Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
1. Pengertian Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Menurut Satya Negara (1998:148) mengemukakan bahwa cedera kepala
merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu
kekuatan mekanis.
Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala
atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan
gangguan fugsional jaringan otak.

2. Pengertian Trauma Kepala Sedang


Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica
E.D Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan
cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran
lethargi, obtunded atau stupor.

3. Pengertian craniotomy
Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642)
mengemukakan bahwa kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak,
sedangkan Ahmad Ramali (1996: 62) mendefinisikan craniotomy adalah setiap
pembedahan pada tulang tengkorak.
Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi
adalah pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak.
4. Pengertian Dekompresi
Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau
mengevakuasi bekuan darah dari tulang tengkorak.
5. Pengertian Subdural Hematoma
Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang
terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena.
Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 228)
hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter
dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif
Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah pengumulan darah dalam
rongga antara durameter dan membran subarakhnoid yang bersumber dari robeknya
vena.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma
subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan
arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi
atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra
ialah operasi pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna
mengevakuasi bekuan darah atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat
kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara
durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena di daerah
fronto temporo parietal dextra.

2.2. Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar
adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang
tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
1. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur,
mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis
anterior atas dan fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus
sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol
motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai
ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya
diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4),
korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area
Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol
ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal
(Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh
karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan
rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk
menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara,
1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan
lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang
berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-
memori.
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus
oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum,
fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi,
keinginan dan memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada
gambar 2.1 dibawah ini:
Gbr.2.1. Penampang lateral lobus-lobus otak

Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998
a. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis
dan otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus
temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantun
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi
sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur,
keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur,
intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin,
dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi
bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke
atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah
bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius
berjalan ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis
berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons
varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan
medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan
pernafasan dan reflek.
Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula
oblongata dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah
yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah
medula oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan
bagian atas medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian
ventral medula oblongata.
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari
medula spinalis dan otak yang terdiri dari:
a) mengontrol pekerjaan jantung
b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek

Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di
bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di
bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater
pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak,
rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua
hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II
terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari
medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut
pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan
sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium
memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124)

2.3. Etiologi
1. Menurut Satyanegara,1998:148. Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah
satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat,
baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan
2. Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya
trauma kepala adalah seperti berikut :
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti
translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-
tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.
Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat,
2009).

2.4. Manifestasi Klinis


1. Rupturenya aneurisme menyebabkan sakit kepala mendadak, biasanya terjadi sangat
hebat, seringkali terjadi kehilangan kesadaran selama beberapa periode, nyeri dan
kekauan bagian belakang leher dan tulang belakang, gangguan penglihatan
(kehilangan penglihatan, diplopia, ptosis).
2. Dapat juga terjadi tinnitus, pusing, dan hemiparesis. Jika aneurisme mengeluarkan
darah, pasien mungkin sedikit memperlihatkan deficit neurologis, atau perdarahan
hebat, mengakibatkan kerusakan serebral yang dengan cepat diikuti dengan koma
dan kematian.
3. Prognosis tergantung pada kondisi neurologis, usia pasien penyakit yang berkaitan,
dan luas serta letak aneurisme.
2.5. Jenis Trauma Kepala
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, kaparahan, dan morfologi
cedera.
1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater
a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

2. Keparahan cedera (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica
E.D Adiyanti, 1996:226)
a. Ringan : Skala koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif.
Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya
konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya
mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau
hematoma kulit kepala
b. Sedang : GCS 9-13
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12,
tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah,
amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea
cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.
c. Berat : GCS 3-8
Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat
kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda
neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intra kranial.

3. Morfologi
a. Fraktur tengkorak : kranium : linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup: basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
b. Lesi intrakranial : fokal: menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung
Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49)
epidural, Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di
antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau
rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak
(laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas,
disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan
kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara
perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin
menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese
kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas
tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen)
yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena
proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya
pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
c. Perdarahan Intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala menurut:Suzanne
C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk
(1996:49) adalah sebagai berikut:
1) Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara
tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau
rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak
(laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas,
disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan
kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata
secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang
makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan
parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya
perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan
menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang
dapat menyebabkan herniasi unkus.
2) Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat
juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi
subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya
pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural
dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh
yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala
mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam
keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk
dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan darah
meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai
dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan
adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
2. Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan
dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural
akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural
akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan
otak.
3. Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya
perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan
meluas. Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu
atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan
reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami
cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat
proses penuaan. Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang
cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif.
3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi
pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera
peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin
juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan
ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor
intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan
menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi
perdarahan

2.6. Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter
Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa
Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi
dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek
akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau
memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan
mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran
yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih
kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel
endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak
karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan
duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena
“gantung” (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus
venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada
ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga
menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat
sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.

Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan
yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan
peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang
paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena
adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di
dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan
edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang
terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.

2.7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya


Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu
sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih
bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai
berikut :
1. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi
perdarahan dan edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian
bradikardi dan iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas
atipikal miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh
persyarafan simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan
menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya
stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.
2. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau
hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne
stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan
CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada
kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah
medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat
menyebabkan terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan
terjadi obstruksi pada saluran pernapasan.
3. Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post
craniotomy pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena
efek narkose. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan
merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior
hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani
edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan
ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas
terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani
stres yang mempengaruhi produksi lambung.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung.
sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual dan
muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala
ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.
4. Sistem endokrin dan perkemihan
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya
retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium
disebutkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan
pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala
khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus
atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus. Pada
keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada
pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi.
Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine
karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna.
5. Sistem muskuloskeletal
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak,
terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat
gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan
kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.
6. Sistem integumen
Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila
penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor,
kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit
selain itu juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan
akan tampak banyak keringat.

2.8. Komplikasi pada trauma kepala


1. Sindrom pasca konkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi setelah cedera vestibular
2. Kebocoran cairan serebro spinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan Antara rongga
subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil
dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis dikemudian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini
membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga dibutuhkan
terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten.
3. Epilepsy pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam minggu pertama
setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi
cranium, hematoma intracranial.
4. Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan) dapat
mengakibatkan demensia

2.9. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk,1996:57;
Arif Mansjoer, dkk, 2000: 4)
Menilai tingkat keparahan :
1. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
 Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
 Tidak ada kehilangan kesadaran, misalnya konkusi
 Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
 Tidak ada kriteria cedera sedang – beratCedera kepala sedang (kelompok
resiko sedang)
 Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
 Konkusi
 Amnesia pasca trauma
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
 Kejang
2. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
 Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium

2.10. Pemeriksaan Diagnostik


1. Skan CT ( tanpa /dengan kontras ) : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau brkembngnya gelombang patologis.
5. Sinar x : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari geras tengah, adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak
7. PET (positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui ada masalah ventilasi atau oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.11. Penatalaksanaaan Khusus
1. Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut :
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status
mini mental dan gaya berjalan) dalam batas
normal
 Foto servikal jelas normal
 Adanya orang yang bertanggung jawab untuk
mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian
gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
 Adanya darah intrakranial atau fraktur
yang tampak pada CT scan
 Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
 Adanya tanda dan gejala neurologis
fokal
 Intoksikasi obat atau alkohol
 Adanya penyakit medis komorbid yang
nyata
 Tidak adanya orang yang dapat
dipercaya untuk mengamati pasien di
rumah.

2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT
scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di
rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
 Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan
dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat,
Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian
300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini
(minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan
intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya
epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang,
fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau
ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus
diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan)
 Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera
otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres
dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
 Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan
cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan
komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap
4-6 jam selama 48-72 jam)
 Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat
ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6
jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
 Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien
dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin
dapat mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan
otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
 Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi
 Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%
 Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
 Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai
urea N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua)
BAB 3
PEMBAHASAN

ASKEP KASUS PADA Tn. W DENGAN CIDERA KEPALA BERAT

Tn.W (28 tahun) dibawa ke IGD RSUD Sukamaju pada tanggal 14 Februari 2016
pukul 19.30 WIB akibat kecelakaan lalu lintas, pasien mengalami penurunan kesadaran. Hasil
pengkajian terdapat perdarahan aktif telinga kanan, hematoma pada kepala kanan atas ukuran
3 x 3 cm, hematoma pada alis kiri ukuran 4 x 5 cm + luka robek ukuran 2 x 1 cm, lecet pada
pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, perdarahan dari hidung. Tanda-tanda vital, Nadi: 104 x/menit,
Temp: 380C, RR : 29 x/mnt, TD :100/60 mmHg. GCS = E: 2 V: 2 M: 3 (GCS = 7). Hasil CT
Scan menunjukkan Sub Dural Hematoma (SDH) dextra, Fraktur maxilla sinistra.

Tanggal masuk : 14 februari 2016


Jam masuk : 19.30 WIB
Tanggal Pengkajian : 14 februari 2016
Ruangan : IGD
No register : 6264xx
Dx : Cidera Kepala Berat
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Tn. W
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan
Agama : Islam Islam
Suku : Jawa
Alamat : Purwokerto
Penanggung jawab
Nama : Tn. X
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Hub dengan klien : Ayah

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien dibawa ke IGD pada tanggal 14 februari 2016 pukul 19.30 WIB. Pasien
bertabrakan dengan kendaraan bermotor dan mengalami penurunan kesadaran.
Terdapat perdarahan aktif telinga kanan, hematoma pada kepala kanan atas ukuran
3 x 3 cm, hematoma pada alis kiri ukuran 4 x 5 cm + luka robek ukuran 2 x 1 cm,
lecet pada pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, lecet pada bibir atas, perdarahan dari hidung.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Penyakit yang pernah dialami: Klien tidak pernah mengalami penyakit yang berat,
hanya flu dan demam biasa. Riwayat MRS (-), Riwayat DM (-), sakit jantung (-),
asma (-), hipertensi (-)
Alergi : Riwayat alergi terhadap makanan, obat dan benda lain (-)
Kebiasaan: Kebiasaan merokok (-), minum kopi (-), minum alkohol (-)
d. Primary survey
1. Airway : terdapat sumbatan jalan nafas berupa darah dan lendir, ada suara
nafas tambahan (gurgling) seperti orang berkumur
2. Breathing
Look : adanya penggunaan otot bantu pernafasan, gerakan dada simetris
Listen : terdengar bunyi nafas tambahan (gurgling)
Feel : hembusan nafas tidak begitu terasa
3. Circulation : Akral dingin,basah, kulit pucat,terdapat perdarahan di telinga,
hidung, mulut, CRT > 3 detik, terdapat sianosi di kuku
4. Disability :
A (Allert) : klien tidak sadar
V (verbal) : ketika dipanggil klien tidak berespons, hanya merintih
P (pain) : klien masih berespons terhadap rangsang nyeri yang diberikan
U (unresponsive) : klien masih dalam keadaan responsive
5. Exposure : Terdapat perdarahan aktif telinga kanan, hematoma pada kepala
kanan atas ukuran 3 x 3 cm, hematoma pada alis kiri ukuran 4 x 5 cm + luka
robek ukuran 2 x 1 cm, lecet pada pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, lecet pada bibir
atas, perdarahan dari hidung.
e. Secondary survey
Kesadaran : Sopor
KU : Jelek
GCS :7
TTV : Nadi: 104 x/menit, Temp: 380C, RR: 29 x/mnt, TD: 100/60 mmHg.
GCS = E: 2 V: 2 M: 3 (GCS = 7)
Pemeriksaan fisik
1. B1 (breathing)
RR 29x/menit, bunyi nafas tambahan (gurgling) seperti orang berkumur,
penggunaan otot bantu nafas.
2. B2 (blood)
Pasien tampak pucat, Terdapat perdarahan aktif telinga kanan, hematoma pada
kepala kanan atas ukuran 3 x 3 cm, hematoma pada alis kiri ukuran 4 x 5 cm +
luka robek ukuran 2 x 1 cm, lecet pada pipi kiri ukuran 1 x 1 cm, lecet pada
bibir atas, perdarahan dari hidung, Akral dingin, kulit pucat,terdapat perdarahan
di telinga, hidung, mulut, CRT > 3 detik, TD 100/60 mmHg, N 104x/menit
3. B3 (Brain)
GCS = E: 2 V: 2 M: 3 (GCS = 7) dan kesadaran sopor
4. B4 (Bladder)
Perut simetris, tidak ada jejas, tidak terdapat nyeri tekan kandung kemih,
terpasang kateter, warna urin kuning
5. B5 (Bowel)
Bentuk simetris, tidak terdapat jejas, bising usus normal, turgor kulit elastis,
tidak ada nyeri tekan, perkusi timpani (redup pada organ)
6. B6 (Bone)
Pergerakan terbatas karena mengalami penurunan kesadaran
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan Hasil Normal
1 Haemoglobin 9,4 13,0-18,0 gr/dl
2. Hematokrit 33 40-50%
3 Leukosit 21.200 4000-11000/mm3
4 Trombosit 198000 150.000-400.000/mm3
2. Pemeriksaan CT- Scan
Sub Dural Hematoma (SDH) dextra, Fraktur maxilla sinistra
3. Terapi pengobatan
IVFD RL 30 tts/menit
Dexa metahson 3x1, injeksi ampul (iv)
Citicolin 3x1 ampul, injeksi (iv)
Asam transamin 3x1 ampul, injeksi (iv)
Vit k 3x1 ampul, injeksi (iv)
Keterolac 3x1 ampul, injeksi(iv)
Cefotaxime 2x1 gr, injeksi ST (-) / IV
Kateter
Suction
B. ANALISA DATA
Nama : Tn W No registrasi : 6264xxx
Umur : 28 tahun Ruangan : IGD
No Data Etiologi Masalah
1 DS : Tidak dapat dikaji Kerusakan neuro muskular Domain 11 Class 2
DO : Ketidakefektifan
- Terdapat sumbatan darah Defisit Motorik bersihan jalan
dan lendir nafas (00031)
- Bunyi nafas tambahan Defisit refleks motorik
(gurgling)
Refleks batuk menurun
- Frek nafas : > 29x/mnt
- Nafas tidak teratur.
Penumpukan sekresi di
tenggorokan dan mulut
2 DS: Tidak dapat dikaji Trauma kepala Domain 4 Class 4
D O: Risiko
- Tingkat kesadaran sopor Kerusakan pada tulang ketidakefektifan
- GCS 7(E 2,M3,V2) tengkorak perfusi jaringan
- Akral dingin, basah, pucat serebral (00201)
- CRT > 3 detik Perdarahan
- RR 29x/menit
- CT scan: Sub Dural Penambahan volume
Hematoma (SDH) tipis dextra, intakranial pada cavum
Fraktur maxilla sinistra serebral
- Febris 380C
- N 104x/menit Proses desak ruang pada
area otak

kompresi pada vena


sehingga terjadi stagnasi
aliran darah

Peningkatan TIK

Penurunan aliran darah ke


otak

Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas (00031) b.d kerusakan neuromuskular (cedera
pusat pernapasan di otak)
2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral (00201) b.d edema serebral,
peningkatan TIK

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
NANDA NOC NIC

Ketidakefektifan Domain II level 3 Status Manajemen jalan napas (3140)


bersihan jalan nafas pernapasan: Kepatenan
jalan napas (0410) a. Pertahankan kepala dan leher
(00031) b.d kerusakan tetap posisi datar atau tengah
neuromuskular (cedera Pertukaran gas (0402)
(posisi supinasi)
pusat pernapasan di Ventilasi (0403) b. Pastikan jalan nafas tetap terbuka
c. Pemasangan guedele dan lakukan
otak) Kriteria hasil:
penghisapan lendir
Batasan karakteristik: Tidak terdengar unyi d. Observasi fungsi, pernafasan,
nafas tambahan catat frekuensi pernafasan,
- Bunyi nafas
dispnea atau perubahan tanda-
menguntungkan Tidak menggunakan otot
- Sianosis bantu nafas tanda vital
- Perubahan irama nafas e. Evaluasi pergerakan dinding dada
- Perubahan nilai nafas Tidak sianosis
dan auskultasi bunyinya.
- f. Berikan terapi O2 sebanyak 3
Secret dan lendir
berkurang liter.
g. Evaluasi nilai GCS klien
CRT < 3 detik h. Pantau TTV klien
RR < 24x/menit

Risiko ketidakefektifan Domain II level 3 Status Meningkatkan perfusi serebral


perfusi jaringan serebral neurologi: Kesadaran (2550)
(0912)
(00201) b.d edema a. Pertahankan kepala dan leher
serebral, peningkatan Kriteria hasil: tetap posisi datar (posisi
supinasi)
TIK Nilai GCS meningkat b. Monitor tanda-tanda pendarahan
yaitu (12-15) c. Monitor status neurologi
Faktor resiko: d. Hitung dan monitor tekanan
Perdarahan teratasi perfusi serebral
Trauma kepala e. Monitor TIK dan neurologi untuk
Kesadaran membaik yaitu
Gangguan jaringan otak aktivitas perawatan
compos mentis
Cidera otak Tanda-tanda vital normal f. Monitor tekanan arteri rata-rata
TD :120/80 mmhg, g. Monitor tekanan kardiovaskuler
h. Monitor status respirasi
N: 90 x/menit i. Monitor factor penentu dari
RR : 20 x/menit transport oksigen ke jaringan
seperti PaCO2,SaO2 dan Hb serta
S : 37 0C CO2
j. Montor hasil laboratorium untuk
erubahan oksigenasi dan
perubahan asam basa
k. Monitor intake dan output

Monitoring tekanan intrakranium


(2590)

a. Hindari tindakan valsava manufer


(suction lama, mengedan, batuk
terus menerus).
b. Berikan oksigen sesuai
pengobatan diatas
c. Lakukan tindakan bedrest total
d. Minimalkan stimulasi dari luar.
e. Monitor Vital Sign serta tingkat
kesadaran
f. Monitor tanda-tanda TIK
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC
Effendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta : EGC
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga
Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius
Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC
Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Smeltzer, S. Suzanne, Bare, G.Brenda.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi VIII volume 3. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai