Anda di halaman 1dari 17

EMBOLI PARU

 DEFINISI
Pulmonary embolism atau Emboli paru adalah peristiwa infark jaringan paru
akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli.1
Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas, mulai
dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang
mengancam nyawa berupa hipotensi, shock kardiogenik dan keadaan henti
jantung yang tiba-tiba (sudden cardiac death).2,3
 EPIDEMIOLOGI

Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus


pertahun dengan angka kematian mencapai 15% yang menunjukkan bahwa
penyakit ini masih merupakan problema yang menakutkan dan salah satu
penyebab emergensi kardiovaskuler yang tersering.4,5 Laporan lain
menyebutkan bahwa emboli paru secara langsung menyebabkan 100.000
kematian dan menjadi faktor kontribusi kematian oleh penyakit-penyakit
lainnya.6
 ETIOLOGI

Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous
thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara,
emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis.7,8
 PATOFISIOLOGI

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga
faktor yang dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu :
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah
2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability)
3. Statis vena6,10
Emboli paru terjadi karena terlepasnya bagian dari trombus yanng
terbentuk di vena dalam ekstrimitas bawah atau pelvis. Trombus tersebut akan
mengikuti aliran darah menuju arteri pulmonalis dan terjadi sumbatan. Hal ini
akan meningkatkan resistensi vaskuler paru yang berakibat peningkatan
tekanan Ventrikel kanan. Ventrikel kanan akan mengalami dilatasi.9

Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut :

1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi,


neurohumoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan
tekanan arteri pulmonalis
2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati
alveolar dari dampak obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena
hipoventilasi alveolar, rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari
kanan ke kiri dan juga gangguan transfer karbonmonoksida
3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi
reseptor

4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokonstriksi

5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru,


perdarahan paru dan hilangnya surfaktan.3,11
Gambar Patofisiologi Emboli Paru

 MANIFESTASI
Gejala Emboli paru yang paling sering adalah sesak napas, nyeri dada, takipnea,
sinkop, dan batuk. Laporan dari PISAPED (The Prospective Investigative
Study of Acute Pulmonary Embolism Diagnosis) menyebutkan bahwa
penderita 96% penderita dengan Emboli paru mengeluhkan sesak napas
mendadak, nyeri dada atau pingsan (salah satu satu atau kombinasi). Gejala
yang lebih jarang adalah demam, batuk darah, sianosis, hipotensi dan syok.
Ringan beratnya gejala dipengaruhi oleh lokasi emboli di segmen atau
subsegmen cabang arteri pulmonalis. Gejala yang berat akan dialami bila
Emboli Parunya masif. Penderita Emboli paru dapat disertai keluhan TVD bila
terjadi bersamaan, diantaranya ekstrimitas bengkak, nyeri, teraba hangat dan
kemerahan.11

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto Rongten

Foto rongsen dada posisi PA dan lateral penting dalam mengevaluasi


penderita Emboli paru. Foto rontgen dada normal tidak menyingkirkan
diagnosis Emboli paru. Tidak ada gambaran yang khas untuk Emboli paru.

Pada pemeriksaan Foto Rongsen Dada bisa ditemukan hasil yang


normal (14%) atau abnormal. Hasil yang normal pada penderita hipoksia
tanpa bronkospasme mendukung adanya Emboli paru. Abnormalitas yang
ditemukan antara lain atelectasis lempeng (68%), Efusi pleura (48%),
Hampton hum (35% - opasitas menyerupai efusi menunjukkan adanya
infark parenkim distal dari trombus), peningkatan hemidiafragma (24%),
Fleischner’s sign (15% - arteri pulmonalis sentral yang menonjol),
Westermark’s sign (7% - oligemia perifer), kardiomegali (7%) dan edema
paru (5%). Abnormalitas foto rongsen yang lain jarang ditemukan pada
Emboli paru.12

Gambar Gambaran Foto Rongten Dada pada Emboli paru.12

Gambar Gambar

Westermark sign – oligemia Hampton hump – pulmonary infarction

b. Ekhokardiografi

Ekhokardiograi transtorakal atau transesofagus tidak diindikasikan untuk


mendiagnosis Emboli paru akut. Ekhokardiografi penting untuk menilai
disfungsi Ventrikel kanan pada penderita Emboli paru, karena terkait
prognosis dan mortalitas pada Emboli paru serta terjadinya tromboemboli
dikemudian hari. Temuan yang mendukung disfungsi Ventrikel kanan
diantaranya dilatasi ventrikel kanan, dinding hipokinetik, gerakan dinding
septum yang berlawanan, dilatasi arteri pulmonalis, gradient tekanan
sistolik ventrikel kanan – kiri >30mmHg dan waktu akselerasi laju arteri
pulmonalis <80 milidetik.12

Diagnosis disfungsi Ventrikel kanan bila didapati dua dari temuan


berikut, yaitu rasio diameter RV/LV end-distolic > 0,9 (tampak apikal four
chamber) atau RV/LV end-diastolic >0,7 (tampak parasternal long axis
atau substernal four-chamber) atau geraka septum interventrikel yang
berlawanan atau tekanan arteri pulmonalis sistemik >30mmHg. Adanya
dilatasi Ventrikel kanan lebih tampak pada emboli di arteri pulmonalis
utama dibandingkan pada segmen atau subsegmen.12

c. CT Angiografi Paru (CTPA)

Akurasi CTPA lebi tinggi bila dikombinasikan dengan penilaian klinis


dan pemeriksaan D-dime. Hasil CTPA positif pada penderita kecurigaan
tinggi atau sedang maka nilai prediksi positifnya juga tinggi. Bila CTPA
negatif pada kecurigaan klinis rendah maka diagnosis Emboli paru dapat
disingkirkan.

Selain berguna untuk melihat secara langsung adanya thrombus di arteri


pulmonalis, CT scan dapat pula dipakai untuk menstratifikasi risiko Emboli
paru dengan mengukur diameter Ventrikel Kanan/Kiri (RV/LV). Hal ini
berguna untuk prognosis dan implikasi pengobatan. Disebutkan bahwa
MDCT (Multi Detector CT) lebih akurat dalam menilai disfungsi Ventrikel
kanan dibandingkan Ekhokardografi, dengan mengukur rasio RV/LV.12

Diagnosis Emboli paru bila didapatkan adanya filling defect arteri


pulmonalis (sebagian atau total) minimal pada dua gambar berurutan dan
terletak di tengah pembuluh darah atau memiliki sudut yang tajam terhadap
dinding pembuluh darah. Lokasi Emboli dievaluasi pada tingkat arteri
pulmonalis yang terlibat dan lokasi lobar yang terkait. Lokasi Emboli
dikategorikan sebagai sentral (misalnya, arteri utama paru, arteri paru-paru
sentral, dan kedua arteri interlobar paru), lobar, segmen, dan subsegmen.
Lokasi lobar Emboli paru dievaluasi sesuai dengan nomenklatur standar:
lobus kanan atas, lobus tengah kanan, lobus kanan bawah, lobus kiri atas,
Lingula, dan lobus bawah kiri. Lokasi dan tingkat PE ditentukan
berdasarkan per-emboli, bukan per-pasien, karena beberapa pasien dapat
memiliki lebih dari satu Emboli paru.12

Gambar CTPA penderita Emboli paru akut


Gambar Skematik algoritma Emboli pada Arteri pulmonalis. Emboli arteri
pulmonalis segemental non-oklusi diberikan skor 1, sedangkan arteri yang
lebih proksimal diberikan skor yang lebih besar.12

Pemeriksaan MDCT dipandu EKG akan memberikan akurasi yang


lebih baik dalam menilai jantung. Namun pemeriksaan ini memerlukan
waktu yang lebih lama sehingga paparan radiasi juga yang lebih banyak,
sehinga tidak dipakai sebagai pemeriksaan rutin pada kondisi gawat
darurat. Namun MDCT tidak dapat digunakan untuk menilai fungsi
ventrikel kanan (misalnya hipokinesia atau menilai tekanan arteri
pulmonalis). Kemajuan teknologi terbaru seperti CT ECG-gated dan dual-
source CT memungkinkan evaluasi akurat dari pembuluh darah paru, aorta
toraks, dan arteri koroner pada studi CT tunggal. Secara umum,
multidetector CTPA lebih akurat dibandingkan single-slice CT atau V/Q
scan.
(A) (B)

Gambar 11.CT angiografi yang menggambarkan (A) adanya


sumbatan emboli, (B) pasca trombolitik.12

Diperkenalkan juga Perfusion Blood Volume (PBV) yang merupakan


CT dual-energy. Pencitraan ini menilai perfusi paru, bila terdapat obstruksi
karena trombus maka perfusi akan terganggu sesuai dengan derajat
obstruksi klot.

Gambar Klasifikasi Skor Defek Perfusi paru. Hijau-Merah: perfusi normal,

Biru-Hijau dengan distribusi merata: defek perfusi ringan, Biru dengan konfigurasi

menyebar: defek perfusi sedang, biru-hitam: tanpa perfusi

d. Kateter Angiografi Selektif Paru

Angiografi paru dengan kateter jantung kanan dapat mengukur tekanan


arteri pulmonalis dan jantung kanan. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang aman namun invasive serta memerlukan operator yang
berpengalaman dan monitor pasien yang adekuat. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan bila diagnosis Emboli paru dengan cara non-invasif tidak dapat
dilakukan.
Karena Multi Detector CTPA merupakan pemeriksaan standar untuk
mendiagnosis Emboli paru, maka pemeriksaan kateter Angiografi paru ini
jarang dilakukan kecuali bila ada indikasi trombektomi atau trombolisis
melalui kateter.12

e. V/Q scintigrafi

Pemeriksaan Ventilasi Perfusi (V/D scan) diperkenalkan pertama pada


pertengahan 1960 dan menjadi pemeriksaan untuk penderita yang dicurigai
Emboli paru. Penggunaan V/D scan dan CTPA masih kontroversi.
Keduanya memiliki akurasi diagnosis yang bagus.

Pada Emboli paru terjadi obstruksi arterial dan gangguan perfusi karena
thrombus. Hal ini akan menyebabkan rilis vasoaktif dan bronkoaktif dari
platelet.12

 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan
khusus.1

Tatalaksana yang umum antara lain :


1. Tirah baring di ruang intensif
2. Pemberian oksigen 2 – 4 l/menit
3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan
4. Pemantauan tekanan darah
5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg , bila tidak
ditoleransi gunakan 20- 30 mmHg)

Sementara terapi yang bersifat khusus adalah :


1. Trombolitik: diindikasikan pada emboli
paru massif dan sub massif Sediaan yang
diberikan :
a. Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam
b. rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam
c. Urokinase 4400 / kg/ jam dalam 12 jam
d. Dilanjutkan dengan unfractionated heparin /
low molecular weight heparin selama 5 hari
2. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif
3. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub
massif
4. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi perdarahan
5. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi
heparinisasi / trombolitik pada emboli paru massif dan
sub massif
a. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada
perdarahan yang memerlukan transfusi, emboli
paru berulang meskipun telah menggunakan
antikoagulan jangka panjang

PPOK / COPD
 DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
 EPIDEMIOLOGI
PPOK adalah penyebab paling umum dari kor pulmonal kronis di Amerika
Utara. PPOK mengenai lebih dari 14 juta orang setiap tahunnya di Amerika
serikat dan merupakan penyebab utama kematian. Prevalensi sebenarnya pasien
kor pulmnal dengan PPOK sulit untuk didapat, namun diperkirakan antara 10-
30% daari seluruh pasien di rumah saki tuntuk gagal jantung di Amerika Serikat
tiap tahunnya adalah karena kor pulmonale. Pasien dengan penyakit paru kronis
ditemukan lebih dari 40% memiliki faktor resiko kor pulmonale. Prevalensi kor
pulmonal juga meningkat pada pasien hippoksemia, hiperkapnia, atau obstruksi
saluran nafas, dalam sebuah percobaan Administrasi Veteran 1966, pasien
dengan PPOK dan kor pulmonale memiliki angka kematian 73% tiap 4
tahunnya.13
 ETIOLOGI
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) adalah kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu,asap,dan gas-
gas kimiawi akibat kerja, riwayat infeksi saluran nafas, bersifat genetik yaitu
difisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya
Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini.
 PATOFISIOLOGI
Pada PPOK akan terjadi penurunan vascular bed paru, hipoksia, dan
hiperkapnea/ asidosis respirtorik. Hipoksia dapat mengakibatkan penyempitan
pembuluh darah arteri paru, demikian juga asidosis respiratorik. Disamping itu,
hipoksia akan menimbulkan polisitemia sehingga visikositas darah akan
meningkat. Visikositas darah yang meningkat ini pada akhirnya juga akan
meningkatkan tekanan pembuluh darah arteri paru. Jadi, adanya penurunan
vaskuler bed, hipoksia dan hiperkapnea akan mengakibatkan tekanan darah
(arteri pulmonal), hal ini disebut dengan hipertensi pulmonal. Adanya
hipertensi pulmonal menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kanan,
sehingga ventrikel kanan melakukan kompensasi berupa hipretrofi dan dilatasi.
Keadaan ini yang disebut dengan Cor Pulmonal. Jika mekanisme kompensasi
ini gagal maka terjadilah gagal jantung kanan.14
 MANIFESTASI
- Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing
- Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer
- Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan
mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada
gagal napas kronik.
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Rontgen
Pada foto toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel
kanan, dilatasi arteri pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol.
Kardiomegali sering tertutup oleh hiperinflasi paru yang menekan
15
diafragrna sehingga jantung tampaknya normal.
Gambar Rontgen foto PPOK (sumber: www.e-radiography.net)
b. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan
penegakan diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dimensi
ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri
normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal gelombang ’a’
hilang menunjukan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan
pemeriksaan ekokardiografi sulit terlihat katup pulmonal karena accoustic
window sempit akibat penyakit paru. 15
Gambar Ekokardiografi kor pulmonal (sumber: medscape.com)
c. CT Scan

Gambar barrel chest pada CT Scan.


Gambar di atas menunjukkan gambaran barrel chest pada CT Scan. Rasio
diameter anteroposterior dan transversal normal berkisar antara 0.7-0.75
pada dewasa, pada barrel chest rasio tersebut bisa meningkat mencapai
0.9.
 PENATALAKSANAAN
1. Terapi oksigen
a. Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1)
terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi
vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel
kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital
lainnya. 16
b. Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute
of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24
jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan
pasien tanpa terapi oksigen.16
2. Digitalis
a. Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan
pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin
bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu
diwaspadai resiko aritmia. 16
3. Diuretik
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.
Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan
curah jantung menurun. 16
4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium,
agonis alfa adrenergik, dan postaglandin. Bekerja langsung
merelaksasikan otot polos arteri menyebabkan vasodilatasi, namun
pemakainnya belum direkomendasikan secara rutin. 16
5. Antikoagulan
6. Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pada pasien. 16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusmana D, dkk. Standar pelayanan medik RS. Jantung pembuluh


darah Harapan Kita. Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h.209-11
2. Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute pulmonary embolism: Part II: Risk
stratification, treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-
2838
3. Sunu I. Emboli paru: Pencegahan dan tata laksana optimal pasien
rawat inap. Dalam: Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend
course on cardiology, common soils in atherosclerosis: The base for
prevention and intervention. Jakarta. 2006.h.9-18
4. Piazza G, Goldhabber SZ. Acute pulmonary embolism: Part I:
Epidemiology and diagnosis. Circulation 2006; 114:28-32
5. Sobieszczyk P, dkk. Acute pulmonary embolism: Don’t ignore the
platelet. Circulation 2002;106:1748-1749
6. Fedullo PF: Pulmonary embolism. Dalam: Robert AO, Valentin F,
R.Wayne A, penyunting. The heart manual of cardiology. Edisi ke-11.
Boston: McGraw Hill,2005.h.351-2
7. Myerson SG, dkk: Pulmonary embolism. Dalam: Saul GM, Robin
PC,Andrew RJ, penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1.
Oxford University press,2006.h.190-194
8. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein
thrombosis. Circulation 2002;106:1436-1438
9. Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam:
Desmond GJ, Cowan JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi
ke-8. Edinburgh: Elsevier Saunders,2005.h.328-3
10. Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow,
Braunwald, penyunting. Braunwald’s heart disease, a textbook of
cardiovascular medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier
saunders,2005.h.1789-06
11. Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam: Neil RG, David
EN, penyunting. Cardiology. Edisi ke-1. Edinburgh: Churchill
livingstone,2000.h.181-7
12. Nur Alfian Rosyid: Peran Pencitraan dalam Diagnosis Emboli Paru.
https://www.researchgate.net/publication/295909534. 2013
13. Marie MB, , Alejandro C. Arroliga MD, Herbert P, and Richard A. cor
pulmonale. Diunduh dari www.medscape.com 06 september 2013.
14. Mubin AH. Kor pulmonale kronik. Dalam: Panduan praktis ilmu
penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta: EGC; 2001.h. 125-6
15. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart failure and cor pulmonale. Dalam:
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 13. United States of
America: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.p. 217-244
16. Harun S, Ika PW. Kor pulmonal kronik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jilid II. Jakarta: FKUI; 2009.h. 1842-4.

Anda mungkin juga menyukai