Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR Juli 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST ELEVATION MYOCARD INFARCTION

DISUSUN OLEH :
Azirah Binti Muntaha (C014172201)

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Akhtar Fajar Muzakkir, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Azirah Binti Muntaha


NIM : C014172201
Judul Laporan Kasus : ST Elevasi Miocardial Infarction (STEMI)

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan


Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 10 Juli 2018

Supervisor Pembimbing,

dr. Akhtar Fajar Muzakkir, Sp.JP, FIHA

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H. S
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen
Alamat : Jl Serui No 58
Tanggal Masuk : 20/04/2018
No RM : 798317

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan nyeri dada dirasakan sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada
dirasakan tiba tiba ketika sedang memakai baju sebelum berangkat ke tempat kerja.
Rasa nyeri menetap di dada kiri dan menjalar ke tangan kiri dengan durasi selama
30 menit. Nyeri rasa seperti tertekan dengan skala nyeri 3 dibanding 10. Nyeri dada
juga disertai keringat dingin. Keluhan sesak napas, berdebar-debar, demam dan
mual muntah tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil lancar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat kolesterol tinggi ada
 Riwayat nyeri dada tidak ada
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
 Riwayat hipertensi tidak diketahui
 Riwayat diabetes mellitus tidak ada

3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung ada (ayah kandung)
 Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus ada (saudara kandung)
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : tidak ada
Riwayat minum alkohol : tidak ada

III. FAKTOR RISIKO


a. Tidak dapat dimodifikasi:
- usia (56 tahun)

b. Dapat dimodifikasi:
- Riwayat Kolesterol Tinggi

IV. PEMERIKSAAN FISIS

 Status generalis
Sakit sedang / gizi baik / compos mentis
BB : 65 kg

TB : 160 cm

IMT : 25,3 (Overweight)

 Tanda vital
Tekanan darah: 120/70 mmHg
Nadi: 80 x kali per menit
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu: 36.5° C

4
 Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+ 1 cm H2O, limfadenopati dan pembesaran
tiroid tidak ada

 Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan:ronchi -/-, wheezing -/-
 Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS 4 garis parasternalis kanan,
dan batas jantung kiri di ICS 5 linea midaksilaris kiri.
Batas jantung atas di ICS 2.
Auskultasi : Bunyi Jantung: S I/II regular, murmur tidak ada

 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : Timpani (+)

 Pemeriksaan Ekstremitas
Edema (-), Akral hangat.

5
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (20/04/2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

WBC 9.98 [10^3/mm3] 4.0 - 10.0


RBC 4.73 [10^6/mm3] 4.50 - 6.50
HGB 13.7 g/d 14.0 – 18.0
HCT 40.5% 40.0 – 54.0
MCV 85.6 fL 80.0 – 97.0
MCH 29.0 pg 26.5 – 33.5
PLT 239 [10^3/mm3] 150 - 400
PT 10.0 detik 10 - 14
INR 0.89 -
APTT 25.3 detik 22.0 – 30.0
Ureum 30 mg/dl 10 – 50
Creatinine 0.89 mg/dl < 1.3

SGOT 50 U/L < 38

SGPT 15 U/L < 41

CK 712.86 U/L < 190 U/L

CK-MB 68.0 U/L < 25

Troponin I 2.91 ng/ml < 0.01

Natrium 135 mmol/l 136 – 145

Kalium 4.1 mmol/l 3.5 – 5.1

Klorida 101 mmol/l 97 – 111

GDS 107 mg/dl 140

6
b. EKG PRE-PCI (20/2/2018)

Interpretasi
 Ritme : sinus ritme

 Denyut Jantung : 60 kali per menit

 Regularitas : Reguler

7
 Axis : Normoaxis

 Gelombang P : normal, tinggi dan lebar 0.08 detik

 PR interval : normal, 0.16 detik

 QRS Kompleks : normal

 Segmen ST : elevasi pada sadapan II, III, AVF

 Gelombang T : normal

 Kesimpulan : Irama sinus ritme, denyut jantung 60 kali/menit regular,

normoaxis, ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) inferoposterior wall

VI. DIAGNOSIS
1. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) inferoposterior wall

VII. TERAPI

1. Oksigen 3 LPM via nasal kanul

2. NaCl 0,9% (500 ml/24 jam/intravena)

3. Aspilet 80mg/24 jam/ oral

4. Clopidogrel 75mg/24jam/oral

5. Atorvastatin 40mg/24jam/oral

6. Arixtra 2,5mg/24jam/subkutan

8
VIII. RESUME
Laki-laki 57 tahun masuk IGD PJT dengan Keluhan nyeri dada
dirasakan sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan tiba tiba
ketika sedang memakai baju sebelum berangkat ke tempat kerja. Rasa nyeri
menetap di dada kiri dan menjalar ke tangan kiri dengan durasi selama 30 menit.
Nyeri rasa seperti tertekan dengan skala nyeri 3 dibanding 10. Nyeri dada juga
disertai keringat dingin. Keluhan sesak napas, berdebar-debar, demam dan mual
muntah tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil lancar. Riwayat kolestrol
tinggi ada, riwayat nyeri dada tidak ada, riwayat penyakit jantung sebelumnya
disangkal, riwayat hipertensi tidak iketahui, dan riwayat diabetes mellitus tidak ada,
riwayat keluarga dengan penyakit jantung ada (ayah kandung), dan riwayat
keluarga dengan diabetes mellitus ada (saudara kandung). Dari pemeriksaan fisis :
sakit sedang, gizi baik, compos mentis. Tanda vital : Tekanan darah dalam batas
normal yaitu : 120/70 mmHg, Pemeriksaan kepala dalam batas normal, JVP R+1
cm H2O. Pemeriksaan thoraks, jantung, abdomen dan ekstremitas dalam batas
normal.
Pemeriksaan Laboratorium : SGOT memanjang, peningkatan
penanda jantung (CK dan CK-MB), dan Troponin I meningkat. Pemeriksaan EKG :
Irama sinus ritme, Denyut jantung 60 kali/menit regular, normoaxis, ST Elevation
Myocardial Infarction (STEMI) inferoposterior wall.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Infark miokard ST elevasi (STEMI) merupakan tipe infark miokard yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erupsi dan ruptur plak
ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada STEMI,
trombus yang terbentuk biasanya menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri
koroner. STEMI memiliki gambaran klinis dan patofisiologi yang mirip dengan Angina
Pectoris Tidak Stabil, sehingga penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis Angina Tidak Stabil
menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.

2. Faktor Risiko
Tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya
usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius sebelum umur 40 tahun,
sedangkan mulai usia 40-60 tahun insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat.
Hal ini terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang semakin
besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisitas pembuluh darah yang makin
menurun seiring dengan bertambahnya umur (Price, 2012).

b. Jenis kelamin
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding
perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Namun, setelah wanita
menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan asumsi faktor esterogen
pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan menurunkan kadar LDL-C,
meningkatkan HDL-C serta trigliserida. Disparitas ini akan berkurang seiring
dengan pertambahan usia, dengan wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu
wanita cenderung lebih mendapati PJK yang lebih kompleks karena
pertambahan umur yang lebih tua disertai lebih banyak faktor komorbiditas
(Price, 2012).

10
c. Genetik
Terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria brakhialis,
pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media (Price, 2012).

Dapat dimodifikasi
a. Merokok
Merokok lebih dari satu pak rokok sehari meningkatan resiko dua kali lipat
terhadap penyakit aterosklerosis koroner daripada mereka yang tidak merokok.
Asap rokok mengandung zat radikal bebas yang bersifat oksidatif dan dapat
merusak pembuluh darah. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya
penurunan elastisitas maupun kesehatan dari jantung, yang bisa juga menjadi
premature tidak lagi mengacu pada umur (Jackson, 2008).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah menjadi resiko independen dalam penyakit jantung
coroner. Framingham menyatakan bahwa terdapat peningkatan resiko dua kali
lipat pada orang dengan tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg dibandingkan
dengan orang yang normotensi. Dengan kondisi hipertensi, diketahui bahwa
beban usaha serta kontraksi jantung telah meningkat untuk mengompensasi
kondisi di perifer yang kemungkinan telah mengalami atherosclerosis (Jackson,
2008).
c. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan timbulnya
aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos pembuluh darah
arteri koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadaar
LDL-C dan kadar HDL-C yang rendah (Jackson, 2008).

d. Dislipidemia
Dislipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl dan tinggi apabila
mencapai >160 mg/dldan kadar HDL-C rendah (<40 mg/dl. Risiko aterogenik
yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat teroksidasi dan menimbulkan
deposisi di sirkulasi pembuluh darah. Sedangkan kadar kolesterol HDL yang

11
rendah dapat meningkatkan resiko karena faktor protektif dari HDL yang rendah
seiring dengan kadarnya yang kurang (Jackson, 2008).
e. Obesitas
Makanan dengan kalori yang tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh, gula dan
garan berperan dalam terjadinya hyperlipidemia dan obesitas yang secara
langsung meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Hal ini diperberat
dengan gaya hidup pasif (sedentary lifestyle) yang berperan dalam resistensi
insulin, peningkatan resiko gagal jantung setara dengan hiperlipidemia.
Seseorang yang dengan sedentary lifestyle memiliki resiko 30-50% lebih besar
untuk mengalami hipertensi (Jackson, 2008).
f. Hiperhomosisteinemia
Kadar homosistein atau asam amino alamiah tubuh yang tinggi (>15 mmol/L)
berkaitan dengan disfungsi endotel dan gangguan fungsi trombosit serta
vasodilator dinding pembuluh darah. Defisiensi asam folat dan vitamin B6,B12
berperan dalam hiperhomosisteinemia (Jackson, 2008).

3. Patofisiologi
Sebagian besar sindroma koroner akut (ACS) adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).Trombus ini akan
menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu
terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih
20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark
miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi
subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain
nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan

12
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak
seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya
SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
Pembentukan plak aterosklerosis
Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu intima, media
dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang menyelimuti
lumen arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian dalam sistem
vaskular hampir seluas 700 m2 dan dengan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki berbagai
fungsi, diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi
permukaannya dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat prostaglandin seperti
prostasiklin yang merupakan suatu vasodilator poten dan penghambat agregasi platelet.
Rusaknya lapisan endotel akan memicu terjadinya aterosklerosis sebagaimana yang
akan dijelaskan kemudian.

Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya aterosklerosis,


seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to injure hypothesis.
Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai response to injure
hypothesis sebagai berikut:

13
Stage A: Endothelial injure
Endotelial yang intak dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran
darah koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan
masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam
dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan
jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet
adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).

b. Stage B: Fatty Streak Formation.


Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang telah
dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density
Lipoprotein (LDL) dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh
radikal-radikal bebas pada permukaan endotel. Lesi ini mulai tumbuh pada masa
kanak-kanak, makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, yang terdiri
dari sel-sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel otot polos dan makrofag
yang mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation


Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan ikat
(cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable fibrous
plaque dan Unstable fibrous plaque.

14
Pembentukan thrombus
Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses rupture plak yang
akan memaparkan elemen darah terhadap substansi trombogenik dan disfungsi endotel
sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi dan antitrombotik. Rupturnya plak merupakan
pemicu utama. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas
plak, stress fisik.

Gambar 2. Komposisi Plak Atheroma

Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme sintesis dan degradasi.
Sintesis sel otot polos membuat formasi fibrous cap disamping kolagen dan elastin.
Foam sel meningkatkan aktivasi dan enzim proteolitik seperti matrix metalloproteinase
yang mendegradasi kolagen dan elastolitik katepsin. Derivat dari sel limfosit T juga
merusak fibrous cap. Plak dengan fibrous cap yang tipis mudah menjadi rupture jika ada
stress yang tinggi baik secara spontan maupun saat aktivitas fisik.

15
Gambar 3. Proses Rupturnya Plak Atheroma

Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet terhadap lapisan kolagen
subendotelial sehingga platelet terkativasi dan menjadi beragregasi. Mengaktivasi
kaskade koagulasi dan vasokonstriksi. Mekanismenya dapat dilihat pada gambar di
bawah. Disfungsi endotel akan menyebabkan penurunan produksi vasodilator dan
antiplatelet.

16
4. Manifestasi Klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan
ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh,
berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada STEMI.
Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
gejala dengan onset baru angina berat/terak selerasi memiliki prognosis lebih baik
dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat.Walaupun gejala khas
rasa tidak enak di dada iskemia pada STEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak
khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu
atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien
berusia lebih dari 65 tahun.

Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif
dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian
nitrogliserin.

Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit
meningkat. Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang
dipompa jantung.Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard
berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.
Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.

Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.


Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung
tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara
jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan
seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark
miokard transmural tipe STEMI.

17
5. Penegakan Diagnosa
Diagnosis ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu

 Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat
biasa.

 Perubahan elektrokardiografi (EKG)

Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Didapatkan elevasi segmen ST


minimal di dua sadapan yang berhubungan.

 Peningkatan petanda biokimia.

Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial
dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.
Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam
darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain
aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase
isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin
light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan
kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.

ELEKTROKARDIOGRAM

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien STEMI biasa berupa elevasi
segmen ST pada sadapan II,III dan AVF serta adanya Q waves yang dalam. Untuk
menegakkan diagnosis STEMI, perlu dijumpai elevasi segmen ST > 1 mm pada
sadapan ekstremitas dan >2 mm di sandapan precordial yang ditemukan minimal di
dua sadapan yang berhubungan.

18
Berikut perbedaan tampilan EKG infark miokardium pada UAP/NSTEMI dan
STEMI:

Gambar 7. Kelainan EKG pada UA dan NSTEMI


Sedangkan pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di
bawah ini:

Gambar 8. Evolusi EKG pada STEMI

6. Penatalaksanaan

Tindakan Umum Dan Langkah Awal


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan
diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang
dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikanpada pasien dengan diagnosis
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan.

19
1.Tirah baring
2.Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi. Suplemen oksigen dapat diberikan pada
semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2
arteri.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A).
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a.Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau
b.Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga
kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. (PERKI, 2015)

20
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah, dapat diberikan pada
Kemungkinan/Definitif SKA sesegera mungkin/di layanan primer sebelum dirujuk.

Terapi lainnya
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya
tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikuler yang
signifikan,asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus,preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien STEMI, terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra. Penyekat beta
oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga diindikasikan
untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra.
Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis

21
yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III.
Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat
padatabel 12.

b. Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina.
2. Pasien dengan STEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra.
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, atau hipertensi
dalam 48 jam pertama STEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak
boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti
penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik<90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat(<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infarkventrikel kanan.
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam48 jam. Waktu yang tepat

22
untuk terapi nitrat setelah pemberianvardenafil belum dapat ditentukan. (PERKI,
2015)

c. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek


vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SANode dan AV Node
yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas
mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Olehkarena itu CCB, terutama
golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.
Studi menggunakan CCB pada STEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekatbeta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagipasien yang
telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien STEMI dengan indikasi
kontra terhadap penyekat beta.
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
terapi penyekat beta.
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release)
tidakdirekomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.

23
Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT
(dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambatreseptor ADP) direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat perdarahansaluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasiendengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65
tahun,serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadianiskemik
sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi
pengobatan awal. Pemberianini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan)
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakanticagrelor.
Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan
menerima strategi invasif ketika tidak bias mendapatkan ticagrelor.
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukanIKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat.
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian
ticagrelor atau clopidogrel bila secaraklinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko
kejadian iskemik yang tinggi.

24
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif
dan NSAID non-selektif ).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis
stent.(PERKI, 2015)

Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat


mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet.
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang
paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap harisecara subkutan 4. Bila
antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahanbolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yangmendapatkan penghambat
reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP.
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien denganrisiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atauheparin berat
molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan
apabila fondaparinuks atau enoksaparintidak tersedia.
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.

25
Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita STEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi,
jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum
pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL
<100 mg/dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk
dicapai. (PERKI, 2015)
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi coroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi gagal jantung atau takiaritmia ventricular maligna. Sasaran terapi
reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle)
time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-
balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90menit.
Tapi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih terapi reperfusi ini
yaitu onset gejala (terapi fibrinolisis sebaiknya diberikan 2 jam pertama, sedangkan PCI
boleh setelah 2 jam), risiko mortalitas pasien STEMI, risiko perdarahan, waktu dan
fasilitas di Rumah Sakit.

26
Percutaneous Coronari Intervention (PCI)
Intervensi coroner perkutan biasanya angioplasti dan atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada
STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama Infark Miokard Akut. PCI primer
lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri coroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjangyang lebih baik.
Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah
hancur dengan obat fibrinolysis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil
dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana.

7. Prognosis
Pertanda klinis. Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut,
adanya diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat
diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala saat istirahat
memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang berkelanjutan atau sering serta
adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung juga merupakan pertanda peningkatan
risiko dan memerlukan diagnosis dan penanganan segera.
Pertanda EKG. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien dengan
EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi segmen ST saat tiba,
inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior, depresi segmen ST ≥0,1 mV atau
≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang bersebelahan, dan elevasi segmen ST ≥0,1
mV di sadapan aVR memberikan prognosis yang lebih buruk.

27
TIMI risk score adalah system prognostic paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi trombolitik (PERKI, 2015).Stratifikasi risiko TIMI sebelumnya
pertimbangkan tanda dan gejala berikut: nyeri dada lebih dari 30 menit, ST elevasi,
onset kurang dari 6 jam).

1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina (1 poin)


2. Tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg (3 poin)
3. Denyut nadi > 100 BPM (2 poin)
4. Kelas Killip II-IV (2 poin)
5. Berat badan kurang dari 67 kg (1 poin)
6. ST elevasi pada lead anterior atau terdapat LBBB (1 poin)
7. Waktu onset hingga penatalaksanaan lebih dari 4 jam (1 poin)

ditambah dengan kriteria usia

1. usia lebih dari atau sama dengan 75 tahun (3 poin)


2. 65-74 tahun (2 poin)
3. kurang dari 65 (0 poin)

Skor ini memberikan informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadi infark
miokard sebagai berikut.

 0 poin: 0,8%
 1 poin: 1,6%
 2 poin: 2,2%
 3 poin: 4,4%
 4 poin: 7,3%
 5 poin: 12%
 6 poin: 16%
 7 poin: 23%
 8 poin: 27%
 9-14 poin: 36%

28
8. Komplikasi
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium sehingga menimbulkan komplikasi seperti :
 Syok kardiogenik
 Gagal jantung
 Gangguan hemodinamik
 Aritmia dan gangguan konduksi
jantung

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach STEMI and NSTEMI. Association of


Physicians India. 2011;Vol 59.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Infark
Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Loscazlo J, Libby P, Braunwald E. Harrison's Principle of Internal Medicine
Disorder of the Cardiovascular System2010.
4. Indonesia PDSK. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 2015;3.
5. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC.
2007.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
7. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
8. Harun S, lwi I. Infark miokard akut tanpa elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2006

30

Anda mungkin juga menyukai