A.2.1 Penyesuaian Fiskal dan Pajak Tangguhan

Sesuai ketentuan perpajakan, nilai pajak terutang minimal adalah nol (nihil), tidak
ada pajak terutang bernilai negatif. Sedangkan standar akuntansi memungkinkan
adanya beban pajak bernilai negatif (manfaat pajak/income). Oleh karena itu rugi
fiskal (laba fiskal negatif) untuk kepentingan penghitungan pajak terutang harus
dinaikan menjadi nol, dengan kata lain dilakukan penyesuaian fiskal positif. Dengan
demikian rugi fiskal dalam penghitungan pajak tangguhan memiliki efek yang sama
dengan penyesuaian fiskal positif. Pada tahun-tahun berikutnya setelah tahun
terjadinya rugi fiskal, saat perusahaan telah memperoleh laba fiskal, perusahaan
dapat malakukan kompensasi rugi fiskal. Kompensasi dilakukan dengan cara
mengurangkan kerugian yang dialaminya pada laba fiskal yang diperoleh pada
tahun tersebut. Kompensasi rugi fiskal akan menyebabkan laba fiskal turun,
sehingga kompensasi rugi fiskal memiliki efek yang sama dengan penyesuaian fiskal
negatif.

Pencatatan manfaat/beban pajak tangguhan dan aset/liabilitas pajak tangguhan


sama dengan yang telah dijelaskan di bagian penghitungan pajak dengan
pendekatan neraca.

Berikut disajikan tiga contoh penghitungan pajak tangguhan dengan menggunakan


pendekatan laba rugi. Soal menggunakan soal yang sama dengan contoh soal pada
pendekatan neraca di atas. Dengan demikian kita bisa membandingkan hasil
penghitungan atas soal yang sama dengan menggunakan pendekatan neraca dan
pendekatan laba rugi.
Contoh A2.1 Pajak tangguhan aset

Pada tanggal 1 Januari 2xx1 dibeli sebuah aset dengan harga


perolehan Rp.24.000.000,-. Menurut ketentuan perpajakan aset ini masuk kelompok
1 (masa manfaat 4 tahun) dan mendapatkan fasilitas penyusutan dipercepat menjadi
2 tahun. Sesuai dengan standar akuntansi keuangan aset ini diestimasi memiliki
masa manfaat 3 tahun dengan nilai sisa 0 pada akhir masa manfaat. Penghitungan
penyusutan fiskal dan komersial menggunakan metode garis lurus. Tarif pajak tahun
ini dan tahun-tahun berikutnya adalah 25%.

Berikut perbandingan tabel penyusutan fiskal dan tabel penyusutan komersial


selama masa manfaatnya:

Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat


jurnal terkait.
Karena perbedaan angka-angka fiskal dan komersial tersebut pada dasarnya
bersifat sementara maka saldo akun Liabilitas Pajak Tangguhan bersaldo nol pada
akhir tahun 2xx3 seperti terlihat pada T account di bawah ini.

Contoh A2.2 Pajak tangguhan liabilitas

Suatu Perusahaan pada akhir tahun 2xx1 memutuskan untuk memberikan bonus
kepada karyawan sebesar Rp.100.000.000,-. Besaran angka tersebut masih berupa
angka global sehingga belum ada rincian berapa bonus yang akan diterima oleh
masing-masing karyawan. Bonus tersebut dibayarkan kepada karyawan pada tahun
berikutmya yaitu di tahun 2xx2. Tarif pajak tahun 2xx1, 2xx2 dan tahun-tahun
berikutnya adalah 25%.
Perusahaan mencatat beban bonus dengan mengkredit akun Hutang Bonus
sebesar Rp.100.000.000,-.

Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat


jurnal terkait.

Karena perbedaan angka-angka fiskal dan komersial tersebut pada dasarnya


bersifat sementara maka saldo akun Aset Pajak Tangguhan bersaldo nol pada akhir
tahun 2xx2 seperti terlihat pada T account di bawah ini.

Contoh A2.3 Pajak tangguhan rugi fiskal

Sebuah perusahaan mengalami rugi fiskal pada tahun 2xx1 dan tahun 2xx3 masing-
masing sebesar Rp.200.000.000,- dan Rp.100.000.000,-. Pada tahun 2xx3
perusahaan mengalami laba fiskal sebesar Rp.500.000.000,-. Tarif pajak tahun
2xx1, 2xx2, 2xx3 dan tahun-tahun berikutnya adalah 25%.
Pada kondisi seperti itu maka perusahaan mengkompensi seluruh akumulasi rugi
sebesar Rp.300.000.000,- pada tahun 2xx3.

Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat


jurnal terkait.

Karena perbedaan angka-angka fiskal dan komersial tersebut pada dasarnya


bersifat sementara maka saldo akun Aset Pajak Tangguhan bersaldo nol pada akhir
tahun 2xx3 seperti terlihat pada T account di bawah ini.
A.3 Penggabungan Hasil Penghitungan Pajak Tangguhan

Biasanya aset dan atau liabilitas yang terkait dengan penghitungan pajak tangguhan
berjumlah lebih dari satu. Jika penghitungan pajak tangguhan melibatkan lebih dari
satu aset/liabilitas maka angka beban/manfaat pajak tangguhan dari semua
aset/liabilitas di jumlahkan. Pada kondisi dimana penghitungan untuk sebagian aset
menghasilkan angka beban pajak tanguhan sedangkan aset lainnya menghasilkan
angka manfaat pajak tangguhan, maka dilakukan “netting”. Jika angka beban lebih
besar maka dicatat beban pajak tangguhan sebesar selisihnya, sebaliknya dicatat
sebagai manfaat pajak tangguhan.

Sebagai ilustrasi misalnya suatu perusahaan memiliki aset sesuai dengan contoh
pertama dan kedua pada contoh soal di atas.
Berikut penghitungan pajak tangguhan untuk masing-masing tahun disertai ayat
jurnal terkait dan akun serta saldo yang dilaporkan pada Laporan Posisi Keuangan.
Demikian tulisan saya mengenai pajak tangguhan, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai