Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

RUANG LINGKUP, METODE,

DAN PEMBAGIAN FILSAFAT

Makalah ini diajukan sebagai pemenuhan tugas pada Mata Kuliah

Filsafat Pendidikan

Disusun Oleh:

KELOMPOK 2

1. MAYA PRATIWI (15002062)


2. RABIAITUL (1 )
3. TIARA INDAH W (1 )
4.

UNIVERSITAS NEGERI PENDIDIKAN

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat
yang diberikan-Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul “Ruang Lingkup,
Metode, dan Pembagian Filsafat” ini dapat kami selesaikan. Makalah ini kami
buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran demi terwujudnya
makalah ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca khususnya Ibu
Dosen Pembimbing pada mata kuliah ini guna penyempurnaan tulisan
selanjutnya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Banyak diantara kita terutama kita sebagai mahasiswa sering mendengar
kata “filsafat”, akan tetapi banyak pula dari kita yang hanya sekedar tahu filsafat
di permukaanya saja. Sebagian orang menganggap pembelajaran filsafat ataupun
materi pembahasan tentang filsafat kurang menarik untuk dipelajari. Padahal
filsafat adalah ilmu yang dapat menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis,
dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan.
Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas secara jelas dan
padat mengenai filsafat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah yang termasuk ke dalam ruang lingkup filsafat?
2. Metode - metode seperti apa sajakah yang ada dalam filsafat?
3. Bagaimanakah pembagian dalam filsafat?
4. Seperti apakah perbedaan filsafat dengan ilmu dan agama?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memaham apa-apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup
filsafat.
2. Mengetahui dan memahami apa saja metode yang ada dalam filsafat.
3. Mengetahui dan memahami bentuk pembagian filsafat.
4. Mampu memahami perbedaan antara filsafat dengan ilmu dan agama.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Filsafat


Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang mencakup ilmu-ilmu
khusus. Dalam perkembangannya ilmu-ilmu khusus itu memisahkan diri dari
induknya yakni filsafat.
Filsafat sebagai induk ilmu-ilmu lainnya masih terasa pengaruhnya.
Setelah ilmu filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu lainnya, ternyata filsafat tidak
mati tetapi hidup dengan corak tersendiri yakni sebagai ilmu yang memecahkan
masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Ruang lingkup fisafat adalah segala sesuatu lapangan pemikiran manusia
yang amat luas (komprehensif). Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar
ada (nyata), baik material konkrit maupun material abstrak (tidak terlihat). Jadi
obyek filsafat itu tidak terbatas. (Noor Syam,1988:22)
Adapun menurut pendapat para ahli tentang ruang lingkup filsafat :
1. Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya
2. Tentang ada dan tidak ada
3. Tentang alam, dunia dan seisinya
4. Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk
5. Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lainnya
6. Tuhan tidak dikecualikan.

B. Metode Filsafat
Ada tiga metode berfikir yang digunakan untuk memecahkan problema-
problema filsafat, yaitu: metode deduksi, induksi, dan dialektika.
1. Metode Deduksi
Metode Deduksi adalah suatu metode berpikir dimana suatu
kesimpulan ditarik dari prinsip-prinsip umum dan kemudia diterapkan kepada
semua yang bersifat khusus.
Contohnya sebagai berikut:
a. Semua manusia adalah fana (prinsip umum)
b. Semua raja adalah manusia (prinsip khusus)
c. Karena itu semua raja adalah fana (kesimpulan)

2. Metode Induksi
Metode Induksi adalah suatu metode berpikir dimana suatu
kesimpulan ditarik dari prinsip khusus kemudian diterapkan kepada sesuatu
yang bersifat umum.
Contohnya sebagai berikut:
a. Bagus adalah manusia (prinsip khusus)
b. Dia akan mati (prinsip umum)
c. Seluruh manusia akan mati (kesimpulan)

3. Metode Dialektik
Metode Dialektik yaitu suatu cara berpikir dimana suatu kesimpulan
diperoleh melalui tiga jenjang penalaran: tesis, antitesis dan sintesis. Metode
ini berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argument yang di dalamnya
terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling
mempengaruhi argumen tersebut akan menunjukkan bahwa tiap proses tidak
menyajikan pemahaman yang sempurna tentang kebenaran.
Dengan demikian, timbullah pandangan dan alternatif yang baru.
Pada setiap tahap dari dialektik ini kita memasuki lebih dalam pada problema
asli. Dan dengan demikian ada kemungkinan untuk mendekati kebenaran.
Hegel menganggap bahwa metode dialektik merupakan metode
berpikir yang benar, ia maksudkan ialah hal-hal yang sebenarnya sering kita
alami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari kerap kali
kita mengalami perlunya mendamaikan hal-hal yang bertentangan. Tidak
jarang terjadi bahwa kita mesti mengusahakan kompromi antara beberapa
pandapat atau keadaan yang berlawanan satu sama lain. Nah, maksud Hegel
mirip dengan pengalaman kata itu. Hegel sangat mengagumi filsuf yunani
Herakleitos yang mengatakan bahwa “pertentangan adalah bapak segala
sesuatu”.
Proses dialektik selalu tradisi dari tiga fase. Fase pertama disebut
tesis yang menampilkan “lawan” dari fase kedua yaitu antitesis. Akhirnya,
disebut fase ketiga disebut sintesis, yang mendamaikan antara tesis dan
antitesis yang saling berlawanan. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi
tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya
dinamakan menjadi sintesis baru. Demikian selanjutnya setiap sintesis dapat
menjadi tesis.
Contoh tesis, antitesis dan sintesis.
a. Dalam keluarga, suami istri adalah dua makhluk yang berlainan yang
dapat berupa tesis dan antitesis. Bagi suami, anak merupakan bagian dari
dirinya sendiri. Begitu juga sang istri, dengan demikian si anak
merupakan sintesis bagi suami istri tadi.

Metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan filsafat,


berbeda dengan metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Ada tiga
macam metode untuk mempelajari filsafat, diantaranya:
1. Metode Sistematis
Metode ini bertujuan agar perhatian pelajar/ mahasiswa terpusat
pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pada metode.
Misalnya, mula-mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori
pengetahuan yang berdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu
mempelajari teori hakikat, teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini
dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat untuk membahas setiap cabang
atau sub cabang itu, aliran-aliran akan terbahas.

2. Metode Histories
Metode ini digunakan untuk mempelajari filsafat dengan cara
mengikuti sejarahnya dapat dibicarakan dengan tokoh-tokoh menurut
kedudukannya dalam sejarah. Misal dimulai dari pembicarakan filsafat thales,
membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori
pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas dilanjutkan
dalam membicarakan Anaxr mandios Socrates, lalu Rousseau Kant dan
seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer.

3. Metode kritis
Metode ini digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat
tingkat intensif. Sebaiknya metode ini digunakan pada tingkat sarjana.
Disini gajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis
ataupun histories. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian
pelajar mencoba mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk
menentang. Dapat juga berupa dukungan. Ia mungkin mengkritik
mendapatkan pendapatnya sendiri ataupun menggunakan pendapat filsuf
lain. Jadi jelas tatkala memulai pelajaran amat diperlukan belajar filsafat
dengan metode ini.

C. Pembagian Filsafat
Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti aristoteles (384-322
SM) dan Imanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus
kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga
tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat.
Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian
aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi.
Namun ada juga yang membagi filsafat berdasarkan karakteristik
objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu :
1. Filsafat umum/murni
a. Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b. Epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan/ kenyataan
c. Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan
kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang memasukkan Logika ke
dalam kajian epistimologi.
d. Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.

2. Filsafat Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek


kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat
bahasa, dan lain sebagainya.
Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf
yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering
kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan,
kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari filsafat
Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time (1979), dia
menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”.
Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat ditemukan pada
eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam
bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan, dan
pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.
a. Metafisika
Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi
mengenai karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari
kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-
aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada
(being), eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan
lain sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan
(appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba
mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran
naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada
prinsipnya sama dengan peristiwa material dan natural.
Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikiran-
pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan
menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa
metafisika tidak mungkin karena melampaui batas-batas kemampuan indera untuk
membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenaran yang dikemukakan
oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan
diukur kebenarannya. Dalam perkembangannya, metafisika kemudian dibagi lagi
menjadi tiga sub cabanga, yaitu :
1. Ontology, mengkaji persoalan-persoalan tentang ada (dan tiada)
2. Kosmologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan
unsur-unsur yang membentuk alam semesta
3. Humanologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan
antara jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia
4. Teologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama

2. Epistemologi dan Logika


Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori.dengan
demikian epistemology adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai esensi
pengetahuan.
Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemology berusaha untuk
mencari jawaban atas pertanyaan “apakah pengetahuan?”. Tetapi secara spesifik
epistemology berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks, seperti
hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang
melampaui panca indera, status ontology dari teori-teori ilmiah, hubungan antara
konsep-konsep atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang
ditunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata tersebut, dan analisis atas tindakan
mengetahui itu sendiri.
Menurut J.F. Ferrier, epistemology pada dasarnya berkenaan dengan
pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-struktur,
metode-metode dan validitas pengetahuan.
Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara untuk
menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan sebagai
pengkajian untuk berfikir secara sahih. Ada banyak cara menarik kesimpulan.
Namun secara garis besar, semua itu didigolongkan menjadi dua cara yaitu logika
induktif dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-
kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan
logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Baik logika
induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan
penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor,
kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah
satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya
akan salah.
3. Aksiologi
Aksiologi merupakan kajian filsafat mengenai nilai. Nilai sendiri adalah
suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu objek sehingga sesuatu itu
dianggap bernilai atau tidak bernilai. Pada masa kini objeknya lebih banyak
berupa sains dan teknologi. Peradaban manusia masa kini sangat bergantung pada
ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang ini
pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Banyak
sekali penemuan-penemuan baru yang amat membantu kehidupan manusia,
seperti misalnya penemuan dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Namun di pihak lain, perkembangan-perkembangan tersebut
mengesampingkan factor manusia. Di mana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun sering kali
kini yang terjadi adalah sebaliknya. Manusialah yang akhirnya harus
menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai
sarana yang memberikan kemudahan bagi manusia, melainkan dia ada bertujuan
untuk eksistensinya sendiri. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang
kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang ada. Masalah nilai moral tidak bisa terlepas dari tekat manusia
untuk menemukan kebenaran. Sebab untuk menemukan kebenaran dan kemudian
terutama untuk mempertahankannya, diperlukan keberanian moral.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan
pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersikap netral terhadap
nilai-nilai, bik itu secara ontologis, mau pun aksiologis. Dalam hal ini tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain dalam
mempergunakannya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan.
Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan. Sedangkan dalam
penggunaannya bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus
berlandaskan asas-asas moral.
Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi dibagi
menjadi dua sub cabang yaitu :
1. Etika. Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana
seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku, apa makna etika atau
moralitas dalam kehidupan manusia.

2. Estetika. Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk).


Mengkaji mengenai keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan oleh
keindahan.

Anda mungkin juga menyukai